Aku mengintip dari jendela kamar dan melihat Mas Ahmad yang sedang diceramahi oleh tukang kredit yang gagal mendapatkan uang dari ibu. Aku tidak heran jika Ibu mendadak tidak ada di rumah karena ibu itu selalu bersembunyi jika tidak bisa membayar hutangnya. Untuk kali ini aku benar-benar mencoba untuk abai dan tidak ingin peduli dengan hutang-hutang ibuku karena semakin aku memberikan keringanan untuk membayar maka ibu akan selalu menindas ku dan meminta uang selalu kepadaku. Bukan aku pelit, tapi jika aku tidak pandai-pandai mengelola uang yang jumlahnya tidak seberapa itu pasti tidak akan cukup untuk makan kami dan juga biaya hidup kami ke depannya."Udah?" Tanyaku saat Mas Ahmad sudah kembali ke kamar dengan wajah yang seperti lipatan belum digosok. Lecek."Udah. Aku pikir Ibu ada di rumah loh tadi," ucap Mas Ahmad."Udah aku cari sampai ke dapur, sumur, kolong jembatan, kolong meja sampai kolong-kolong tikus, nggak ada. Apa mungkin Ibu digondol kolong Wewe?" tanyaku membuat Mas Ah
Aku selesai meracik sempolan untuk jualanku besok pagi. Aku menaruhnya dalam kulkas, lalu masuk ke dalam kamar. Aku hanya melirik pada suamiku yang masih setia menemani ibunya yang masih saja awet merepet. Ya begitulah, Ibu mertuaku seperti tak ada rasa lelah mengomel setiap harinya. Saat diingatkan tentang bahayanya marah marah di usia tua, eh malah tambah marah. Dibilang aku nyumpahin orang tua itu bakalan kualat nantinya. Mas Ahmad terlihat lesu saat masuk ke dalam kamar. Aku pun sudah bersiap untuk mendengarkan keluhannya. Aku yang sudah paham watak suamiku, perlahan mendekat dan tersenyum padanya.“Angga aja televisi sedang salah sinyal dan channel. Mas baik wudhu, kita jamaah di masjid saja. Gimana?” tanyaku.“Di rumah saja lah, Mas lagi malas keluar rumah. Nggak mood, takutnya ucapan ke mana mana.”“Nggak usah dibikin bete sih, Mas. Ibu kan sudah biasa kayak gitu. Biasanya juga Mas yang nasehatin Nina kalau lagi badmood begini. Sekarang wudhu, Nina siapkan pakaiannya.”Mas A
"Lalu, untuk apa kamu ke sini lagi? Aku sudah beristri, kamu juga sudah bersuami bukan?" tanya suamiku. Aku berusaha untuk memperlambat langkahku bahkan berhenti sementara untuk mendengar apa yang menjadi jawaban dari wanita yang terdengar punya hubungan dengan suamiku itu. Penasaran membuatku menjadi wanita setengah kepo yang akhirnya tidak bisa menahan semua rasa yang ada di dalam dada. Entah Kenapa dadaku benar-benar berdebar cepat saat melihat wanita itu datang dan saat melihat obrolan dari semua orang yang ada di depan. seperti akan ada yang terjadi dan itu pasti akan sangat menegangkan jika begini.Cemburu, tentu saja. Apalagi suamiku terlihat sangat tidak biasa saat melihat wanita itu bahkan terkesan seperti mengingat kejadian masa lalu. Mencurigakan!"Suamiku menceraikanku saat ini, Mas. Mengusirku dari rumah karena mengira aku bukan hamil anaknya dan dia sudah menjatuhkan talak dariku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena yang aku kenal hanyalah Mas Ahmad.""Dia ingi
“Dek.”Mas Ahmad menyusulku. Aku masih menangis di balik bantal dan aku benar benar sedih dengan perlakuan Ibu mertuaku itu. Kurasakan belaian tangan Mas Ahmad dan aku berusaha untuk tidak terlihat mengalah dan baik baik saja meski di depan Mas Ahmad sekalipun.“Dek, aku dan Minah memang punya masa lalu. Tapi aku sudah tak ada apa apa sama dia. Aku juga sudah minta sama Ibu, kalau dia tetap di sini kita akan pergi dari rumah ini.”Mendengar ucapan Mas Ahmad, aku pun merasa lega. Akhirnya Mas Ahmad bisa tegas dengan keputusannya. Aku pun tak akan sudi satu atap dengan mantan suamiku. Meski di rumah Mbak Mita juga sedikit beresiko, tapi setidaknya aku bisa sedikit mengantisipasi.“Jangan marah sama Mas ya? Mas jadi bingung.”Mas Ahmad memelukku, mendekapku erat. Aku pun berbalik dan menatap manik mata suamiku yang tentu menyiratkan kekhawatiran.“Mas bentul betul mengusir wanita itu?” tanyaku dengan pelan.“Ya. Tadi aku tinggalkan setelah mengatakan hal itu. Semua tergantung bagaimana k
"Mas yakin Kamu sengaja usil begini biar Ibu kesal dan membawa Minah untuk pulang kan?" Tanya Mas Ahmad saat kami akhirnya memutuskan duduk di belakang rumah Pak Darmaji. Aku sengaja mengajak Mas Ahmad untuk ngumpet terlebih dahulu. "Ya gimana lagi, wanita itu kegatelan dan ibu juga aneh karena seperti ingin membuat mas itu dekat sama dia. Mumpung Dia sedang berbaik hati menawarkan pekerjaan alangkah baiknya diterima saja. Siapa tahu habis mencabuti rumput di sana dia langsung lahiran dan pergi dari desa ini.""Istriku ini memang usilnya nggak ketulungan. saat kecil pasti kamu sangat tomboy ya?" Mas Ahmad terkekeh saat mengatakan hal ini. "Nggak juga, aku kalem dan tidak neko-neko. Sama persis saat lagi diajak ngamar sama suami sendiri," kekehku.Dari kejauhan aku melihat ibu dan Mina berjalan menuju ke rumah. Aku melihatnya dari belakang rumah dokter muji dan akhirnya aku pun tersenyum pada mas Ahmad."Kan? Aku bilang juga apa? Mana mungkin wanita itu dengan sukarela mau membantumu
Aroma masakan tercium dari radius terdekatku. Aku yang baru selesai sholat magrib berjamaan di masjid pun langsung penasaran dengan bau sedap dari dalam rumah. Aku mengucapkan salam bersama dengan Mas Ahmad dan terlihat Ibu sedang menikmati makanan lezat di atas meja.“Wuih, makan makan nih!” ucapku yang langsung duduk di samping Mbak Mita. Mata kakak iparku langsung menajam saat aku pura pura dekat dengannya. Padahal bukan karena ingin makan makanan yang ada di meja, hanya ingin terlihat akur saja dengan ibu mertua. Lelaki yang menjadi suamiku pun tersenyum. Dia yakin aku adalah wanita yang istimewa karena bisa sesabar itu membaurkan diri dengan keluarganya yang sangat sangat menyebalkan itu.“Dari siapa, Bu?” tanya Mas Ahmad.“Dari Minah, tadi dia belikan di kedai baru depan sana. Dia bilang kenal dengan pemiliknya, jadi banyak bonus dan dikasih kita semua. Minah memang wanita yang gaul dan nggak kampungan. Teman temannya pengusaha semua, makanya dapat kemurahan seperti ini,” puji
“Abang abang kalau mau main ke rumah mertua Nina, kabari dulu ya? Takutnya nggak ada persiapan, nggak enak kan kalau disajikan air putih doang,” ucapku.“Sip, nanti Abang kabari. Nunggu Bang Cakra libur ya, dia kan yang kantor sendiri.”Dari ketiga kakak kakakku, hanya Bang Cakra yang memang mempunyai pekerjaan mapan. Dia kerja di perusahaan pengiriman barang dan menjabat sebagai orang penting di sana. Sebenarnya belum lama sih dia bekerja di sana, baru setelah satu tahun pasca aku menikah, jabatan Bang Cakra yang tadinya hanya karyawan biasa akhirnya diangkat menjadi Manager di kantornya. “Bang Angga, ngantor makanya. Jadi nggak nganan kalau Bang Cakra terlihat ganteng dengan setelan jasnya sedangkan Bang Angga masih dengan celana sobeknya. Euu … nggak banget,” kekehku.“Ya nggak apa apa, meski pakaian tak modis tapi ciwi ciwi udah nganteri di belakang layar udah kayak panjangnya antrian BLT, Dek. Jangan salah! Sedangkan Bang Cakra, beuh .. mana ada pacar. Teman dekat saja nggak a
Aku hendak pergi berjualan. Aku bungkam tanpa suara apapun selain tangan yang aku ulurkan dan bersalaman dengan suamiku. Jika biasanya aku selalu menyemangatinya kali ini aku diam saja. "Kenapa sih? Tumben banget pagi-pagi udah manyun.""Lagi pengen nelen orang jadi nggak usah tanya-tanya. Nina pergi dulu, assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Semangat Sayang, semoga jualannya laris manis Tanjung kimpul.""Min."Aku menjawabnya dengan malas dan langsung keluar dari kamar. Aku mengabaikan suara Jani yang sudah berteriak meminta uang saku. Aku sedang kesal pada kakaknya dan aku juga sedang tidak ingin berbicara dengan keluarga suamiku yang sangat menyebalkan semuanya."Mbak, uang sakunya mana? Udah diminta dari tadi juga," pinta Jani dengan raut wajah kesalnya."Emangnya aku mbakmu apa! Minta tuh sama Mbak kamu yang kaya raya dan sombong!""Mbak Mita nggak ada duit, Mbak Nina aja. Udah sih, ini Udah kesiangan loh."Untuk pertama kalinya aku memasang wajah kesal kepada bocah remaja itu. Me