Share

Awal Dua Kutub Bermusuhan

"Sebentar Rivo!" teriakku menghentikan Rivo yang sudah hampir mencapai pintu depan untuk keluar.

"Sejak kapan Rehan di kampung? setau mama mereka tinggal di Jawa!" tanyaku entah mengapa merasa sesuatu yang lain. Banyak anak-anak di kampung mengapa Rivo langsung akrab dengan Rehan yang rumahnya di ujung kampung. Kapan pula mereka bertemu?

"Gak tau, Ma. Ini Rehan, mama nanya, Han. Sejak kapan kamu tinggal di kampung?" tunjuknya ke depan halaman, berdiri seorang laki-laki lebih muda dari Rivo. Copasan wajah Kinanti. Tapi ....

Aku menelisik wajah anak itu. Ada mirip-mirip seseorang. Siapa ya? merasa familiar dengan wajah polos di teras rumah, aku memasang senyum mengembang.

"Kenapa? kamu kok gak senang gitu Rivo akrab sama anak Kinanti? curiga? atau baper? cemburu!"

Tiba-tiba wajah Tante Sari muncul di belakangku, mencibir. Duh, apa tidak ada makhluk lain yang bisa menggantikan posisi manusia di belakangku ini.

Berada lagi main sama tukang bully yang gak punya teman aku tu, mendadak muncul di mana-mana.

"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan tentang malam pertamaku yang penuh drama, juga keterkejutan hadirnya Tante Sari secara dadakan. Kalau gak hadir dadakan bukan Sari namanya.

"Ri ... !" teriakku kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik bunga pagar halaman. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Kemarin gulai dan sekarang? Kinanti!

Sebentar! Jangan-jangan Rivo sengaja disuruh mertuaku paling baik sejagad ini untuk berteman dengan Rehan? yang namanya anak seharusnya ada mirip-miripnya dengan Bapak. Meskipun itu mata, atau dagu atau-atau yang lain lah. Tapi Rehan plek ketiplek dengan wajah Kinanti.

Entahlah.

Mengapa aku merasa tidak enak hati melihat putra Kinanti itu main di rumah ini. Seolah ada yang dengan sengaja mendekatkan Rivo dengan Rehan. Masalahnya rumah mereka itu di ujung kampung. Jarang sekali Rivo main terlalu jauh ke daerah ujung kampung yang berbatasan langsung dengan sawah dan hutan.

Mengapa perasaanku jadi tak enak ya.

"Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo lagi, dia mau pergi sholat Lo, malah di teriakin. Ibu macam apa ngelarang anaknya solat?"

"Bukan ngelarang, Tante. Rumi manggil doank, biasanya Rivo bawa sedekah uang walaupun seribuan. Kayaknya tadi dia lupa, makanya Rum teriakin lagi," ujarku sengaja menyindir si Tante yang pelit bin Bakhil.

"Heleh, sejak kapan? wong sama mertua aja kamu pelit, mana mungkin sama orang lain suka bersedekah. Halu pakai banget."

"Bagus donk, Rum rajin ngasih sedekah biar Rivo jadi anak sholeh, bukan mau ngelarang dia sholat?"

"Bilang aja kamu cemburu, Rum. Susah amat ngakuinya, sekarang cucuku akrab dengan mantan calon menantu. Sebentar lagi ayahnya pasti bisa--" Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba berdiri di depanku. Memenggal kalimatnya tertawa terbahak. Membuat jari-jari ala anak muda.

Astaghfirullah.

Untuk pertama kali dalam sejarah pernikahan aku dan Bang Rio. Tante Sari menyebut dirinya dengan sebutan 'aku' seperti sengaja membentang jarak sopan dan adab antara kami. Tambah lagi gaya gaul dengan jari tangan dibuat mengejek aku.

"Maaf, mungkin Rum terlalu lancang menjawab Tante, tapi gak papa sebenarnya mereka berteman, Si Rivo dari siang maen melulu, Rum pengen dia istirahat dulu. Baru juga sampai, malah keluyuran lagi, tadi Bang Rio bilang ke mesjidnya isya saja, ini kan belum isya," jelasku sedikit malas. Tapi, berusaha mengontrol suara agar terdengar normal dan tidak terpancing dengan gaya bahasa Tante Sari yang jutek.

Aku menahan gejolak pengen membalas kata-kata pedasnya. Rasanya baru hitungan bulan suamiku tidak lagi bekerja, dan masih bisa dihitung pakai jari tidak lagi memberi uang alias jatah bulanan untuk sang mertua. Tapi seolah suamiku itu bagai cecunguk saja.

Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit.

Apa yang tengah ia pikirkan? Entahlah. Aku malas berdebat lebih lama. Mending main Lego sama Alya. Tidak membosankan, daripada ikut-ikutan membuat wajah semakin tua dengan hal negatif dalam pikiran.

Kakiku melangkah mundur, berbalik Henda menuju kamar.

"Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan bukan main doank, syukur-syukur anakmu itu dikasih makan sama Kinan, secara di rumahnya banyak makanan enak, gak kayak di rumah kalian, apalagi sekarang setelah Rio nganggur malah numpang," timpalnya lagi. Tanganku mengepal.

Sabar, Rum! Sabar. Anggap aja melatih bicara dengan penyandang stroke otak.

Aku menarik napas. Menatap lama wajah yang sebenarnya cukup menarik di depanku.

"Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo belum makan, entar pasti makan di sana, tadi katanya udah makan siang di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, entar makan malam di sana lagi, Rumi cuma takut aja, sungkan sama Gilang. Tau sih Gilang itu sebenarnya baik. Cuma posisinya sekarang Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku sedikit melembutkan suara.

Sebenarnya malas ribut apalagi tak ada guna juga cari gara-gara.

"Hadeehh, kamu ini ya gak bersyukur amat jadi orang, cermin noh! Gak sebanding sama Kinan. Masih untung ada yang kasih makan anakmu! Pake acara segan. Kinanti itu baik dan gak pelit juga, si Rio aja yang buta, dulu. Mana tu perempuan pinter cari duit, agen panen di kampung ini. Warga kampung kalau pinjam berapapun pasti Kinanti ngasih, enak banget punya menantu kayak dia,, sama orang lain saja baik begitu, apalagi sama mertua sendiri, sayang saja orangtuanya si Gilang keburu meninggal jadi gak ngerasain enaknya punya menantu baik, kaya, sholeha kayak Kinanti," celoteh Tante Sari tak jelas.

Apa maksudnya mengatakan itu padaku?

Sakit. Tidak.

Aku merasa cinta Bang Rio cukup untukku. Aku gak butuh adu jotos apalagi melawani mulut berbisa Tante Sari yang mendadak jadi sangat mengerikan.

"'Kan Kinanti masih punya saudara laki-laki yang belum menikah, semoga saja bisa berjodoh dengan salah satu gadis di rumah ini, Jadi Tante bisa kaya, cobain aja jodohkan mereka," ujarku geleng kepala, tertawa kecil. Sengaja mengutarakan kalian itu. Pengen tau reaksi bloon Tante Sari.

Wanita yang terbutakan dengan harta.

"Ya harus, pasti itu. Meskipun bakal berbesan dengan Serin, Tapi aku tetap pengen Kinanti jadi mantuku, bukan kamu," bisiknya tepat ke telingaku. Merinding. Kuusap telinga setelah Auman serigala itu pergi dari sampingku.

Menyumpahi mertua jadi batu Malin Kundang bisa gak ya?

Apa Tuhan bakal mengabulkan kalau aku sim salabim jadi air aja deh. Biar bodohnya tetap mengalir. Jadi terlihat semua orang.

Kulangkahkan kaki mendekat, menarik pelan tangan kanan Tante Sari. Ia terkesiap dengan aksiku. Mataku memindainya lama.

"Tante ... Kinanti itu sudah punya suami, masa Tante pengen dia jadi menantu Tante? lagian kita gak punya anak laki-laki jomblo di rumah ini, mau dijodohin sama siapa? sama bang Rio? Tante udah mikir berapa kali buat misahin kami? Tante punya agama gak? jangan-jangan atheis, sini aku bisikin! kata Allah, dosa besar memisahkan suami dari istri begitu juga sebaliknya. Kinanti itu seorang istri. Bagi siapapun yang memisahkan rumahtangga seseorang yang lainnya maka dia sama dengan setan dasim. Tante tau setan Dasim? apa mau kenalan, takutnya malah keduluan Om Santoso kena korban setan Dasim," Setiap kalimat kutekan sempurna.

Mata Tante Sari melotot. Ia seakan tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Rumi yang terkenal lembut, berbicara tutur halus, kini berani menggaet tangan mertua dengan lidah pelan tapi menusuk k sanubari.

Ya, aku ingat salah satu hadist yang sering diucapkan Bang Rio, agar kami berdua terhindar dari itu.

إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُوْلُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ نِعْمَ أَنْتَ

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut) kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis berkata, “Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian datang yang lain lagi dan berkata, “Aku tidak meninggalkannya (untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya. Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, “Sungguh hebat (setan) seperti engkau” (HR Muslim IV/2167 no 2813)

Aku dan Bang Rio sering menelaah hadist ini jika kami berselisih paham, aku mengerti, setiap rumahtangga pasti selalu direcoki dengan yang namanya dasim alias setan dasim, yaitu setan yang sangat bahagia memisahkan rumahtangga.

"Kamu menyebut saya setan, ha?" teriak Tante Sari menolehkan pejalan kaki yang baru melintas di depan halaman. Ke arah rumah kami. Aku memiringkan senyum. Skak mat. Ia merasa mundur dan maju salah. Akhirnya ngamuk.

Aku sebenernya terkejut dengan suara glegar milik Istri Santoso itu, tapi refleks pura-pura mengusap dada.

"Pelan donk, Tante! Pita suaranya gak papa kan?"

"Kamu berani-beraninya kurang ajar sama saya, kamu pikir kamu siapa ha?"

"Loh, masa Tante lupa, yang di depan Tante ini adalah menantu paling baik sejagad raya. Kalau dikasih tropi, Rum yakin Rum bakal boyong tropi dengan kategori menantu paling dijulidin," ucapku menahan murka Tante Sari.

Salahku di mana coba? Dia yang mulai kok.

Aku heran, mengapa Tante Sari malah terlihat bertambah marah setelah aku bercerita tentang setan Dasim, padahal itu cerita fakta.

Malah tadi Tante Sari ngomongnya pakai acara nunjuk ke arah mukaku. Aku tidak mengatakan Tante Sari begitu. Tadi dia meyebut dirinya aku-aku dan aku sekarang menyebut dirinya saya, trus besok nyebut dirinya dengan nama binatang, bisa jadi.

Aku benci sekali dengan manusia begitu, seperti netizen yang baper saat nonton sinetron eh para artis yang sudah punya pasangan dijodoh-jodohkan.

Kali ini aku melihat Tante Sari benar-benar ingin merentang jarak komunikasi antara kami.

"Awas saja kamu! Saya akan bilang sama Rio perangai kamu yang gak punya adab."

"Bukan begitu, Tante. Rum gak bilang begitu. Rum gak ada lo nyebut Tante setan. Tapi Tante sendiri yang merasa, Rum cuma takut orang-orang mendengar apa yang Tante bilang, Rum juga tidak enak hati merepotkan orang jika Rivo menumpang makan melulu, maafin kata-kata Rum, Tante," ucapku hati-hati, takut Tante Sari tersinggung makin mekar marahnya. Bukan takut sama Bang Rio.

Aku takut si Sari itu mendadak murka. Habislah semua.

Kulihat dia menarik napasnya panjang.

"Kinanti gak bakal merasa repot, dia itu wanita baik, dia juga menganggap Rivo anaknya sendiri, kamu aja yang sensian, lagian menghayal yang baik boleh-boleh saja, siapa tau Tuhan mengabulkan. Rio pasti menyesal gak jadi nikahin Kinanti," ucapnya sarkas tanpa memikirkan perasaanku.

Glek, Duart. Suara petir seakan memecah gendang telingaku. 'nyesal gak nikahin dia'

"Apakah Bang Rio menyesal menikahi Rum, Tante?" tanyaku mendadak geram. Jauh di lubuk hati, aku bermonolog, memang sih Bang Rio menyesal menikah denganku. Seperti ucapan Bang Rio tempo-tempo hari.

"Abang nyesal banget, Dik. Nyesal nikah sama kamu?"

"Kok ngak diceraikan," sahutku sewot.

"Nyesal kok sembilan tahun lalu dinikahin, coba pas usia baru nemu dewasa dah dinikahin, minimal tamat SMA mungkin nyesalnya kurang dikit."

Bang Rio tertawa keras, menjawil pipiku. Aku mencubit perutnya yang akhir-akhir ini sudah mulai sedikit berkurang lemak. Coba kalimat penyesalan itu didengar Tante Sari, bisa-bisa kupingnya panas dingin.

Duh, kenapa jadi begini ya komunikasi aku dan mertua. Jadi ingat lagi aku dengan drama awal nikah dengan Bang Rio.

"Mungkin Kinanti salah nomor Tante, dia mau menghubungi pacarnya, eh malah ke nomor Rum, kan biasa begitu, mana tahu nomor hape pacarnya Kinanti beda satu angka saja dengan Rum. Ya kan, Kin?" Malam itu kutarik alis ke atas sedikit. Melirik Kinanti yang sudah mirip cacing kekenyangan.

"Iya, Mah. Kemarin Kinan mau nelpon kawan, gak dijawab-jawab, mungkin salah nomor, jadi malah ke nomor Rumi," ucapnya gelagapan. Aku tertawa jahat dalam hati.

Kena kau, Kin! Gangguin malam pertama orang saja. Mana mungkin dia salah nomor.

Melangkah pulang, Kinanti dan Tante Serin bersirobok denganku di pintu luar. Mereka tak melihat aku yang ngacir ke samping. Aku sengaja keluar duluan agar kami bertemu dengan saling menatap. Biar dia tau berhadapan dengan siapa.

Rena Arumi! bukan wanita lemah yang bucin akut.

"Ru-Rumi!" panggil Kinanti menyebut namaku dengan tergagap. Masih gelagapan dan grogi habis, matanya memindai ke arah teras di mana Bang Rio sedang bercengkrama dengan beberapa saudaranya.

"Santai saja, Kin. Khilaf dan Salah sifatnya manusia, toh," ujarku tersenyum, menang.

"Kamu ya, Kin. Mamah yakin, kamu tidak salah nomor tadi, itu pasti ulah kamu mau gangguin mereka, belum move on dari si Rio. Jangan buat malu mama, Kin!" bentak Tante Serin padanya saat mereka sudah sedikit jauh berada di tengah jalan, dengan suara sedikit senyap tapi runguku mampu mendengar.

Sejak saat itu. Aku dan Kinanti bagai dua kutub yang berseberangan. Setiap pulang kampung ia tidak pernah bertegur sapa denganku, namun mengapa hari ini setelah sembilan tahun, ia menyuruh anakku makan di rumahnya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status