"Tolong beritahu dia menghadap ke saya besok."
**
Pagi ini aku sangat terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Luna juga kuajak ke kantor. Akan tetapi, ia akan menyusulku setelah pekerjaannya di rumah dan kedai selesai.
Ingin sekali kukenalkan padanya tentang pekerjaan dan tugas seorang sekretaris. Agar ia bisa membantuku memantau saham dan perkembangan pasar. Mungkin saja dia tertarik suatu saat nanti. Namun, tidak untuk saat ini. Luna belum siap dirinya dikenalkan ke keluarganya bahwa ia istri seorang CEO.
"Eh, Bro. Kamu bekerja di sini juga?" Segera kubalikkan badan. Nada suara itu sepertinya kukenal - pernah kudengar.
"Iya, anda juga bekerja di sini?" tanyaku padanya meskipun aku sudah tahu ia bekerja di salah satu cabang dari perusahaan ini.
"Masih ingat dengan saya kan?"
"Iya, masih. Anda Fisal kan?"
"Wah, ingatanmu lumayan! Sebenarnya, saya bekerja sebagai manager di salah satu cabang, tapi Big Boss memanggilku datang ke kantor sepagi ini. Semoga saja jabatan baru."
Ucapan itu lagi yang selalu diulang. Apa sih maksudnya nih, orang. Atau harus kuberitahu juga siapa aku sebenarnya.
"Saya do'akan yang terbaik untukmu," ucapku sekenanya.
"Bagaimana menurutmu. Saya sudah cocokkan kalau promosi jabatan baru?"
Aku terperanjat mendengar pertanyaannya. Jabatan baru? Siapa yang akan mempromosikannya?
"Lumayan cocok!"
"Kok, lumayan cocok. Harusnya layak. Iya gak?"
"Iya," ucapku mulai malas meladeni orang seperti ini.
"By the way, kamu rapi sekali! Seharusnya seorang karyawan tak boleh berpakaian lebih bagus dari Bosnya."
"Jangan menyentuh kerah bajuku atau ...."
"Atau apa?" Ia mulai berani mengacak kerah baju dan dasiku.
"Kubilang, hentikan!"
"Ouch, sorry!" Dengan nada mengejek. "Kamu karyawan biasa, tapi sombong juga," lanjutnya meledek. "Dengar, ya. Jangan berteriak di depanku!"
Darahku mulai mendidih melihat perlakuan pemuda ini. Tanganku mengepalkan tinju. Tatapan mataku memerah. Segera kumenahan diri.
Kalau tidak, sudah kubuat ia babak belur. Namun, aku sadar tidak mungkin menghajar orang ini di depan kantor dan dilihat oleh para karyawan. Disimpan di mana harga diriku sebagai pemimpin.
Apakah semua karyawan di bawahnya diperlakukan seperti tadi.
"Maaf, saya harus pergi."
"Hei, looser. Urusan kita belum selesai," teriaknya. "Sialan!"
"Sebentar akan kita lanjutkan!" jawabku.
Aku langsung bergegas meninggalkannya. Hari ini aku ada meeting. Bisa-bisa aku akan terlambat kalau berlama-lama di sini. Meladeninya akan menyita waktuku.
Perihal dengan dia, setelah meeting nanti akan kuberi pelajaran orang seperti dia.
"Pak Arga, anda sudah ditunggu oleh para tamu dari direksi."
"Baik. Tolong antarkan buku catatan saya di atas meja. Saya akan menyusul!"
Aku menenangkan diri sejenak di atas kursi sambil mengembuskan napas. Sekilas, aku melihat wajahku yang sedari tadi terasa menegang karena bertemu makhluk tadi. Sungguh, mengganggu mood-ku pagi ini!
Aku pun berjalan menuju ruang rapat. Para direksi dari perusahaan mitra sudah di dalam ruangan. Rapat pun dimulai dan berjalan dengan baik sesuai rencana hingga selesai.
"Iwan!"
"Iya, Bos."
"Tolong cari tahu kinerja Fisal dan tampung semua keluhan bawahannya. Aku ingin tahu seperti apa kinerjanya."
"Baik, Pak."
"Oh, iya. Satu lagi. Siapa sebenarnya yang merekrutnya tanpa sepengetahuanku?"
"Siap, Pak, dilaksanakan! Bagaimana pertemuan dengan Fisal, manager baru itu?"
"Aku hampir lupa! Tolong batalkan pertemuanku dengan dia. Biar aku sendiri yang mengeceknya langsung ke cabang. Dan tugasmu tentang mencari tahu kinerjanya tetap kau jalankan."
"Baik, Pak."
"Aku hendak keluar sebentar. Jangan lupa hubungi saya kalau ada informasi."
Aku sudah janji dengan Luna akan menjemputnya. Segera aku mengendarai mobil menuju rumah untuk menjemput Cinderella-ku tersebut.
Mataku terbelalak melihat mobil ini lagi. Ini kan jam kerja. Seenaknya saja nongkrong di luar jam kantor!
"Assalamualaikum."
"Eh, Bro. Kok cepat pulang? Seorang karyawan seharusnya masih bekerja di kantor," sapanya, siapa lagi kalau bukan Fisal.
"Ada berkas yang ketinggalan. Lah, anda kenapa di sini. Bukannya ini masih jam kerja?" tanyaku.
"Ada karyawan saya yang bekerja. Anda lupa saya siapa?" jawabnya santai sambil mengisap rokok yang diapit kedua jarinya.
Orang seperti ini akan merugikan perusahaan kalau terlalu banyak dipelihara, gumamku sambil menggeleng kepala.
"Bagaimana pertemuan dengan Bos?" Sengaja kutanyakan hanya ingin mendengar jawaban dan melihat reaksinya.
"Hampir saja aku mendapatkan promosi jabatan baru, tapi pertemuan dibatalkan. Semoga saja besok ada panggilan lagi."
"Semoga kau mendapatkan jabatan baru," ucapku dan hendak ke kamar.
"Tante, kenapa masih mempertahankannya tinggal di rumah ini. Mereka kan bisa tinggal di tempat lain."
"Tante masih membutuhkan mereka. Lumayan dapat gajian tiap bulan," ucapnya berbisik, tapi masih dapat kudengar dari atas ini.
"Alah, kalau cuma itu Fisal juga bisa tante. Saya kan manager. Tahu sendiri berapa gajiku sebulan. Dari pada karyawan gembel itu lagaknya kaya bos."
"Iya, tante tahu. Tapi tante juga membutuhkan tenaga Luna untuk mengurus rumah dan kedai tante. Kan gak ada yang urus. Lagian nyewa pekerja menghabiskan biaya."
Segera kupelankan langkahku. Suaranya masih dapat kudengar di atas sini. Aku tak habis pikir dengan apa yang diucapkan Bu Mega.
Aku terperanjat mendengar ucapan tersebut. Berarti benar dugaanku selama ini. Mereka hanya menggunakan tenaga Luna. Kasihan istriku. Sabar, akan kalian lihat nanti seperti apa sikap kami.
Dia benar-benar tak berniat merawat Luna dengan tulus sampai dewasa. Aku bisa merasakan telapak Luna yang amat kasar. Mungkin karena pekerjaan yang dilakukannya semenjak kecil. Entahlah, aku tak tahu seperti apa kehidupannya dulu.
"Sudah siap? Ayo kita berangkat."
"Sudah, tapi belum kuberitahu mama," ucap Luna.
"Gak papa. Cuma sehari ini saja kau menemaniku. Setelah itu kuantarkan kau pulang."
"Baiklah. Tidak lama kan?"
"Tidak akan lama."
Kami pun berangkat.
"Hey ... ketemu lagi di sini."
"Kok, kamu masih di kantor ini. Bukannya kau harus balik ke kantormu tempat bekerja?"
"Siapa kau berani-beraninya mengaturku. Apa kau lupa aku manager," sergahnya.
"Aku tahu, tapi kerjamu bukan di sini, di cabang."
"Aku hanya ingin jalan-jalan. Oh, kau membawa wanita ini. Cantik dan rapi juga. Bukannya dia kerja di kedai?" Aku melihat matanya menatap dari atas hingga ke bawah, membuat Luna tak nyaman dipandang seperti itu.
"Sebentar, kau ingin mendaftarkannya jadi office girl? Pakaiannya tak boleh serapi ini."
"Jangan berani menyentuh atau kupatahkan tanganmu." Reflek ku menepis tangannya yang hendak menyentuh Luna. Mataku memerah dan gigi gerahamku saling bergesekan.
"Haha ... Ternyata, kau bisa marah juga." Ia menepuk tangan.
Tanpa sadar tanganku melayang meninju wajahnya.
Bruk!
"Pergi dari sini sebelum kubuat kau menyesal! Satpam, tolong usir orang ini dari kantor. Dia sudah tidak punya keperluan di sini."
"Sudah, Ga. Tak baik bertengkar di sini." Luna meleraiku.
Aku mulai tak dapat mengendalikan diri karena istriku dilecehkan. Apalagi dengan pemuda yang tidak bisa besikap sopan terhadap orang lain.
"Eh, apa-apaan ini. Siapa kau, berani menyuruhku. Awas kau ya, urusan kita belum selesai."
"Kau bilang belum selesai? Ini bagianmu lagi," ucapku dan melayangkan tinjuku berikutnya.
Ia pun jatuh tersungkur dan bangkit.
***
Bersambung
"Kau bilang belum selesai? Ini bagianmu lagi," ucapku dan melayangkan tinjuku berikutnya.Ia pun jatuh tersungkur tepat di bawah kakiku kemudian bangkit."Sudah Ga. Tak baik dilihat karyawan yang lain." Luna makin panik. "Satpam, tolong bawa dia keluar dari sini.""Baik, Non!""Hei, apa-apaan ini!" Fisal berusaha melepaskan genggaman satpam. "Tolong lepaskan!""Maaf, Pak. Anda harus kami bawa keluar. Dilarang membuat kegaduhan di sini," ucap satpam tersebut."Kau tak tahu aku siapa, hah? Aku Fisal, manager di Devisi Marketing. Mengerti?"Aku dan Luna saling berpandangan kemudian menggeleng kepala. Entah, sudah ke berapa kesekian kali mendengar kata itu."Maaf, Pak. Saya tidak mengenal anda. Saya hanya menjalankan tugas saya di sini."Kami pun tersenyum geli."Kubil
Mataku membulat, melihat Fisal keluar dari kamar. Jadi, Fisal tidur di rumah ini semalam? Dan itu kamar Rita ...! Arghh, denyut kepalaku terasa pusing memikirkan ini! Masih pagi, tetapi sudah disuguhi praduga yang membuat kepalaku pening. Kulihat ia hanya menyunggingkan senyum melihatku kemudian merenggangkan ototnya. Gegas, kubalik ke kamar dan menanyakan hal ini ke Luna. Jelas saja, Luna tak tahu masalah itu dan ia baru tahu kalau tidak kutanyakan. Bahkan, Luna melarangku untuk memperpanjang masalah ini. "Tapi, tak boleh dibiarkan seperti itu, Lun. Ntar, dia kebiasaan dan tak baik untuk keluarga ini nantinya," ucapku yang tak terima dengan usulannya. "Sudahlah, Ga. Siapalah kita ini di mata mereka. Bahkan mungkin kita dianggap mencampuri urusan mereka kalau dipermasalahkan," ujar Luna menenangkan. "Kau kan bisa memberitahu Eka dan Rita dengan baik. Bagaimanapun juga mereka adik-adikmu walaupun adik angkat." "Iya, lain kali akan aku coba. Aku ke bawah dulu ya, mau nyiapin sara
Bab 6 Plak! Bunyi tamparan keras. Aku terperanjat mendengar teriakkan Luna. Gegas kubangkit dan keluar dari kamar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. "Kau pikir kau siapa, hah? Berani sekali menamparku," teriak Fisal. "Ada apa, Lun?" tanyaku seraya mendekatinya. Seketika ia menghamburkan tubuhnya kepelukanku dan terisak. Kuarahkan pandanganku ke lelaki tak bermoral itu. "Dengar ya, aku tak punya masalah denganmu. Berani-beraninya kau lecehkan istriku," ucapku geram. Kini, aku sudah berada di hadapan lelaki itu. Mataku memerah, menatapnya tajam. Gigi gerahamku saling bergesekan. Satu-persatu jemariku mengepalkan tinju. Gegas kutarik dan melayangkan pukulan hingga tubuhnya terhempas ke bawah. Ia pun jatuh tersungkur. Berani-beraninya dia melecehkan istriku. "Ka Arga?" Teriak Eka yang baru saja ikut bergabung dengan kami di dapur. Bu Mega dan Rita berhamburan juga- mendekat untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tatapan mereka mengarah ke kami, bergantian. "Ada apa
Kuputuskan mendobrak pintu kamar. Tak ada cara lain. Kuulangi berkali-kali mendobrak dengan bahuku seperti kesetanan hingga akhirnya, Braak! Pintu terbuka. Seketika aku bergeming dari tempatku berdiri, mematung setelah apa yang kulihat. Mataku membulat. Lututku lemas bak tak bertulang. Tak terasa butiran embun di netraku seperti berkaca-kaca. Akhirnya, tubuh ini ambruk di atas lantai dalam keadaan berlutut. Apa yang terjadi denganmu sayang? Luna, aku tak bisa hidup tanpamu, Lun! Kupaksakan kaki ini bangkit kemudian mendekatinya, "Luna, ini aku sayang. Kau baik-baik saja kan?" Luna masih meringkuk di atas tempat tidur sambil memeluk kedua lututnya seperti ketakutan. Kenapa jadi seperti ini sama Luna-ku. "Luna ... sadar, Lun." Segera kumemeluknya. "Ga!" "Iya, ini aku, sayang!" Hatiku merasakan damai saat ia berada dalam dekapanku. Seminggu tidak mendengar sapaannya terasa lama sekali. Tak akan kubiarkan Luna terlalu lama seperti ini. ** Setelah Kunjungan kami ke psikiater b
Mendengar ucapan Fisal membuatku makin berpikir. Apa maksud dalam kendalinya dan siapa yang dia maksud? Mungkinkah keluarga ini yang dia maksud. Kuputuskan untuk balik ke kamar sebelum ia sadar dengan keberadaanku. Pikiranku masih dipenuhi tanda tanya tentang ucapan tadi. Apa sebaiknya kuberitahu esok hari. Bagaimanapun Bu Mega harus tahu. Akan tetapi bila kuberitahu, mereka akan menganggapku menghasut. Atau menuduhku ingin menggagalkan rencana pernikahan tersebut. Ah, sudahlah! Sebaiknya kuurungkan saja. Lagi pula, aku belum punya bukti yang cukup. "Yang, aku harus pergi ke kantor pagi ini." Aku telah siap dengan pakaian yang rapi pagi ini. "Kau bisa melakukannya sendiri kan di kedai?" tanyaku ke Luna. Sejenak ia berpikir kemudian menjawab, "Iya, aku bisa." Dengan senyum hambar yang entah tak bisa kuartikan apa maksudnya dan nada suaranya terdengar ada keraguan yang kutangkap. Aku belum berani apa yang sebenarnya Fisal lakukan hingga membuatnya trauma bekerja sendiri di dapur ata
"Tolong beritahu seluruh direksi bahwa acara promosi jabatan dialihkan ke pesta pernikahan Fisal dan Eka. Jangan lupa buat susunan acaranya sekalian!" "Baik, Bos. Jadi ...." "Ya, aku ingin proses pemecatannya di acara pernikahannya sendiri." "Laksanakan, Bos. Saya izin keluar sebentar." Iwan bergegas keluar dari ruangan kemudian mengambil gawainya, hendak menghubungi semua direksi dan beberapa orang yang sudah kuberitahu sebelumnya. "Silakan," jawabku. Sejenak kumenatap undangan pernikahan tersebut. Tertulis nama 'Fisal Pratama dan Freska Ariska'. Ku menghela napas panjang dan mengembuskan kembali sambil membayangkan bagaimana raut wajah mereka nanti. Setelah selesai pertemuan dengan Iwan, kumemutuskan pulang ke rumah. Sepertinya, Luna telah lama menungguku. Mobil terus melaju, membelah jalan raya. *** "Ka Luna, tolong dong ambilin air hangat!" seru Rita. "Ka Lunaaaa ... Tolongin dong." "Iya, Dek. Sebentar!" "Kenapa gak ambil sendiri, Rit?" ucapku yang baru saja dari kamar ke
"Surat keputusan pemberhentian karyawan. Nama-nama tersebut adalah Fisal Pratama dan Freska Ariska." Entah, bagaimana menggambarkan raut wajah Fisal dan Istrinya, hitam legam atau merah padam? Semua bercampur menjadi satu padu. Begitu juga raut wajah Rita yang dipoles make-up mewah, hasil dari nyalon berubah memerah seolah telah memakan cabe sekilo. Gadis kecil yang masih usia belia, tetapi sikapnya yang sangat tidak santun itu layak mendapatkan pembelajaran seperti ini. Bukan hanya dia, tetapi mereka semua. Aku harap mereka menyadari akan sikap semena-menanya terhadap orang. Bukankah saling menghargai jauh lebih indah. Karena kita di mata tuhan, sama. *** Setelah memberi sambutan dan membacakan surat keputusan, aku dan Luna bergegas pulang. Acara masih tetap berlangsung meskipun tanpa kedua mempelai dan kami. Aku terburu-buru menyalakan mobil dan mengendarainya. Mobil terus melaju melewati hiruk pikuk kendaraan hingga akhirnya kami pun tiba di rumah. Aku tak dapat memarkirkan m
Kuparkirkan mobil begitu saja kemudian berlari mendatangi kedai. Dengan napas ngos-ngosan, aku berteriak-memanggil Luna, istriku."Lun ...!" Mataku menerawang ke depan dan sekitar. "Sial, tak ada orang di sini! Dia di mana, ya?" ucapku kesal. Ketelusuri semua isi ruangan, tapi tak ada.Kalau seperti ini, aku makin bingung harus ke mana mencari Luna. Kepalaku mulai nyut-nyutan memikirkan keberadaan Luna. Semoga, dia baik-baik saja, gumamku.Setelah sampai, aku turun dari mobil kemudian berjalan gontai masuk ke rumah. Hati ini belum tenang karena belum mendengar kabarnya. Gawai berbunyi. Segera kuraih dan melihatnya.Huf, aku mengira Luna yang menelpon!"Iya, Halo. W*'alaikum salam. Bagaimana, Iwan?""#$@#€=@.""Apa! Bagaimana mungkin? Cepat lakukan tindakan secepatnya. Aku akan segera ke sana." Kututup telepon segera dan menuju mobil. Belum selesai perkara keberadaan Luna, kali ini harus mengurus masalah yang cukup besar di kantor. Gedung pengoperasian dan produksi barang sebagian ter