MasukPagi itu matahari menyorot lembut ke dalam kamar, menyinari meja kerja kecil yang berantakan dengan kertas-kertas catatan. Alya duduk di ujung ranjang, memegang pulpen, lalu menatap kosong ke arah jam dinding. Waktu terus berjalan, tapi pikirannya sibuk meramu strategi.
Ia menghela napas panjang. Kalau aku ingin bertahan, aku harus pandai memainkan peran. Raka tidak boleh tahu aku sudah menyadari siapa dia sebenarnya. “Sayang, kamu sudah bangun?” Suara itu muncul tiba-tiba, hangat, penuh kelembutan yang dulu membuat Alya luluh. Raka keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, tubuhnya terbungkus handuk. Ia tersenyum—senyum yang bagi orang lain tampak tulus, tapi bagi Alya kini seperti topeng yang licin. “Iya,” jawab Alya singkat, lalu menutup bukunya cepat-cepat. Raka berjalan mendekat, mencondongkan tubuh, lalu mengecup kening Alya. “Kamu terlihat lelah. Jangan terlalu banyak kerja, nanti sakit.” Alya menahan diri agar wajahnya tetap lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Terima kasih sudah perhatian.” Raka tersenyum puas, lalu berbalik untuk bersiap ke kantor. Alya menatap punggungnya lekat-lekat, diam-diam menghafal kebiasaannya. Dari cara Raka merapikan dasinya, hingga kebiasaan kecil seperti mengintip ponsel sebelum memasukkan ke saku jas. Dia selalu memeriksa pesan di pagi hari. Berarti ada seseorang yang rutin menghubunginya. Selina, mungkin? Alya meraih catatan kecil di bawah bantalnya. Dengan cepat ia menulis: Raka selalu buka pesan pagi-pagi. Tangan kanan merapikan dasi → artinya ia kidal semu, bisa dipancing dengan aktivitas tertentu. Senyum selalu muncul setiap habis membuka HP. Ia menutup catatan itu rapat, lalu menyelipkannya ke laci yang sudah ia kunci. Di meja makan, Alya sengaja lebih manis dari biasanya. Ia menuangkan kopi untuk Raka, menyuapkan roti kecil, bahkan tertawa lembut saat Raka melemparkan lelucon sederhana. Semua itu dilakukan dengan penuh perhitungan. “Wah, istri siapa ini? Tiba-tiba jadi perhatian sekali,” canda Raka sambil menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan. Alya menunduk, menyembunyikan kilatan matanya. “Istri Mas Raka, tentu saja.” Raka tampak puas. Ia menepuk tangan Alya, lalu melanjutkan sarapan dengan santai. Dari luar, mungkin pasangan ini terlihat begitu harmonis. Tapi di dalam hati, Alya sedang menyusun puzzle besar—menghimpun setiap kebiasaan kecil, setiap pola, untuk membongkar kebohongan Raka suatu hari nanti. Siang harinya, Alya ikut menemani Raka ke sebuah acara bisnis. Biasanya, ia hanya hadir sebentar lalu memilih diam. Tapi kali ini, ia lebih aktif. Ia mendengarkan setiap percakapan, mencatat dalam benaknya siapa saja rekan dekat Raka, siapa yang sering ia sebut, dan siapa yang membuat Raka tampak waspada. “Mas, Bapak Arman itu dekat sekali sama kamu, ya?” tanyanya polos ketika mereka pulang. Raka menoleh sebentar, lalu tersenyum. “Iya, dia investor penting. Kenapa?” “Tidak, aku cuma penasaran saja. Sepertinya dia percaya penuh sama kamu.” Alya menambahkan nada kekaguman agar tidak menimbulkan kecurigaan. Raka semakin lebar senyumnya. “Memang begitu. Aku pandai meyakinkan orang, Sayang. Itu salah satu kelebihanku.” Alya hanya mengangguk, tapi dalam hati ia mengulang kata-kata itu: Aku pandai meyakinkan orang. Ya, dan itu pula yang membuat semua orang buta terhadap sifat aslinya. Malam tiba. Alya duduk sendirian di ruang kerja kecil mereka, membuka kembali catatan yang ia sembunyikan. Ia menulis dengan teliti: Raka sangat percaya diri ketika mendapat pujian → titik lemah: kesombongan. Ia terlalu sering memeriksa HP → bisa dijadikan celah. Selalu ingin jadi pusat perhatian di mana pun → bisa dipermalukan bila rahasia terbongkar Tangannya berhenti menulis. Matanya berair, bukan karena sedih, tapi karena beban yang begitu besar. Bisakah aku benar-benar melawan Raka? Semua orang mencintainya. Semua percaya padanya. Kalau aku membuka mulut sekarang, aku hanya akan terlihat seperti istri paranoid. Ia menutup bukunya, menghela napas dalam-dalam. Lalu tatapannya jatuh pada foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Wajahnya tampak bahagia, senyumnya tulus, sementara Raka berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh percaya diri. Alya berdiri, mendekati foto itu. Tangannya menyentuh wajahnya sendiri dalam gambar. “Aku tidak akan jadi perempuan itu lagi. Aku tidak akan jatuh ke jurang yang sama. Kali ini, semua akan berbeda.” Esok paginya, Raka kembali memamerkan sisi romantisnya. Ia mengantar Alya ke kantor, bahkan membukakan pintu mobil untuknya. Rekan-rekan Alya yang kebetulan melihat, berdecak kagum. “Suamimu itu perfect banget, Alya,” kata salah satu sahabat kerjanya. Alya tersenyum kaku, hanya menjawab singkat, “Iya, dia memang perhatian.” Padahal, di dalam hatinya, kata-kata itu terasa pahit. Perfect? Tunggu saja. Saat topeng itu jatuh, kalian akan tahu siapa sebenarnya Raka Baskara. Alya masuk ke kantor dengan langkah tegap. Hari-hari sandiwara baru saja dimulai, dan ia harus bersabar. Karena untuk menjatuhkan Raka, ia tidak bisa terburu-buru. Ia harus menunggu waktu yang tepat—dan ia tahu, saat itu akan datang. Malam itu, rumah tampak begitu tenang. Raka duduk di ruang tamu sambil menonton berita, sementara Alya memilih duduk di meja makan dengan sebuah buku resep terbuka di depannya. Dari luar, pemandangan itu seperti keluarga kecil yang damai—suami santai di sofa, istri sibuk dengan hobi rumah tangga. Namun di balik wajah tenang itu, Alya sedang bekerja. Ia tidak benar-benar membaca resep. Ia memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan refleksi Raka lewat kaca lemari dapur. Seperti dugaan, Raka berulang kali meraih ponselnya. Setiap kali notifikasi berbunyi, ia cepat-cepat membuka, lalu mengetik balasan singkat. Senyum tipis selalu muncul di ujung bibirnya setelah itu. Alya pura-pura menulis catatan resep, padahal ia mencatat jam-jam notifikasi datang. 19.45, 20.10, 20.32. Polanya konsisten, seolah ada seseorang yang sedang aktif berbincang dengannya di jam-jam tertentu. Selina… kau memang tidak bisa jauh dari Raka, ya? batinnya getir. “Sayang,” panggil Raka tiba-tiba. “Kamu lagi apa? Kok serius sekali?” Alya menutup bukunya cepat, lalu tersenyum manis. “Cari ide masakan baru. Biar bisa bikin kejutan buat Mas.” Raka terkekeh, tampak puas. “Istriku memang berbeda. Perhatian sekali.” Alya ikut tertawa, padahal dadanya terasa sesak. Ia sudah tahu, semua kata manis itu hanya topeng. Tapi untuk saat ini, ia harus masuk ke dalam permainan itu. Menjelang tengah malam, saat Raka sudah terlelap, Alya bangkit dari ranjang perlahan. Ia berjalan ke ruang kerja, memastikan pintu terkunci rapat. Dari lemari kecil, ia mengeluarkan buku catatan yang ia sembunyikan. Dengan cahaya lampu meja, ia menuliskan dengan hati-hati: Raka aktif balas pesan hampir setiap malam. Jam 19.30–21.00 paling sibuk. Senyum selalu muncul setelah balas pesan → kemungkinan lawan bicara orang dekat. Harus cari cara untuk tahu siapa pengirimnya. Alya menutup bukunya dengan tangan bergetar. Jantungnya berdebar cepat, seperti baru saja melakukan kejahatan besar. Tapi ia tahu, ini bukan kejahatan. Ini pertahanan diri. “Kalau dulu aku buta, sekarang aku akan melihat segalanya,” bisiknya pada diri sendiri. Keesokan paginya, Alya menyiapkan sarapan dengan wajah cerah. Ia menambahkan sentuhan kecil—makanan favorit Raka, kopi hangat, bahkan setangkai bunga di meja. Semua tampak seperti adegan romantis. Raka turun dari kamar dengan wajah terkejut. “Wah, istri siapa ini? Manis sekali pagi-pagi begini.” Alya menunduk, pura-pura malu. “Aku cuma ingin bikin Mas bahagia.” Raka tertawa lebar, merasa semakin menang. Ia duduk, menyantap sarapan dengan lahap. Sesekali ia melirik Alya dengan tatapan penuh kepuasan, seperti pria yang yakin telah menaklukkan hati istrinya sepenuhnya. Alya ikut tersenyum, tapi di balik itu, matanya menyimpan ketegasan. Tersenyumlah sekarang, Raka. Karena suatu hari nanti, senyum inilah yang akan menghancurkanmu. Hari itu, Alya resmi menandai langkah barunya: ia bukan lagi istri polos yang mudah dikhianati. Ia adalah pemain sandiwara yang siap bertahan—dan suatu saat, membalikkan permainan.Sudah hampir satu tahun sejak hari ketika salah satu investor menarik diri dan membuat Alya hampir menyerah. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sekadar bertahan — tapi bertumbuh. Kini, aroma baru mengisi ruang utama Alyara Home: campuran wangi mawar, jeruk, dan sedikit kayu manis. Sebuah aroma yang ia racik sendiri dan dinamainya Serenity — ketenangan. Produk itu menjadi simbol perjalanan panjangnya, sekaligus varian utama untuk peluncuran cabang pertama Alyara Home di pusat kota. Alya berdiri di depan kaca besar butik barunya. Papan bertuliskan “Alyara Home – Soul of Calm” menggantung elegan di atas pintu, dengan huruf timbul berwarna emas lembut. Di bawahnya, etalase menampilkan deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser yang dikemas dengan desain sederhana tapi menawan. “Siap, Bu?” tanya Nita sambil memegang clipboard. Suaranya terdengar campur antara gugup dan bangga. Alya tersenyum. “Sudah lebih dari siap, Nit. Hari ini bukan hanya peluncuran toko. Hari ini, kita m
Pagi itu, suasana di Alyara Home tidak seperti biasanya. Tidak ada tawa riang di ruang workshop, tidak ada aroma lavender yang menenangkan. Semua orang tampak tegang — bahkan Nita, yang biasanya paling ceria, terlihat gelisah di depan laptop. Alya menatap layar yang menampilkan grafik penjualan dan tabel pengeluaran bulan berjalan. Angkanya tidak buruk, tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah pesan singkat yang baru saja masuk tadi pagi — dari salah satu investor kecil mereka. > “Dengan berat hati, kami harus menarik modal dari Alyara Home mulai akhir bulan ini.” Hanya satu kalimat sederhana, tapi cukup membuat udara di ruangan terasa berat. Investor itu bukan yang terbesar, tapi ia adalah salah satu penopang utama di fase awal. Modal darinya digunakan untuk produksi massal batch pertama lilin aromaterapi, juga untuk membayar sewa tempat tambahan yang kini sedang dipakai tim baru. Alya menghela napas panjang. “Sudah coba hubungi, Nita?” Nita mengangguk lemah. “Sudah, Bu
Langit pagi itu berwarna lembut — campuran biru muda dan jingga yang menenangkan. Di halaman depan Alyara Home, Alya berdiri memandangi taman kecil yang mulai dipenuhi bunga lavender dan melati. Aroma lembutnya bercampur dengan wangi minyak esensial yang menguar dari ruang workshop di belakang rumah. Tempat itu dulu hanyalah ruang kosong, tapi kini menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak orang — terutama bagi Alya sendiri. Suara tawa pelan terdengar dari dalam. Beberapa perempuan muda tengah sibuk mencampur bahan untuk membuat lilin aromaterapi. Mereka adalah bagian dari tim kecil yang dibentuk Alya — sebagian mantan ibu rumah tangga, sebagian lagi anak muda yang mencari arah hidup. “Bu Alya, ini campuran lavender sama vanilla-nya pas nggak?” tanya salah satu dari mereka, dengan tangan penuh sisa lilin cair. Alya tersenyum, mendekat sambil mengambil sendok kecil dari meja kerja. “Coba sedikit tambahkan vanilla-nya. Wangi lavender yang terlalu kuat bisa bikin kesan dingin. Kita ma
Sudah hampir setengah tahun sejak Alyara Home menjadi nama yang mulai dikenal. Bisnisnya stabil, keuangan cukup sehat, dan beberapa media menulis kisah Alya sebagai simbol ketangguhan perempuan. Namun di tengah kesibukan itu, ada sesuatu yang tiba-tiba mengetuk kembali — masa lalu yang selama ini ia biarkan diam di belakang. Sore itu, Alya baru saja selesai melakukan sesi pelatihan dengan beberapa ibu rumah tangga di ruang komunitas kecil miliknya. Mereka tertawa saat membicarakan aroma lilin baru yang sedang dikembangkan, aroma “cempaka dan tanah basah” — wangi yang menenangkan, katanya. Salah satu dari mereka, Sinta, berkata sambil tersenyum, “Bu Alya, wangi ini seperti hujan pertama setelah kemarau. Lembut tapi mengingatkan banyak hal.” Alya mengangguk pelan. “Kadang memang, hal sederhana seperti aroma bisa membawa kita ke masa lalu.” Ia tak tahu, kalimat itu akan menjadi pengantar dari sesuatu yang benar-benar datang dari masa lalunya sendiri. Begitu pelatihan selesai dan r
Pagi itu, aroma lavender dan melati bercampur lembut di udara. Alya menatap rak pajangan di ruang produksinya — deretan lilin aromaterapi, sabun alami, dan diffuser dari kayu jati kecil yang tertata rapi dengan label Alyara Home. Setiap produk dibungkus dengan kertas daur ulang berwarna krem, dihiasi pita tipis dan logo bunga sederhana hasil desainnya sendiri. Tiga bulan terakhir terasa seperti mimpi. Pesanan yang awalnya hanya datang dari teman dan tetangga kini mulai meluas ke luar kota. Ia bahkan harus menambah dua karyawan untuk membantu proses pengemasan dan pengiriman. Alya tersenyum kecil, mengingat hari-hari awalnya — saat ia membuat sabun pertama dengan tangan gemetar, takut gagal, takut tak ada yang tertarik. Kini, suara tawa para pegawainya di ruang belakang terdengar seperti musik yang menandai betapa jauh ia sudah melangkah. “Bu Alya, ini pesanan dari toko konsep di Bandung. Mereka minta stok dua kali lipat bulan ini,” ujar Dimas, asistennya yang kini dipercaya menga
Sudah hampir satu bulan sejak dunia Alya berubah total — kali ini bukan karena kehancuran, tapi karena kebebasan. Rumah mungilnya di pinggiran kota kini terasa seperti tempat perlindungan. Setiap pagi ia menyeduh teh hangat, membuka jendela, dan membiarkan cahaya matahari masuk tanpa rasa takut apa pun. Tak ada lagi teriakan Raka, tak ada aroma parfum mahal milik Selina yang menempel di dinding rumah. Hanya aroma lavender dan melati dari produk Alyara Home yang menenangkan setiap sudut. Hari itu, Alya baru saja selesai membungkus beberapa pesanan pelanggan ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Dimas, asisten mudanya, muncul di layar. > “Bu Alya, lihat berita siang ini. Tentang Pak Raka.” Alya mengerutkan dahi, menekan tautan berita yang dikirimkan. Layar menampilkan wajah Raka — bukan dengan jas rapi seperti dulu, melainkan dengan ekspresi lelah dan pakaian kusut. Judul besar terpampang: “Mantan Direktur PT Gracindo Group Diperiksa Terkait Penggelapan Dana.” Ia membaca perlahan







