Takut Kehilangan "Gue nggak tahu! Kita juga kaget tadi pas denger ada suara benda jatuh. Kirain barang di gudang bergeser lagi. Pas kita lihat keluar, Arini sudah di posisi tergeletak di lantai." "Lan, sudahlah. Aku sama Rista memang tidak terlalu menyukai Arini karena dia dianakemaskan, tapi bukan berarti kami akan mencelakai dia. Apalagi ini tempat kerja …."Arini menautkan alis. Samar-samar dia mendengar keributan antara beberapa orang. Kepalanya pusing. Dia berusaha membuka mata, tapi entahlah kenapa berat sekali. Sulit. Seperti ada lem yang merekatkan matanya hingga susah terbuka. "Rin? Arini?" Wulandari yang baru saja perang omongan dengan Rista dan Dewi langsung menoleh mendengar rintihan sahabatnya.Tadi dia berencana mau ke toilet, tapi langkahnya terhenti saat melihat Rista dan Dewi sedang membopong Arini dengan susah payah ke ruang istirahat karyawan. Dia yang mengetahui dua rekan kerjanya itu tidak terlalu menyukai Arini langsung berpikiran yang tidak-tidak hingga menyeb
DIBUNTUTI MANTAN SUAMI“Rafa tadi aku titip ke Mas Roni, Mbak. Tadi mau kuajak sekalian kesini tapi dia menangis kencang melihat adiknya kejang. Khawatir malah jadi bikin tambah ribet akhirnya kutinggal.” Widya menyerahkan kursi pada Arini. Dia membiarkan wanita itu melanjutkan menyuapi Naya.“Tidak apa-apa, Wid. Terima kasih sudah membantu. Maaf merepotkan.” Arini mengelus kepala Naya yang menatapnya dengan mata sayu."Santai saja, Mbak. Kebetulan aku masuk shift malam minggu-minggu ini."Mereka saling diam cukup lama setelahnya. Arini tersenyum lebar saat semangkuk bubur di tangannya habis dilahap Naya. Anak itu memang tidak pernah rewel dari dulu kalau masalah makanan. Apapun yang diberikan pasti dia habiskan.Sepulang Widya dari puskesmas, Arini duduk termenung menunggu jam kunjungan dokter. Tadi dia sudah minta tolong pada Widya untuk sekalian mengantarkan Rafa kalau nanti malam dia berangkat kerja. Dia tidak enak hati kalau meninggalkan Rafa terlalu lama di tempat tetangga. Kha
PERTENGKARAN Yuda menyugar rambutnya kasar. Laki-laki yang mengenakan kemeja slimfit warna grey itu tertampar dengan kalimat yang diucapkan Arini barusan. Tak ada yang salah dengan penuturan mantan istrinya. Semuanya memang kenyataan. Dua tahun laki-laki itu menghilang, bersembunyi di balik pesona kemewahan yang orangtuanya hadirkan."Rin, please. Izinkan aku bertemu Naya. Aku ayahnya." Arini mendelik. Matanya menatap penuh amarah pada laki-laki yang belakangan ini hadir kembali dalam kehidupannya. Laki-laki yang pernah dicintai sepenuh hati itu menatap Arini penuh rasa penyesalan. Sayangnya semua itu tak berarti apapun bagi Arini. Terlambat. Terlalu banyak rasa sakit yang dia torehkan pada wanita itu. Tak ada kesempatan untuk memperbaiki. Semua pintu maaf sudah dia tutup rapat-rapat. "Rin, Naya butuh pengobatan. Ayolah, jangan jadi ibu yang egois. Apa yang bisa diharapkan dari fasilitas pemerintah seperti ini? Kau hanya sedang memperparah kondisi anak kita." "Cukup!" Arini meng
PERGILAH, MAS!"Mas. Pergilah. Kumohon. Jangan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apapun di masa lalu. Jika bukan kasihan padaku, maka lakukanlah karena kau kasihan pada Naya. Anak perempuan yang sudah lupa bagaimana hangatnya dekapan seorang Ayah.Kau tahu orangtua dan calon istrimu, bukan? Membuat seorang laki-laki melupakan anak dan istrinya saja mereka mampu dan tega, apalagi hanya melakukan balas dendam pada kami atas sikapmu ini? Ingat, kau yang menginginkan semua ini, Mas! Bukan kami yang pergi, tapi kau yang pergi! Jangan bersikap seolah kami jahat karena tak memberimu kesempatan menebus kesalahan, tapi kau sendiri yang sudah melupakan momentum untuk menebus kesalahan itu sendiri. Ingat, Mas. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Kau membuat hidup kami bagai di neraka, lalu kau sekarang datang seolah-olah tak pernah terjadi apapun dan berharap aku bersikap baik-baik saja? Apakah kau sebodoh itu sekarang, Mas?!Mari saling melupakan kalau kita pernah menjadi satu. Lupakan
Widya akhirnya memilih diam. Dia membiarkan Arini menumpahkan sesak sesukanya. Isak tangis wanita dengan alis mata tebal itu memenuhi ruangan. Hidung dan pipi Arini memerah. Sesekali, dia menyeka air mata yang terus mengalir tanpa bisa dibendung lagi.Yuda Hadiwijaya, lelaki dengan segala kesempurnaannya sebagai seorang pria. Badannya tegap dengan perut yang berkotak-kotak. Ah … Arini ingat sekali, dia bahkan melotot saking takjubnya saat pertama kali melihat Yuda di malam pertama mereka. Pikirnya, bentuk tubuh seperti itu hanya dimiliki oleh para model di majalah dan televisi.Arini menengadah. Dia berusaha menahan agar air matanya tidak kembali tumpah. Tidak bisa. Keributan yang baru saja terjadi dengan mantan suaminya dan sergapan kenangan masa lalu membuat kesedihan di hatinya kembali membuncah.Arini Dafina, mahasiswa berprestasi yang menjadi kembang kampus. Dia berasal dari keluarga biasa saja. Mereka bahkan bisa dikatakan hidup dalam garis kemiskinan. Golongan orang-orang yang b
Air liur Arini terbit saat kotak bekal dibuka. Telur balado, sawi tumis dengan potongan bakso kecil-kecil serta tahu goreng membuat perutnya yang keroncongan berontak seketika. Sekejap saja, makanan itu tandas. Dia memang kelaparan karena dari pagi tidak sarapan. selama tiga hari ini, Arini makan hanya saat malam. Itu juga makan dari sisa jatah makan Naya yang didapat dari puskesmas.“Mau tambah?” Wulandari senyum-senyum melihat kotak bekal Arini yang habis lebih dulu. Dia mengulurkan makanannya ke hadapan Arini.“Boleh aku ambil jatahmu?”“Yeee, tadi pura-pura menolak sekarang malah tidak tahu diri.”Tawa mereka pecah memenuhi mushola. Arini menatap Wulandari yang masih sibuk dengan bekalnya. Ah … ini pertama kali dia tertawa selepas ini sejak Naya sakit lagi. “Lan, terima kasih.”Wulandari hanya tersenyum melihat mata Arini berkaca-kaca. Dia menepuk pelan bahu sahabatnya yang kini mulai menyusut air mata. Sungguh, Arini adalah salah satu perempuan hebat yang pernah dia kenal. Di usi
TAMU TAK DIUNDANG Arini berlari kecil kecil sambil memastikan Naya tetap aman dari terpaan hujan. Napasnya kepayahan karena tubuh ramping Arini sudah mulai kesusahan menggendong anak bungsunya yang masih tergolek lemah. Sementara Rafa sudah lebih dulu sampai di pintu rumah petak sempit yang disewanya. Anak lelaki itu tengah menunggu sang Ibu membukakan pintu rumah mereka yang hanya terdiri atas kamar tidur dan dapur sempit. Dengan susah payah Arini mengambil kunci dari dalam tasnya yang sudah usang. Pencahayaan yang minim membuat Arini sedikit kesulitan mencari benda yang dicarinya. Rafa memeluk lengannya kuat-kuat. Bibir anak laki-laki berusia enam tahun itu mulai bergetar. Gemeletuk giginya pun tak mampu dia cegah. "Ma," ucap Rafa lirih. Matanya mulai terasa panas. "Sebentar, Sayang. Mama cari kunci." Arini hampir memekik senang saat benda yang dia cari akhirnya tersentuh tangannya. Rafa dengan sigap membantu sang Ibu membuka pintu dan menyalakan lampu ruangan itu. Rafa den
SKAKMAT YUDAYuda berjongkok tepat di hadapan anak laki-lakinya. Diangsurkannya benda itu ke tangan sang anak secara langsung. Rafa tak bisa menolaknya. Aroma itu amat menggiurkan. Entah kapan terakhir kali Arini membawa makanan enak pada anak-anaknya. Segala keterbatasan wanita itu membuat anak-anaknya mulai merasa terbiasa dengan keprihatinan. "Makanlah, Sayang. Kau pasti lapar," ucap Yuda sambil membelai rambut anaknya lembut. Arini mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wanita itu menyadari kecerobohan dirinya. Benar sekali, Rafa belum makan dari siang. Hanya roti yang sudah tak berbentuk jatah dari swalayan yang dia bawa untuk anaknya. Pun anak lelaki itu tak berkeluh tentang rasa laparnya. Arini benar-benar merasa tertampar mendapati kenyataan itu. Selain itu pula, kesibukan mengurus administrasi kepulangan Naya membuat Arini lupa mencarikan makanan untuk sulungnya."Terima kasih. Lekas pulanglah, Mas. Tak enak dilihat tetangga." Arini berkata sambil menengok ke arah lain. D