Share

Mengurung Diri

Tentang Bang Rio.

Lelaki yang kuyakin seorang imam yang sempurna. Tapi tidak ada manusia yang sempurna. Aku berharap Allah menyempurnakan semua yang ada pada dirinya untuk diriku.

Dulu, aku hanya iseng menjawab pertanyaan Bang Rio. Ia kerap main ke rumah, bahkan ke kampusku, suamiku itu rajin olahraga futsal dekat kampus. Lelakiku itu kuliah beda kampus denganku. Ia membuka bengkel dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta dengan biaya sendiri.

Aku yang sudah mengenalnya lama, sejak remaja bahkan sejak lama pula punya rasa padanya, sedari mencuri pandang saat ia memikul gabah di area persawahan.

Sebab satu kampung, aku kagum pada wajah tampannya yang cool pake banget. Tidak ramah pada wanita. Jarang senyum kecuali padaku. Eh.

Kerap datang malam Minggu membawa makanan, kadang mengantarkan aku kuliah, mengajar les dan lainnya. Iseng aku yang mengetahui bahwa Bang Rio ikut salah satu pengajian berniat mengerjainya.

"Eh, Bang. Tiap hari bawa-bawa aku. Tiap malam Minggu bawa makanan buat aku, emang situ gak rugi? terus ngantar-ngantarin begini di golongan pengajian abang gak haram ya?" tanyaku pengen ngikik dalam hati saat itu. Aslinya aku suka ojek gratis.

"Sebenarnya haram, ini lagi cari cara supaya halal," ucapnya menunduk malu. Rasanya aku ingin tertawa keras.

Bang Rio emang rada pemalu. Aku tahu dia tidak pernah berinteraksi dengan wanita selain suatu yang sangat urgensi.

"Harus konsisten, jangan mencampur adukkan, haram dan halal," ujarku sebelum turun dari motor jadulnya.

"Emang situ pilih mana, halal atau haram?" tanyanya tiba-tiba.

"Halal lah, kalo Abang pilih mana?" tanyaku lucu. Biasanya perempuan sedikit malu, di sini Bang Rio yang tidak berani menatapku. Malu. Atau aku yang terlalu agresif. Terserah deh.

"Jadi, kalau abang tidak ingin halal dan haram itu bercampur, ya ... besok suruh ayah abang datang," ucapku sengaja mengerjainya. Kulihat mukanya merah namun bibirnya menahan senyum. Duh super menawan.

Mana mungkin dia menyuruh ayahnya datang secara usia Bang Rio saat itu masih dua puluh satu tahun. Sedangkan aku masih sembilan belas tahun.

Bang Rio mulai kuliah telat, karena mengumpulkan biaya terlebih dahulu.

Aku senyum sendiri, mengingat begitu mudahnya aku menyuruh membawa ayahnya ke rumahku.

"Buat apa beliau ke sini?" tanya Bang Rio memalingkan wajahku yang mulai melangkah, lagi ... kalimatnya bikin kesal plus menggemaskan, ingin kujitak agar loadingnya lebih cepat lagi.

"Buat ngantarin aku ke warung," jawabku meloyor pergi dari hadapannya. Sama sekali tidak hendak melihat ekpresi wajahnya.

Betapa aku terkejut, sewaktu mamah menelpon, ayah Bang Rio--Om Santoso datang melamar aku untuk Bang Rio.

Bahkan lamaran itu datang saat dirinya terlihat begitu cuek seolah tidak ada yang terjadi pada kami. So cool. Ia sosok pemberi bukti bukan janji. Bang Rio kerap membuktikan cinta lewat perbuatan bukan perkataan.

Sebab, satu kampung, juga masih saudaraan jauh. Mama menyetujui tanpa memberitahuku, yang sebenarnya juga sangat setuju. Hari itu juga keluarga Bang Rio membawakan hantaran meskipun tak ada permintaan hantaran dari aku. Betapa aku terharu saat mengetahui semua hantaran dia beli dengan hasil jerih payah sendiri. Aku meminta peralatan make up super mahal, sebenarnya itu kerjaan iseng. Ternyata beneran dibelikan. Pantas saja Kinan terus mengejarnya tanpa lelah. Karena dia tau, Bang Rioku limited edition.

Sosok lelaki yang tidak akan ditemuinya di generasi selanjutnya. Tutur kata Bang Rio lembut sekali. Kulitnya halus, meskipun dia pekerja keras. Suka mengusap kepala dan menjawil dagu. Show up kemesraan meskipun tidak terlalu sering.

Sembilan tahun lalu, aku tersenyum kecil mengenang kenangan mengenal cinta yang begitu indah.

"Semoga kamu gak kesambet Setan dasim yang kamu bilang tadi, Rum! hobi baru ya, melamun sambil senyum-senyum di pinggir pintu!" Tante Sari menyentak lamunanku, terlihat bibirnya komat-kamit mengejek.

"Bukannya Tante yang kesambet setan Dasim. Tante tau gak profesi setan Dasim itu apa? orang yang tidak konsis dan tidak senang dengan kebahagiaan sebuah rumahtangga ya itu namanya setan Dasim, kan Tante persis tu sama" jawabku menahan kesal. Aku sudah berjanji tidak akan terpancing, tapi Tante Sari yang menyuruhku harus membalas setiap omongannya.

Alya yang baru keluar dari kamar bersinggayut memegang pergelanganku seperti ketakutan dengan suara ejekan Tante Sari. Aku menggendong Alya hendak masuk kamar, sama sekali tidak ingin menjawab omongan Tante Sari meskipun dia adalah ibu yang melahirkan Bang Rio.

Diam, diam, diam. 3D cara efektif menjaga kewarasan.

"Emang sih kata ahli begitu, kalau uang gak ada, profesi suami berubah jadi pengangguran ya ... gitu. Malahan ada yang bunuh diri, depresi, ujung-ujungnya suaminya kawin lagi. Lumrahnya begitu." Tante Sari melirikku tak suka. Sambil terus berceloteh. Kakiku meneruskan langkah masuk ke dalam kamar. Tidak peduli pada ocehannya.

Astagfirullah, Aku mengusap dada berkali-kali agar tidak terpancing. Tapi, kakiku merekat, kupalingkan tubuh ini menghadap mertua nulis bin ajaib.

"Jaga saja Kinanti biar gak depresi karena segala cara tetap ditolak Bang Rio. Jaga juga tu tiga buah hati cewek semua, takutnya salah satu bisa saja dipermainkan para lelaki,"

"Mama, Alya pengen pulang ke rumah kita, di sini gak asik, Alya gak suka tinggal di sini," adu putriku, membuat aku heran.

Dulu Alya paling bahagia jika diajak pulang kampung, mengapa sekarang begini. Aku menatap lama wajah putriku, ia tampak takut dan tidak betah.

"Kita di sini cuma sebentar, nanti kita bilang sama Papa, kita balik aja ke rumah ya, Sayang. Alya yang sbaar ya, Allah suka lo sama anak sabar."

"Iya, tapi Alya gak mau lama-lama di kampung, Alya mau mandi bola."

"Oke, nanti kita cerita ke Papa, kalau Alya mau mandi bola. Sekarang bantu mama beresin baju!" Mengajaknya menyibukkan diri salah satu cara agar Alya tidak bertanya dan berceloteh lebih banyak tentang ketidaknyamanannya di rumah ini.

"Dasar menantu gak bisa diandelin, coba aja menantuku itu Kinanti. Kan gak bakal ada acara numpang di tempat mertua, suaminya gak bakal pengangguran, begini nih kalau istri posesifnya kelebihan dosis, suami kerja bagus-bagus sering dicurigain makanya jadi berhenti. Huh. Gak mikir makan itu butuh uang," teriak Tante Sari semakin sengaja memancing emosiku.

Apa katanya?

Istri posesif? Apa Bang Rio tidak mengatakan kalau dia abis kontrak bukan dipecat?

Mengapa Tante Sari seenaknya mengatakan kalimat itu?

Apa maksud semua ini?

Tak sabar rasanya menunggu Bang Rio pulang dari mesjid.

"Pengennya sih punya menantu yang bisa akrab kayak si Nagita sama Mama Ami. Eh taunya dapat yang kayak si Lestong."

Mendengar kalimat pemantik emosi itu sungguh hatiku panas, tak sabar aku keluar dari kamat. Meninggalkan Alya yang terbengong menyusun lego ke dalam tempatnya.

"Apa maksud Tante ngomong gitu barusan? Kenapa gak nyuruh Bang Rio ngawinin si Kinan aja? bukannya Tante halu sekali dengan kehidupan seleb Sultan itu?" tanyaku mengepal tangan menahan tidak berucap kasar.

Tante Sari pura-pura mencari sesuatu di rak dinding. Membuka tutup tirai lemari kaca yang juga kami belikan dulu.

"Hei, tangan kamu kenapa pakai ngepal segala, mau ninju mertuamu, waw ... barbar sekali istri yang Rio bangga-banggakan ini?"

Kuturunkan kepalan tangan sambil tersenyum sinis. Oh, sekarang aku paham tujuan kalimat-kalimat tendensius itu. Hanya memancing emosiku, hm,

"Abis Tante gak jawab, Rum kan nanya, kenapa sih kok gagal nikahin si Kinan, padahal Kinan cewek baik, masa Bang Rio salah pilih wanita, nikah sama Rum yang gak ada apa-apanya ini, kuliah saja gak selesai," ujarku sedikit menyindir. Terlihat Tante Sari sedikit gusar tapi ditahan. Matanya bermain licik.

"Mana tau, Tante. Tanyalah si Rio," jawabnya lugas hampir membuat aku tertawa terbahak.

Telanj*ng bulat juga si Kinanti, di depan Bang Rio. Kujamin Bang Rio yang ngacir lari.

Aku sangat mengenal Bang Rio, lelakiku itu tidak akan pernah menyakitiku.

Tapi Kalimat Tante Sari, sungguh menancap di hati ini.

"Mil, kamu darimana?" tanya Tante Sari yang melihat Mili datang dari pintu dapur. Wajahnya sedikit lusuh.

"Daring di rumah Meri, abis tu ke rumah Kak Kinan," jawab Mili sambil mengeluarkan bungkusan berisi rantang. Ada ayam goreng yang Mili pindahkan ke wadah lain.

Aku diam saja, tidak mengomentari Tante Sari lagi, sepertinya ayam goreng pemberian Kinanti yang dibawa Mili. Drama apalagi kali ini?

"Mana Bang Rio, Mah. Ini Kak Kinan pesan ayam goreng buat Bang Rio. Mili tadi bantuin Kak Kinan masukin tomat sama terung dalam keranjang, agennya datang, lumayan banyak panen ladangnya Kak Kinan, lumayan juga ongkos bantuinnya, malah dibontotin ayam goreng spesial, kata Kak Kinan, Dulu itu waktu Bang Rio masih lajang, suka banget makan di rumah Kak Kinan."

"Ah, si Kinan memang rajin, walaupun sering ke kebun wajahnya masih cantik aja, padahal sudah punya anak satu, pinter cari duit, si Rio aja dulu yang matanya buta," ucap selentingan dari Tante Sari, sungguh tidak mengenakkan hati.

Memilih berdiam diri di kamar pilihan paling baik. Daripada aku mendengar celotehan toxic mereka.

"Kita bobok sambil nunggu Papa, Yuk!" ajakku pada Alya. sesegera mungkin menarik selimut dan menutup telinga dengan bantal.

Mengurung diri solusi menjaga mental.

"Rio, kamu udah makan, Sayang. Sini mama ambilin, kangen nyuapin kamu, maafin mama yang tadi ya, Nak!"

Akting apalagi ini?

"Ma, kayaknya papa udah datang deh!"

Ah, ternyata Alya belum tidur. Ia menarik selimutnya.

Mau ke mana anak ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status