“Papi… apa yang barusan Papi katakan?”
Suara Gladys bergetar. Tubuhnya limbung, seperti kehilangan tulang-tulang yang menyangga dirinya. Namun, ia tetap bertahan duduk di dekat sang ayah, menatap wajah Satrio yang semakin pucat dan tersengal saat bernapas. Di sekelilingnya, pesta yang semula meriah kini berubah jadi sirkus kekacauan.
Tatapannya beralih cepat ke arah Tyo. Pengawal yang dua tahun belakangan berkerja untuk keluarganya. Wajah pria itu datar seperti patung batu. Tapi bagi Gladys, justru ketenangan itu yang membuat dadanya kian sesak. Ia tidak tahu, tak bisa menebak, seperti apa isi hati pria yang kini dinginkan sang ayah untuk menikahinya.
“Menikah? Dengan Tyo?” bibir Gladys bergetar. Suaranya lebih mirip bisikan ketakutan daripada pertanyaan.
Satrio mencoba mengangguk. Gerakannya sangat pelan, penuh perjuangan. “Ya, menikahlah dengan Tyo. Dia … pemuda baik. Ini permintaan terakhir Papi ….”
“Tidak! Aku mohon jangan berkata seperti itu, Pi.” Gladys menggeleng kuat. Kata-kata sang ayah sangat menakutkan.
“Tapi Papi sudah tidak kuat, Adys ….”
“Kalau begitu kita ke rumah sakit!”
“Tidak Adys, tolong kabulkan permintaan papi. Ini demi kebaikanmu ….”
“Tapi ini gila, Pi.” Gladys menggeleng lagi, setengah berbisik, setengah menangis. “Papi, aku tahu sudah mengecewakan. Tapi jangan seperti ini, kita harus ke rumah sakit! Jangan bicarakan pernikahan sekarang ….”
Ia berdiri terburu-buru, mengangkat gaunnya. Tapi tangan tua ayahnya lebih dulu menggenggamnya—erat dan bergetar. Matanya yang lelah dan berkaca-kaca menatap Gladys, membuat dada gadis itu terasa seperti diremas dari dalam.
“Tolong, Adys … ini satu-satunya cara Papi pergi dengan tenang. Waktu Papi … tak banyak lagi.”
Dunia Gladys terasa runtuh. Ia putus asa. Segalanya bercampur—kesedihan, ketakutan, kemarahan. Kepalanya penuh oleh bayangan sang ayah yang sakit, Rafael yang menghancurkan masa depannya, dan sekarang, pernikahan dengan seorang pengawal yang bahkan tak pernah ia ajak bicara lebih dari dua kalimat.
Ia menggigit bibirnya dalam-dalam, sampai terasa asin darah. “Tyo … bagaimana mungkin aku harus menikah dengannya, Pi? Aku bahkan tak mengenalnya.”
Dan sebelum sempat ia lanjutkan kalimatnya, suara Rajendra, pamannya, menggelegar memecah ruang.
“Tidak bisa! Kamu gila, Sat?!”
Semua orang menoleh kaget. Tetamu yang berkerubung, menyingkir memberi ruang untuk Rajendra.
“Menikahkan anakmu dengan pengawal? Kalau memang Gladys harus menikah, pilih putraku! Alvin lebih pantas dibanding Tyo yang tak selevel dengan keluarga kita!”
Keributan pecah. Beberapa tamu bergumam pelan, saling bicara satu sama lain. Beberapa lagi terkejut. Tapi Satrio tak peduli. Dengan napas beratnya, ia menatap Jendra tajam meski matanya mulai buram.
“Gladys tidak akan kuserahkan padamu, Jendra … atau pada siapa pun dari keluarga kalian. Aku tahu apa yang kalian inginkan.”
Lalu, ia memalingkan wajahnya ke Tyo. “Tyo…”
“Siap, Pak.” Suara Tyo dalam dan mantap, meski ekspresinya tetap datar.
“Jangan biarkan mereka membawa Gladys, nikahi dia sekarang juga. Dan semua utangmu … lunas.”
Gladys memekik. Air matanya jatuh. “Papi, jangan bicara seperti ini! Kenapa Papi begitu keras kepala?!”
Ia terhuyung. Dunia seperti berputar. Nafasnya tersengal. Kenapa ayahnya percaya begitu dalam pada Tyo? Bahkan saat jantungnya sendiri mungkin tak sanggup berdetak beberapa menit lagi?
“Sat, kau sinting! Dia cuma kacungmu! Kalau kau meninggal, dia akan merampok warisan Gladys!” Rajendra kembali berteriak. “Dia hanya pengawal miskin yang berutang banyak sama kamu. Dia akan menghabiskan hartamu untuk membayar utang keluarganya!”
“Cukup!” Gladys menjerit. Tangannya menutup telinga, mencoba menghentikan semua suara yang membuatnya hancur. “Aku bukan barang yang bisa dipindah tangankan seenaknya! Aku bukan barang lelang! Aku manusia! Aku punya hak atas hidupku!”
Ia menangis pedih. Bibirnya gemetar. “Aku … aku tidak ingin menikah hari ini. Tidak dengan siapa pun. Tidak dengan Tyo … dan tidak dengan Alvin!”
Semua orang terdiam. Sebagian kasihan, dan sebagian lainnya … entah.
Lalu … jeritan itu terdengar. Tapi bukan dari amarah. Kali ini, jeritan panik. Jeritan ketakutan.
Satrio—ayahnya—terkulai. Matanya membelalak, dadanya naik turun tak terkendali. Tangannya melemah, terlepas dari genggaman Gladys. Gadis itu langsung menjatuhkan diri di sampingnya, memeluk ayahnya erat-erat.
“Papi! Papi, jangan! Tolong panggil dokter! Tolong …!”
Tapi bahkan saat tubuhnya kejang ketakutan, Satrio masih menatapnya dengan senyum lemah. “Gladys … janji pada Papi .…”
Dan di titik itulah, Gladys merasa semuanya pecah.
Dengan tubuh gemetar, air mata yang tak henti jatuh, dan hati yang hancur, ia mengangguk pelan.
**
“Sah….”
Satu kata yang terdengar nyaring dalam keheningan. Gladys tak bereaksi. Hatinya kering, hampa, seperti tak ada darah yang mengalir dalam dirinya. Di sisinya, ayahnya berbaring dengan masker oksigen menutupi wajah. Matanya sudah terpejam, seolah berada di antara dunia dan akhir.
Petugas MUA masih mencoba merapikan rambut dan riasan wajah Gladys, tapi ia tak peduli. Bibirnya bergetar, tidak karena gugup, tapi karena menahan luka yang tak sanggup dijelaskan.
Tyo berdiri di sampingnya. Tegap. Diam. Entah bagaimana, kehadiran pria itu seperti dinding tak kasatmata yang membatasi antara kenyataan dan kehancurannya.
Tatapan tajam Rajendra, bisik-bisik para tamu, semuanya tak berarti. Satu-satunya yang Gladys lihat adalah wajah Satrio, yang kini tersenyum samar.
“Selamat, Sayang … kamu sudah menikah. Tugas Papi … selesai.”
Gladys menunduk, menciumi tangan ayahnya berkali-kali. Air matanya membasahi punggung tangan keriput itu.
“Jangan bilang begitu, Papi. Aku akan jaga Papi. Kita belum selesai, kan? Kita masih bisa bersama.”
Tapi ayahnya hanya tersenyum samar. “Berbahagialah, Sayang .…”
Berbahagia?
Gladys memejam. Berbahagia? Bagaimana ia bisa bahagia di saat semuanya sudah hancur berantakan? Impiannya menikah dengan Rafael telah sirna. Dan Tyo? Ah, ia bahkan tidak tahu kehidupan seperti apa yang akan dijalani dengan pengawal itu.
Satrio menarik napas lagi. Panjang, berat, lalu menatap Tyo.
“Tyo… di dunia ini, aku cuma percaya padamu. Aku bisa pergi, karena sudah menyerahkan Gladys padamu.”
Gladys menahan napas, sementara Tyo hanya menunduk perlahan.
“Jangan tinggalkan dia, apa pun yang terjadi. Kamu mungkin akan kewalahan dengan sifatnya yang manja, tapi hatinya lembut. Kalau sudah percaya … dia akan berikan segalanya.”
Tyo mengangguk. Tegas. Tapi tetap tanpa kata.
Satrio tersenyum samar untuk terakhir kalinya. “Tolong … jaga Gladys ….”
Tarikan napas terakhir itu datang. Dalam. Lambat. Lalu menghilang bersama mata Satrio yang perlahan tertutup.
“A-apa maksud kalian?!” Suara Gladys pecah meski gemetar. “Ini rumahku! Rumah keluargaku!”Salah satu petugas maju dengan sikap tenang tapi tak bisa disangkal ketegasannya. “Maaf, Bu. Kami hanya menjalankan putusan pengadilan. Mohon kerjasamanya.”“Tidak! Ini tidak masuk akal! Kalian pasti salah!” Gladys melangkah mundur, matanya liar menatap surat di tangannya. “Ayahku tidak mungkin….”"Surat itu sah, Bu," ujar pria itu datar. "Utang almarhum Tuan Satrio pada beberapa perusahaan dan bank sudah jatuh tempo. Tidak ada pembayaran. Proses hukum sudah berjalan. Hari ini rumah ini resmi disita.""Tidak! Kalian bohong!" jerit Gladys, memelintir surat di tangannya. "Ayahku tidak mungkin membiarkan ini terjadi! Papi tidak akan mewariskan kekacauan seperti ini padaku!"Tyo melangkah cepat ke arahnya dan mencoba menahan tubuh Gladys yang mulai bergetar tak terkendali. “Nona Gladys, tolong tenang dulu….”"Tidak! Aku tidak akan keluar dari sini! Ini rumahku! Ini kenangan ayahku… semua hidupku di
Alvin menarik kursi kayu dan duduk tepat di depan Gladys. Wajahnya tampak lembut, mata gelapnya memantulkan ketulusan yang seolah bukan kepura-puraan. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, lalu tersenyum kecil."Aku tahu ini berat buatmu, Kak," ucap Alvin pelan. "Tapi Mama dan aku di sini bukan untuk menghakimi atau menyakiti."Gladys menatap pemuda seusia dengannya itu. Ia belum bicara. Hanya menggenggam jemarinya sendiri erat-erat di atas pangkuan.“Kak, kamu gadis baik. Tidak seharusnya menghabiskan hidup dengan orang-orang yang cuma tahu bagaimana menyakitimu.”Ada guncangan di dada Gladys. Bukan karena simpati mereka, melainkan karena betapa persuasifnya semua ini. Seandainya ia adalah Gladys yang dulu, yang mudah percaya, mudah berharap, mungkin ia sudah luluh."Aku cuma ingin tenang.” Suara Gladys nyaris tak terdengar. Ia menunduk. “Tapi rasanya semua orang datang hanya untuk memaksa dan mengambil.""Tidak semua," balas Alvin cepat. "Aku dan Mama datang bukan untuk itu."Gar
“Menjauh dari istriku, Pak Rajendra!”Suara Tyo terdengar rendah namun mengancam. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam.Rajendra berbalik, mendengus sinis. “Istri? Kau pikir kau pantas menyebutnya begitu? Dasar lelaki tak tahu diri. Kau pikir aku tidak tahu alasanmu menikahi Gladys? Cuma demi harta, kan?”Tyo melangkah masuk. Tubuhnya yang menjulang membuatnya sedikit menunduk saat berdiri di depan Rajendra.“Saya tidak peduli apa penilaian Anda. Tapi saya tidak akan membiarkan Anda menekan Gladys lagi.”Rajendra tertawa mengejek. “Hah! Gaya bicaramu seperti pahlawan. Padahal kau cuma kacung yang numpang hidup! Dasar lelaki parasit!”Gladys menahan napas. Hatinya berdegup tak karuan. Meski Tyo hanya seorang pengawal, tetapi rasanya tidak pantas Jendra berkata demikian. Bagaimanapun, Tyo adalah suaminya sekarang. Ia tidak numpang hidup. Ia bekerja di rumah itu. Dan Jendra tidak dirugikan apa pun, bukan?“Aku tidak akan pergi sampai anak sialan ini tanda tangan!” Rajendra melangkah
Dinginnya lantai rumah sakit menembus hingga ke tulang Gladys, namun ia tak menggubrisnya. Gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya kini tampak kusut dan kotor. Ujung gaunnya yang menjuntai anggun kini menyeret di lantai, nyaris menyerupai kain pel.Di depan ruang tindakan, ia duduk menggigil.Matanya sembap, jantungnya berdegup liar, dadanya sesak seakan tak ada udara yang cukup untuk bernapas. Detik-detik menunggu kabar dari dokter terasa seperti hukuman abadi.“Bocah bodoh!” Rajendra—sang paman—terus mengumpat. “Ayahmu syok karena kamu berulah dan membuat Rafael mencampakkanmu. Sampai-sampai dia gila sesaat dan menyuruhmu menikahi pesuruhnya.”Tak ada empati sama sekali meski kini kakaknya dalam penanganan dokter.“Seharusnya kamu bisa bersikap waras dengan menolak, apalagi sudah aku bantu,” lanjut Rajendra. “Tapi ternyata kamu sama gilanya seperti ayahmu.”Gladys menoleh, tatapannya kosong namun dalam. Ingin sekali ia menjawab. Ingin sekali ia teriak bahwa semua ini bukan sal
“Papi… apa yang barusan Papi katakan?”Suara Gladys bergetar. Tubuhnya limbung, seperti kehilangan tulang-tulang yang menyangga dirinya. Namun, ia tetap bertahan duduk di dekat sang ayah, menatap wajah Satrio yang semakin pucat dan tersengal saat bernapas. Di sekelilingnya, pesta yang semula meriah kini berubah jadi sirkus kekacauan.Tatapannya beralih cepat ke arah Tyo. Pengawal yang dua tahun belakangan berkerja untuk keluarganya. Wajah pria itu datar seperti patung batu. Tapi bagi Gladys, justru ketenangan itu yang membuat dadanya kian sesak. Ia tidak tahu, tak bisa menebak, seperti apa isi hati pria yang kini dinginkan sang ayah untuk menikahinya.“Menikah? Dengan Tyo?” bibir Gladys bergetar. Suaranya lebih mirip bisikan ketakutan daripada pertanyaan.Satrio mencoba mengangguk. Gerakannya sangat pelan, penuh perjuangan. “Ya, menikahlah dengan Tyo. Dia … pemuda baik. Ini permintaan terakhir Papi ….”“Tidak! Aku mohon jangan berkata seperti itu, Pi.” Gladys menggeleng kuat. Kata-kat
Ia akan menikah dan hari ini akan menjadi hari bahagianya. Atau itulah yang tadinya dipikirkan oleh Gladys.“Selamat siang, semua.” Pria dengan beskap putih bersulam emas itu berdiri di panggung pelaminan. Gladys mengamati calon suaminya yang tengah menyapu hadirin dengan pandangannya yang penuh percaya diri. “Saya mohon waktunya sebentar.”Hening.Gladys berpikir bahwa calon suaminya akan kembali mengungkapkan rasa terima kasih dan syukurnya, serta betapa pria itu mencintai Gladys meski mereka sudah berpacaran selama bertahun-tahun. Sampai pada akhirnya, mereka sampai di hari ini.Namun, ternyata Gladys salah. “Saya Rafael Sanjaya, dengan ini … secara sadar membatalkan pernikahan saya dengan Gladys Maharani Wiradarma.”Jantung Gladys terasa seperti berhenti berdetak. Suara calon suaminya itu mantap, lantang, tanpa getar, tanpa ragu sama sekali. Memantul ke seluruh ruangan megah tempat acara pernikahan digelar. Para tamu yang sebelumnya tersenyum, kini membatu. Musik pengiring peng