“Papi…” Suara Gladys bergetar. “Apa yang Papi katakan?” Tatapan tak percayanya kini terarah pada sang ayah.
Tatapan itu kemudian beralih pada Tyo, pengawal berbadan tegap yang dua tahun belakangan bekerja untuk keluarganya. Wajah Tyo membeku. Sayangnya, ekspresinya tetap datar seperti biasa hingga sulit menyelami hatinya.
“Papi … apa yang barusan Papi katakan?” Suara Gladys bergetar, tubuhnya limbung namun tetap bertahan duduk di dekatnya.
“Menikah? Dengan Tyo?” Gladys masih berusaha tidak mempercayai pendengarannya.
Satrio berusaha mengangguk. Napasnya kini terdengar berat saat berucap, “Ya, menikahlah dengan Tyo. Dia … pemuda baik ….”
Gladys mematung. Ia bagai disambar petir untuk kedua kalinya.
Setelah Rafael menghancurkan seluruh hidup dan harga dirinya di depan ratusan tamu undangan, kini sang ayah malah memintanya menikah dengan … pengawalnya sendiri?
“Apa kamu sudah gila, Sat?!” Suara Jendra menggelegar. Ia tampak tidak terima. Pikir pria itu, kakaknya sangat tidak masuk akal. “Menikahkan anakmu dengan pengawal? Itu bukan hanya ide konyol, tapi juga gila! Bisa-bisanya kamu lebih memilih pengawal yang tidak level dengan keluarga kita dibandingkan putraku yang lebih pantas!”
Meski mendapati penolakan yang kuat, Satrio menoleh ke arah pengawalnya.
“Tyo.”
Pria bertubuh tinggi menjulang yang sejak tadi berdiri di belakangnya maju dengan cepat.
“Siap, Pak.” Suara Tyo dalam dan tegas, meski ekspresinya tetap datar.
“Nikahi putriku, dan semua utangmu … lunas,” ucap Satrio. Napasnya mulai terdengar berat ketika menambahkan dalam sebuah bisikan, “Jangan biarkan mereka membawa Gladys.”
“Sat, kau sinting!” Jendra kembali membentak. “Tyo cuma kacungmu! Kalau kau meninggal, dia akan merampok warisan Gladys!”
“Dia tidak akan melakukan itu,” sahut Satrio. Meski pelan, suaranya terdengar tegas.
Rajendra tertawa. “Naif sekali kamu! Dia hanya pengawal miskin yang berutang banyak sama kamu. Dia akan menghabiskan hartamu untuk membayar utang keluarganya! Akan berbeda jika Gladys menikah dengan Alvin!”
“Cukup!” Tiba-tiba Gladys menjerit. Tangannya menutup telinga, mencoba menghentikan semua suara yang membuatnya hancur. “Aku bukan barang yang bisa dipindah-tangankan seenaknya! Aku bukan barang lelang! Aku manusia! Aku punya hak atas hidupku!”
Ia menangis pedih. Bibirnya gemetar. “Aku … aku tidak ingin menikah hari ini. Tidak dengan siapa pun. Tidak dengan Tyo… dan tidak dengan Alvin!”
Semua orang terdiam. Sebagian kasihan, dan sebagian lainnya … entah.
“Gladys. Nak,” panggil Satrio. Tangannya terulur ke arah sang putri.
“Ini gila, Pi.” Suara Gladys setengah berbisik, setengah menangis saat Satrio menyentuh bahunya. “Aku tahu sudah mengecewakan Papi. Bahkan hatiku sangat sakit. Rafael tidak datang memenuhi janjinya. Tapi, bukan berarti aku tetap harus menikah hari ini juga dengan sembarang pria, bukan?”
Satrio memejamkan matanya. Dadanya semakin sesak. Mulutnya terbuka lebar.
“Papi…” Gladys yang melihat sang ayah tidak baik-baik saja mulai panik. “Papi tidak apa-apa?” tanyanya seraya meraba dada Satrio yang naik turun berat.
“Kita ke rumah sakit,” ujarnya saat teringat penyakit jantung sang ayah.
Ia berdiri terburu-buru, mengangkat gaunnya. Tapi tangan tua ayahnya lebih dulu menggenggamnya—erat dan bergetar. Matanya yang lelah dan berkaca-kaca menatap Gladys, membuat dada gadis itu terasa seperti diremas dari dalam. Terlebih saat napas sang ayah semakin tersengal.
“Tolong, Adys… menikahlah hari ini juga, dengan Tyo. Ini demi kebaikanmu…”
Satrio menekan dadanya dengan kedua tangan, berharap dengan begitu paru-parunya lebih banyak menerima oksigen.
Gladys menggeleng. Kebingungan seolah menggulungnya. Ia marah, kesal. Bagaimana dalam kondisi seperti ini sang ayah masih memikirkan pernikahan? Tidakkah yang terpenting sekarang adalah kesehatannya–
Bruk!
Tiba-tiba Satrio ambruk. Tubuhnya nyaris menyentuh lantai apabila tidak ditangkap dengan sigap oleh Tyo. Mata ayah Gladys membelalak, dadanya naik turun tak terkendali.
Melihat itu, Gladys langsung menjatuhkan diri di sampingnya, memeluk ayahnya erat-erat.
“Papi! Papi, jangan! Tolong panggil dokter! Tolong…!”
Tapi bahkan saat tubuhnya kejang ketakutan, Satrio masih menatapnya dengan senyum lemah. “Gladys… janji pada Papi…”
Dan di titik itulah, Gladys merasa semuanya pecah.
Dengan tubuh gemetar, air mata yang tak henti jatuh, dan hati yang hancur, ia mengangguk pelan.
*
“Sah…”
Satu kata yang terdengar nyaring dalam keheningan. Gladys tak bereaksi. Hatinya kering, hampa, seperti tak ada darah yang mengalir dalam dirinya. Di sisinya, ayahnya berbaring dengan masker oksigen menutupi wajah. Matanya sudah terpejam, seolah berada di antara dunia dan akhir.
Petugas MUA masih mencoba merapikan rambut dan riasan wajah Gladys, tapi ia tak peduli. Bibirnya bergetar, bukan karena gugup, tapi karena menahan luka yang tak sanggup dijelaskan.
Sesungguhnya, Gladys menolak menikah bukan karena Tyo seorang pengawal, tapi karena ia bahkan tidak mengenal pemuda itu selain orang yang bekerja untuk keluarga mereka.
Gladys bahkan berkali-kali mencubit kulitnya sendiri untuk memastikan jika ia tidak sedang bermimpi. Semua yang terjadi ini begitu cepat hingga sulit rasanya mempercayainya.
Ia yang hari ini harusnya tengah berbahagia bersanding dengan Rafael, tetapi yang terjadi justru di luar dugaan. Semua kacau, semua hancur tak tersisa. Gladys menikahi sosok asing dan ayahnya yang keras kepala kini tampak tersiksa karena syok yang beliau alami.
Sementara Gladys tenggelam dalam pikirannya, Tyo berdiri di sampingnya. Tegap. Diam. Entah bagaimana, kehadiran pria itu seperti dinding tak kasatmata yang membatasi antara kenyataan dan kehancurannya.
Tatapan tajam Rajendra, bisik-bisik para tamu, semuanya tak berarti. Satu-satunya yang Gladys lihat adalah wajah Satrio, yang kini tersenyum samar.
“Selamat, Sayang… kamu sudah menikah. Papi … bisa tenang sekarang.”
Gladys menunduk, menciumi tangan ayahnya berkali-kali. Air matanya membasahi punggung tangan keriput itu.
Sang ayah tersenyum samar. “Berbahagialah, Sayang…”
Berbahagia?
Gladys memejam. Berbahagia? Bagaimana ia bisa bahagia di saat semuanya sudah hancur berantakan? Impiannya menikah dengan Rafael telah sirna. Dan Tyo? Ah, ia bahkan tidak tahu kehidupan seperti apa yang akan dijalani dengan pengawal itu.
Satrio menarik napas lagi. Panjang, berat, lalu menatap Tyo.
“Tyo… aku… titip Gladys, ya…”
Gladys menahan napas, sementara Tyo hanya menunduk perlahan.
“Jangan… tinggalkan dia, apa pun yang terjadi. Kamu mungkin akan kewalahan dengan sifatnya yang manja, tapi hatinya lembut. Kalau sudah percaya… dia akan berikan segalanya.”
Tyo mengangguk. Tegas. Tapi tetap tanpa kata.
Satrio tersenyum samar untuk terakhir kalinya. “Tolong… jaga Gladys…”
Tarikan napas terakhir itu datang. Dalam. Lambat. Lalu menghilang bersama mata Satrio yang perlahan tertutup.
**
Ruangan yang seharusnya sejuk itu kini berubah panas. Gerakan-gerakan liar di atas ranjang membuat semua benda terasa ikut bergetar. Bahkan gelas berkaki tinggi di atas nakas membuat airnya seolah akan tumpah.Suara erangan, desahan, dan teriakan-teriakan kecil berpacu dengan deru napas yang memburu.Tubuh keduanya sudah bermandi peluh sejak tadi, tapi belum ada tanda-tanda mereka akan segera mengakhiri perjalanan itu.Tangan Gladys meremas seprei yang sudah tak beraturan. Sesekali menjambak rambut Tyo atau menancapkan kukunya di kulit keras sang pria seiring tubuhnya yang terus menggelinjang. Mulutnya tak pernah sepi. Terus menceracau mengekspresikan perasaannya.Matanya terpejam seiring sensasi indah yang terasa membawanya terbang berpetualang di atas nirwana. Sesekali terbuka, menatap penuh cinta wajah pria yang tengah memberikan keindahan itu.“Tyo…,” desahnya manja saat merasakan tubuhnya terguncang lebih cepat karena ritme gerakan sang pria semakin tinggi. Diremasnya kuat-kuat s
Tyo menatap Gladys sebentar, sebelum mengalihkan pandangan dan mengembuskan napasnya.“Dulu, aku pernah merasa hidupku sangat hampa, Gladys,” ucap Tyo lirih, memecah keheningan di antara mereka. “Waktu itu, aku bahkan tidak tahu lagi untuk apa aku hidup.”Gladys balik menatap pria itu, mendengarkan dengan saksama setiap kata yang keluar dari mulutnya. Wajah dan ekspresi Tyo yang selalu serius, kini tampak bertambah kadar keseriusannya.“Saat itu perusahaan Papaku sedang terpuruk. Aku tahu betul betapa kerasnya beliau berusaha mempertahankan semuanya. Lalu, ketika Papa bilang ada sesuatu yang bisa aku bantu… aku mengangguk. Tanpa banyak tanya. Tanpa pikir panjang.”Tyo menatap langit yang mulai berwarna keunguan. Suaranya terdengar jernih, tenang, tapi penuh beban.“Beliau ingin aku menyelundup ke rumah seseorang. Pria yang katanya penyebab kejatuhan bisnis kami.”Gladys refleks menahan napas.“Aku mengikuti pelatihan fisik di sebuah agensi yang menelurkan banyak pengawal kredibel. Age
Angin sore berembus lembut melewati balkon berdinding kaca yang terbuka sebagian. Tirai putih tipis bergoyang pelan, membiarkan cahaya keemasan menari-nari di lantai kayu. Tyo baru saja selesai menata makanan di meja kecil balkon.Sementara itu, Gladys baru keluar dari kamar mandi dengan masih menggunakan handuk kimono dan rambut basah yang digelung seadanya. Ia menatap sekeliling ruangan, matanya langsung tertumbuk ke atas ranjang. Sesuatu menarik perhatiannya.Di sana terhampar satu blouse berwarna krem pastel. Potongannya elegan, lembut, dan terlihat… sangat sesuai dengan seleranya. Gladys memicingkan mata, lalu menoleh ke arah Tyo yang sedang menuangkan teh.“Tyo,” panggilnya dengan nada curiga, “itu… baju siapa?”Tyo hanya melirik sebentar, lalu kembali sibuk mengisi gelas. “Bajumu.”Gladys mengerutkan kening. “Bajuku? Maksudmu—”“Kenapa? Tidak suka?” sahut Tyo ringan. “Kalau begitu kamu pilih saja sendiri. Ada di lemari.”Tyo menunjuk sisi dinding di mana ada ruangan di baliknya
Pintu terbuka. Seorang pelayan wanita berdiri di ambang pintu, membungkukkan badan dengan sopan.“Maaf mengganggu, Tuan Muda. Makanannya sudah siap,” ucapnya pelan, dengan suara nyaris tak terdengar.Tyo mengerutkan keningnya dengan bingung. “Kenapa disiapkan makanan? Aku tidak meminta,” tanyanya, nada suaranya datar tapi terdengar jelas nada heran di baliknya.“Nyonya yang menyuruh, Tuan,” jawab si pelayan tanpa menatap langsung ke arahnya.Alis Tyo terangkat. “Apa Nyonya sudah menunggu di meja makan?”Pelayan itu menggeleng dengan anggukan sopan. “Tidak, Tuan. Nyonya dan Tuan besar sudah pergi keluar sejak pagi. Tuan Muda Bintang juga pergi.”Tyo menarik napas pelan, nyaris tak terdengar. Ada sedikit kelegaan yang perlahan menyelinap dalam dadanya. Setidaknya hari ini ia tak perlu menghadapi tatapan penuh penilaian dari ibunya atau sindiran tajam yang kadang dilemparkan ayahnya tanpa ampun. Gladys bisa beristirahat dulu. Tanpa tekanan. Tanpa harus terus waspada.“Tolong bawakan saja
Tyo melerai pelukannya perlahan setelah tubuh Gladys mulai tenang. Isak tangisnya telah mereda, meski napasnya masih sedikit tersengal. Tyo menatap wajah wanita itu lekat-lekat, lalu menyelipkan helai rambut yang jatuh ke pipinya ke belakang telinga dengan gerakan lembut. Tangannya kemudian mengusap pelan sisa air mata yang masih membekas di pipi Gladys."Ayo duduk," ucapnya lirih sambil membimbing Gladys ke tepi ranjang.Gladys menuruti, meski gerakannya masih terasa berat dan penuh keraguan."Istirahatlah. Kamu memang terlihat sangat lelah," ujar Tyo, suara dan sorot matanya begitu penuh perhatian.Namun, Gladys menggeleng perlahan. Matanya masih sembap, namun kini menyiratkan kegelisahan yang lebih dalam."Kenapa?" Tyo bertanya lagi, mengernyitkan dahi."Tidurlah dulu. Jangan risaukan apa pun. Aku di sini. Aku tidak akan ke mana-mana."Gladys menatap Tyo beberapa detik, seolah mencari kepastian di balik kata-kata itu. Tapi kemudian dia kembali menggeleng."Aku takut," bisiknya liri
Ketegangan masih menyelimuti. Gladys merasakan tangannya semakin dingin. Apalagi saat melihat Billy, yang wajahnya memerah, tampak hendak berdiri.Tubuh pria itu sudah sedikit terangkat dari sofa ketika sebuah tangan terulur, menahan gerakannya.“Biarkan aku dulu,” ujar Metha—istrinya.Billy menghela napas pelan dan kembali bersandar. Sorot matanya tetap tak lepas dari putra sulungnya dan wanita yang berdiri di sampingnya. Sesuatu seperti ingin meledak, tetapi diredam dengan keras.Metha berdiri. Langkahnya pelan, penuh kontrol. Tapi suara hak sepatunya di lantai marmer terdengar menggelegar—menghantam ruangan seperti palu godam. Detak jantung Gladys kian menggila.Tyo tetap tenang di sampingnya, meski sorot matanya sedikit mengeras saat ibunya semakin mendekat.Tanpa sadar, Gladys meremas tangan Tyo yang masih menggenggam jemarinya.Tyo membalas dengan remasan lembut, menenangkan.Metha berhenti tepat di hadapan mereka. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam, dan bibirnya terkatup rapa