LOGIN
“Bun, ini tadi diantar kurir. Katanya dari kantor notaris. Penting.”
Aku mendongak dari dapur, melihat Lita berdiri di ambang pintu sambil memegang amplop putih dengan logo kantor hukum di sudutnya.
“Kurir?”
“Iya, kurir biasa. Tapi amplopnya tulisannya ‘pribadi dan rahasia’.”
Aku mengusap tangan dengan serbet dapur lalu berjalan mendekat. Jantungku berdetak aneh ketika melihat tulisan tanganku sendiri di sudut kanan atas amplop itu:
Untuk Rani. Pribadi.
Deg.
Itu… tulisanku. Tapi aku tak ingat pernah menulisnya.
Kubuka amplop perlahan. Di dalamnya, ada beberapa lembar salinan surat wasiat dengan cap resmi. Namaku tertera di halaman pertama: Rani Kartika, ahli waris utama dari Hartono Sasmita.
Hartono Sasmita.
Ayah dari suamiku.
Mertua yang tak pernah benar-benar menganggapku sebagai bagian dari keluarga.
“Bun… itu apa?” tanya Lita pelan. Anak itu menatapku penuh rasa ingin tahu. Suara film kartun dari ruang tengah masih terdengar, kontras sekali dengan dentuman yang terasa di dalam dadaku.
“Cuma surat dari notaris. Nggak penting kok,” jawabku cepat, mencoba tersenyum.
Aku segera mengambil ponsel dan membuka kontak kantor notaris yang tertera di surat. Tanganku sedikit gemetar saat mengetik.
Halo, saya Rani Kartika. Saya baru menerima salinan surat wasiat dari Pak Hartono melalui kantor Anda. Apa surat ini benar?
Beberapa menit kemudian balasan masuk.
Benar, Bu Rani. Surat itu sah dan sudah melalui proses legalisasi. Sesuai permintaan terakhir almarhum.
Aku mendadak sulit bernapas. Rasanya seperti ditarik keluar dari tubuhku sendiri.
Kenapa aku? Kenapa bukan Bayu, anak kandungnya? Kenapa aku yang dipilih?
Aku duduk di kursi ruang makan, menatap surat wasiat itu tanpa berkedip. Kertasnya masih hangat karena baru saja keluar dari amplop, tapi pikiranku sudah membeku.
“Bun, kok diem aja? Bun... kamu nangis ya?” Lita mendekat, suaranya mengiris lamunanku.
Aku cepat-cepat menyeka ujung mata. “Nggak, sayang. Bunda cuma... kaget aja.”
Kaget adalah kata yang terlalu lembut untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Lebih tepat kalau disebut panik. Bingung. Dan jujur saja—takut.
Tak lama kemudian, deru mesin mobil terdengar dari luar.
Bayu pulang.
Aku langsung menyembunyikan surat itu ke laci meja dapur dan menutupnya rapat.
“Assalamualaikum,” sapa Bayu sambil melepas sepatu.
“Waalaikumsalam,” jawabku datar. Mataku menatap wajahnya—wajah yang dulu kupercaya sepenuhnya, sebelum semua jadi membingungkan seperti ini.
Bayu mencium keningku lalu memeluk Lita.
“Tumben pulang cepat?” tanyaku mencoba biasa.
“Meeting dibatalkan. Pak Dimas katanya sakit.”
Aku hanya mengangguk, walau hatiku mulai menyusun tanda tanya.
“Bunda lagi ngapain?” tanya Bayu sambil membuka lemari es.
“Nggak, tadi ada kurir nganter surat dari notaris.”
Bayu menoleh cepat. “Surat apa?”
“Entah. Katanya salah alamat. Aku udah sobek juga tadi, nggak penting,” kataku berbohong setengah.
Wajah Bayu menegang sesaat. Lalu ia tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan.
“Kurirnya bilang apa?”
“Kamu kenapa nanya terus?” balasku cepat. “Kok kayak... panik?”
“Enggak. Cuma aneh aja. Notaris mana sih? Ngapain juga ngirim ke sini?”
Aku tersenyum tipis. Kali ini aku yang menggenggam kendali.
“Kalau emang nggak penting, ya nggak usah dibahas lagi. Mau makan sekarang atau nanti?” tanyaku, mengalihkan.
Bayu tak menjawab. Ia berjalan ke kamar dan menutup pintu. Kencang.
Tak lama, ponselku berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar.
“Jangan percaya siapapun, termasuk suamimu. Kamu terlibat dalam sesuatu yang lebih besar dari yang kamu tahu.”
Aku menelan ludah.
“Kalau kamu ingin tahu kebenaran, datang malam ini ke Restoran Jambu Lantai 2. Sendiri. Jam 9.”
Tanganku gemetar memegang ponsel.
Aku hanya ibu rumah tangga biasa. Aku tidak pernah mengusik siapa pun. Tapi entah kenapa, malam ini, hidupku seolah baru saja digeser masuk ke dalam cerita lain. Cerita yang tidak pernah aku pesan.
Sebuah cerita di mana aku... ternyata bukan hanya istri dari Bayu.
“Baik. Aku akan datang.”
Dengan satu ketukan balasan, aku tahu tidak ada jalan mundur.
Dan jika Bayu menyembunyikan sesuatu dariku—seperti yang kurasakan akhir-akhir ini—aku akan mengetahuinya malam ini.
Atau semuanya akan berakhir.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Lagi. Setiap kali memejamkan mata, aku melihat wajah Hartini yang pucat, suara Bayu yang bergetar, dan tatapan kosong Arka yang mulai retak.Besok adalah hari terakhir. Hari di mana semua kata-kata akan diucapkan, semua argumen akan disampaikan, dan keputusan akan dijatuhkan.Aku duduk di teras belakang rumah Pak Wibowo, menatap langit malam yang gelap. Tidak ada bintang. Hanya awan tebal yang menutupi segalanya—seperti ketidakpastian yang menggantung di atas kepala kami."Tidak bisa tidur juga?"Aku menoleh. Arjuna berdiri di ambang pintu dengan dua gelas teh hangat di tangan. Sudah jadi ritual kami—duduk bersama di malam sebelum hari penting, berbicara tentang apapun kecuali ketakutan kami."Terlalu banyak yang dipikirkan," jawabku sambil menerima gelas dari tangannya.Dia duduk di sampingku. "Bu Ratna bilang pledoinya sudah siap. Dia yakin hakim akan putuskan bersalah.""Tapi tidak ada yang pasti di dunia hukum," ujarku pelan. "Hartini dan Arka punya
Bayu didorong perlahan menuju podium saksi. Setiap gerakan kursi rodanya terdengar keras di ruang sidang yang hening. Paramedis membantunya berdiri—dengan susah payah—agar bisa bersumpah di depan hakim.Tangannya gemetar saat diangkat. Suaranya lemah saat mengucap sumpah. Tapi matanya... matanya penuh tekad yang tidak pernah kulihat sebelumnya.Setelah selesai bersumpah, dia duduk kembali di kursi roda. Monitor jantung portable yang terpasang di dadanya berkedip pelan—mengingatkan semua orang bahwa dia bisa saja tidak bertahan sampai persidangan selesai.Bu Ratna mendekatinya dengan tatapan lembut. "Saksi, apa Anda yakin bisa melanjutkan? Kondisi kesehatan Anda—""Saya yakin," potong Bayu dengan suara parau tapi tegas. "Ini... ini satu-satunya hal yang bisa saya lakukan untuk menebus semua kesalahan saya."Hakim Bambang mengangguk. "Silakan lanjutkan, Jaksa."Bu Ratna membuka berkas. "Saksi, tolong sebutkan nama lengkap dan hubungan Anda dengan terdakwa."Bayu menarik napas dalam—terd
Pagi itu aku bangun pukul lima subuh. Tidak bisa tidur lagi. Terlalu banyak yang berputar di kepala—skenario terburuk, kemungkinan-kemungkinan yang bisa salah, wajah-wajah orang yang sudah menderita karena Arka dan Hartini.Lita masih tertidur di sampingku, wajahnya tenang untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. Aku tidak mau bangunkan dia. Biarkan dia tidur sedikit lebih lama di dunia yang masih aman.Di ruang makan, Pak Wibowo sudah duduk dengan setumpuk dokumen di depannya. Wajahnya serius, matanya merah—sepertinya dia juga tidak tidur semalam."Pagi," sapanya tanpa menoleh."Pagi," jawabku sambil menuangkan kopi. "Sudah siap?""Tidak ada yang benar-benar siap untuk hari seperti ini," ujarnya sambil membalik halaman. "Tapi kami sudah lakukan semua yang bisa kami lakukan. Sekarang tinggal eksekusi.""Bagaimana dengan jaksa? Apa mereka benar-benar bisa dipercaya?"Pak Wibowo akhirnya menatapku. "Jaksa Penuntut Umum yang akan tangani kasus ini adalah Bu Ratna Sari—salah satu jaksa
Hari ketiga di klinik Dr. Sari terasa seperti hari yang paling panjang. Kami semua mulai merasakan efek dari terkurung—Lita semakin pendiam, Arjuna lebih gelisah, dan Nyonya Surya yang biasanya tenang mulai tampak lelah.Hanya Bayu yang kondisinya perlahan membaik. Dr. Sari bilang lukanya mulai menutup, infeksinya terkontrol, dan dia sudah bisa makan bubur encer. Tapi dia masih sangat lemah—belum bisa duduk sendiri, apalagi berjalan."Kalau kondisinya terus membaik seperti ini, dia bisa bersaksi di pengadilan," kata Dr. Sari sambil memeriksa chart medis Bayu. "Tapi dia harus dibawa dengan kursi roda. Dan tidak boleh terlalu lama. Maksimal satu jam.""Itu cukup," ujar Pak Wibowo yang datang pagi itu dengan kabar terbaru. "Jaksa sudah atur jadwal persidangan. Empat hari lagi. Hari Senin pukul sepuluh pagi."Empat hari. Kami hanya perlu bertahan empat hari lagi.Tapi empat hari terasa seperti selamanya saat kamu tahu ada orang yang ingin kamu mati.Sore itu, Lita duduk di sampingku di ru
Penangkapan Hartini menjadi berita utama di semua media hanya dalam hitungan jam. Foto wajahnya yang pucat, diborgol, dikawal polisi keluar dari rumah sakit—tersebar di televisi, koran, dan media sosial."RATU BISNIS KOTOR AKHIRNYA TERJERAT" "SKANDAL PEMBUNUHAN DAN KORUPSI DI KELUARGA HARTONO GROUP" "MISTERI KEMATIAN 20 TAHUN LALU AKHIRNYA TERKUAK"Kami menonton berita itu dari kamar hotel dengan perasaan campur aduk. Lega, tapi juga waspada. Karena kami tahu—Arka masih di luar sana."Dia tidak akan diam," kata Arjuna sambil menatap layar televisi. "Hartini ditangkap berarti jalur komunikasinya putus. Dia akan panik. Dan orang yang panik akan jadi lebih berbahaya.""Tapi polisi sudah bergerak," ujarku. "Pak Wibowo bilang mereka juga sedang kejar Arka.""Arka bukan orang bodoh. Dia pasti sudah antisipasi skenario terburuk." Nyonya Surya duduk dengan wajah serius. "Dia pasti punya rencana pelarian. Mungkin sudah keluar negeri sekarang.""Atau," Arjuna menatap kami, "dia masih di sini. M
Kami tidak kembali ke rumah Kotagede. Terlalu berisiko. Nyonya Surya mengarahkan Pak Harto—yang asli, yang berhasil kami temukan terikat di bagasi mobil Pak Danang sebelum dia kabur—untuk menuju ke sebuah hotel kecil di pinggiran kota.Hotel itu sederhana, nyaris seperti losmen. Pemiliknya tidak banyak tanya, hanya memberi kunci kamar dengan tatapan curiga yang ditahan karena Nyonya Surya membayar tunai tiga kali lipat harga normal.Kamarnya kecil. Dua tempat tidur, satu kamar mandi, dan jendela kecil menghadap ke gang sempit. Tapi setidaknya aman. Untuk sementara.Lita langsung kutidurkan. Tubuhnya masih gemetar, matanya bengkak karena menangis. Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin sampai ia akhirnya tertidur—tidur yang tidak tenang, penuh gerakan gelisah dan erangan kecil.Setiap kali ia bergerak, aku mengelus rambutnya. Berbisik bahwa semuanya sudah aman. Meski aku sendiri tidak yakin.Di luar kamar, aku mendengar suara Arjuna dan Nyonya Surya berbicara pelan.







