Share

BAB 3 MANTAN MERTUA

BAB 3

Mantan Mertua

Arini menatap rumah dua lantai di hadapannya dengan hati tak menentu. Hujan gerimis yang sejak jam dua siang tadi mengguyur kota setia menemani langkah wanita itu. Dia memutuskan datang kemari setelah jam kerjanya di toko selesai.

Arini menghela napas panjang. Setelah lima menit lagi berlalu, dia memutuskan menyebrang jalan dan mendatangi rumah itu. Waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah enam, dia tidak dapat menunggu lagi. Rafa dan Naya pasti sudah menunggunya.

"Assalamualaikum." Ketukan ketiga, pintu terbuka.

"Kamu?!" Tanpa menjawab salam, wanita berusia pertengahan lima puluh tahun itu langsung menatap tajam pada Arini.

Arini tersenyum sopan pada Ratna, mantan mertuanya. Dia yakin sekali, wanita itu tidak menyangka dia yang ada di depan pintu setelah dua tahun tidak bertemu.

"Mas Yuda ada, Bu?"

"Untuk apa kamu mencari Yuda?" Ratna menatap Arini tidak suka.

"Ada yang harus kami bicarakan."

"Bicara saja dengan saya."

Arini mengepalkan tangan. Sejak dulu, Ratna memang paling dominan di rumah itu. Sikapnya yang otoriter bahkan membuat ayah mertuanya pun kadang sering mengalah.

"Sudahlah, Bu, biarkan Arini istirahat dulu. Rafa juga nangis terus dari tadi. Mungkin anak itu haus butuh ibunya." Kelebatan masa lalu melintas di pikiran Arini.

"Ah memang dasar anak itu saja yang bawel. Ibunya nggak bisa ngurus anak makanya nangis terus. Malam-malam juga nggak ada tidurnya."

Arini menekan dada mendengar ucapan Ibu mertuanya. Dia baru saja melahirkan dua minggu yang lalu. Jahitan di bawah sana terkadang bahkan masih terasa perih. Sepagi ini, dia sudah membersihkan rumah.

Arini mengangkat cucian untuk dijemur dengan kepayahan. Dia melirik jam di dinding. Waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Sejak jam lima tadi dia sudah berkutat di dapur dan pekerjaan rumah lainnya.

Wanita itu bergegas menjemur pakaian agar bisa segera menenangkan Rafa yang terus menangis. Hatinya perih mendengar suara bayi yang baru berusia dua minggu itu sudah serak. Arini bahkan melupakan perutnya yang juga mulai keroncongan.

“Jadi wanita itu harus gesit. Urusan rumah dan anak itu harus sigap dikerjakan. Jangan terlalu mengandalkan suami. Mentang-mentang Yuda mau membantu kamu jadi seenaknya.”

Arini menulikan telinga dari ucapan tajam Ratna. Seminggu yang lalu Ratna memang melihat Yuda sedang menggendong Rafa saat malam-malam. Arini yang kelelahan ketiduran sehingga Yuda sigap menggantikan. Hal itulah yang selalu diungkit oleh Ratna.

Sudah biasa bagi Arini diperlakukan seperti ini. Bagi ibu mertuanya, dia hanya pembantu gratisan. Hanya karena Yuda bersikap baik padanya, Arini tetap bertahan. Dulu, Arini berharap sikap Ratna akan berubah setelah dia melahirkan. Ternyata, jauh panggang daripada api, wanita itu tetap tidak menganggapnya menantu sama sekali.

“Sana, urus anakmu yang cengeng itu! Pengang telingaku mendengar tangisannya sejak tadi. Cuci muka dulu, pakai sedikit bedak. Awas saja sampai kau bicara macam-macam pada Yuda.”

Arini mengabaikan ocehan Ratna. Lima belas menit lagi jadwal suaminya video call. Seminggu mengurus usaha di cabang luar kota, Yuda rutin menyapa setiap paginya. Menjadi hiburan tersendiri bagi Arini melihat wajah tampan dan mendengar suara menenangkan milik suaminya setelah berkutat dengan ocehan Ratna.

“Mau bicara apa? Cepatlah! Saya tidak punya waktu berurusan dengan janda miskin sepertimu.”

Pertanyaan Ratna menarik kembali kesadaran Arini. Wanita itu menarik napas panjang. Sungguh, harta tidak bisa membeli attitude seseorang. Ratna bahkan tidak mengerti cara menghormati tamu. Wanita itu melipat tangan dengan dagu sedikit diangkat sambil menatap dengan pandangan merendahkan pada Arini.

“Saya butuh bicara dengan Mas Yuda, Bu. Dia yang mengerti urusan ini.” Arini menekan suaranya agar tidak tersulut emosi. Dia jengah sendiri melihat betapa angkuh mantan mertuanya itu.

“Bicara padaku! Yuda sibuk. Dia tidak di rumah. Yuda sedang mempersiapkan acara lamaran dengan calon istrinya. Jadi, anakku itu tidak punya waktu mengurusi hal remeh temeh yang berkaitan denganmu.”

Arini menarik napas panjang. setelah berpikir cepat, wanita itu memutuskan bicara dengan Ratna. Percuma berdebat. Waktu semakin berjalan, sebentar lagi adzan maghrib berkumandang.

“Ini masalah hutang.”

“Hutang? Hah! Apa kataku, uang saja yang ada di otakmu kalau sudah menyangkut Yuda!”

“Dengarkan aku! Tadi Ibu minta saya bicara, tapi dengan cepat Ibu memotong ucapanku. Panggilkan saja Mas Yuda! Saya perlu bicara dengannya karena ini menyangkut kelangsungan hidup anak kami.”

Ratna terdiam melihat Arini berkata dengan nada tinggi. Ini pertama kalinya dia melihat mantan istri anaknya itu kalap. Ya, wanita manapun jika sudah menyangkut anak siap pasang badan. Mereka rela melakukan apa saja demi anak-anaknya.

“Katakan pada Mas Yuda, penagih hutang kembali datang. Karena lama tidak dibayar, hutang usaha itu kini sudah mencapai sepuluh juta. Aku tidak bisa membayarnya karena gajiku hanya cukup untuk menghidupi anak-anak ka-mi.” Arini menekankan kata kami agar mertuanya mengerti kalau Rafa dan Naya bukan hanya tanggung jawabnya.

“Ajari anak Ibu menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Berat benar balasannya di akhirat kelak karena melupakan tanggung jawabnya.”

Merah padam wajah Ratna mendengar ucapan Arini. Dia mengepalkan tangan karena tak terima diajari oleh mantan menantunya itu.

“Jangan membual. Mana mungkin anakku terlibat hutang. Itu hanya akal-akalanmu saja. Kenapa baru datang sekarang? Kemana saja memangnya selama dua tahun belakangan ini?”

Arini mengembuskan napas kencang. Beruntung tadi dia sempat minta izin memfoto surat perjanjian hutang-piutang. “Ini tanda tangan Mas Yuda, Bu. Ibu bisa lihat sendiri.” Arini meletakkan ponsel di meja. “Hutang pokok lima juta dan ini akumulasi bunganya. Total sepuluh juta sampai dengan bulan ini.”

Ratna terdiam. Dia tidak bisa mengelak lagi. Tanda tangan diatas materai enam ribu itu jelas milik Yuda. Tambahan, Arini juga menunjukkan foto saat anak lelakinya bersalaman dan mengangkat surat perjanjian itu.

“Katakan pada Yuda agar menyelesaikan masalah hutang ini segera, Bu. Atau, aku akan memberitahu rentenir itu alamat rumah Ibu. Biar mereka langsung menagih kemari.”

Rahang Ratna mengeras. Arini paham betul betapa tinggi gengsi wanita itu. Alangkah memalukan kalau sampai keluarga Hadiwijaya yang terhormat itu sampai ditagih hutang oleh rentenir.

“Tunggu di sini!” Ratna masuk ke dalam dengan tangan terkepal. “Pergi dan jangan pernah usik kehidupan anakku lagi.”

Arini menutup telinga saat Ratna menutup pintu dengan keras. Dia segera memunguti uang yang tadi dilempar mantan mertuanya. Wanita itu tidak peduli walau direndahkan, setidaknya, dia mendapat uang untuk membayar hutang.

Perasaannya sedikit lega karena satu masalah teratasi. Wanita itu bergegas pulang tepat saat adzan maghrib berkumandang. Arini menerabas hujan deras. Pikirannya langsung tertuju pada Naya. ponselnya mati sejak tadi sehingga tidak bisa bertanya pada Widya.

Tepat saat Arini melangkah keluar, sebuah mobil masuk ke halaman. Arini tidak peduli, dia bergegas berlari agar tidak semakin kebasahan.

Disini, Yuda terpaku. Benarkah yang dilihatnya tadi Arini? Mantan istri yang terpaksa dia ceraikan karena keadaan? Wanita yang bahkan sampai detik ini, namanya masih tersimpan rapi di dasar terdalam sanubari.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
pantas aja dihina krn si arini sendiri yg memberi kesempatan. dasar dungu dan tolol, klu sedikit pintar dia pasti menyuruh rentenir ke rumah mertuanya. dasar otaknya cukup cuman utk jadi babu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status