Share

Kubayar Lunas Tantangan Maduku
Kubayar Lunas Tantangan Maduku
Author: Wafa Farha

Betina Egois

Author: Wafa Farha
last update Last Updated: 2024-07-30 04:06:34

Aku hanyalah segenggam kehangatan, saat suamiku menginginkan sebongkah bara untuk membakar dirinya sendiri.

💔

“Ini, ya pelakornya, Mbak Rin?” posting seseakun di kolom komentar wallku. “Hem, iyalah nggak diposting jelas. Suami orang kok. Sekarang malah sudah dihapus. Untung kecepatan tangan netizen sudah sempat mengabadikannya.”

Mata ini membelalak. Seorang wanita muda nan cantik tengah berpelukan dengan seorang pria yang hanya tampak sampingnya saja, dengan wajah yang dibuat samar. Namun, aku bisa mengenali siapa pemilik punggung lebar itu. Potongan rambut juga tanda lahir di ceruk leher yang selama ini menghangatkan wajahku saat kutenggelamkan di sana. Dia adalah suamiku, Mas Sultan Dewangga. Pria yang menghalalkanku 10 tahun lalu dan telah lahir tiga buah hati di antara kami.

Dari mana mereka dapat foto Lala yang keberadaannya sangat dirahasiakan oleh Mas Sultan dan keluarganya?

Lekas kuhapus komentar itu, tak mau orang lain salah paham dan balik menghujatku karena mengamini teman-teman menyebar foto perempuan jahat itu. Bukan karena sok suci, atau ingin menjaga perasaan pria yang diam-diam menduakanku, atau pelakor itu bebas menjalani kehidupan dengan suami orang. Aku juga tak takut pada mereka yang sekarang berbalik memusuhiku.

Lucu memang! Aku yang dibohongi, diselingkuhi diam-diam, aku pula yang ditempatkan sebagai penjahat yang mengganggu kebahagiaan mereka sebagai pengantin baru.

Akan tetapi lebih ke pada anak-anak, tak mau mereka mengenal siapa wanita yang sudah menghancurkan hubungan papa dan mama mereka. Tidak! Demi Tuhan bukan karena mereka aku menahan diri di medsos. Semua rasa sakit yang tak kulampiaskan dengan brutal ini adalah demi anak-anak.

Mata ini masih juga menyapu isi komentar di status yang kubuat pagi ini, saat beristirahat sejenak menunggu antrean di apotek menebus obat si sulung. Setelah melihat nomor antrean di tangan dan orang yang sedang dilayani, aku pun kembali memperhatikan ponsel. Barang kali ada komen aneh lagi yang harus kubersihkan.

“Masih lama giliranku,” gumamku.

“Astaghfirullah, istighfar Mbak Rin. Suami nikah lagi itu bukan selingkuh, jadi jangan buat statement seolah si Mbak terdzolimi," tulis seseakun.

Manis sekali ucapannya. Mengingatkan agar istighfar, tapi dia sendiri pakai PP buka aurat tidak istighfar. Ya Rabb, kenapa aku jadi malah menilai orang lain. Kuelus dada sambil minta ampun dalam hati.

"Katanya embaknya ngaji, tapi kok menolak syariat poligami. Kasian loh, masnya jadi dihujat netizen, padahal nggak melakukan dosa," sambar akun lain.

“Sudah, Mbak. Jangan playing victim muluk, takutnya Allah marah. Yang Mbak gak suka itu syariat Allah,” timpal akun lain lagi.

Aku menghela napas panjang-panjang, merasakan sesaknya dada, sembari mengusap cairan yang sudah membasahi mata. Sudahlah tengah ditimpa musibah sebesar gunung karena kehilangan suami, anak sulung sakit dan dihujat banyak orang. Padahal mereka orang-orang baik, kenapa mudah sekeli menjustis seseorang, dan bahkan membuat-buat opini seolah aku membenci syariat poligami.

Apa perlu aku membongkar aib suamiku satu-satu? Tidak. Kugelengkan kepala. Walau bagaimana, dia masih ayah dari anak-anakku. Dan selamanya itu tak akan berubah. Membayangkan cap bahwa nasab mereka buruk, itu sangatlah mengerikan. Biarlah orang -orang memakinya sebagai pria tak setia. Bukan seorang pezina.

Memang begini resiko dikenal orang. Ada masalah rumah tangga selalu dikaitkan dengan semua status yang kubuat. Menyesal aku mengenalmu sebagai konten kreator yang dikenal alim dan punya banyak fans, Mas. Nikmat yang kau beri dari hasil konten-kontenmu sama sekali tidak sebanding dengan rasa sakit yang aku dan anak-anakku rasakan.

Melihat banyaknya hujatan di antara support teman-teman yang telah lama mengenalku, akhirnya aku mencermati lagi status yang sudah kutulis. Barang kali ada kalimat yang berpotensi salah dipahami oleh netizen.

Mata ini mulai menyisir kata demi kata. Padahal, sekali pun aku tak menyebut kejadian bahwa suamiku telah diam-diam menikah lagi. Tak juga menceritakan bagaimana payahnya saat dulu hidup susah bersamanya. Saat kami benar-benar ada di titik bawah, tak memegang sepeser pun uang, dan malah punya hutang puluhan juta karena dia harus operasi usus buntu.

“Sabar ya, anakku. Si Kakak sedang sakit. Mohon doa ya, Teman-teman,” tulisku.

Caption itu kububuhkan di sebuah foto yang hanya memperlihatkan tangan Afief –putra pertama kami tengah terhubung ke selang infus. Entahlah, apa ini ada hubungannya dengan perselingkuhan Mas Sultan? Dia ambruk, karena aku terlalu sibuk mengurus perceraian dan juga lebih fokus ke bungsu yang umurnya baru tiga tahun.

Kupikir balita itulah memerlukan perhatian lebih disbanding kakaknya yang sudah bisa mandiri. Namun, aku salah anak-anakku hanyalah anak-anak. Aku tak bisa mengharap mereka menyikapi perceraian mama dan papanya dengan cara dewasa. Mereka butuh kami untuk mendampingi tumbuh kembangnya. Yah, aku keteteran dan perlu penyesuaian setelah kehilang pria yang dulu sangat perhatian dan mengurus anak-anak bersamaku.

Tak tahu, sebenarnya apa yang sudah Lala lakukan sampai Mas Sultan mampu berpaling. Cantik? Bukankah aku juga masih cantik? Semua orang mengatakan itu. Aku bahkan mandiri dan sudah banyak berkorban untuknya termasuk saat Mas Sultan sekarat dulu.

“Tega kamu, Mas. Bahkan Afief sampai sakit begini karena perbuatanmu, dan kamu masih juga tak membalas pesanku.” Kutatap layar ponsel di mana pesanku telah terkirim ke nomor Mas Sultan, centang dua biru, tapi tak ada balasan sama sekali.

Argh, membayangkan dia sibuk bermesraan dan mengabaikan pesan tentang sakitnya Afif, sudah membuat mataku semakin perih saja. Kuembuskan napas dalam-dalam berharap beban yang menghimpit dada ini ikut ke luar bersama udara beracun dari sana.

“Nomor 192, atas nama pasien Muhammad Afif!” Suara dari speaker terdengar. Aku pun terkesiap dan lekas bangkit dari duduk untuk memenuhi panggilan itu.

Setelah menerima obat, aku pun berjalan meninggalkan apotek. Namun, baru saja beberapa langkah meninggalkan loket pembayaran, seorang pria yang mengenakan jaket hodie menarik lenganku. Wajahnya ditutup masker dan memakai kaca mata hitam. Karena kekuatannya sebagai pria aku terseret begitu saja tanpa sempat protes.

“Hei!” tegurku bingung di sela langkah.

Sampai di tempat sepi, pria itu pun mengeluarkan amplop berwarna cokelat. Saat kuamati wajahnya, ternyata Mas Sultan.

“Mas kamu?” Dari semalam dia tak menjawab pesan dariku dan tak mengangkat panggilan, sekarang malah berdiri di hadapanku dengan mengendap-endap begini. Ada apa dengannya?

“Pakai uang ini! Dan jangan menghubungiku ke nomor itu lagi. Aku capek menghapus pesanmu!” Suaranya meluncur begitu saja dengan nada kesal.

“Hah?” Aku menatapnya heran. Bagaimana bisa dia yang marah? Jelas-jelas akulah yang dibuatnya susah di sini!

Pria itu tak mempedulikan reaksiku dan pergi begitu saja. Tentu saja aku tak terima! Dia pikir kami hanya butuh uang? Aku juga punya uang. Seharusnya dia menemui putranya yang dari semalam terus memanggil papanya.

Aku pun mengejar dan menarik lengan Mas Sultan agar dia berhenti. Kulakukan tanpa canggung, karena bahkan kami belum resmi bercerai. Masa iddah juga belum berakhir, itu kenapa aku tak sungkan menyentuh pria itu.

Namun, di luar dugaan … seseorang tiba-tiba datang di antara kami.

“Mas!”

“Kamu apa-apaan, sih, Mbak! Kalian kan sudah cerai! Kenapa pegang-pegang segala?!” Lala menarik tanganku dan melepasnya kasar.

Wanita itu tampaknya sangat marah karena dibakar cemburu.

Pantas saja Mas Sultan buru-buru dan mengendap-endap, rupanya ada betina yang mengawasinya.

“Cerai? Aku dan Mas Sultan sudah cerai?” Tiba-tiba saja aku tak terima wanita itu bersikap seenaknya.

Dia pasti juga sudah mendengar kalau Afif sakit, apa perlu bersikap lebay begitu hanya karena aku memegang lengan Mas Sultan. Lala sudah berhasil mendapatkan Mas Sultan dan aku mengalah melepaskannya, tapi bahkan sekarang dia tidak memperlihatkan empati sedikit pun pada penderitaan anakku.

Aku menggeleng. “Kami belum resmi bercerai, La. Bisa saja aku memutuskan rujuk sesuai saran hakim dan permintaan Mas Sultan?”

“Apa?!” Mata Lala membelalak. Ia menatapku tak terima lalu mengarahkan matanya kepada Mas Sultan dengan tatapan tak percaya. Sepertinya Lala tidak tahu, kalau Mas Sultan memohon-mohon agar aku mau dirujuk demi anak-anak.

Bersambung ….

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
nurdianis
sabar ya, mbak
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kubayar Lunas Tantangan Maduku   Ending

    Sultan seperti orang linglung sejak setahun terakhir. Kabar mengejutkan yang dia dapatkan benar-benar membuatnya syok dan frustasi. "Saya ingin mengabarkan bahwa ... Em, Ibu Lala sudah meninggal dunia," ucap sipir hati-hati membawa kabar buruk itu. "Ap -apa?" "Operasi yang dilakukan tak berjalan lancar, bahkan menemui kegagalan. Ibu Lala dinyatakan meninggal bersama janin yang masih berada di dalam perutnya."Tubuh pria itu luruh. Sultan menyesal karena tidak mengetahui penyakit Lala, padahal Lala juga adalah istrinya. Dia bahkan memaksa wanita itu menjalani kehidupan berat di penjara. Laki-laki itu terus nenyalahkan diri sendiri di dalam penjara.Sultan yang saat itu hanya diizinkan melihat mayat Lala pun menangis histeris. Ketika tubuh Lala dikebumikan, Sultan benar-benar kehilangan harapan. Tidak ada lagi sosok Lala yang dicintainya. Pun Lala membawa pergi calon buah hati mereka yang selalu dinantikan oleh Sultan. Dia bahkan berpikir kalau kehadiran anak itu akan menggantikan so

  • Kubayar Lunas Tantangan Maduku   Sepadan

    Sultan merenung di dalam selnya. Pikiran pria itu masih terus bercabang hingga membuat kepalanya pusing setiap waktu. Bola matanya yang tampak cekung karena kurang tidur. Wajahnya seketika berubah kurus dan terlihat tua karena tak terurus. Memikirkan nasib ibu dan adiknya yang harus hidup tanpa dirinya, memikirkan nasib anak-anaknya yang kini tinggal bersama Ririn, dan juga Lala yang juga sedang dipenjara.Dulu Sultan menjadi orang pertama yang pasang badan untuk ibu dan adiknya. Pun untuk istri dan anak-anaknya. Akan tetapi, sekarang dia tampak tak berdaya dan hanya bisa berdiam di pojokan sel penjara.Meski Ririn sudah mencabut laporan atas tuduhan penculikan yang dilakukan oleh Lala dan ibu angkatnya, tapi Sultan dan Lala harus menjalani masa tahanan lima tahun sesuai dengan aturan yang tertulis di pasal 279 KUHP tentang pernikahan diam-diam tanpa izin dari pihak istri sah. Tak ada yang bisa dilakukan. Sultan pasrah dan tidak mau menyewa pengacara untuk meringankan hukumannya. Ka

  • Kubayar Lunas Tantangan Maduku   Lala Menggila

    Selepas kepergian David, Lala uring-uringan. Imbasnya dia jadi mengamuk kepada aparat yang sudah menahannya dan membuat aparat menyeretnya dengan paksa ke dalam sel. "Lepaskan saya! Lepaskan! Tempat saya bukan disini!" teriak Lala yang dipaksa masuk ke dalam sel oleh polisi. "Kalau Bu Lala tidak bisa tenang, kami akan memanggil dokter dan meminta dokter menyuntikkan obat penenang!" bentak aparat kepolisian wanita yang bertugas menjaganya."Nggak! Kalian mana ngerti gimana hidup gue hancur? Dia malah terus mengejek. Dia mantan yang ga tau diri. Udah miskin, gak bisa kasih ini itu ke pacarnya kaya pacar orang, eh belagu, hidup lagi! Apa salah kalau gue milih putus! Eh sekarang dia datang seolah- olah gue dulu penjahat!" Lala berteriak seperti orang gila tak peduli pada ancaman petugas. Malah bagus obat penenang itu, dia memang ingin tenang sekarang. Kesadaran hanya membuat perempuan itu tersiksa lahir dan batinnya. Terlebih sudah lebih seminggu tak ada kabar dari Sultan. Permintaan b

  • Kubayar Lunas Tantangan Maduku   Nasehat Mantan

    Sultan terperangah mendengar ucapan Dea. Gadis itu segera melanjutkan ucapannya sebelum Sultan semakin syok."Tapi, tenang aja, kata dokter Aditya Mama baik-baik aja. Cuma syok karena waktu itu aku bilang kakak dipenjara," lanjut Dea."Jadi Aditya yang menolong Mama?" lirih Sultan. Tak menyangka jika pemuda yang mereka benci justru adalah orang yang akan merawat salah satu dari keluarganya. Dea mengangguk. Ia tak bisa menangkap penyesalan di wajah sang kakak. Yang jelas, Sultan begitu karena sang mama ambruk di rumah sakit. Lelaki itu lalu meneteskan air mata. Merasa bersalah atas ibunya yang kini harus terbaring di rumah sakit karena memikirkannya. Aditya yang semula berdiri di ambang pintu bersama aparat pun masuk dan duduk di samping Dea."Bagaimana kabarnya Mas?" tanya Aditya. Pria itu harus mengumpulkan banyak keberanian jika ingin bersanding dengan wanita yang dicintainya yang tak lain adalah saudara perempuan narapidana di hadapan. Sultan bergeming. Kemudian menatap Aditya.

  • Kubayar Lunas Tantangan Maduku   Korban Lain

    "Kita juga perlu restu dari Mbak Ririn agar berani melangkah lebih serius lagi," lanjut Aditya.Ririn tersenyum melihat wajah Dea dan mengatakan, "De, apa pun yang menjadi pilihan kamu, Mbak pasti setuju. Tapi, bukannya yang harusnya kamu dapatkan itu restu dari Mas Sultan?" tanya Ririn menegaskan. Apalagi sebentar lagi, Ririn hanya akan menjadi seorang ExWife bagi Sultan, kakak Dea. Yang artinya tak ada lagi ikatan antara dirinya dengan Dea seperti dulu. Dea mengangguk. "Iya, Mbak. Nanti aku dan Aditya juga bakal cari cara biar ibu dan Mas Sultan memberi restu untuk kami berdua."Gadis itu menoleh sekilas pada Aditya. Kabar ingin bersatunya mereka dalam mahligai pernikahan tentu adalah kabar membahagiakan untuk Ririn. Apalagi selama ini, mereka sudah terlalu dekat. Perempuan yang telah melahirkan tiga anak lelaki dari pria bernama Sultan itu selama ini yang getol nasehati Dea agar menjaga jarak dengan yang bukan mahram. Sementara David hanya diam saja. Lalu sesekali menimpali denga

  • Kubayar Lunas Tantangan Maduku   Antara David dan Ririn

    Sultan meminta waktu kepada polisi untuk istirahat sebentar sebelum diinterogasi. Pikirannya blank dan tidak bisa berpikir jernih untuk sekarang. Itu sebabnya dia tidak bisa melakukan sesi interogasi dan meminta waktu untuk menjernihkan pikirannya.Kepalanya seperti bercabang. Bukan hanya memikirkan cara mendapat pengampunan dari Ririn, tapi dia juga memikirkan nasib Lala yang sedang hamil. Andai bisa, Sultan rela mendekam di penjara selamanya asal Lala dibebaskan. Namun, hukum harus tetap berjalan. Lala adalah tersangka utama dan juga dalang dari penculikan itu. Artinya dia tidak bisa bebas meskipun sedang hamil.Ketika Dea sudah pulang, Sultan pun dipanggil lagi dan siap melakukan interogasi. Wajahnya sangat kusut dan pikirannya berantakan. Tatapan matanya kosong dan lurus kedepan. Siap atau tidak siap dia harus ikut bertanggung jawab atas kesalahan Lala yang melakukan penculikan terhadap Ririn. Dia sebenarnya bisa mengelak, tapi rasa bersalahnya terhadap Ririn lebih besar dan memb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status