Home / Rumah Tangga / Ku Tentukan Takdirku / Bab 8 – Sandiwara Rumah Tangga

Share

Bab 8 – Sandiwara Rumah Tangga

Author: Mommy Sea
last update Last Updated: 2025-09-28 21:39:25

Pagi itu matahari menyorot lembut ke dalam kamar, menyinari meja kerja kecil yang berantakan dengan kertas-kertas catatan. Alya duduk di ujung ranjang, memegang pulpen, lalu menatap kosong ke arah jam dinding. Waktu terus berjalan, tapi pikirannya sibuk meramu strategi.

Ia menghela napas panjang. Kalau aku ingin bertahan, aku harus pandai memainkan peran. Raka tidak boleh tahu aku sudah menyadari siapa dia sebenarnya.

“Sayang, kamu sudah bangun?” Suara itu muncul tiba-tiba, hangat, penuh kelembutan yang dulu membuat Alya luluh. Raka keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, tubuhnya terbungkus handuk. Ia tersenyum—senyum yang bagi orang lain tampak tulus, tapi bagi Alya kini seperti topeng yang licin.

“Iya,” jawab Alya singkat, lalu menutup bukunya cepat-cepat.

Raka berjalan mendekat, mencondongkan tubuh, lalu mengecup kening Alya. “Kamu terlihat lelah. Jangan terlalu banyak kerja, nanti sakit.”

Alya menahan diri agar wajahnya tetap lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Terima kasih sudah perhatian.”

Raka tersenyum puas, lalu berbalik untuk bersiap ke kantor. Alya menatap punggungnya lekat-lekat, diam-diam menghafal kebiasaannya. Dari cara Raka merapikan dasinya, hingga kebiasaan kecil seperti mengintip ponsel sebelum memasukkan ke saku jas.

Dia selalu memeriksa pesan di pagi hari. Berarti ada seseorang yang rutin menghubunginya. Selina, mungkin?

Alya meraih catatan kecil di bawah bantalnya. Dengan cepat ia menulis:

Raka selalu buka pesan pagi-pagi.

Tangan kanan merapikan dasi → artinya ia kidal semu, bisa dipancing dengan aktivitas tertentu.

Senyum selalu muncul setiap habis membuka HP.

Ia menutup catatan itu rapat, lalu menyelipkannya ke laci yang sudah ia kunci.

Di meja makan, Alya sengaja lebih manis dari biasanya. Ia menuangkan kopi untuk Raka, menyuapkan roti kecil, bahkan tertawa lembut saat Raka melemparkan lelucon sederhana. Semua itu dilakukan dengan penuh perhitungan.

“Wah, istri siapa ini? Tiba-tiba jadi perhatian sekali,” canda Raka sambil menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan.

Alya menunduk, menyembunyikan kilatan matanya. “Istri Mas Raka, tentu saja.”

Raka tampak puas. Ia menepuk tangan Alya, lalu melanjutkan sarapan dengan santai. Dari luar, mungkin pasangan ini terlihat begitu harmonis. Tapi di dalam hati, Alya sedang menyusun puzzle besar—menghimpun setiap kebiasaan kecil, setiap pola, untuk membongkar kebohongan Raka suatu hari nanti.

Siang harinya, Alya ikut menemani Raka ke sebuah acara bisnis. Biasanya, ia hanya hadir sebentar lalu memilih diam. Tapi kali ini, ia lebih aktif. Ia mendengarkan setiap percakapan, mencatat dalam benaknya siapa saja rekan dekat Raka, siapa yang sering ia sebut, dan siapa yang membuat Raka tampak waspada.

“Mas, Bapak Arman itu dekat sekali sama kamu, ya?” tanyanya polos ketika mereka pulang.

Raka menoleh sebentar, lalu tersenyum. “Iya, dia investor penting. Kenapa?”

“Tidak, aku cuma penasaran saja. Sepertinya dia percaya penuh sama kamu.” Alya menambahkan nada kekaguman agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Raka semakin lebar senyumnya. “Memang begitu. Aku pandai meyakinkan orang, Sayang. Itu salah satu kelebihanku.”

Alya hanya mengangguk, tapi dalam hati ia mengulang kata-kata itu: Aku pandai meyakinkan orang. Ya, dan itu pula yang membuat semua orang buta terhadap sifat aslinya.

Malam tiba. Alya duduk sendirian di ruang kerja kecil mereka, membuka kembali catatan yang ia sembunyikan. Ia menulis dengan teliti:

Raka sangat percaya diri ketika mendapat pujian → titik lemah: kesombongan.

Ia terlalu sering memeriksa HP → bisa dijadikan celah.

Selalu ingin jadi pusat perhatian di mana pun → bisa dipermalukan bila rahasia terbongkar

Tangannya berhenti menulis. Matanya berair, bukan karena sedih, tapi karena beban yang begitu besar. Bisakah aku benar-benar melawan Raka? Semua orang mencintainya. Semua percaya padanya. Kalau aku membuka mulut sekarang, aku hanya akan terlihat seperti istri paranoid.

Ia menutup bukunya, menghela napas dalam-dalam. Lalu tatapannya jatuh pada foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Wajahnya tampak bahagia, senyumnya tulus, sementara Raka berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh percaya diri.

Alya berdiri, mendekati foto itu. Tangannya menyentuh wajahnya sendiri dalam gambar. “Aku tidak akan jadi perempuan itu lagi. Aku tidak akan jatuh ke jurang yang sama. Kali ini, semua akan berbeda.”

Esok paginya, Raka kembali memamerkan sisi romantisnya. Ia mengantar Alya ke kantor, bahkan membukakan pintu mobil untuknya. Rekan-rekan Alya yang kebetulan melihat, berdecak kagum. “Suamimu itu perfect banget, Alya,” kata salah satu sahabat kerjanya.

Alya tersenyum kaku, hanya menjawab singkat, “Iya, dia memang perhatian.”

Padahal, di dalam hatinya, kata-kata itu terasa pahit. Perfect? Tunggu saja. Saat topeng itu jatuh, kalian akan tahu siapa sebenarnya Raka Baskara.

Alya masuk ke kantor dengan langkah tegap. Hari-hari sandiwara baru saja dimulai, dan ia harus bersabar. Karena untuk menjatuhkan Raka, ia tidak bisa terburu-buru. Ia harus menunggu waktu yang tepat—dan ia tahu, saat itu akan datang.

Malam itu, rumah tampak begitu tenang. Raka duduk di ruang tamu sambil menonton berita, sementara Alya memilih duduk di meja makan dengan sebuah buku resep terbuka di depannya. Dari luar, pemandangan itu seperti keluarga kecil yang damai—suami santai di sofa, istri sibuk dengan hobi rumah tangga.

Namun di balik wajah tenang itu, Alya sedang bekerja. Ia tidak benar-benar membaca resep. Ia memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan refleksi Raka lewat kaca lemari dapur.

Seperti dugaan, Raka berulang kali meraih ponselnya. Setiap kali notifikasi berbunyi, ia cepat-cepat membuka, lalu mengetik balasan singkat. Senyum tipis selalu muncul di ujung bibirnya setelah itu.

Alya pura-pura menulis catatan resep, padahal ia mencatat jam-jam notifikasi datang. 19.45, 20.10, 20.32. Polanya konsisten, seolah ada seseorang yang sedang aktif berbincang dengannya di jam-jam tertentu.

Selina… kau memang tidak bisa jauh dari Raka, ya? batinnya getir.

“Sayang,” panggil Raka tiba-tiba. “Kamu lagi apa? Kok serius sekali?”

Alya menutup bukunya cepat, lalu tersenyum manis. “Cari ide masakan baru. Biar bisa bikin kejutan buat Mas.”

Raka terkekeh, tampak puas. “Istriku memang berbeda. Perhatian sekali.”

Alya ikut tertawa, padahal dadanya terasa sesak. Ia sudah tahu, semua kata manis itu hanya topeng. Tapi untuk saat ini, ia harus masuk ke dalam permainan itu.

Menjelang tengah malam, saat Raka sudah terlelap, Alya bangkit dari ranjang perlahan. Ia berjalan ke ruang kerja, memastikan pintu terkunci rapat. Dari lemari kecil, ia mengeluarkan buku catatan yang ia sembunyikan.

Dengan cahaya lampu meja, ia menuliskan dengan hati-hati:

Raka aktif balas pesan hampir setiap malam.

Jam 19.30–21.00 paling sibuk.

Senyum selalu muncul setelah balas pesan → kemungkinan lawan bicara orang dekat.

Harus cari cara untuk tahu siapa pengirimnya.

Alya menutup bukunya dengan tangan bergetar. Jantungnya berdebar cepat, seperti baru saja melakukan kejahatan besar. Tapi ia tahu, ini bukan kejahatan. Ini pertahanan diri.

“Kalau dulu aku buta, sekarang aku akan melihat segalanya,” bisiknya pada diri sendiri.

Keesokan paginya, Alya menyiapkan sarapan dengan wajah cerah. Ia menambahkan sentuhan kecil—makanan favorit Raka, kopi hangat, bahkan setangkai bunga di meja. Semua tampak seperti adegan romantis.

Raka turun dari kamar dengan wajah terkejut. “Wah, istri siapa ini? Manis sekali pagi-pagi begini.”

Alya menunduk, pura-pura malu. “Aku cuma ingin bikin Mas bahagia.”

Raka tertawa lebar, merasa semakin menang. Ia duduk, menyantap sarapan dengan lahap. Sesekali ia melirik Alya dengan tatapan penuh kepuasan, seperti pria yang yakin telah menaklukkan hati istrinya sepenuhnya.

Alya ikut tersenyum, tapi di balik itu, matanya menyimpan ketegasan. Tersenyumlah sekarang, Raka. Karena suatu hari nanti, senyum inilah yang akan menghancurkanmu.

Hari itu, Alya resmi menandai langkah barunya: ia bukan lagi istri polos yang mudah dikhianati. Ia adalah pemain sandiwara yang siap bertahan—dan suatu saat, membalikkan permainan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 15 – Keluarga sebagai Medan Pertarungan

    Hari itu rumah besar keluarga Alya dipenuhi riuh rendah suara. Hari Minggu selalu menjadi momen keluarga besar berkumpul, dan seperti biasa, suasana terasa hangat. Di ruang tamu yang luas, para paman, bibi, dan sepupu berkumpul, saling bertukar cerita. Aroma masakan khas Ibunya Alya menyeruak dari dapur, menambah kesan akrab yang sulit ditandingi. Namun di tengah semua kehangatan itu, Alya duduk dengan hati yang bergejolak. Ia tahu, hari ini bukan sekadar pertemuan keluarga. Ini adalah panggung di mana Raka akan berusaha kembali memainkan perannya sebagai menantu ideal, dan ia—Alya—akan memanfaatkan kesempatan untuk menabur benih keraguan. Raka masuk dengan penuh percaya diri, senyumnya ramah, suaranya tenang, sikapnya persis seperti yang selalu dikagumi keluarganya. “Selamat siang semuanya!” sapanya sambil menyalami satu per satu dengan penuh hormat. “Terima kasih sudah mengundang kami.” Beberapa sepupu Alya berbisik kagum, mengomentari betapa beruntungnya Alya memiliki suami sepe

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 14 – Kedok Raka Mulai Retak

    Malam itu rumah terasa begitu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas di ruang tamu. Alya duduk di sofa dengan buku catatan kecil di pangkuannya. Matanya tidak benar-benar membaca catatan yang ada di dalamnya, melainkan sibuk berpura-pura. Ia menunggu. Menunggu sesuatu yang selama ini ia tahu akan datang, meski ia tak bisa memastikan kapan. Raka pulang larut malam. Aroma alkohol samar tercium dari tubuhnya, meski ia berusaha menutupi dengan parfum yang terlalu menyengat. Alya mengangkat kepala perlahan, menatapnya tanpa banyak bicara. “Belum tidur?” tanya Raka datar sambil melepas jasnya. Alya tersenyum tipis. “Nungguin kamu. Aku masakin sup, mau?” “Besok aja, aku capek,” jawab Raka singkat, lalu berjalan menuju kamar. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di meja: amplop kecil berisi dokumen. Alya sengaja menaruhnya di sana, pura-pura lupa membereskan. “Ini apa?” Raka menatap curiga. “Oh, itu? Hanya catatan dari kantor Ayah. Tentang laporan keuangan,

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 13 – Strategi Awal

    Alya duduk di teras rumah orang tuanya, memandangi ayah dan ibunya yang sedang bercengkerama di ruang tamu. Senyum mereka hangat, sama seperti dulu, namun kali ini hatinya terasa berat. Ia tahu, dalam hitungan tahun, kebahagiaan sederhana itu akan direnggut oleh penyakit dan pengkhianatan. “Alya, kenapa melamun?” suara ibunya memecah lamunan. Alya tersenyum, berusaha menutupi gundah. “Nggak, Bu. Aku cuma kangen suasana rumah.” Ayahnya, Pak Surya, tertawa kecil sambil menepuk bahunya. “Rumah ini selalu jadi rumahmu, Nak. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Kata-kata itu menancap dalam hati Alya. Ia tahu, justru rumah dan tanah inilah yang kelak akan diperebutkan. Ia menatap ayahnya lama, lalu berkata pelan, “Ayah, pernah nggak terpikir untuk menyiapkan dokumen warisan sejak dini?” Pak Surya mengernyit, kaget mendengar putrinya tiba-tiba menyinggung hal serius. “Kenapa tiba-tiba bicara soal itu? Ayah masih sehat, kan?” Alya cepat-cepat meraih tangan ayahnya. “Bukan begitu, Yah. Aku

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 12 – Selina yang Mencurigakan

    Matahari sore menembus jendela besar ruang tamu, menyinari lantai marmer rumah dengan kilau hangat keemasan. Alya sedang beres-beres buku catatan keuangan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa was-was tentang kondisi ayah. Namun, dering ponsel bernada ceria milik Selina membuat langkah Alya terhenti di depan kamar tamu. Selina sudah seminggu ini lebih sering datang dengan alasan “kerja sama proyek” dengan Raka. Alya menunduk, pura-pura sibuk merapikan vas bunga di meja kecil dekat pintu, tapi telinganya menangkap jelas suara Selina. “Ya, aku sudah bicara dengan dia… tenang saja. Semua sesuai rencana.” Suara Selina terdengar pelan namun penuh keyakinan. Alya menahan napas. Dia bicara tentang siapa? Tentang Raka? “Astaga, jangan sebut nama! Kita harus hati-hati… kalau sampai bocor, semuanya berantakan.” Jantung Alya berdegup kencang. Ia beringsut sedikit lebih dekat, berusaha tidak menimbulkan suara. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat Selina berjalan mondar-mand

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 11 – Janji pada Ayah

    Pagi itu udara masih lembab setelah semalaman hujan. Alya datang ke rumah orang tuanya lebih awal dari biasanya, membawa beberapa roti hangat dan susu segar. Ia ingin memastikan ayahnya sarapan dengan makanan bergizi, sesuatu yang dulu ia abaikan di kehidupan pertamanya. Ayah sedang duduk di teras, menatap halaman dengan pandangan jauh. Rambutnya yang mulai memutih tampak basah oleh embun, namun sorot matanya masih teduh seperti biasa. Alya berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. “Papa, sarapan dulu ya. Aku bawain roti keju kesukaan Papa.” Ia berusaha tersenyum, menyembunyikan kegelisahan. Ayah menoleh, bibirnya melengkung hangat. “Kamu ini selalu perhatian. Dulu waktu masih kuliah, susah sekali bangun pagi, sekarang malah bawain sarapan untuk Papa.” Alya terkekeh kecil, meski hatinya nyeri. Kalau saja Papa tahu betapa aku dulu terlambat… betapa aku menyesal karena tidak menjaga kesehatanmu lebih baik. Mereka makan bersama di teras, ditemani suara burung gereja yang hinggap di

  • Ku Tentukan Takdirku    Bab 10 – Luka dalam Senyum

    Langkah Alya terasa ringan saat memasuki halaman rumah orang tuanya. Udara sore dipenuhi aroma tanah basah setelah hujan, membawa kenangan masa kecil yang selalu menenangkan. Rumah itu sederhana namun hangat, penuh dengan kenangan yang tidak pernah pudar meski ia kini telah berumah tangga.Ibunya menyambut dengan senyum lebar, meski kerutan di wajahnya semakin jelas. “Alya sayang, akhirnya sempat mampir juga. Mama masak sayur asem kesukaanmu.”Alya memeluk sang ibu erat-erat. Kehangatan itu menembus sampai ke dadanya, membuatnya ingin menangis. Setelah semua kecurangan dan pengkhianatan yang ia hadapi di balik pernikahan, berada di rumah ini seakan mengingatkannya bahwa masih ada cinta yang tulus.Di ruang tengah, ia melihat ayahnya duduk di kursi rotan, memegang koran yang sebagian sudah terlipat. Dari kejauhan, Alya menangkap perubahan kecil—ayahnya tidak lagi tegap seperti dulu. Tubuhnya terlihat lebih kurus, tangannya gemetar sedikit saat mencoba membalik halaman koran.“Papa…” Al

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status