BAB 4
PenyesalanYuda menepikan mobilnya ke halaman minimarket tempatnya kemarin bertemu Arini. Dihembuskannya napas kasar sambil menatap bangunan kubikal di depannya saat ini. Telunjuknya mengetuk stir mobil, memastikan tindakannya tak akan berisiko.Entah berapa lama dia terdiam sambil memandang lurus ke arah pintu masuk swalayan Basmalah yang berjarak kurang dari sepuluh meter dengan mobilnya saat ini. Hari kemarin adalah pertemuan pertamanya dengan Arini selepas palu hakim yang menandakan hubungan berakhir diketuk.Selama ini dia berusaha mengabaikan bisikan hatinya mempertanyakan kondisi Arini dan kedua anaknya selepas kepergian dirinya dari kehidupan mereka. Dari sekian swalayan yang dia dan Diandra lewati, entah mengapa tempat itulah yang dipilih oleh keduanya.Hatinya benar-benar tersentil. Mungkinkah ini cara Tuhan menegur dirinya? Pekerjaannya saat ini sungguh memberinya limpahan harta. Apalagi sebagian besar kekayaan kedua orangtuanya pun sudah berada di genggamannya pasca dirinya mengambil keputusan besar menceraikan Arini.Sebagai seorang lelaki, bukan tak sadar dirinya pantas disebut pengecut. Laki-laki itu nyatanya memilih kembali pada kehidupannya semula bersama orangtua yang tak pernah menerima pernikahannya dengan Arini. Bukan dia tidak tahu perlakuan ibunya pada sang istri dahulu.Bukan dari Arini, bukan. Wanita bermata teduh itu selalu menutupi kelakuan ibunya selama ini. Dia tak pernah mengeluhkan bagaimana sang Ibu tak pernah memberinya waktu rehat barang sejenak. Pekerjaan di rumah besar itu hampir seluruhnya dilimpahkan pada Arini. Lebih parah lagi saat Ratna justru dengan sengaja memberhentikan ART di rumah itu.Tak ada waktu istirahat cukup bagi ibu muda yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Mata cekung itu berhasil ditutupi Arini dengan senyuman tulus saat menyambut sang suami pulang bekerja. Bahkan saat Yuda menanyakan kondisi Arini yang kian hari nampak makin ringkih, Arini selalu mengelak.Rafa yang baru hitungan minggu itu benar-benar membuat waktu istirahatnya terpangkas. Begitu alasan yang selalu diberikan oleh Arini saat Yuda mendapati istrinya sering tertidur sambil memangku Rafa.Hingga suatu hari semuanya nampak terbuka lebar. Yuda yang merasa tak enak hati segera pulang sebelum jam kepulangannya berakhir. Dengan sigap dia memasuki rumah yang nampak hening sebelum suara yang begitu mendominasi ruangan di dalam sana terdengar."Seharusnya anakmu itu mati saja! Menyusahkan. Bukankah sudah kukatakan agar kau menyusuinya sampai kenyang sebelum tamuku datang? Bukannya menangis kencang hingga semua orang mempertanyakan siapa bayi sialan yang sudah mengganggu acara arisan di rumahku!"Jantung Yuda bagai disambar petir. Di depannya sang istri menangis bersimpuh sambil menggendong bayi mereka yang menangis tanpa henti. Sementara ruang tamu rumah mereka penuh dengan hidangan yang sepertinya belum tersentuh sempurna oleh tamu yang dimaksud ibunya.Yuda menyentak napasnya. Diusapnya wajah dengan kasar saat kilatan kejadian di masa lalu itu berputar tanpa mampu dikendalikan. Laki-laki egois itu memukulkan dahinya ke stir mobil yang dikendarai olehnya.Yuda tak punya pilihan lain. Pasti ada hal penting yang membawa Arini ke rumahnya kemarin. Bertanya pada ibunya pun percuma. Dia yakin sekali tak ada jawaban memuaskan untuk menjawab rasa penasarannya. Dia memilih bungkam, seolah tak mengetahui kedatangan Arini yang sempat dipergoki laki-laki itu dari dalam mobil.Yuda memilih membuka pintu mobil. Dia berusaha menghilangkan keraguannya saat jejak kaki pertama menyentuh pelataran swalayan tempat mantan istrinya bekerja. Tekadnya sudah bulat. Dia ingin mengetahui kabar wanita itu beserta dua buah hatinya, terlebih kemarin Wulandari berkata dengan penuh emosional mengenai sakitnya Naya.Bagaimana pun dia masih memiliki hati, meski kenyataannya dia tak pernah mempergunakannya. Entah sekeras apa kehidupan Arini membesarkan buah hatinya tanpa orang-orang sekitar yang mendukungnya.Napas Yuda tersengal. Dia sesak dengan pemikirannya sendiri. Dadanya bergedup kencang saat sekuriti berpakaian hitam menyambut dirinya tepat di pintu masuk.Segera Yuda menuju lorong tempatnya kemarin bertemu dengan Arini. Biasanya selama seminggu penuh seorang pramuniaga ditempatkan di satu display sebelum rolling ke bagian lain di minggu berikutnya. Besar harapannya bertemu Arini di tempat yang sama hingga dia tak perlu mencarinya di tempat yang lain.Matanya awas mengamati setiap sudut tempat itu. Lorong-lorong panjang yang berisi rak display susu formula nampak sedikit lengang dari biasanya. Ada rasa gugup yang terus menjalar dalam hatinya. Namun berkali-kali dia mengedarkan pandangan, tak nampak sosok yang dicari.Yuda melangkahkan kaki ke arah lorong yang lain. Lorong yang menampilkan rak berisi produk olahan makanan ringan itu hanya berisi beberapa gerombol anak sekolah yang nampak asyik memilih makanan. Lagi-lagi dia menelan kekecewaan. Tak didapatinya Arini sejauh mata dia memandang.Laki-laki berpostur tubuh tegap itu tak mampu menyembunyikan wajahnya yang mulai gusar. Langkahnya diarahkan ke sisi yang lain dengan harapan yang sama.Hingga hampir seperempat jam dia mengitari area swalayan, dia mulai menyerah dengan usahanya kali ini. Mungkinkah keadaan Naya tak membaik dan membuat Arini izin absen kerja hari ini?Langkah laki-laki itu terhenti. Sesulit inikah kehidupan mereka?Cepat sekali Yuda memutar otaknya. Paling tidak dia harus mengetahui kabar pasti mengenai Arini dan anak-anak saat ini. Dia mengingat Wulandari yang kemarin berdiri di balik meja kasir. Yuda seolah menemukan jalan keluar dari rasa penasaran yang membelitnya.Tanpa berpikir dua kali diraihnya sekotak biskuit coklat yang tiba-tiba mengingatkannya pada sosok anak laki-laki yang ditinggalkan lelaki itu saat tertidur pulas. Tangan Yuda bergetar hebat. Matanya tiba-tiba basah saat mengingat bagaimana biskuit seharga belasan ribu itu mampu membuat anak pertamanya meloncat kegirangan.Yuda meraup udara dengan kasar. Rasanya seluruh memori masa lalu itu tak henti-hentinya menertawakan kebodohannya di masa lalu. Mereka berlomba-lomba menyalahkan keputusan paling memalukan yang diambil seorang laki-laki demi kehidupan nyamannya seorang diri.Gegas Yuda mengambil beberapa makanan ringan secara acak dan berjalan cepat ke arah kasir. Sengaja dia memilih makanan dengan jumlah banyak dan berbeda item agar memperlama proses penghitungan nanti. Setidaknya dia akan memiliki waktu lama untuk bertanya pada Wulandari nantinya.Langkah kakinya mantap ke arah kasa 2 tempat wanita yang mengenakan seragam berwarna biru elektrik berdiri melayani pembeli. Beruntung di belakang Yuda tak ada pembeli lain. Setidaknya tak ada orang yang akan mendengarkan apa yang akan dia tanyakan.Tiba saatnya Wulandari menghitung belanjaan Yuda. Wanita itu menatapnya dengan wajah tenang meski sempat menampilkan kesan sedikit kaget dengan keberadaan laki-laki itu di hadapannya."Kemana Arini?" Yuda langsung memberikan pertanyaan saat tangan wanita itu menscan barcode produk pertama yang diambilnya. Hening, tak ada jawaban apapun dari bibir Wulandari.Yuda tak patah semangat. Dia menebalkan wajah sekalipun Wulandari mulai terlihat kesal. Bagaimana pun dia yakin sekali tak akan ada perlakuan kasar wanita itu saat berada di area kerjanya."Apakah Naya masih sakit?" Pertanyaan kedua pun lolos tanpa jawaban. Yuda mengembuskan napasnya kasar. Wanita di depannya memang keras kepala. Bahkan dia bisa bertingkah seolah tak mendengar apapun.Yuda mulai kehilangan kesabarannya terlebih saat tangan cekatan wanita itu hampir menyelesaikan hitungannya."Lan? Tolong. Beritahu dimana Arini dan anak-anak tinggal saat ini? Dan…apakah benar hari ini Arini tidak masuk? Apakah terkait dengan kondisi Naya?"Pertanyaan bertubi itu diredam Wulandari dengan tatapan mata yang mulai terlihat tajam pada laki-laki tak tahu diri di depannya."Totalnya dua ratus….""Lan, jawab! Dimana Arini saat ini?""Mungkin saat ini mantan istrimu itu tengah mencari pembeli untuk ginjalnya yang akan dijual. Kemarin dia menawarkannya padaku, sayangnya ginjalku baik-baik saja. Kau mau membelinya? Atau…justru kau lebih membutuhkan donor hati untuk hatimu yang busuk lagi mati itu karena sudah tak bisa lagi digunakan?!"“Mama, senyum! Lihat kemari!” ucap Rafa sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Sebuah buket raksasa berisi foto-foto ibunya dihadiahkan anak laki-laki itu pada Arini. Wanita itu pun memeluk buketnya meski sedikit kepayahan. Berbagai karangan bunga berisi ucapan selamat untuk para wisudawan menghiasi setiap sudut halaman auditorium yang digunakan untuk acara wisuda kali ini.Senyum Arini mengembang sempurna. Suaminya berhasil menegakkan kepala wanita yang sempat kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Yovan pun terlihat amat puas dengan hasil kerjanya membujuk wanita itu. Senyuman menawan laki-laki itu membuat Arini merasa begitu dicintai laki-laki pemilik hidung mancung itu.“Papa ambil posisi di sebelah Mama. Jangan lupa Mama dipeluk!”Arahan dari Rafa membuat Arini dan Yovan tertawa. Mereka takjub sekali dengan perubahan pada diri Rafa. Apalagi setelah dia diberitahu bahwa adiknya akan lahir dalam hitungan hari. Dia makin menunjukkan sikap protektifnya pada sang ibu.“Sekarang Pa
Tentang Bahagia Arini memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya berwarna hijau sage dengan kain batik yang membelit tubuh bagian bawahnya tak membuat dirinya berpuas diri. Matanya berkaca-kaca saat berkali-kali memutar dirinya di depan cermin. Kehamilannya di usia sembilan bulan ini membuat berat tubuhnya melonjak drastis. Pipinya membulat sempurna, belum lagi dagu yang seolah berjumlah dua hingga membuat dia kesusahan mengenakan kerudung untuk menutupi mahkotanya.Arini menjatuhkan dirinya di atas tepian kasur. Acara wisuda yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi tiba-tiba membuat dirinya meragu. Penampilannya yang dia nilai akan menjadi bahan tertawaan banyak orang membuat Arini hampir menyerah untuk mempersiapkan diri. Sebuah ketukan ringan dari arah pintu membuat kepalanya menoleh.“Loh, belum siap juga? Kita harus datang di gedung satu jam lagi. Kenapa toga pun belum kamu pakai?” Suara suaminya membuat Arini makin tak bisa menahan laju air matanya. Make up natural
“Diminum, Bu.” Arini meletakkan es jeruk dan setoples kue kering. Wanita itu langsung duduk di sofa yang kosong. Dia tersenyum tipis saat melihat sejak tadi tangan Ratna terus-terusan memegang tanga Rafa.“Terima kasih.” Ratna mengambil gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Rasa asam, manis dan segar memenuhi mulut Ratna. Minuman itu cocok sekali dinikmati saat hari cerah seperti siang ini. “Sudah berapa bulan?” Ratna memperhatikan perut Arini yang mulai menyembul.“Masuk lima.” Arini refleks mengelus perut. “Apa yang mau dibicarakan, Bu? Tidak biasanya Ibu pergi sendirian. Jarak rumah kesini lumayan jauh.” Arini memperhatikan wajah Ratna yang sejak tadi tampak mendung. Mata wanita tua itu dipenuhi kabut seakan menyimpan kesedihan yang tak berujung.“Ibu mau minta maaf ….” Ucapan Ratna terpotong karena tangis. Mantan mertua Arini mendadak terisak kencang. Dia tidak bisa mengendalikan air mata saat mengingat perlakuan buruknya pada Arini dulu. “Ibu mau minta maaf atas semua kesalahan
“Jadi, nanti perut Mama akan membesar ya, Ma? Terus Adik bayinya keluar dari mana?”Arini menarik napas panjang. Rafa memang banyak bertanya setelah mengetahui kalau di perutnya ada bayi. Anak lelaki itu sangat senang sekaligus juga penasaran. Berbagai pertanyaan dia lontarkan. Pertanyaan yang kadang membuat Arini harus memutar otak dengan keras agar bisa menjawab sesuai dengan umur dan pemahaman anaknya.“Manusia akan melalui tiga alam selama hidup. Pertama, alam dunia, tempat kita saat ini. Kedua, alam barzah, tempat kita menanti hari kiamat tiba. Ketiga, alam akhirat, tempat kita mempertanggungjawabkan semua perbuatan.” Arini menjawab setelah cukup lama terdiam. “Sudah dapat pelajaran di sekolah ‘kan tentang alam-alam ini?” Arini mengelus kepala Rafa pelan.Rafa mengangguk pelan. Anak itu ingat kata guru agamanya, kalau anak nakal, nanti dia akan mendapat balasan di akhirat. Kalau mencuri tangannya akan dipotong berkali-kali. Sebaliknya, kalau dia menjadi anak rajin dan senang memb
IRI “Mas, sudah kubilang percuma kita kemari. Memang Tuhan itu belum ngasih karena dia lihat Mas Yuda belum mampu menafkahi anak kita nantinya, jadi dia lebih milih buat nunda. Kok kamu jadi maksa-maksa gini? Buang-buang waktu tahu nggak?”Diandra mendekap kedua tangannya. Baru saja dia dan Yuda sampai di sebuah klinik kandungan yang direkomendasikan salah seorang temannya. Klinik yang saat Diandra melihat list harga konsultasi dan tindakan yang dilakukan cukup membuat matanya melotot tak percaya. Rasanya sayang sekali uang sebesar itu digunakan untuk hal tidak penting seperti ini.“Mas. Mending uangnya buat liburan atau memanjakan diri di spa seharian. Paling tidak untuk senang-senang dari pada ngendon di rumah seharian. Bukan nggak mungkin gara-gara stress di rumah yang membuatku susah hamil begini!”Yuda hampir membentak istrinya jika tak menyadari posisi mereka saat ini. Rasanya telinganya gatal mendengar istrinya berbicara kasar seolah ibunyalah penyebab dia belum juga diberi ke
KECEMASAN ARINI Arini meremas tangan suaminya. Laki-laki itu tersenyum. Setelah perdebatan panjang akhirnya Arini bersedia ke klinik yang sudah direkomendasikan dokter Wisnu saat Yovan menanyakan dokter kandungan yang bagus untuk istrinya. Sebenarnya bisa saja dia membawa Arini ke klinik yang dulu selalu dia datangi bersama Raline saat istri pertamanya itu hamil.Tetapi dia mengurungkan hal tersebut demi menjaga perasaan istrinya. Pasti Arini akan merasa tak nyaman karena menganggap Yovan sengaja membawa dirinya ke tempat dimana kenangannya bersama Raline sebagian besar terekam di sana. “Mas?”“Ya?” Senyum di bibir Yovan belum juga pudar. Bayangan tentang detik-detik pertama istrinya memberikan benda yang dia angsurkan sebelumnya membuat laki-laki itu tak bisa kehilangan kebahagiannya. Arini menunjukkan trip dua pada benda yang dibeli suaminya melalui layanan aplikasi belanja online itu. Yovan yang sebelumnya berdiri menyederkan tubuhnya di tembok depan itu hampir melompat kegiranga
TEST PACKMata Yovan kembali menyipit. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya saat ini. Yang dia lakukan langsung beranjak ke kamar mereka di lantai dua. Dia kehilangan daya saat melihat istrinya bermuram hingga tak berani sama sekali dia mendebatnya. Laki-laki itu pun merasa mati langkah saat hari liburnya justru bertepatan dengan jadwal Rafa di rumah Yuda.Laki-laki itu bahkan ingin sekali melarang anaknya pergi ke rumah ayah kandungnya jika tak ingat hal itu akan membuat suasana sejuk yang tercipta dengan laki-laki itu akan kembali memanas dan tentu akan berdampak pada hubungan mereka. Apalagi Yuda sudah menjanjikan anaknya melakukan kegiatan yang sama lagi seperti saat itu. Memancing di danau dan membakar ikan di tepian yang membuat bibir mungil Rafa tak henti-hentinya bercerita aktivitas yang menyenangkan itu.Baru saja hendak memakai kaos berwarna merah miliknya, Arini yang tiba-tiba masuk mencegah laki-laki itu.“Jangan yang itu, Mas. Warna itu merusak pandangan mataku.
SIKAP ANEH ARINIArini duduk di atas sofa ruang belakang. Tatapannya tertuju ke arah luar jendela dimana pohon palem yang berderet rapi di halaman terlihat meliuk-liuk diterpa angin. Hujan yang turun membuat pepohonan di luar sana tampak segar. Aroma petrikor yang berasal dari tanah kering yang tersiram air hujan terasa sekali di indra penciuman Arini.Tetapi kali ini reaksi yang dirasakan Arini terasa lain. Tidak seperti biasanya saat hatinya bersorak menikmati aroma khas yang keluar saat awal-awal hujan turun. Arini bahkan beranjak dari posisi duduknya saat ini demi menutup jendela berharap bau khas itu segera menghilang secepatnya.“Kucari-cari kenapa justru di sini?”Suara suaminya membuat Arini tersentak. Beberapa saat kemudian dia membetulkan anak rambut yang berkeliaran bebas di dahinya. Keheningan rumah itu membuat mood Arini mudah sekali memburuk. Suaminya itu langsung mengambil posisi berhimpitan dengannya. Aneh, seketika Arini menggeser tubuhnya hingga menambah jarak di ant
“Mama!” Rafa berteriak senang saat mobil Yovan memasuki halaman. Bocah laki-laki itu langsung berlari saat Arini keluar dari mobil. “Kangen.” Rafa tertawa-tawa saat Arini memeluknya erat-erat. Dia semakin terkekeh geli saat Arini menciumi wajahnya bertubi-tubi.“Papa.” Rafa langsung menyalami Yovan setelah berhasil lepas dari pelukan Arini. Dia mengangguk senang saat Yovan dengan mudah mengangkat tubuhnya.Disini, Yuda mengeluh pelan melihat keharmonisan keluarga di hadapannya. Rafa tampak sangat senang digendong Yovan. Sementara Arini menggandeng tangan Yovan dengan sebelah tangan menenteng paper bag biru. Keluarga kecil yang terlihat sangat harmonis. Siapapun pasti akan mengira kalau Rafa adalah anak Arini dan Yovan.“Assalamualaikum, Mas.”“Waalaikumussalam.” Lamunan Yuda terhenti mendengar salam Arini. Dia langsung berdiri dan membalas jabat tangan Arini dan Yovan. “Masuk dulu. Mama dan Diandra sedang keluar. Mama mertua mau mengadakan hajatan jadi mereka bantu-bantu.”“Kami dilua