Share

Bab 5

Mataku membulat, melihat Fisal keluar dari kamar.

Jadi, Fisal tidur di rumah ini semalam?

Dan itu kamar Rita ...!

Arghh, denyut kepalaku terasa pusing memikirkan ini! Masih pagi, tetapi sudah disuguhi praduga yang membuat kepalaku pening. Kulihat ia hanya menyunggingkan senyum melihatku kemudian merenggangkan ototnya.

Gegas, kubalik ke kamar dan menanyakan hal ini ke Luna. Jelas saja, Luna tak tahu masalah itu dan ia baru tahu kalau tidak kutanyakan. Bahkan, Luna melarangku untuk memperpanjang masalah ini.

"Tapi, tak boleh dibiarkan seperti itu, Lun. Ntar, dia kebiasaan dan tak baik untuk keluarga ini nantinya," ucapku yang tak terima dengan usulannya.

"Sudahlah, Ga. Siapalah kita ini di mata mereka. Bahkan mungkin kita dianggap mencampuri urusan mereka kalau dipermasalahkan," ujar Luna menenangkan.

"Kau kan bisa memberitahu Eka dan Rita dengan baik. Bagaimanapun juga mereka adik-adikmu walaupun adik angkat."

"Iya, lain kali akan aku coba. Aku ke bawah dulu ya, mau nyiapin sarapan pagi."

Aku hanya mengembuskan napas berat, merasa belum menerima dengan keputusan Luna. Huf, maksud aku itu sekarang, Lun, batinku. Akan tetapi, mungkin Luna ada benarnya juga, melihat sifat kedua adiknya bisa-bisa Luna akan kena omelan balik.

Aku pun mengangguk. Luna melangkah keluar dari kamar dan bergegas menuruni anak tangga. Itulah rutinitas hariannya yang tidak pernah ditinggalkannya sedikit pun.

Bahkan setelah Luna lulus kuliah, mereka tak mengizinkan Luna melamar kerja di manapun selain melanjutkan menjaga kedai milik keluarga ini. Alasannya karena tak ada yang dapat mengelolanya. Padahal sebenarnya, mereka bisa menyewa atau merekrut karyawan. Tahu sendirilah, pasti karena tidak ingin mengeluarkan biaya.

Kulihat Luna dari atas ini sedang sibuk menata makanan di atas meja. Mereka tak punya inisiatif sedikit pun ikut membantu, memasak atau hanya sekedar menyiapkan piring dan yang lain. Bukankah mereka penghuni rumah ini juga. Mereka hanya duduk santai sambil bercerita dan memerintah.

Aku tak tega turun ke bawah dan bergabung bersama mereka. Hatiku benar-benar teriris menyaksikan pemandangan ini setiap hari - bolak-balik mengangkat dan meletakkan ini dan itu tanpa ada yang membantu.

Lun, begitukah yang kau lakukan selama tiga belas tahun? gumamku sambil menatapnya ina dari atas ini.

Luna pernah berkata kepadaku bahwa ia sudah terbiasa melakukannya semenjak tinggal di rumah ini dan bergabung bersama keluarga Bu Mega. Saat itu, ia diambil di panti asuhan oleh keluarga ini dengan alasan akan diasuhnya dan usianya masih sepuluh tahun.

Yah, kini usia Luna sudah dua puluh tiga tahun. Bisa kubayangkan seperti apa lelahnya. Apalagi seminggu yang lalu saya tak ada di rumah. Dan lelaki itu, seenaknya memerintah. Baru menjadi calon mantu sudah seperti itu, bagaimana kalau sudah resmi.

"Lun, Arga di mana, apa dia tidak ikut gabung untuk sarapan bersama?" tanya Bu Mega.

"Masih di kamar, Ma. Sebentar lagi dia akan turun," ucap Luna dari arah dapur.

"Oh, gitu. Baiklah."

"Sudahlah, tante. Buat apa memikirkan lelaki gembel itu. Mereka memang tak layak bergabung bersama di sini," ucap Fisal.

Setelah menikmati sarapan, mereka mulai bergegas keluar untuk melakukan aktivitas masing-masing. Aku pun turun dan mendatangi Luna. Wanita berkulit putih-bermata coklat dan bulat itu sedang sibuk membersihkan beberapa alat perlengkapan makan, bekas sarapan tadi.

Kulangkahkan kaki perlahan hingga mendekatinya kemudian melingkarkan kedua tanganku ke pinggangnya.

"Kau pasti lelah, Cinderella-ku." ucapku dengan berbisik ke telinganya dan dagu kusandarkan di atas bahunya.

"Arga! Nanti dilihat orang di rumah ini."

"Emangnya, kenapa? Kau kan istriku."

"Tapi, gak enak dilihat orang, Ga."

"Bisa ga, sedikit saja tak kau hiraukan dulu masalah penilaian orang terus. Apalagi keluargamu ini. Aku masih ingin berlama-lama memelukmu."

"Mmm ... mulai lagi deh. Apa gak cukup semalaman?" sahut Luna dengan senyum menyungging ke kiri.

"Kau menggodaku?" tanyaku sehingga senyum setan yang telah pudar mengembang kembali di bibirku karena pancingannya.

"Hush, buruan sarapan! Bakalan terlambat ke kantor. Nih, sarapannya!"

"Gak mau. Aku maunya disuapin," ucapku. Salah sendiri mancing tadi, gumamku.

Luna hanya membulatkan kedua bola matanya dan lagi, pipi itu mulai memerah. Aku suka melihatnya.

"Gak usah khawatir. Mereka udah pergi," lanjutku. "Mama, entah ke mana. Mungkin sudah pergi shopping lagi atau bertemu teman sosialitanya."

Suapan demi suapan kunikmati. Sangat berbeda sekali rasanya dengan menyuapi makanan sendiri.

"Makasih, ya, sayang."

"Sama-sama."

Aku pun bangkit dan bersiap-siap berangkat ke kantor. Seketika mataku memutar ke kiri dan kanan hendak mencari sesuatu.

"Lun, apa kau lihat sepatuku? Tak ada di sini."

"Ada, kok. Semalam kan sudah kurapikan di rak," jawabnya kemudian datang mendekatiku.

"Nah, ini punya siapa?"

"Gak tau. Atau mungkin punya Fisal, ketuker."

"Warnanya aja, beda. Kok bisa ketuker?"

Gawaiku tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan masuk. Segera kubuka dan membacanya.

[Bro, sepatumu bagus sekali. Kupinjam, ya. Seorang karyawan tak layak memakainya. Cocoknya sama saya, seorang manager. Pakailah dulu sepatu milikku!]

Ada emotikon senyum di akhir pesan. Entah, tersenyum bahagia atau meledek.

Sialan itu bocah. Gak modal banget makai milik orang!

Kuraih sepatu miliknya. Seketika nafasku tertahan, tak kuat menghirup aroma dari kaos kakinya. Kuletakkan kembali ke tempatnya.

Apa tak pernah dibersihkan atau beli yang baru?

Katanya seorang manager.

*

Senja perlahan pergi digantikan malam. Mobil yang kukendarai perlahan berjalan, melintas di jalanan. Pulang ke rumah membuat mood-ku makin berantakan bila bertemu lelaki tak beradab itu.

Aku tak habis pikir, selancang itu memakai sepatuku. Seharian aku tak nyaman memakainya. Untunglah, sore tadi Luna ke kantor membawakan sepatu yang baru dibelinya sebelum pulang ke rumah. Kalau tidak, aku tak tahu bagaimana bentuk kakiku dan baunya.

Setelah tiba aku langsung ke kamar. Sepertinya, Luna sedang sibuk di dapur.

"Fisaaalll ... minggir, dasar bangsat!"

Plak!

Bunyi tamparan keras.

Aku terperanjat mendengar teriakkan Luna. Gegas kubangkit dan keluar dari kamar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status