Share

Bab 3

"Tolong beritahu dia menghadap ke saya besok."

**

Pagi ini aku sangat terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Luna juga kuajak ke kantor. Akan tetapi, ia akan menyusulku setelah pekerjaannya di rumah dan kedai selesai. 

Ingin sekali kukenalkan padanya tentang pekerjaan dan tugas seorang sekretaris. Agar ia bisa membantuku memantau saham dan perkembangan pasar. Mungkin saja dia tertarik suatu saat nanti. Namun, tidak untuk saat ini. Luna belum siap dirinya dikenalkan ke keluarganya bahwa ia istri seorang CEO. 

"Eh, Bro. Kamu bekerja di sini juga?" Segera kubalikkan badan. Nada suara itu sepertinya kukenal - pernah kudengar. 

"Iya, anda juga bekerja di sini?" tanyaku padanya meskipun aku sudah tahu ia bekerja di salah satu cabang dari perusahaan ini. 

"Masih ingat dengan saya kan?"

"Iya, masih. Anda Fisal kan?"

"Wah, ingatanmu lumayan! Sebenarnya, saya bekerja sebagai manager di salah satu cabang, tapi Big Boss memanggilku datang ke kantor sepagi ini. Semoga saja jabatan baru." 

Ucapan itu lagi yang selalu diulang. Apa sih maksudnya nih, orang. Atau harus kuberitahu juga siapa aku sebenarnya. 

"Saya do'akan yang terbaik untukmu," ucapku sekenanya. 

"Bagaimana menurutmu. Saya sudah cocokkan kalau promosi jabatan baru?" 

Aku terperanjat mendengar pertanyaannya. Jabatan baru? Siapa yang akan mempromosikannya?

"Lumayan cocok!"

"Kok, lumayan cocok. Harusnya layak. Iya gak?"

"Iya," ucapku mulai malas meladeni orang seperti ini. 

"By the way, kamu rapi sekali! Seharusnya seorang karyawan tak boleh berpakaian lebih bagus dari Bosnya."

"Jangan menyentuh kerah bajuku atau ...." 

"Atau apa?" Ia mulai berani mengacak kerah baju dan dasiku.

"Kubilang, hentikan!"

"Ouch, sorry!" Dengan nada mengejek. "Kamu karyawan biasa, tapi sombong juga," lanjutnya meledek. "Dengar, ya. Jangan berteriak di depanku!"

Darahku mulai mendidih melihat perlakuan pemuda ini. Tanganku mengepalkan tinju. Tatapan mataku memerah. Segera kumenahan diri.

Kalau tidak, sudah kubuat ia babak belur. Namun, aku sadar tidak mungkin menghajar orang ini di depan kantor dan dilihat oleh para karyawan. Disimpan di mana harga diriku sebagai pemimpin. 

Apakah semua karyawan di bawahnya diperlakukan seperti tadi.

"Maaf, saya harus pergi." 

"Hei, looser. Urusan kita belum selesai," teriaknya. "Sialan!"

"Sebentar akan kita lanjutkan!" jawabku.

Aku langsung bergegas meninggalkannya. Hari ini aku ada meeting. Bisa-bisa aku akan terlambat kalau berlama-lama di sini. Meladeninya akan menyita waktuku.

Perihal dengan dia, setelah meeting nanti akan kuberi pelajaran orang seperti dia. 

"Pak Arga, anda sudah ditunggu oleh para tamu dari direksi."

"Baik. Tolong antarkan buku catatan saya di atas meja. Saya akan menyusul!" 

Aku menenangkan diri sejenak di atas kursi sambil mengembuskan napas. Sekilas, aku melihat wajahku yang sedari tadi terasa menegang karena bertemu makhluk tadi. Sungguh, mengganggu mood-ku pagi ini! 

Aku pun berjalan menuju ruang rapat. Para direksi dari perusahaan mitra sudah di dalam ruangan. Rapat pun dimulai dan berjalan dengan baik sesuai rencana hingga selesai.

"Iwan!" 

"Iya, Bos."

"Tolong cari tahu kinerja Fisal dan tampung semua keluhan bawahannya. Aku ingin tahu seperti apa kinerjanya."

"Baik, Pak."

"Oh, iya. Satu lagi. Siapa sebenarnya yang merekrutnya tanpa sepengetahuanku?"

"Siap, Pak, dilaksanakan! Bagaimana pertemuan dengan Fisal, manager baru itu?"

"Aku hampir lupa! Tolong batalkan pertemuanku dengan dia. Biar aku sendiri yang mengeceknya langsung ke cabang. Dan tugasmu tentang mencari tahu kinerjanya tetap kau jalankan."

"Baik, Pak."

"Aku hendak keluar sebentar. Jangan lupa hubungi saya kalau ada informasi."

Aku sudah janji dengan Luna akan menjemputnya. Segera aku mengendarai mobil menuju rumah untuk menjemput Cinderella-ku tersebut. 

Mataku terbelalak melihat mobil ini lagi. Ini kan jam kerja. Seenaknya saja nongkrong di luar jam kantor!

"Assalamualaikum."

"Eh, Bro. Kok cepat pulang? Seorang karyawan seharusnya masih bekerja di kantor," sapanya, siapa lagi kalau bukan Fisal.

"Ada berkas yang ketinggalan. Lah, anda kenapa di sini. Bukannya ini masih jam kerja?" tanyaku.

"Ada karyawan saya yang bekerja. Anda lupa saya siapa?" jawabnya santai sambil mengisap rokok yang diapit kedua jarinya. 

Orang seperti ini akan merugikan perusahaan kalau terlalu banyak dipelihara, gumamku sambil menggeleng kepala.

"Bagaimana pertemuan dengan Bos?" Sengaja kutanyakan hanya ingin mendengar jawaban dan melihat reaksinya. 

"Hampir saja aku mendapatkan promosi jabatan baru, tapi pertemuan dibatalkan. Semoga saja besok ada panggilan lagi."

"Semoga kau mendapatkan jabatan baru," ucapku dan hendak ke kamar.

"Tante, kenapa masih mempertahankannya tinggal di rumah ini. Mereka kan bisa tinggal di tempat lain."

"Tante masih membutuhkan mereka. Lumayan dapat gajian tiap bulan," ucapnya berbisik, tapi masih dapat kudengar dari atas ini.

"Alah, kalau cuma itu Fisal juga bisa tante. Saya kan manager. Tahu sendiri berapa gajiku sebulan. Dari pada karyawan gembel itu lagaknya kaya bos."

"Iya, tante tahu. Tapi tante juga membutuhkan tenaga Luna untuk mengurus rumah dan kedai tante. Kan gak ada yang urus. Lagian nyewa pekerja menghabiskan biaya."

Segera kupelankan langkahku. Suaranya masih dapat kudengar di atas sini. Aku tak habis pikir dengan apa yang diucapkan Bu Mega.

Aku terperanjat mendengar ucapan tersebut. Berarti benar dugaanku selama ini. Mereka hanya menggunakan tenaga Luna. Kasihan istriku. Sabar, akan kalian lihat nanti seperti apa sikap kami. 

Dia benar-benar tak berniat merawat Luna dengan tulus sampai dewasa. Aku bisa merasakan telapak Luna yang amat kasar. Mungkin karena pekerjaan yang dilakukannya semenjak kecil. Entahlah, aku tak tahu seperti apa kehidupannya dulu. 

"Sudah siap? Ayo kita berangkat."

"Sudah, tapi belum kuberitahu mama," ucap Luna. 

"Gak papa. Cuma sehari ini saja kau menemaniku. Setelah itu kuantarkan kau pulang."

"Baiklah. Tidak lama kan?"

"Tidak akan lama."

Kami pun berangkat. 

"Hey ... ketemu lagi di sini."

"Kok, kamu masih di kantor ini. Bukannya kau harus balik ke kantormu tempat bekerja?"

"Siapa kau berani-beraninya mengaturku. Apa kau lupa aku manager," sergahnya. 

"Aku tahu, tapi kerjamu bukan di sini, di cabang."

"Aku hanya ingin jalan-jalan. Oh, kau membawa wanita ini. Cantik dan rapi juga. Bukannya dia kerja di kedai?" Aku melihat matanya menatap dari atas hingga ke bawah, membuat Luna tak nyaman dipandang seperti itu.

"Sebentar, kau ingin mendaftarkannya jadi office girl? Pakaiannya tak boleh serapi ini." 

"Jangan berani menyentuh atau kupatahkan tanganmu." Reflek ku menepis tangannya yang hendak menyentuh Luna. Mataku memerah dan gigi gerahamku saling bergesekan.

"Haha ... Ternyata, kau bisa marah juga." Ia menepuk tangan.

Tanpa sadar tanganku melayang meninju wajahnya.

Bruk!

"Pergi dari sini sebelum kubuat kau menyesal! Satpam, tolong usir orang ini dari kantor. Dia sudah tidak punya keperluan di sini."

"Sudah, Ga. Tak baik bertengkar di sini." Luna meleraiku.

Aku mulai tak dapat mengendalikan diri karena istriku dilecehkan. Apalagi dengan pemuda yang tidak bisa besikap sopan terhadap orang lain. 

"Eh, apa-apaan ini. Siapa kau, berani menyuruhku. Awas kau ya, urusan kita belum selesai."

"Kau bilang belum selesai? Ini bagianmu lagi," ucapku dan melayangkan tinjuku berikutnya. 

Ia pun jatuh tersungkur dan bangkit. 

***

Bersambung 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wenii Yeshi
bagus sih,tp tolong manggil suaminya yg sopan dong, masak sebut nama aja...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status