Dengan panik Gladys berlari ke arah lift. Entah kekuatan dari mana kakinya bisa bergerak cepat. Suaranya parau bergetar saat memanggil sahabatnya.“Monica! Monica, tunggu!”Namun Monica yang sudah berdiri di depan lift tampak sibuk menempelkan ponsel di telinga. Ia tidak mendengar teriakan Gladys. Pintu lift terbuka, tubuhnya masuk dengan tenang, lalu pintu itu menutup rapat sebelum Gladys sempat menyusul.Gladys terhenti tepat di depan pintu logam dingin itu, napasnya memburu, air matanya tumpah lagi tanpa bisa dikendalikan. Tangannya menempel di pintu lift, tubuhnya gemetar hebat.Tyo mendekat, bingung. “Gladys, apa yang sebenarnya kamu pikirkan?”Gladys menoleh dengan wajah pucat, matanya merah penuh air. Suaranya bergetar lirih, hampir seperti bisikan.“Tyo… aku rasa Monica tahu sesuatu tentang Gavin.”“Maksudmu?” kening Tyo berkerut.“Monica tidak punya bayi. Ia sudah menikah tiga tahun tapi belum mengandung juga. Dan tadi dia membawa perlengkapan bayi. Bukankah itu mencurigakan?
Gladys keluar dari unit Rafael dengan langkah gontai, seakan seluruh tenaga terkuras bersama air matanya. Hatinya hampa, dadanya sesak. Tidak ada jejak Gavin di sana, hanya amarah Tyo dan kemarahan Rafael yang saling bertubrukan. Padahal ia datang untuk mencari anaknya, bukan untuk menambah luka baru.Lorong panjang menuju lobi terasa begitu dingin, lampu-lampunya menyilaukan mata yang masih basah. Setiap langkah bagai menambah beban di pundaknya. Sesekali ia harus berhenti menarik napas panjang, mencoba menahan tubuhnya agar tidak ambruk di tempat. Tyo yang mencoba membantunya, beberapa kali ia tepis.Ketika akhirnya ia melewati pintu kaca menuju lobi, tubuhnya tak sengaja bertabrakan dengan seseorang yang baru masuk. Tubuh Gladys terhuyung, sementara bungkusan belanjaan yang dibawa orang itu berhamburan ke lantai. Kaleng, botol susu, dan sebungkus popok kecil berguling di kakinya.“Oh, maaf… maaf sekali,” ucap Gladys tergopoh, segera berjongkok untuk membantu memungut barang-barang
Tyo masih terengah, amarahnya belum reda sepenuhnya. Saat Rafael berlari menjauh, ia menoleh cepat pada Gladys, matanya menyala.“Aku sudah bilang, jangan buang waktu dengan orang itu! Kau malah bicara panjang lebar, untuk apa?!” suaranya bergetar, penuh tuduhan.Gladys membuang pandangan, enggan menanggapi. Sudah terlalu lelah memikirkan Gavin yang tak kunjung ketemu, masih harus meladeni kecemburuan Tyo yang sejak dulu tak berdasar. Dadanya sesak, tapi ia tahu, kalau saat ini ia menuruti emosi, semuanya hanya akan makin kacau. Tanpa sepatah kata, ia melangkah masuk kembali ke lobi apartemen, meninggalkan Tyo yang mendengus frustrasi.Dengan langkah gemetar, Gladys kembali mendatangi meja pengelola. Wajahnya sudah tak bisa lagi menutupi kegetiran—mata merah, air mata belum kering, dan nada suaranya pecah.“Baik. Kalau tadi kalian minta satu nama, sekarang aku punya. Rafael Sanjaya.”Kepala pengelola yang sedang menulis sesuatu di atas meja kontan terlonjak. Pulpen di tangannya hampir
Lobi apartemen itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang dingin, berkilau, namun tak memberi sedikit pun kehangatan. Tyo berdiri di depan meja resepsionis, kedua tangannya menekan kuat permukaan marmer seolah berusaha meredam gejolak di dadanya. Wajahnya memerah, matanya penuh amarah.“Dengar baik-baik! Kami datang bukan untuk main-main!” suara Tyo pecah, hampir bergetar. “Anak kami hilang, dan semua petunjuk mengarah ke tempat ini. Ada kemungkinan besar dia disekap di salah satu unit apartemen kalian. Tolong, izinkan kami masuk atau setidaknya periksa!”Resepsionis muda itu menelan ludah, gugup, lalu menoleh pada seorang pria bersetelan rapi—kepala pengelola apartemen—yang sejak tadi ikut mendengarkan. Pria itu menghela napas panjang, kemudian melipat tangan di dada.“Pak, Bu,” katanya tenang tapi tegas. “Saya mengerti kegelisahan Anda. Tapi tolong pahami posisi kami. Kami tidak bisa memproses permintaan seperti ini hanya berdasarkan prasangka. Anda bahkan tidak bisa menyebutkan unit ma
Tyo menatap adiknya lama, seperti ingin menembus isi kepala Bintang. Namun sebelum ia sempat mengucapkan kata-kata yang lebih tajam, Bintang cepat angkat bicara.“Kak, yang terpenting sekarang adalah mencari anakmu,” ujarnya dengan nada mendesak. “Aku tidak menemukan ada tanda-tanda mencurigakan di rumah. Mama memang drop lagi kesehatannya, hampir sepanjang hari hanya terbaring. Aku juga sudah menyadap panggilan masuk ke telepon rumah, tapi kalau HP Mama … aku belum punya kesempatan.”Nada Bintang bergetar ketika menambahkan, “Dan … Papa marah-marah terus. Dia menyalahkan kita. Seolah semua ini gara-gara kita tidak bisa menjaga perasaan Mama.”Tyo memejamkan mata sejenak. Napasnya berat, seperti menahan ledakan frustrasi. “Aku tahu,” desisnya. “Aku juga tidak ingin memperburuk keadaan Mama. Itu sebabnya … aku belum melapor polisi.”Bintang menatapnya tajam. “Tapi, Kak … bagaimana kalau pelakunya bukan Mama?”Pertanyaan itu membuat Tyo seketika menoleh, sorot matanya menusuk. “Apa maks
Tyo berdiri terpaku di sisi sofa. Sesaat ia hanya memandang tubuh lemah itu yang meringkuk dengan mata terpejam. Wajah Gladys pucat, sembab, dan penuh jejak air mata. Sesekali tubuhnya bergerak gelisah, namun akhirnya terlelap juga karena kelelahan.Dengan hati-hati, Tyo menarik selimut dan menyelimutinya. Gerakannya pelan, seakan takut membangunkan wanita yang akhirnya mendapatkan sedikit istirahat itu. Napas Gladys masih berat, bibirnya pucat karena seharian belum menyentuh makanan.Tyo berdiri menatapnya cukup lama, lalu mengembuskan napas berat. Hatinya semakin perih. Ada luka yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: kehilangan anak yang baru saja ia sadari sebagai bagian dari hidupnya.Di mana Gavin sekarang? Siapa sebenarnya yang menculiknya? Tidakkah orang itu punya perasaan? Memisahkan bayi dari ibunya adalah perbuatan keji. Gladys bahkan sejak tadi menceracau jika Gavin takut tidak diberi makan dan susu dengan benar. Dan itu pula yang ia rasakan. Bagaimana jika anak itu kelap