Share

Bab 4

"Kau bilang belum selesai? Ini bagianmu lagi," ucapku dan melayangkan tinjuku berikutnya.

Ia pun jatuh tersungkur tepat di bawah kakiku kemudian bangkit.

"Sudah Ga. Tak baik dilihat karyawan yang lain." Luna makin panik. "Satpam, tolong bawa dia keluar dari sini."

"Baik, Non!"

"Hei, apa-apaan ini!" Fisal berusaha melepaskan genggaman satpam. "Tolong lepaskan!"

"Maaf, Pak. Anda harus kami bawa keluar. Dilarang membuat kegaduhan di sini," ucap satpam tersebut.

"Kau tak tahu aku siapa, hah? Aku Fisal, manager di Devisi Marketing. Mengerti?"

Aku dan Luna saling berpandangan kemudian menggeleng kepala. Entah, sudah ke berapa kesekian kali mendengar kata itu. 

"Maaf, Pak. Saya tidak mengenal anda. Saya hanya menjalankan tugas saya di sini." 

Kami pun tersenyum geli.

"Kubilang, lepaskan! Aku bisa pergi sendiri."

Aku dan Luna meninggalkan mereka. Entah, apa yang terjadi selanjutnya. 

Jari-jari tanganku kelihatan lebam. Sudah lama, aku tak menggunakannya untuk meninju. Kurenggangkan otot-otot jariku. 

Seketika Luna menatap ke tanganku, "Jari-jarimu lebam, Ga. Sebentar, jangan ke mana-mana!" 

Kulihat Luna terkesiap dengan apa yang dilihatnya. Aku hanya menurut. Segera, ia berbalik ke mobil, mungkin mengambil sesuatu. 

Tak berselang lama, ia tiba dengan membawa sebuah tas. Yang kutahu tas itu berisi obat-obatan. Memang, ia selalu menyimpan kotak tersebut di dalam mobil ke manapun kami pergi walau tak pernah digunakan. 

"Duduk di sini, biar kuobati!" serunya.

Perlahan demi perlahan dengan pasti Luna mengambil alat-alat dan bahan yang dibutuhkannya. Ia sangat cekatan melakukannya. Luna masih serius membersihkan luka dan mengobatinya. Tak terasa, aku telah lama menatapnya lamat-lamat sambil tersenyum. Hal inilah yang aku suka darinya-perhatian dan juga peduli.

Segala keperluanku tak luput dari perhatiannya. Kaos kakiku akan digantikannya bila sudah menipis. Bahkan, kuku jari-jariku yang sudah panjang tak luput juga dari kelihaiannya dalam memotong.

Ia sering mengingatkanku agar segera mencukur rambut di salon setiap bulannya. Baginya, seorang pemimpin harus terlihat fresh dan kharismatik agar bawahan menghargainya. 

"Ga ... Arga ... Halo! Kau menatapku?" tanyanya sambil tersenyum hingga kedua sudut bibirnya tertarik simetris.

Aku menatapnya terlalu lama sampai tak sadar ia menegurku dari tadi. 

"Iya," kubalas senyumannya. "love you," ucapku lagi sambil mengangkat dagunya dan mendekatkan ke arahku.

"Love you too!" Kulihat wajahnya memerah bak tomat matang.

"Ish, tak baik menatap seperti itu di depan umum," ujarnya sambil mencubit perutku. "Ini perut atau kayu, sih. Kok keras banget!" Kami pun tertawa bersama. 

Semenjak sebulan pernikahan kami, semua rencana bulan madu bersama Luna tertunda. Bukan kami sengaja, tetapi karena pekerjaanku yang sangat padat. Pernikahan pun dilangsungkan dengan hikmat dan sangat sederhana di Masjid Agung yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat terdekat. 

Gegas, kami bangkit dan berjalan memasuki kantor. Kulingkarkan tangan kiriku di pinggangnya. Aku tahu Luna tak nyaman dengan perlakukanku padanya di depan umum. 

Ia terus berusaha melepas pelukan tanganku, tetapi tak berhasil. Bukan aku lebay, tetapi karena bangga memilikinya. Aku hanya tersenyum. Dia pun cemberut.

"Arga, kita tak akan sampai ke ruanganmu kalau begini terus. Lepasin dong!"

"Baik, Cinderella-ku."

**

Cahaya mentari menyapa kami agar segera beraktifitas pagi ini. Segera kubangkit dan bersiap-siap untuk berangkat. Hari ini aku akan ke kantor cabang sesuai rencanaku sebelumnya. Semua pekerjaan tentang kantor sudah kuserahkan sementara ke Iwan, sekretarisku dan dibantu oleh Luna- sudah keberitahu sebelumnya. 

Setelah perjalanan tiga jam, akhirnya aku tiba. Sebelum menuju ruang Pak Haikal, pimpinan cabang, aku langsung menuju koridor untuk menjawab penasaranku seperti apa kinerja mereka di sini. 

Perusahaan yang aku pimpin merupakan perusahaan yang bergerak di bidang tekstil terbesar keempat. Mataku terus memperhatikan sekeliling. Para karyawan sangat sibuk hingga mereka tak sadar dengan kedatanganku atau tepatnya belum mengenalku karena aku baru menggantikan ayahku yang telah pindah dan menetap di Belanda bersama ibu dan adikku.

Tiba-tiba, mataku berhenti pada dua sosok pasangan lelaki dan wanita yang sedang asyik bercerita dan bersenda gurau di saat karyawan lain sedang sibuk bekerja. Wajah mereka tak asing lagi bagiku. Segera ku mendekati mereka. 

"Halo! Kalian tak bekerja?" 

"Ka Arga! Mmm ... Sekarang sedang menemani Ka Fisal. Lagian pekerjaanku bisa kulakukan nanti," ucap Eka sekenanya. Kulirik Fisal yang masih menatapku sinis dan penuh amarah.

"Siapa yang suruh duduk? Seorang bawahan tak boleh bergabung dengan kami," sergah Fisal padaku. "Oh, iya. Kau pasti dipecatkan dan dipindahkan ke sini karena ulahmu kemarin? 

"Mmm ...."

"Baguslah! Setidaknya kau bisa menjadi suruhanku." Lanjutnya dan tertawa puas.

Tertawalah dengan puas kali ini, tapi itu tak akan lama, gumamku. 

"Oh, ya. Aku hampir lupa. Bulan depan kami akan nikah," ucap Eka penuh antusias. "Barusan Fisal melamarku," lanjutnya dengan senyum bahagia.

"Kalau begitu saya pergi dulu." Aku tak begitu antusias mendengar pernikahan mereka. 

"Sebentar! Tugasmu saat ini menunggu kami sampai selesai menikmati makanan ini baru kau bisa pergi." Fisal menghentikanku.

"Maaf, saya ada urusan." Aku tak menghiraukan ucapannya dan berlalu meninggalkan mereka.

"Hei, kau sudah berani melawan atasanmu?" Fisal hendak berdiri, tapi dicegat oleh Eka.

**

Setelah berbicara cukup lama bersama Pak Haikal mengenai kinerja perusahaan. Aku pamit dan hendak berangkat lagi malam nanti menuju cabang berikutnya. Semua cabang harus aku kunjungi sekaligus bersilaturahmi dengan pimpinan cabang. 

*

Setelah seminggu perjalanan dinas di beberapa cabang-dalam rangka pengecekan perkembangan anak perusahaan, akhirnya hari yang dinanti pun tiba yaitu pulang ke rumah. Aku sudah tak sabar ingin berjumpa dengan Luna, istriku. Belaian dan sapaannya itulah yang sangat aku dambakan.

Senyum itu mengembang dari bibirnya. Ia sudah menungguku di depan pintu rumah-menyambut kedatanganku. Aku sudah memberitahunya sejam yang lalu.

"Assalamualaikum," ucapku

"Waalaikumsalam," jawabnya sambil membantuku mendorong koper milikku.

"Arga, Kau sudah datang? Baguslah! Ibu butuh bantuanmu."

"Bantuan apa, Bu?"

"Ibu butuh uang untuk merenovasi taman di depan."

"Taman di depan mau diapain emangnya?"

"Aduh, nda udah banyak nanya, deh. Mau bantuin, gak? Taman itu mau kurenovasi untuk persiapan acara lamaran Eka. Luna, bantuin dong bujuk suamimu. Pelit amat!" 

Inilah sifat ibu mertuaku ini. Kalau sudah ada maunya, dia akan meminta dengan nada paksaan sampai aku menjawabnya, iya. Bukan tak ingin memberinya, tetapi caranya dia meminta bantuan terlalu memaksa.

Luna melirik ke arahku dan memberi isyarat untuk mengiyakan saja permintaan ibunya. 

"Fisal tak bisa membiayai renovasi itu?" 

"Hei, aku bukan tak bisa membiayainya, tapi karena belum gajian aja." Fisal yang sedari tadi sandaran di atas sofa dengan malas seketika berdiri.

Belum gajian? Aku tahu ini hanya alasannya. Padahal gajian dari perusahaan sudah ditransfer minggu lalu. Pasti ia habiskan untuk membeli hadiah buat calon mertua dan iparnya.

Aku pun tersenyum, berhasil membuat lelaki itu tersinggung.

"Mau bantuin, gak?" sela Bu Mega mulai naik pitam karena aku tak kunjung menjawab iya.

Luna langsung mencolek pinggangku.

"Luna nanti yang akan mentransferkannya ke ibu," ucapku kemudian berlalu dari mereka. 

*

Aku terkejut melihat Fisal pagi ini keluar dari kamar.

Dia tidur di rumah ini semalam? Itukan kamar ...!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status