LOGINDi lain tempat, Rusmi membuka ponsel di ruang tamu. Mata yang lelah menatap layar yang menunjukkan berita viral tentang Reyhan dan Amanda. Ia menekan bibirnya rapat-rapat, tidak bisa menyangkal bahwa perasaannya campur aduk antara marah dan kecewa. Gelombang hujatan untuk sang putra dan Amanda luar biasa besar dan komentar mereka semua menyudutkan.'Ck! Dasar licik. Gendis benar-benar berbisa!' Rusmi mengumpat dalam hati karena sangat kesal saat ini. Namun, ia tidak tahu ini mungkin jalan terbaik untuk keluarganya agar jera. edia sosial benar-benar mengerikan. Ada salah satu komentar yang membahas keluarga Reyhan. Mau tidak mau, nama Ayu, Adam, dan Andika juga terseret. "Bu! Ibu sudah tahu belum, Mbak Gendis main media sosial dan mulai membuka semua aib?!" Suara itu bukan seperti pertanyaan, tetapi Ayu membentak sang ibu. "Ibu harusnya bisa bicara dengan Mbak Gendis agar hal seperti ini tidak terjadi. Namaku juga ikut terseret kalo begini terus menerus," keluh Ayu dengan nada menyal
Di sebuah ruang tamu minimalis dengan dinding tembok bercat putih hampir pudar menghadap jalan raya, Rusmi duduk termenung di kursi rotan. Wajahnya yang biasanya tegas kini menunjukkan kecemasan yang mendalam. Beberapa hari lalu, pertemuannya dengan calon mantan menantunya, Gendis, meninggalkan jejak luka yang tak mudah disembunyikan. Semua tidak bisa lagi diselamatkan. 'Sial! Semua rencana harus gagal!' Rusmi mengumpat dalam hati karena kesal dan tidak punya celah lagi untuk memanfaatkan sang menantu. Rusmi menyesap teh yang tersisa setengah cangkir. Ia masih memikirkan bagaimana caranya agar perceraian itu tidak terjadi. Gendis adalah ATM berjalan yang bisa diporoti kapan saja. Namun, kali ini tidak bisa lagi.Mendadak, suara ketukan keras membuat Rusmi terjengit kaget. Pemilik kos rupanya yang datang. Wajah perempuan yang mungkin sebaya dengan Rusmi itu tampak kesal. Ia datang dengan beberapa laki-laki."Kapan mau bayar?" Perempuan itu langsung bertanya pada intinya tanpa basa-ba
Tiba-tiba Ayu dan Andika masuk, wajahnya tampak lesu. "Ibu, kita butuh bicara," ucapnya serius dan membuat Rusmi mengerutkan dahi.Baru kemarin Ayu harus dirawat di rumah sakit karena keguguran dan depresi berat hingga butuh seorang psikolog. Wajah Ayu saat ini tampak sudah segar. Ah, ya, Rusmi lupa jika adik Reyhan itu pandai berakting seperti dirinya. Ayu menatap sang ibu dengan tatapan tajam."Bu... aku butuh uang. Aku ingin meninggalkan kota ini." Ucapan Ayu membuat Rusmi mengerjab beberapa kali. "Adam sudah buka suara. Lagi pula, Mas Reyhan sudah tidak bisa diandalkan sama sekali," kata Ayu sambil tersenyum sinis. "Lalu?" Rusmi bertanya dengan wajah datar."Ya, usahakan uang untuk kami," ucap Ayu memerintah sang ibu."Kamu mau lari juga? Tidak bisa! Gendis pasti akan mengejar kita," kata Rusmi sengaja menakut-nakuuti sang anak."Itu masalah Ibu. Aku hanya ingin hidup tenang, Bu," kata Ayu sangat egois."Ibu tidak punya uang lagi. Asal kamu tahu, Gendis sudah menggugat Reyhan. Ti
Masih di rumah Gendis, kali ini suasana masih tegang dan hari sudah menjelang malam. Lampu-lampu mulai menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di dinding. Di ruang tamu yang sempit, Gendis berdiri dengan wajah dingin dan tatapan tajam sementara Rusmi duduk di kursi rotan dengan tangan gemetar, matanya sembab, dan linglung. Gendis melangkah mendekat, suaranya dingin tapi penuh tekanan. "Bu Rusmi, saya sudah bilang berulang kali, saya tidak akan tinggal bersama Reyhan lagi. Aku kembalikan dia padamu," ucap Gendis sambil menegakkan dagunya, seolah menyiapkan medan perang.Rusmi menunduk, napasnya tersendat. Kelopak matanya yang keriput berusaha menghindari tatapan tajam itu, tetapi tak bisa mengelak. Ia tahu dan paham bagaimana Gendis. Singa yang sedang tidur kini sudah bangun."Gendis... Ibu hanya ingin sedikit perhatian dan… dan uang itu untuk masa depan kita semua. Dan aku juga..." suaranya melemah, seakan kalah sebelum bertanding.Gendis meringis, memelototi ibu mertu
Bu Rusmi merasa geram mendengar ucapan sang anak. Bu Rusmi pun langsung mengeluarkan amplop berisi kertas yang harus ditanda tangani Reyhan. Kertas yang berasal dari Gendis. Wanita yang telah melahirkan Reyhan itu pun segera menyodorkan kertas itu pada Reyhan."Kamu nggak percaya, Han? Ini buktinya," kata Bu Rusmi dengan ketus."Apa ini, Bu?" Reyhan tidak paham."Baca sendiri," kata Bu Rusmi kesal. Reyhan membaca tulisan dalam kertas ukuran F4. Tulisan itu seperti janggal menurutnya. Ia pun menatap ke arah sang ibu. Tatapan penuh rasa curiga."Aku nggak mau tanda tangan. Ini karangan Ibu. Aku dan Gendis nggak akan cerai. Kalo kita emang mau cerai, maka dia nggak akan biayai operasi itu. Memang uang dari mana aku bisa operasi?" tanya Reyhan sengaja menjatuhkan sang ibu."Kertas itu bukti jika Ibu ketemu Gendis. Dia yang minta Ibu datang," kata Bu Rusmi tidak mau kalah."Sudahlah, Bu. Sebaiknya, Ibu pulang saja. Aku butuh waktu buat istirahat. Besok aku operasi," usir Reyhan pada sang
Gendis sudah mendengar jika Reyhan masuk rumah sakit. Tidak ada keinginan untuk menjenguk laki-laki itu. Gendis justru semakin fokus bekerja sambil menunggu tanda tangan dari Reyhan. Entahlah, bagaimana keadaan laki-laki itu saat ini."Mbak Gendis, ada Mbak Amanda di depan," kata Novita membuat Gendis menghentikan jari-jemarinya saat sedang mengedit sebuah video yang telah dibuatnya beberapa hari yang lalu."Mau ngapain? Kalo nggak penting-penting banget, suruh dia pulang. Aku lagi banyak pekerjaan," kata Gendis yang memang sudah muak dengan Amanda."Tadi, Mbak Amanda bilang, mau bahas masalah tentang Mas Reyhan, Mbak. Jadi, mau diterima atau nggak?" tanya Novita ingin memastikan."Apalagi yang mau dibahas. Aku sama Reyhan udah bubaran. Bahasan apa? Harta gono-gini? 'Kan udah jelas syaratnya apa kalo mau dapat harta gono-gini itu. Kenapa mau dibahas lagi?" Gendis tampak kesal saat ini."Eum... kalo gitu, aku suruh pulang aja," kata Novita yang saat ini paham jika mood Gendis sedang na







