Share

Tamparan Kata

Azan isya sudah berlalu sedari tadi, pantas saja Bang Rio sudah kembali.

Mendengar Bang Rio datang. Aku melepas selimut dan bantal, menggendong Alya keluar. Biasanya jam segini suka ada tamu yang datang juga, kalau aku di kamar, apa kata tamu, 'menantu pemalas, yang tidak mau berbaur dengan keluarga?'

Begitulah di kampung ini. Aku dan Bang Rio satu kampung, tapi mama sama papa sudah merantau sejak aku kecil. Kami hanya pulang ketika lebaran tiba.

Serba salah emang kalau tinggal di kampung.

Kutahan hati, bermain bersama Alya di ruang tamu bukan masalah, walau dulu biasanya, Tante Sari gemar bermain bersama Alya, membuatnya tertawa, bahkan rela menjadi kuda-kuda, karena katanya Alya itu mewarisi semua punya sang ayah, dari wajah sampai tingkah.

Entah mengapa sekarang semua berubah.

Semua berubah, sejak kami tidak punya apa-apa. Miskin lebih tepatnya.

"Ma, besok mandi sungai, Yuk!" ajak Alya sambil terus menyusun warna lego yang sama, sengaja kubawa dari rumah, agar ia tak bosan di kampung.

"Okeh, tapi jangan sampai menggigil, yang gak tahan lama pijitin Mamah, ya," jawabku mengacung kelingking.

"Kalo dapet ikan, ikannya kita goreng ... !" teriaknya kencang.

Alya tertawa saat aku memperagakan orang yang tengah masak ikan dan ikannya menyiprat.

**

Dini baru saja datang, entah darimana gadis itu, wajahnya sedikit merona, baru ketemu pacar kayaknya. Bang Rio tidak terlihat, mungkin kembali keluar, mungkin dia mengira kami sudah tidur, sepertinya bersua seseorang.

Biasa, di kampung warga yang datang dari perantauan selalu disapa dengan ramah sekali. Seolah tamu istimewa.

"Hai onti, Dini!" sapa Alya, ramah, tangan mungilnya melambai pada Dini yang melewatinya tanpa membalas sapaan Alya.

Baju seksi, bibir merah merona. Astaghfirullah. Aku tersenyum miris. Bebas banget si Dini sekarang. Putriku dicuekin. Cueknya dia gak apa apa sih. Tapi aneh aja wajahnya. Kayak pengantin dengan make up ketebalan. Parfumnya juga menguar bikin mual.

"Mau ke mana, dan abis dari mana?" Aku merutuk jiwa kepo yang memang ada di dalam diri setiap wanita. Larat. Aku tidak mau saja, suatu hari Abang dan ayah kandungnya masuk neraka hany gara gara dia.

"Gi mana, Mah. Jadi kan aku kuliah, masa udah daftar, udah lulus, cuma bayar UKT doank kita gak bisa, malu Dini sama teman-teman kalau gak jadi," Dini berucap santai menuju meja makan, mengambil piring, ia langsung menyendok nasi, matanya sedikit terbelalak meihat ayam goreng.

"Siapa yang ngasih ayam, Mil!" teriak Dini dari dapur, aku yang tadi sama beranjak dengannya dari ruang tamu, menuju dapur kehilangan selera makan.

"Kak Kinan," jawab Mili santai. Mili yang dulu kusayang-sayang ikut berubah menyikapi keadaan. Mengelus dada. Sakit!

"Hah, aku ada ide, Ma." Tiba-tiba Dini nyelutuk sambil satu jari menempel di keningnya.

Tante Sari tampak serius mendengar Dini. Wanita paruh baya itu seolah tidak peduli dengan penampilan Dini yang semakin berani dari hari ke hari.

"Ide apa?" Kerut Mili yang kembali ke dapur, tak mengerti.

"Ya, usul apa tu?" Tante Sari antusias.

"Kenapa kita tidak minjam duit Kak Kinan aja buat kuliah Dini, Ma. Entar pas panen raya kita ganti," usul Dini mendadak berbinar. Tante Sari langsung semringah mendengar cerita Dini.

"Emang bakal dikasih, bukan dikit lo, biaya kuliah itu," sahut Mili seakan mencibir ide Dini. Sedari dulu Mili dan Dini memang tidak cocok. Makany Mili lebih suka tinggal denganku.

"Bilangin ke Bang Rio, biar dia aja yang minjam, atau mama bilang ini untuk kebutuhan Bang Rio, seribu persen dini yakin pasti dikasih. Kinanti itu bucin level gila dengan Bang Rio, kita manfaatin aja. Ketimbang sama Kak Rumi. Issh kan sekarang mereka udah bangkrut. Nyawanya aja Kak Kinan bakal kasih sama Bang Rio, apalagi cuma pinjaman buat kuliah," ucap Dini semangat sekali.

Aku mengelus dada. Mencoba memahami, ternyata sakit juga.

Sebenarnya perutku terasa lapar. Gulai tadi siang sudah habis. Biarlah menahan lapar, menunggu Bang Rio pulang dari mesjid, daripada aku makan dan nanti ada masalah lagi.

"Wah ....ide bagus tu, minjam sama Kak Kinan," balas Jini yang tiba-tiba juga sudah ada di dapur. Aku yang berdiri di dekat mereka seolah bagai patung wisata.

"Apalagi sekarang kabarnya suami Kak Kinan udah jadi tangan kanan pemerintah daerah," Jini berucap sambil memainkan jarinya seolah itu hal luar biasa.

"Keren ya keluarga mereka, agen perkebunan, agen penjualan eh tangan kanan pemerintah pula," celoteh Mili lagi.

Oh ... jadi Gilang itu sekarang PNS? dalam hati aku berucap aneh. Bukannya setau aku si Gilang itu gak tamat sekolah ya.

Tapi, buat apa juga aku pikirin. Mending mikirin usaha apa yang bisa kujalani tanpa harus meninggalkan suamiku.

Affiliasi online sudah. Tiktok afiliasi juga aku tekuni. Alhamdulillah sih, angkanya semakin naik. Jika tabunganku full. Aku bakal meminta Bang Rio untuk kembali ke kota.

"Makanya tadi siang waktu Kak Kinan minta tolong, aku mau aja. Mana tahu entar dikasih kerjaan, plus adeknya Kak Kinan si Fatur kan ganteng bingit. Siapa tau mau sama aku. "

Mili menyenggol b*k*ng Jini saat mengucapkannya, tawanya berderai.

Aku yang sedari tadi berdiri bak Upik abu berjalan menuju ruang tamu. Aku hanya melihat dari ruang tamu yang langsung tembus ke arah meja makan.

"Kan, sudah mama bilang ke kalian, si Rio nyesal gak nerima Kinan, selain cantik juga super cari duit. Coba aja menantu mama si Kinan, kamu pasti gak perlu repot cari pinjaman duit, Din."

Plak.

Rasanya hatiku tertampar.

Sakit. Kutahan mengepal tangan. Mereka semua sudah gila. Kinanti itu sudah punya suami.

Mengapa membicarakannya seolah-olah Kinanti janda yang butuh suami.

Awas saja emosiku meledak. "Tahah, Rum! tahan ....

"Ma, dengar-dengar dari sodara Papa, sebenarnya papa punya bagian warisan lumayan, tapi belum bisa ditebus sama oom kan, Ma," bisik Dini namun jelas terdengar.

Warisan!

"Iya, besok kalau papa datang kita cari cara untuk dapatin warisan itu biar dijual, gak perlu minjam si Kinan juga. Tapi kalau si Rio ramah tamah sama si Kinan kita bisa da ... pet dou ... ble," ucap Tante Sari semangat sekali.

"Mama sih, percuma punya Bang Rio tapi gak bisa di andelin," cerocos Mili.

Aku meringis. Geleng-geleng kepala, mengusap dada berusaha istigfar berkali-kali. Benar-benar hujan sehari telah melenyapkan mentari selama sembilan tahun bercahaya.

Sebenarnya perutku terasa lapar. Gulai tadi siang sudah habis. Biarlah menahan lapar, menunggu Bang Rio pulang dari mesjid, daripada aku makan dan nanti ada masalah.

"Assalamualaikum," suara Bang Rio bersamaan si sulungku Rivo mengucap salam langsung menerobos masuk. Aku dan Alya menyambut rebutan. Waktu masuk pertama, aku gak dengar salam suamiku itu. Bisa jadi tadi dia keluar lagi menjemput putra tercinta.

"Katanya mau main dulu sama Rehan, kok gak jadi?" tanyaku pada Rivo sengaja dengan suara sedikit keras, agar Tante Sari mendengar, tidak terjadi salah paham lagi. Jangan sampai ia berpikir aku melarang Rivo untuk ke rumah Kinanti. Walau begitu aku pasang mode waspada.

Aku harus tahu ada apa dengan mereka sampai begitu getol menjodohkan istri orang dengan suami orang.

"Gak jadi, kata papa mau ngajak Rivo mancing di kali kecil yang dekat sawah, banyak ikannya."

"Iya, Dik. Biar Rivo gak bosan, abang bawa ke kali dekat sawah kiri itu, masih ingat gak?" tanyanya tersenyum mengenang. Eh dia bernostalgia. Tentu saja aku ingat.

Sawah kiri yang banyak ularnya.

Iya, ingat donk. Tiap lebaran tiba, aku sengaja main atau ikut nenek memetik kopi di sawah kiri. Pinggiran sebelum sawah ada tanaman kopi warisan nenek.

Sebelah kanan dari sawah kiri itu berbatasan langsung dengan sawahnya Bang Rio. Sengaja banget aku dulu. Ingin melihat wajah Glenn Alinskie versi malu-malu dari jarak dekat.

Wajahku mendadak memanas. Bang Rio mengingatkan kejadian belasan tahun lalu.

"Kok senyum sendiri, ingat masa lalu, ya?" usilnya mendelik Mesra. Aih, lupa ada si Rivo dan ada para nenek lampir. Bang Rio mengusap kepalaku lembut. Hmm. Ada yang berdebar tapi bukan kresekan. Eh.

Aku membalas tajam sambil menarik ujung alis berkode arah Rivo. Bang Rio tertawa. Mengusap lembut lagi kepalaku, berganti mengusap Rivo juga.

Satu di antara tingkahnya yang selalu bikin aku senyum sepanjang hari. Bunga-bunga seakan bermekaran setiap saat di hati ini. Melupakan rasa sakit hati dengan sederet ocehan mertua plus para ipar.

Bang Rio begitu cerdas, juga baik dalam menunjukkan kasih sayang seorang tulang punggung keluarga.

"Ya sudah, sana maen sama Papa, tapi makan dulu yang banyak, entar kalau udah selesai jangan kelewatan ya Nak. ini kampung, gak sama kayak di rumah kita," saranku sambil menguncir rambut Alya yang datang dari ruangan membawa kuncir kudanya yang tertinggal tahun lalu.

Ada-ada saja si Alya, masih ingat saja barang pribadi.

Kami berempat beranjak menuju dapur.

Bang Rio dan Rivo duduk sebelahan. Para nenek lampir sejak tadi sudah pindah ke ruang tengah, melanjutkan ghibahan.

"Mah, Rivo gak makan lagi, ya. Tadi udah makan di rumah Rehan," tolaknya saat aku hendak mengambil nasi ke piring.

"Itu kan tadi siang, Nak. Sekarang makan malam," balasku tak nyaman mendengar nama Rehan.

"Tapi masih kenyang, tadi dikasih kue bolu sama es krim goreng, enak banget es krim gorengnya." Rivo bercerita semangat sekali.

"Siapa yang ngasih?" tanyaku menyelidik, dengan suasana hati yang sudah sangat tidak enak talunya.

"Tante Kinanti," jawab Rivo membuat Bang Rio melirikku. Aku berdiri di samping Bang Rio.

"Mantanmu, Bang!" bisikku usil menjamin Rivo tidak akan dengar.

Bang Rio menyepak kecil betisku. Mencubit dagu mesra namun melirik tak suka. Aku tertawa, senang rasanya ngerjain suami tercinta.

"Abang gak pernah pacaran, jangankan sama dia, sama siapapun juga gak pernah. Pacarannya cuma sama kamu itupun setelah menikah," protesnya panjang, Rivo menghadap ke arah kami berdua, lalu diam menikmati cubitan ayam goreng dari piring papanya. Bocah kelas dua sekolah dasar itu belu mengerti pembahasan orang dewasa.

"Kok rasa ayamnya kayak pakai penyedap gini, ya." Lidah bang Rio berdecak beberapa kali.

Aku mengangkat bahu, tersenyum lucu melihat ekpresi Bang Rio yang mirip orang sedang merasakan mangga kecut.

"Kenapa, Bang? apa ayam gorengnya basi?" tanyaku yang sedari tadi belum merasakan ayam goreng ala Kinanti itu. Ilfil. Jangan-jangan ada peletnya.

Ternyata suaraku menghadirkan Tante Sari di ambang pintu dapur mengirim tatapan tajam membunuh.

"Kamu bilang apa, Rum? Basi? enak saja kamu bilang pemberian orang seikhlas itu basi, kamu sendiri bisa ngasih apa sama Rio. Saat dia banyak duit kamu menikmatinya, sekarang giliran dia lagi jatuh, kamu berbuat apa menyelamatkan ekonominya," ucapnya ketus menghampiri meja makan. Napas Tante Sari naik turun terlihat sesak.

Aku bingung. Pasti salah paham lagi.

"Rum gak bilang sambalnya basi, Tante. Rum lagi nanya Bang Rio kok pas makan wajahnya kayak lagi makan mangga gitu, apa sambalnya basi," jelasku pada Tante Sari.

Terlihat kesal di wajahnya.

"Harusnya kamu terimakasih sama Kinanti, zaman sulit pandemi seperti ini, masih ada orang baik yang ngasih sambal sampai sebanyak itu. Ayam lagi mahal. Tau apa kamu tentang masak memasak, Tante sangat tau siapa kamu. Istri yang jarang mengurus suaminya. Baju suami saja pakai jasa laundry."

Aku saling pandang dengan Bang Rio. Kaget dengan semburan dadakan itu.

"Rum benar, Ma. Dia cuma nanya," bela Bang Rio pada Tante Sari. Ia berdiri mendekati ibunya itu.

"Mama udah makan?" tanya Bang Rio kemudian, tersenyum pada ibunya. Merangkul manja. Tante Sari mengelak di rangkul. Wajahnya masih mengisaratkan marah.

"Nanya kok seperti itu, bersyukur dikasih orang, masa otak suami dicuci hal buruk melulu!"

"Astagfirullah, mama, Rum itu cuma nanya, karena ayam goreng ini lain rasanya di lidah Rio, Rum tau benar mana yang Rio suka dan tidak suka, apalagi itu soal rasa masakan, mama juga tau 'kan lidah Rio sedari dulu sangat sensitif jika masakan terlalu banyak penyedap."

"Kinanti juga tau kamu gak suka banyak penyedap. Ini ayam goreng baru di goreng waktu di bawa kemari, mana mungkin basi, dan Kinanti sangat mengenal lidah kamu, Rio, dan kamu Rum. Kamu pikir Kinanti itu perempuan tidak becus, Kinanti itu paling pandai masak, sangat mengenal makanan kesukaan Rio."

"Mama!" teriak Bang Rio murka.

"Mengapa kami yang sedari tadi makan gak merasakan ada rasa penyedap di ayam goreng itu! jangan-jangan kamu Rum yang masukin. Karena kamu tau kalau Rio tidak suka sambal dengan penyedap. Sengaja kamu memfitnah Kinan! cemburu! istri macam apa kamu ini!"

"Mama!" teriak Bang Rio lagi. Aku tersenyum tegar berdiri.

Entah apa yang merasuki Tante Sari, bisa-bisanya dia mengatakan hal buruk begitu, menuduhku yang bukan-bukan.

"Rio tidak percaya mama mengatakan hal sepicik itu tentang Rum, dia menantu mama," ucap Bang Rio tegas, kalimat yang menampar ibunya sendiri.

"Rio percaya sama istri Rio, Ma. Rum bukan Kinanti yang suka memanipulasi."

Wah. Apa aku tidak salah dengar? Bang Rio membelaku dengan menjelekkan Kinanti?

Hmm, aku menunggu mertuaku itu membela diri?

"Satu lagi, Rio mohon sama mama, jangan pernah banding-bandingkan Rum dengan Kinanti. Bagi Rio, Rumi satu-satunya ibu hebat dari anak-anak Rio. Tidak akan ada yang bisa dibandingkan dengan dia," ucapnya langsung mencuci tangan kulihat. Sang suamiku itu tidak lagi selera makan.

Aku mencibir Tante Sari. Rasakan tuh omongan anak sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status