Lorong rumah sakit pagi itu sepi, hanya suara langkah kaki dan roda brankar yang sesekali melintas. Gladys berjalan gontai dengan map administrasi di tangan. Tubuhnya lelah, wajahnya pucat, matanya sembab karena semalaman tak tidur. Ia baru saja menandatangani serangkaian formulir perawatan, hatinya masih bergetar setiap mengingat Gavin semalam—demam tinggi, tubuh mungilnya kejang, bibirnya membiru.Itu pengalaman paling menakutkan sepanjang hidupnya hingga ia yang merasa akan dicabut nyawa. Gavin, anak yang selalu sehat, ceria, tak pernah sekalipun demam sampai setinggi itu. Padahal baru beberapa hari mereka kembali ke tanah air, dan cobaan sudah datang menghantam begitu keras.Gladys menghela napas panjang. Yang ia inginkan hanya cepat sampai ke kamar Gavin, memeluk anaknya, memastikan semuanya baik-baik saja. Pandangannya kabur karena lelah, langkahnya goyah. Sampai tiba-tiba—Brak!Ia hampir saja menabrak seseorang di tikungan lorong. Map di tangannya hampir terjatuh. “Maaf…” suar
“Pak, apa Gladys benaran tidak apa-apa?”Tyo berdiri di sisi mobil, memandang Gunawan yang ia antar menuju mobilnya. Pria itu juga pamit pulang lebih dulu karena tidak ada lagi urusan.Sebenarnya sejak tadi Tyo ingin bertanya, tetapi ia canggung karena ada banyak orang bersama mereka. Karenanya, ia memutuskan menemani Gunawan sampai mobilnya.Gunawan menoleh sekilas, menahan pintu mobil yang sudah dibukakan sopir. Pria lebih dari setengah abad itu mengangkat kedua tangannya.“Saya hanya tahu seperti apa yang dia katakan di depan Anda tadi,” jawabnya singkat. “Tidak lebih, tidak kurang.”“Tapi sejauh ini semuanya berjalan lancar, bukan?”“Urusan di kantor sih, lancar. Nak Gladys belajar dengan cepat. Mungkin karena darahnya juga mengaliri darah pebisnis, jadi sudah terbentuk dengan sendirinya. Hanya masih kurang jam terbang saja.”“Oh, tidak-tidak. Menurutku bukan hanya karena mengaliri darah Pak Satrio, tapi ia juga memiliki tekad dan dedikasi tinggi. Kalau cuma genetik, semua keturun
“Hai, Gladys.”Suara Tyo terdengar rendah namun jelas. Sepasang mata elangnya menatap Gladys. Bukan tatapan tajam, melainkan tatapan dalam yang sempat membuat Gladys membeku. Seolah kembali ke masa-masa saat tatapan itu begitu hangat dan menentramkan.Gladys terdiam sepersekian detik, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia kaget, tak menyangka Tyo akan menyapanya langsung di hadapan banyak orang. Namun ia cepat menguasai diri. Tersenyum tipis, suaranya tenang.“Saya baik. Sangat baik.”Tyo mengangguk pelan, sorot matanya tak terbaca. “Syukurlah. Aku senang mendengarnya. Semoga kamu selalu baik-baik saja.”Kalimat itu singkat, namun bagai palu yang menghantam batin Gladys. Sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, Tyo segera kembali menghadapkan dirinya pada Gunawan.“Pak Gunawan, saya ingin sekali bergabung dengan kalian malam ini. Tapi saya tidak bisa meninggalkan dia sendirian.” Ia menoleh sekilas, menunjuk ke arah Brenda yang tersenyum manis dari mejanya.Gunawan dengan ramah mengangguk.
Kaca mobil memantulkan wajah Gladys yang pucat. Jemarinya menekan pelipis yang berdenyut, seolah ingin meredam tekanan yang kian menghantam pikirannya sejak meninggalkan makam ayahnya.Ucapan penjaga makam terus terngiang di telinganya: seorang pria tinggi, selalu mengenakan kacamata hitam dan masker setiap datang ke sana. Identitas yang sama sekali tak membantu, justru menambah teka-teki.Lebih mengejutkan lagi, ternyata bukan hanya pria itu. Dua wanita juga pernah datang. Satu berusia muda, satu lagi lebih tua. Mereka berjongkok lama, berdoa di hadapan nisan Satrio Wiradarma, ayahnya. Penjaga itu mengatakan, mereka datang tidak sesering pria berkacamata hitam, tapi cukup untuk meninggalkan tanda tanya besar di benak Gladys.“Siapa mereka sebenarnya, Pi?” gumamnya pelan sambil menatap keluar jendela mobil. Jalanan pagi yang padat hanya menjadi bayangan kabur di matanya.Ia memijat kening sekali lagi, rasa nyeri seperti menyambar saraf kepalanya. Baru beberapa hari ia kembali ke tanah
Gladys pikir urusannya dengan Garnetha sudah selesai. Atau mungkin sebenarnya ia tidak punya urusan apa pun dengan wanita itu?Ya, seharusnya memang tidak. Setelah Tyo memenjarakan Rajendra dan Alvin, lalu semua aset kembali ke tangannya, seharusnya ia memang tak memiliki urusan lagi dengan keluarga itu. Seharusnya Garnetha cukup tahu diri dengan tidak datang menemuinya lagi. Apalagi untuk meminta bantuan. Tapi nyatanya perempuan itu lebih tidak tahu diri dari yang ia pikir.Seharusnya penolakannya barusan juga membuat Garnetha berpikir ulang untuk terus mengganggunya. Tapi nyatanya….“Gladys… tolong, Nak, jangan seperti ini.” Lagi, tangan wanita yang menyusulnya itu meraih tangannya yang hendak membuka pintu. “Jangan perlakukan Tante seperti ini, Nak. Bukankah kita ini keluarga?”Gladys menghentikan gerakannya. Sungguh, ia sudah sangat muak. Selain tidak punya malu, Garnetha juga tidak tahu diri. Keluarga? Ia menyebut dirinya keluarga?Ingin rasanya Gladys meludah di wajah itu, tetap
“Garnetha?”Suara Gladys tercekat di tenggorokan. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja ditikam kenyataan yang tak masuk akal. Untuk beberapa detik ia hanya bisa terpaku, menatap sosok yang berdiri di depan mobil dengan tangan terentang, seakan sengaja menghalangi jalan.Sopirnya ikut menoleh gugup. “Non, bagaimana ini? Apa perlu saya mundur?” tanyanya cemas.Gladys tidak segera menjawab. Matanya masih terpaku pada tubuh kurus wanita itu. Garnetha—istri pamannya. Orang yang pernah berdiri angkuh di sisinya, ikut mengusirnya dari rumah, merampas semua hak yang seharusnya diwariskan sang ayah. Dan kini, wanita itu berdiri di hadapannya dalam rupa yang begitu jauh berbeda. Rambutnya awut-awutan diikat asal, wajahnya pucat tanpa riasan, dan pakaian lusuh kebesaran melekat di tubuh yang tampak renta sebelum waktunya.Hati Gladys berdesir aneh. Antara tidak percaya, benci, sekaligus iba. Tapi ia buru-buru menegakkan tubuh, mencoba menghalau rasa yang tak seharusnya.“Tidak!” katanya