"Kau bilang belum selesai? Ini bagianmu lagi," ucapku dan melayangkan tinjuku berikutnya.
Ia pun jatuh tersungkur tepat di bawah kakiku kemudian bangkit.
"Sudah Ga. Tak baik dilihat karyawan yang lain." Luna makin panik. "Satpam, tolong bawa dia keluar dari sini."
"Baik, Non!"
"Hei, apa-apaan ini!" Fisal berusaha melepaskan genggaman satpam. "Tolong lepaskan!"
"Maaf, Pak. Anda harus kami bawa keluar. Dilarang membuat kegaduhan di sini," ucap satpam tersebut.
"Kau tak tahu aku siapa, hah? Aku Fisal, manager di Devisi Marketing. Mengerti?"
Aku dan Luna saling berpandangan kemudian menggeleng kepala. Entah, sudah ke berapa kesekian kali mendengar kata itu.
"Maaf, Pak. Saya tidak mengenal anda. Saya hanya menjalankan tugas saya di sini."
Kami pun tersenyum geli.
"Kubilang, lepaskan! Aku bisa pergi sendiri."
Aku dan Luna meninggalkan mereka. Entah, apa yang terjadi selanjutnya.
Jari-jari tanganku kelihatan lebam. Sudah lama, aku tak menggunakannya untuk meninju. Kurenggangkan otot-otot jariku.
Seketika Luna menatap ke tanganku, "Jari-jarimu lebam, Ga. Sebentar, jangan ke mana-mana!"
Kulihat Luna terkesiap dengan apa yang dilihatnya. Aku hanya menurut. Segera, ia berbalik ke mobil, mungkin mengambil sesuatu.
Tak berselang lama, ia tiba dengan membawa sebuah tas. Yang kutahu tas itu berisi obat-obatan. Memang, ia selalu menyimpan kotak tersebut di dalam mobil ke manapun kami pergi walau tak pernah digunakan.
"Duduk di sini, biar kuobati!" serunya.
Perlahan demi perlahan dengan pasti Luna mengambil alat-alat dan bahan yang dibutuhkannya. Ia sangat cekatan melakukannya. Luna masih serius membersihkan luka dan mengobatinya. Tak terasa, aku telah lama menatapnya lamat-lamat sambil tersenyum. Hal inilah yang aku suka darinya-perhatian dan juga peduli.
Segala keperluanku tak luput dari perhatiannya. Kaos kakiku akan digantikannya bila sudah menipis. Bahkan, kuku jari-jariku yang sudah panjang tak luput juga dari kelihaiannya dalam memotong.
Ia sering mengingatkanku agar segera mencukur rambut di salon setiap bulannya. Baginya, seorang pemimpin harus terlihat fresh dan kharismatik agar bawahan menghargainya.
"Ga ... Arga ... Halo! Kau menatapku?" tanyanya sambil tersenyum hingga kedua sudut bibirnya tertarik simetris.
Aku menatapnya terlalu lama sampai tak sadar ia menegurku dari tadi.
"Iya," kubalas senyumannya. "love you," ucapku lagi sambil mengangkat dagunya dan mendekatkan ke arahku.
"Love you too!" Kulihat wajahnya memerah bak tomat matang.
"Ish, tak baik menatap seperti itu di depan umum," ujarnya sambil mencubit perutku. "Ini perut atau kayu, sih. Kok keras banget!" Kami pun tertawa bersama.
Semenjak sebulan pernikahan kami, semua rencana bulan madu bersama Luna tertunda. Bukan kami sengaja, tetapi karena pekerjaanku yang sangat padat. Pernikahan pun dilangsungkan dengan hikmat dan sangat sederhana di Masjid Agung yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat terdekat.
Gegas, kami bangkit dan berjalan memasuki kantor. Kulingkarkan tangan kiriku di pinggangnya. Aku tahu Luna tak nyaman dengan perlakukanku padanya di depan umum.
Ia terus berusaha melepas pelukan tanganku, tetapi tak berhasil. Bukan aku lebay, tetapi karena bangga memilikinya. Aku hanya tersenyum. Dia pun cemberut.
"Arga, kita tak akan sampai ke ruanganmu kalau begini terus. Lepasin dong!"
"Baik, Cinderella-ku."
**
Cahaya mentari menyapa kami agar segera beraktifitas pagi ini. Segera kubangkit dan bersiap-siap untuk berangkat. Hari ini aku akan ke kantor cabang sesuai rencanaku sebelumnya. Semua pekerjaan tentang kantor sudah kuserahkan sementara ke Iwan, sekretarisku dan dibantu oleh Luna- sudah keberitahu sebelumnya.
Setelah perjalanan tiga jam, akhirnya aku tiba. Sebelum menuju ruang Pak Haikal, pimpinan cabang, aku langsung menuju koridor untuk menjawab penasaranku seperti apa kinerja mereka di sini.
Perusahaan yang aku pimpin merupakan perusahaan yang bergerak di bidang tekstil terbesar keempat. Mataku terus memperhatikan sekeliling. Para karyawan sangat sibuk hingga mereka tak sadar dengan kedatanganku atau tepatnya belum mengenalku karena aku baru menggantikan ayahku yang telah pindah dan menetap di Belanda bersama ibu dan adikku.
Tiba-tiba, mataku berhenti pada dua sosok pasangan lelaki dan wanita yang sedang asyik bercerita dan bersenda gurau di saat karyawan lain sedang sibuk bekerja. Wajah mereka tak asing lagi bagiku. Segera ku mendekati mereka.
"Halo! Kalian tak bekerja?"
"Ka Arga! Mmm ... Sekarang sedang menemani Ka Fisal. Lagian pekerjaanku bisa kulakukan nanti," ucap Eka sekenanya. Kulirik Fisal yang masih menatapku sinis dan penuh amarah.
"Siapa yang suruh duduk? Seorang bawahan tak boleh bergabung dengan kami," sergah Fisal padaku. "Oh, iya. Kau pasti dipecatkan dan dipindahkan ke sini karena ulahmu kemarin?
"Mmm ...."
"Baguslah! Setidaknya kau bisa menjadi suruhanku." Lanjutnya dan tertawa puas.
Tertawalah dengan puas kali ini, tapi itu tak akan lama, gumamku.
"Oh, ya. Aku hampir lupa. Bulan depan kami akan nikah," ucap Eka penuh antusias. "Barusan Fisal melamarku," lanjutnya dengan senyum bahagia.
"Kalau begitu saya pergi dulu." Aku tak begitu antusias mendengar pernikahan mereka.
"Sebentar! Tugasmu saat ini menunggu kami sampai selesai menikmati makanan ini baru kau bisa pergi." Fisal menghentikanku.
"Maaf, saya ada urusan." Aku tak menghiraukan ucapannya dan berlalu meninggalkan mereka.
"Hei, kau sudah berani melawan atasanmu?" Fisal hendak berdiri, tapi dicegat oleh Eka.
**
Setelah berbicara cukup lama bersama Pak Haikal mengenai kinerja perusahaan. Aku pamit dan hendak berangkat lagi malam nanti menuju cabang berikutnya. Semua cabang harus aku kunjungi sekaligus bersilaturahmi dengan pimpinan cabang.
*
Setelah seminggu perjalanan dinas di beberapa cabang-dalam rangka pengecekan perkembangan anak perusahaan, akhirnya hari yang dinanti pun tiba yaitu pulang ke rumah. Aku sudah tak sabar ingin berjumpa dengan Luna, istriku. Belaian dan sapaannya itulah yang sangat aku dambakan.
Senyum itu mengembang dari bibirnya. Ia sudah menungguku di depan pintu rumah-menyambut kedatanganku. Aku sudah memberitahunya sejam yang lalu.
"Assalamualaikum," ucapku
"Waalaikumsalam," jawabnya sambil membantuku mendorong koper milikku.
"Arga, Kau sudah datang? Baguslah! Ibu butuh bantuanmu."
"Bantuan apa, Bu?"
"Ibu butuh uang untuk merenovasi taman di depan."
"Taman di depan mau diapain emangnya?"
"Aduh, nda udah banyak nanya, deh. Mau bantuin, gak? Taman itu mau kurenovasi untuk persiapan acara lamaran Eka. Luna, bantuin dong bujuk suamimu. Pelit amat!"
Inilah sifat ibu mertuaku ini. Kalau sudah ada maunya, dia akan meminta dengan nada paksaan sampai aku menjawabnya, iya. Bukan tak ingin memberinya, tetapi caranya dia meminta bantuan terlalu memaksa.
Luna melirik ke arahku dan memberi isyarat untuk mengiyakan saja permintaan ibunya.
"Fisal tak bisa membiayai renovasi itu?"
"Hei, aku bukan tak bisa membiayainya, tapi karena belum gajian aja." Fisal yang sedari tadi sandaran di atas sofa dengan malas seketika berdiri.
Belum gajian? Aku tahu ini hanya alasannya. Padahal gajian dari perusahaan sudah ditransfer minggu lalu. Pasti ia habiskan untuk membeli hadiah buat calon mertua dan iparnya.
Aku pun tersenyum, berhasil membuat lelaki itu tersinggung.
"Mau bantuin, gak?" sela Bu Mega mulai naik pitam karena aku tak kunjung menjawab iya.
Luna langsung mencolek pinggangku.
"Luna nanti yang akan mentransferkannya ke ibu," ucapku kemudian berlalu dari mereka.
*
Aku terkejut melihat Fisal pagi ini keluar dari kamar.
Dia tidur di rumah ini semalam? Itukan kamar ...!
Mataku membulat, melihat Fisal keluar dari kamar. Jadi, Fisal tidur di rumah ini semalam? Dan itu kamar Rita ...! Arghh, denyut kepalaku terasa pusing memikirkan ini! Masih pagi, tetapi sudah disuguhi praduga yang membuat kepalaku pening. Kulihat ia hanya menyunggingkan senyum melihatku kemudian merenggangkan ototnya. Gegas, kubalik ke kamar dan menanyakan hal ini ke Luna. Jelas saja, Luna tak tahu masalah itu dan ia baru tahu kalau tidak kutanyakan. Bahkan, Luna melarangku untuk memperpanjang masalah ini. "Tapi, tak boleh dibiarkan seperti itu, Lun. Ntar, dia kebiasaan dan tak baik untuk keluarga ini nantinya," ucapku yang tak terima dengan usulannya. "Sudahlah, Ga. Siapalah kita ini di mata mereka. Bahkan mungkin kita dianggap mencampuri urusan mereka kalau dipermasalahkan," ujar Luna menenangkan. "Kau kan bisa memberitahu Eka dan Rita dengan baik. Bagaimanapun juga mereka adik-adikmu walaupun adik angkat." "Iya, lain kali akan aku coba. Aku ke bawah dulu ya, mau nyiapin sara
Bab 6 Plak! Bunyi tamparan keras. Aku terperanjat mendengar teriakkan Luna. Gegas kubangkit dan keluar dari kamar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. "Kau pikir kau siapa, hah? Berani sekali menamparku," teriak Fisal. "Ada apa, Lun?" tanyaku seraya mendekatinya. Seketika ia menghamburkan tubuhnya kepelukanku dan terisak. Kuarahkan pandanganku ke lelaki tak bermoral itu. "Dengar ya, aku tak punya masalah denganmu. Berani-beraninya kau lecehkan istriku," ucapku geram. Kini, aku sudah berada di hadapan lelaki itu. Mataku memerah, menatapnya tajam. Gigi gerahamku saling bergesekan. Satu-persatu jemariku mengepalkan tinju. Gegas kutarik dan melayangkan pukulan hingga tubuhnya terhempas ke bawah. Ia pun jatuh tersungkur. Berani-beraninya dia melecehkan istriku. "Ka Arga?" Teriak Eka yang baru saja ikut bergabung dengan kami di dapur. Bu Mega dan Rita berhamburan juga- mendekat untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tatapan mereka mengarah ke kami, bergantian. "Ada apa
Kuputuskan mendobrak pintu kamar. Tak ada cara lain. Kuulangi berkali-kali mendobrak dengan bahuku seperti kesetanan hingga akhirnya, Braak! Pintu terbuka. Seketika aku bergeming dari tempatku berdiri, mematung setelah apa yang kulihat. Mataku membulat. Lututku lemas bak tak bertulang. Tak terasa butiran embun di netraku seperti berkaca-kaca. Akhirnya, tubuh ini ambruk di atas lantai dalam keadaan berlutut. Apa yang terjadi denganmu sayang? Luna, aku tak bisa hidup tanpamu, Lun! Kupaksakan kaki ini bangkit kemudian mendekatinya, "Luna, ini aku sayang. Kau baik-baik saja kan?" Luna masih meringkuk di atas tempat tidur sambil memeluk kedua lututnya seperti ketakutan. Kenapa jadi seperti ini sama Luna-ku. "Luna ... sadar, Lun." Segera kumemeluknya. "Ga!" "Iya, ini aku, sayang!" Hatiku merasakan damai saat ia berada dalam dekapanku. Seminggu tidak mendengar sapaannya terasa lama sekali. Tak akan kubiarkan Luna terlalu lama seperti ini. ** Setelah Kunjungan kami ke psikiater b
Mendengar ucapan Fisal membuatku makin berpikir. Apa maksud dalam kendalinya dan siapa yang dia maksud? Mungkinkah keluarga ini yang dia maksud. Kuputuskan untuk balik ke kamar sebelum ia sadar dengan keberadaanku. Pikiranku masih dipenuhi tanda tanya tentang ucapan tadi. Apa sebaiknya kuberitahu esok hari. Bagaimanapun Bu Mega harus tahu. Akan tetapi bila kuberitahu, mereka akan menganggapku menghasut. Atau menuduhku ingin menggagalkan rencana pernikahan tersebut. Ah, sudahlah! Sebaiknya kuurungkan saja. Lagi pula, aku belum punya bukti yang cukup. "Yang, aku harus pergi ke kantor pagi ini." Aku telah siap dengan pakaian yang rapi pagi ini. "Kau bisa melakukannya sendiri kan di kedai?" tanyaku ke Luna. Sejenak ia berpikir kemudian menjawab, "Iya, aku bisa." Dengan senyum hambar yang entah tak bisa kuartikan apa maksudnya dan nada suaranya terdengar ada keraguan yang kutangkap. Aku belum berani apa yang sebenarnya Fisal lakukan hingga membuatnya trauma bekerja sendiri di dapur ata
"Tolong beritahu seluruh direksi bahwa acara promosi jabatan dialihkan ke pesta pernikahan Fisal dan Eka. Jangan lupa buat susunan acaranya sekalian!" "Baik, Bos. Jadi ...." "Ya, aku ingin proses pemecatannya di acara pernikahannya sendiri." "Laksanakan, Bos. Saya izin keluar sebentar." Iwan bergegas keluar dari ruangan kemudian mengambil gawainya, hendak menghubungi semua direksi dan beberapa orang yang sudah kuberitahu sebelumnya. "Silakan," jawabku. Sejenak kumenatap undangan pernikahan tersebut. Tertulis nama 'Fisal Pratama dan Freska Ariska'. Ku menghela napas panjang dan mengembuskan kembali sambil membayangkan bagaimana raut wajah mereka nanti. Setelah selesai pertemuan dengan Iwan, kumemutuskan pulang ke rumah. Sepertinya, Luna telah lama menungguku. Mobil terus melaju, membelah jalan raya. *** "Ka Luna, tolong dong ambilin air hangat!" seru Rita. "Ka Lunaaaa ... Tolongin dong." "Iya, Dek. Sebentar!" "Kenapa gak ambil sendiri, Rit?" ucapku yang baru saja dari kamar ke
"Surat keputusan pemberhentian karyawan. Nama-nama tersebut adalah Fisal Pratama dan Freska Ariska." Entah, bagaimana menggambarkan raut wajah Fisal dan Istrinya, hitam legam atau merah padam? Semua bercampur menjadi satu padu. Begitu juga raut wajah Rita yang dipoles make-up mewah, hasil dari nyalon berubah memerah seolah telah memakan cabe sekilo. Gadis kecil yang masih usia belia, tetapi sikapnya yang sangat tidak santun itu layak mendapatkan pembelajaran seperti ini. Bukan hanya dia, tetapi mereka semua. Aku harap mereka menyadari akan sikap semena-menanya terhadap orang. Bukankah saling menghargai jauh lebih indah. Karena kita di mata tuhan, sama. *** Setelah memberi sambutan dan membacakan surat keputusan, aku dan Luna bergegas pulang. Acara masih tetap berlangsung meskipun tanpa kedua mempelai dan kami. Aku terburu-buru menyalakan mobil dan mengendarainya. Mobil terus melaju melewati hiruk pikuk kendaraan hingga akhirnya kami pun tiba di rumah. Aku tak dapat memarkirkan m
Kuparkirkan mobil begitu saja kemudian berlari mendatangi kedai. Dengan napas ngos-ngosan, aku berteriak-memanggil Luna, istriku."Lun ...!" Mataku menerawang ke depan dan sekitar. "Sial, tak ada orang di sini! Dia di mana, ya?" ucapku kesal. Ketelusuri semua isi ruangan, tapi tak ada.Kalau seperti ini, aku makin bingung harus ke mana mencari Luna. Kepalaku mulai nyut-nyutan memikirkan keberadaan Luna. Semoga, dia baik-baik saja, gumamku.Setelah sampai, aku turun dari mobil kemudian berjalan gontai masuk ke rumah. Hati ini belum tenang karena belum mendengar kabarnya. Gawai berbunyi. Segera kuraih dan melihatnya.Huf, aku mengira Luna yang menelpon!"Iya, Halo. W*'alaikum salam. Bagaimana, Iwan?""#$@#€=@.""Apa! Bagaimana mungkin? Cepat lakukan tindakan secepatnya. Aku akan segera ke sana." Kututup telepon segera dan menuju mobil. Belum selesai perkara keberadaan Luna, kali ini harus mengurus masalah yang cukup besar di kantor. Gedung pengoperasian dan produksi barang sebagian ter
POV LUNA Kulihat Arga menatapku nanar penuh harap. Aku masih bergeming, mematung dari tempatku berdiri. Posisiku benar-benar dilematis, ikut dengannya yang sudah melangkah ke luar atau menetap di dalam rumah ini bersama ibu dan yang lainnya. Arga, jangan kau buat aku harus memilih seperti ini. Aku tak kuat hidup sendiri di sini dengan bayang-bayang mereka, gumamku sambil berusaha menahan air yang hendak keluar dari ekor mataku. Sungguh sakit! Otakku seakan ingin pecah dihadapkan dua pilihan seperti ini. Aku bingung harus memutuskan pilihan yang mana. Lututku makin lemas menopang tubuhku, mungkin sebentar lagi akan rubuh. Pilihan yang sangat sulit sekali kuputuskan. Memilih ibu - keluarganyalah yang merawat dan membesarkanku dari kecil. Hingga aku bisa menikmati kuliah berkat kebaikan keluarga mereka. Dan akhirnya, di kampuslah aku bertemu Arga, lelaki yang memiliki sejuta pesona, tetapi memilihku menjadi pendampingnya. Membiarkan Arga pergi sendiri, tak mungkin, aku tak mungkin bi