"Apa salahku, Pak? Tolong, aku tak mau dipenjara. Penjarakan saja kakakku dan suaminya," ucap Rita mulai ketakutan."Apa maksudmu, Rit? Maksudmu Eka dan Fisal?" Bu Mega menatap Eka, tak mengerti."Mama bakalan terkejut kalau tahu sebenarnya," jawab Rita."Maksudmu apa, sih? Mama gak ngerti." Bu Mega masih bingung dengan ucapan Rita. "Baiknya, ikuti kami dulu! Nanti jelaskan saja di kantor. Mohon kerjasamanya agar proses penyidikan ini berjalan lancar," ucap salah seorang dari anggota kepolisian tersebut."Aku tak mau dipenjara! Huu ... Hu ...." Rita memohon sambil terisak.Hampir dua jam Rita dan Bu Mega dicecar berbagai macam pertanyaan. Wajah Rita terlihat sedih. Ia langsung dibawa ke ruang tahanan, sedangkan Bu Mega dipersilakan untuk pulang. "Ma, jangan tinggalin Rita, Ma. Ma ...."Bu Mega melirik ke kami sebentar kemudian berlalu. Setelah beberapa lama kami tiba, dua buah mobil masuk ke pelataran parkir di depan kantor polisi.Kami masih harap-harap-cemas. Mungkinkah mereka be
"Dialah dalangnya semua ini. Dia pantas diberikan hukuman yang paling berat." Tatapan itu seakan tak terima dengan ucapan tadi.Aku pun tak kalah geramnya melihat lelaki itu. Karena ulahnya, kini kami harus menanggung kerugian besar untuk membangun kembali gedung-gedung yang telah hangus. Belum lagi, kaki ini belum seratus persen pulih, jadi aku belum bisa bekerja secara penuh.Tanpa pertanyaan lagi, mereka langsung dimasukkan ke dalam tahanan. Dia harus menanggung semua kerugian yang ditimbulkan karena ulahnya. Iwan sudah menghubungi pengacara untuk mengurus masalah ini yaitu masalah pembakaran gedung dan penabrakan yang hampir merenggut nyawaku."Tolong, Ga, lepasin Eka! Dia tidak bersalah," ucap Bu Mega sambil memohon.Entah, bagaimana menjelaskan ke Bu Mega. Bukankah tadi Rita sudah dibawa ke ruang tahanan. Aku masih terdiam mendengar ucapannya."Lun, tolong jelaskan ke Arga kalau Eka tidak bersalah. Ini semua pasti ulah Fisal yang mengajak Eka untuk melakukan itu," lanjut Bu Meg
"Ih, Ka Arga aja deh yang buka!" Luna memberikannya padaku dan bersembunyi di balik punggungku."Buka aja, Ka Arga!""Ada apa sih, Non ... Nak Arga, kok paketnya cuma ditatap?" Bi Minah ikut gabung bersama karena melihat kami yang sedari tadi kebingungan menatap paket tersebut."Paket, Bi. Kami ragu membukanya.""Emang isinya apa?" tanya Bi Minah."Belum tahu, Bi. Soalnya, kami tidak memesan.""Sini deh, biar aku yang buka." Luna sudah tak sabar dan meraih kembali.Krek! Bunyi plastik dibuka. Degup jantungku cukup kencang. Luna seakan tidak mengkhawatirkan apapun. Ia terus membukanya.Aku mengernyitkan dahi, menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Perlahan demi perlahan Luna membukanya. Lapisan pertama sudah dibuka. Luna membuka lapisan berikutnya, belum nampak juga apa isinya. Hingga ia membuka paket di lapisan terakhir. "Sepertinya surat atau kartu, Ka." Kuembuskan napas berat mendengar ucapan Luna."Kenapa surat atau kartu setebal ini bungkusannya? Bikin jantungan saja." Aku m
POV LunaAku sangat senang bisa datang ke sini. Setelah kurang lebih lima belas jam perjalanan yang cukup melelahkan, kami tiba di Amsterdam, salah satu kota terindah di Belanda. Aku tak menyangka akan berada di sini, menjadi bagian dari keluarga Van Renesse dan menjadi istri seorang lelaki berdarah Indo-Eropa.Aku masih merasakan ini seperti mimpi. "Selamat datang Luna." Bu Ayu memelukku erat. Baru pertama kali aku merasakan pelukan hangat seorang ibu yang sangat tulus. Mungkin Arga mewarisi sifat sayang dari ibunya dan ketegasan dari seorang ayah. "Makasih, Ma." Aku menyalaminya."Selamat datang Luna," sapa lelaki jakun tersebut, ayah mertuaku."Makasih, Ayah." Aku pun menyalaminya. "Bi Minah, sehat kan?" tanya Mama."Alhamdulillah. Masih sehat, Bu Ayu." Mereka berpelukan seperti dua sahabat yang sudah sangat lama tidak bertemu.Hari ini kami disuguhkan makanan khas daerah sini. Untungnya, Bi Minah bisa menyesuaikan. Awalnya, aku khawatir ia tak bisa makan. Ternyata, ia sudah ter
"Kamu ...! Kenapa kamu ada di sini?""Huh, sudah hampir dua tahun kita tidak pernah bertemu sejak kelulusan di kampus. Kamu jauh berbeda sekarang.""Terima kasih. Ngomong-ngomong, apakah kau yang bersembunyi di balik jendela tadi?" Aku tidak bisa basa-basi dan menahan penasaranku sehingga bertanya pada wanita di depanku ini secara langsung."Iya, benar. Tebakanmu tidak salah," jawabnya tak acuh."Apa maksudmu bersembunyi seperti itu? Apa yang kau inginkan?" "Apa maksudku? Kau ingin tahu?" Tatapan matanya nyalang padaku. Amarah itu masih kuingat, seakan sama di saat pertama kali ia melihatku duduk berdua bersama Arga di kantin kampus masa-masa kuliah dulu."Ya, tentu. Saya ingin tahu. Sikapmu sangat mencurigakan jika kau mengintip seperti itu.""Kau makin pandai berbicara dan berani sekarang," ucapnya mencibir."Sudahlah! Apa yang kau inginkan?" tanyaku padanya sambil memotong pembicaraannya. "Kalau kau masih menginginkan Arga, sebaiknya lupakan saja. Ia suamiku," ucapku tanpa basa-ba
POV LunaIngin sekali aku berontak dan mendorongnya agar menjauh dariku, tapi tidak bisa. Aku benar-benar tidak kuat menandingi kekuatannya. Dia sangat bertenaga dan energik. Aku tidak mungkin bisa mengimbanginya, apalagi dalam keadaan lemah seperti ini.Tangan kiri ini mencari terus tombol darurat tadi, tapi tidak dapat aku raih. Aku masih berusaha terus meskipun belum berhasil. Aku melihat darah mengalir di selang infus menuju ke atas. Sepertinya Nala sengaja mengaturnya. Seketika gebrakan pintu yang tertutup rapat terdengar di telinga ini. Beberapa orang bergegas memasuki ruangan, tempat di mana aku sedang dirawat. "Non, ada apa? Anda baru saja menekan tombol darurat!" Mereka bertanya padaku dengan wajah panik sambil bergantian menatap ke Nala. Aku pikir bahwa aku tidak berhasil menekan tombol darurat tadi karena tanganku tidak kuat lagi menggerakkan tanganku. Tapi ternyata, aku bisa. Sebenarnya aku tidak ingat lagi karena panik. "Astaga, jarum infusnya!" seru perawat yang lain
POV Luna"Ingat, ini belum berakhir! Kau akan kubalas nanti dan menanggung akibatnya," ucap Nala padaku kemudian beranjak dari ruangan ini dengan kesal.Tanpa rasa malu maupun bersalah, ia pergi begitu saja. Di mana hati dan pikiran jernihnya? Apakah dia tidak merasakan lagi rasa malu, sehingga tidak segan berbicara seperti tadi di depan orang banyak."Maafkan atas kecerobohan kami, Pak. Mulai saat ini, kami akan memaksimalkan keamanan pasien di rumah sakit ini." Dokter Salman mengucapkan permohonan maaf sekali lagi ke Arga. Wajahnya sangat serius dengan penuh penyesalan. Wajar saja dia mengucapkan permintaan maaf, karena hal ini berhubungan dengan reputasi rumah sakit yang ia pimpin jika saja benar-benar terjadi kepadaku. Pertimbangannya adalah pasiennya istri seorang pengusaha terkenal. Hal ini yang sangat dikhawatirkan olehnya jika terendus oleh media. "It's okay. Lupakan saja, Pak. Semoga tidak terjadi ke pasien yang lain lagi.""Terima kasih, Pak, atas pengertiannya. Omong-omon
POV LunaIa menatapku lebih dulu dari ujung kepala sampai kaki kemudian tidak menoleh lagi padaku. Ia hanya pergi berlalu membiarkanku berdiri sendiri di depan pintu. Aku pikir dia akan memberitahu Pak William, wakil direktur tentang keberadaanku di sini sebelum dia pergi, tapi ternyata tidak.Aku mencoba mengetuk pintu sendiri. Suara dari dalam mempersilakan aku untuk masuk."Silakan duduk, Nona!""Terima kasih, Pak." "Nona Luna?""Iya, Pak."Sosok Pak William ternyata masih muda, mungkin seumuran dengan Arga. Aku pikir seorang wakil direktur ialah orang tua, yang usianya berkisar 50-an, tapi ternyata tidak.Kulitnya sangat putih. Tatapannya tajam. Wajahnya tampan, tidak jauh berbeda dengan Arga. Akan tetapi ia tampan versi imut, sedangkan Arga, tampan dengan didominasi maskulinitas.Auranya sangat terasa saat dia berbicara. Sangat wajar bahwa dia sosok yang disegani. Saat menyapa, ia terlihat tenang, tetapi serius dan juga tajam. "Baik. Berdasarkan resume yang anda kirimkan, kami