Tentang Bang Rio.
Lelaki yang kuyakin seorang imam yang sempurna. Tapi tidak ada manusia yang sempurna. Aku berharap Allah menyempurnakan semua yang ada pada dirinya untuk diriku.
Dulu, aku hanya iseng menjawab pertanyaan Bang Rio. Ia kerap main ke rumah, bahkan ke kampusku, suamiku itu rajin olahraga futsal dekat kampus. Lelakiku itu kuliah beda kampus denganku. Ia membuka bengkel dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta dengan biaya sendiri.
Aku yang sudah mengenalnya lama, sejak remaja bahkan sejak lama pula punya rasa padanya, sedari mencuri pandang saat ia memikul gabah di area persawahan.
Sebab satu kampung, aku kagum pada wajah tampannya yang cool pake banget. Tidak ramah pada wanita. Jarang senyum kecuali padaku. Eh.
Kerap datang malam Minggu membawa makanan, kadang mengantarkan aku kuliah, mengajar les dan lainnya. Iseng aku yang mengetahui bahwa Bang Rio ikut salah satu pengajian berniat mengerjainya.
"Eh, Bang. Tiap hari bawa-bawa aku. Tiap malam Minggu bawa makanan buat aku, emang situ gak rugi? terus ngantar-ngantarin begini di golongan pengajian abang gak haram ya?" tanyaku pengen ngikik dalam hati saat itu. Aslinya aku suka ojek gratis.
"Sebenarnya haram, ini lagi cari cara supaya halal," ucapnya menunduk malu. Rasanya aku ingin tertawa keras.
Bang Rio emang rada pemalu. Aku tahu dia tidak pernah berinteraksi dengan wanita selain suatu yang sangat urgensi.
"Harus konsisten, jangan mencampur adukkan, haram dan halal," ujarku sebelum turun dari motor jadulnya.
"Emang situ pilih mana, halal atau haram?" tanyanya tiba-tiba.
"Halal lah, kalo Abang pilih mana?" tanyaku lucu. Biasanya perempuan sedikit malu, di sini Bang Rio yang tidak berani menatapku. Malu. Atau aku yang terlalu agresif. Terserah deh.
"Jadi, kalau abang tidak ingin halal dan haram itu bercampur, ya ... besok suruh ayah abang datang," ucapku sengaja mengerjainya. Kulihat mukanya merah namun bibirnya menahan senyum. Duh super menawan.
Mana mungkin dia menyuruh ayahnya datang secara usia Bang Rio saat itu masih dua puluh satu tahun. Sedangkan aku masih sembilan belas tahun.
Bang Rio mulai kuliah telat, karena mengumpulkan biaya terlebih dahulu.
Aku senyum sendiri, mengingat begitu mudahnya aku menyuruh membawa ayahnya ke rumahku.
"Buat apa beliau ke sini?" tanya Bang Rio memalingkan wajahku yang mulai melangkah, lagi ... kalimatnya bikin kesal plus menggemaskan, ingin kujitak agar loadingnya lebih cepat lagi.
"Buat ngantarin aku ke warung," jawabku meloyor pergi dari hadapannya. Sama sekali tidak hendak melihat ekpresi wajahnya.
Betapa aku terkejut, sewaktu mamah menelpon, ayah Bang Rio--Om Santoso datang melamar aku untuk Bang Rio.
Bahkan lamaran itu datang saat dirinya terlihat begitu cuek seolah tidak ada yang terjadi pada kami. So cool. Ia sosok pemberi bukti bukan janji. Bang Rio kerap membuktikan cinta lewat perbuatan bukan perkataan.
Sebab, satu kampung, juga masih saudaraan jauh. Mama menyetujui tanpa memberitahuku, yang sebenarnya juga sangat setuju. Hari itu juga keluarga Bang Rio membawakan hantaran meskipun tak ada permintaan hantaran dari aku. Betapa aku terharu saat mengetahui semua hantaran dia beli dengan hasil jerih payah sendiri. Aku meminta peralatan make up super mahal, sebenarnya itu kerjaan iseng. Ternyata beneran dibelikan. Pantas saja Kinan terus mengejarnya tanpa lelah. Karena dia tau, Bang Rioku limited edition.
Sosok lelaki yang tidak akan ditemuinya di generasi selanjutnya. Tutur kata Bang Rio lembut sekali. Kulitnya halus, meskipun dia pekerja keras. Suka mengusap kepala dan menjawil dagu. Show up kemesraan meskipun tidak terlalu sering.
Sembilan tahun lalu, aku tersenyum kecil mengenang kenangan mengenal cinta yang begitu indah.
"Semoga kamu gak kesambet Setan dasim yang kamu bilang tadi, Rum! hobi baru ya, melamun sambil senyum-senyum di pinggir pintu!" Tante Sari menyentak lamunanku, terlihat bibirnya komat-kamit mengejek.
"Bukannya Tante yang kesambet setan Dasim. Tante tau gak profesi setan Dasim itu apa? orang yang tidak konsis dan tidak senang dengan kebahagiaan sebuah rumahtangga ya itu namanya setan Dasim, kan Tante persis tu sama" jawabku menahan kesal. Aku sudah berjanji tidak akan terpancing, tapi Tante Sari yang menyuruhku harus membalas setiap omongannya.
Alya yang baru keluar dari kamar bersinggayut memegang pergelanganku seperti ketakutan dengan suara ejekan Tante Sari. Aku menggendong Alya hendak masuk kamar, sama sekali tidak ingin menjawab omongan Tante Sari meskipun dia adalah ibu yang melahirkan Bang Rio.
Diam, diam, diam. 3D cara efektif menjaga kewarasan.
"Emang sih kata ahli begitu, kalau uang gak ada, profesi suami berubah jadi pengangguran ya ... gitu. Malahan ada yang bunuh diri, depresi, ujung-ujungnya suaminya kawin lagi. Lumrahnya begitu." Tante Sari melirikku tak suka. Sambil terus berceloteh. Kakiku meneruskan langkah masuk ke dalam kamar. Tidak peduli pada ocehannya.
Astagfirullah, Aku mengusap dada berkali-kali agar tidak terpancing. Tapi, kakiku merekat, kupalingkan tubuh ini menghadap mertua nulis bin ajaib.
"Jaga saja Kinanti biar gak depresi karena segala cara tetap ditolak Bang Rio. Jaga juga tu tiga buah hati cewek semua, takutnya salah satu bisa saja dipermainkan para lelaki,"
"Mama, Alya pengen pulang ke rumah kita, di sini gak asik, Alya gak suka tinggal di sini," adu putriku, membuat aku heran.
Dulu Alya paling bahagia jika diajak pulang kampung, mengapa sekarang begini. Aku menatap lama wajah putriku, ia tampak takut dan tidak betah.
"Kita di sini cuma sebentar, nanti kita bilang sama Papa, kita balik aja ke rumah ya, Sayang. Alya yang sbaar ya, Allah suka lo sama anak sabar."
"Iya, tapi Alya gak mau lama-lama di kampung, Alya mau mandi bola."
"Oke, nanti kita cerita ke Papa, kalau Alya mau mandi bola. Sekarang bantu mama beresin baju!" Mengajaknya menyibukkan diri salah satu cara agar Alya tidak bertanya dan berceloteh lebih banyak tentang ketidaknyamanannya di rumah ini.
"Dasar menantu gak bisa diandelin, coba aja menantuku itu Kinanti. Kan gak bakal ada acara numpang di tempat mertua, suaminya gak bakal pengangguran, begini nih kalau istri posesifnya kelebihan dosis, suami kerja bagus-bagus sering dicurigain makanya jadi berhenti. Huh. Gak mikir makan itu butuh uang," teriak Tante Sari semakin sengaja memancing emosiku.
Apa katanya?
Istri posesif? Apa Bang Rio tidak mengatakan kalau dia abis kontrak bukan dipecat?
Mengapa Tante Sari seenaknya mengatakan kalimat itu?
Apa maksud semua ini?
Tak sabar rasanya menunggu Bang Rio pulang dari mesjid.
"Pengennya sih punya menantu yang bisa akrab kayak si Nagita sama Mama Ami. Eh taunya dapat yang kayak si Lestong."
Mendengar kalimat pemantik emosi itu sungguh hatiku panas, tak sabar aku keluar dari kamat. Meninggalkan Alya yang terbengong menyusun lego ke dalam tempatnya.
"Apa maksud Tante ngomong gitu barusan? Kenapa gak nyuruh Bang Rio ngawinin si Kinan aja? bukannya Tante halu sekali dengan kehidupan seleb Sultan itu?" tanyaku mengepal tangan menahan tidak berucap kasar.
Tante Sari pura-pura mencari sesuatu di rak dinding. Membuka tutup tirai lemari kaca yang juga kami belikan dulu.
"Hei, tangan kamu kenapa pakai ngepal segala, mau ninju mertuamu, waw ... barbar sekali istri yang Rio bangga-banggakan ini?"
Kuturunkan kepalan tangan sambil tersenyum sinis. Oh, sekarang aku paham tujuan kalimat-kalimat tendensius itu. Hanya memancing emosiku, hm,
"Abis Tante gak jawab, Rum kan nanya, kenapa sih kok gagal nikahin si Kinan, padahal Kinan cewek baik, masa Bang Rio salah pilih wanita, nikah sama Rum yang gak ada apa-apanya ini, kuliah saja gak selesai," ujarku sedikit menyindir. Terlihat Tante Sari sedikit gusar tapi ditahan. Matanya bermain licik.
"Mana tau, Tante. Tanyalah si Rio," jawabnya lugas hampir membuat aku tertawa terbahak.
Telanj*ng bulat juga si Kinanti, di depan Bang Rio. Kujamin Bang Rio yang ngacir lari.
Aku sangat mengenal Bang Rio, lelakiku itu tidak akan pernah menyakitiku.
Tapi Kalimat Tante Sari, sungguh menancap di hati ini.
"Mil, kamu darimana?" tanya Tante Sari yang melihat Mili datang dari pintu dapur. Wajahnya sedikit lusuh.
"Daring di rumah Meri, abis tu ke rumah Kak Kinan," jawab Mili sambil mengeluarkan bungkusan berisi rantang. Ada ayam goreng yang Mili pindahkan ke wadah lain.
Aku diam saja, tidak mengomentari Tante Sari lagi, sepertinya ayam goreng pemberian Kinanti yang dibawa Mili. Drama apalagi kali ini?
"Mana Bang Rio, Mah. Ini Kak Kinan pesan ayam goreng buat Bang Rio. Mili tadi bantuin Kak Kinan masukin tomat sama terung dalam keranjang, agennya datang, lumayan banyak panen ladangnya Kak Kinan, lumayan juga ongkos bantuinnya, malah dibontotin ayam goreng spesial, kata Kak Kinan, Dulu itu waktu Bang Rio masih lajang, suka banget makan di rumah Kak Kinan."
"Ah, si Kinan memang rajin, walaupun sering ke kebun wajahnya masih cantik aja, padahal sudah punya anak satu, pinter cari duit, si Rio aja dulu yang matanya buta," ucap selentingan dari Tante Sari, sungguh tidak mengenakkan hati.
Memilih berdiam diri di kamar pilihan paling baik. Daripada aku mendengar celotehan toxic mereka.
"Kita bobok sambil nunggu Papa, Yuk!" ajakku pada Alya. sesegera mungkin menarik selimut dan menutup telinga dengan bantal.
Mengurung diri solusi menjaga mental.
"Rio, kamu udah makan, Sayang. Sini mama ambilin, kangen nyuapin kamu, maafin mama yang tadi ya, Nak!"
Akting apalagi ini?
"Ma, kayaknya papa udah datang deh!"
Ah, ternyata Alya belum tidur. Ia menarik selimutnya.
Mau ke mana anak ini?
***
"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan.
"Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu.
Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang?
Kinanti!
"Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo."
Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah.
"Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas.
Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit.
Apa yang tengah ia pikirkan?
"Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi.
"Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi.
"Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara segan. Kinanti itu baik dan gak pelit juga,"
Salahku di mana? Kok Tante Sari malah bertambah marah. Malah tadi ngomongnya pakai acara nunjuk ke arah mukaku.
"Bukan begitu, Tante. Rumi tidak enak hati merepotkan orang," ucapku hati-hati, takut Tante Sari tersinggung makin mekar marahnya.
"Kinanti gak bakal merasa repot, dia itu wanita baik, Rio pasti menyesal gak nikahin dia,"
Glek, Duart. Suara petir seakan memecah gendang telingaku. 'nyesal gak nikahin dia'
"Apakah Bang Rio menyesal menikahi Rumi, Tante?" Tanyaku gemas. Jauh di lubuk hati, aku bermonolog, memang Bang Rio menyesal menikah denganku.
Seperti ucapan Bang Rio tempo-tempo hari.
"Abang nyesal banget, Dik. Nyesal nikah sama kamu?"
"Kok ngak diceraikan," sahutku sewot.
"Nyesal kok sembilan tahun lalu dinikahin, coba pas usia baru nemu dewasa dah dinikahin, minimal tamat SMA mungkin nyesalnya kurang dikit."
Bang Rio tertawa keras, menjawil pipiku. Aku mencubit perutnya yang akhir-akhir ini sudah mulai sedikit berkurang lemak.
Dulu, aku hanya iseng menjawab pertanyaan Bang Rio. Ia kerap main ke rumah, bahkan ke kampus, suamiku itu rajin olahraga futsal dekat kampus. Aku yang sudah mengenalnya lama, bahkan punya rasa padanya sedari mencuri pandang saat ia memikul gabah di area persawahan.
Sebab satu kampung, aku kagum pada wajah tampannya yang cool pake banget. Tidak ramah pada wanita. Jarang senyum kecuali padaku. Eh.
Kerap datang malam Minggu membawa makanan, kadang mengantarkan aku kuliah, mengajar les dan lainnya. Iseng aku yang mengetahui bahwa Bang Rio ikut salah satu pengajian berniat mengerjainya.
"Eh, Bang. Tiap hari bawa malam Minggu bawa makanan buat aku emang gak rugi, terus ngantar ngantarin begini di golongan abang gak haram ya?" Tanyaku pengen ngikik dalam hati saat itu.
"Sebenarnya haram, ini lagi cari cara supaya halal," ucapnya menunduk malu. Rasanya aku ingin tertawa keras.
Bang Rio emang rada pemalu. Aku tahu dia tidak pernah berinteraksi dengan wanita selain suatu yang sangat urgensi.
"Harus konsisten, jangan mencampur adukkan, haram dan halal," ujarku sebelum turun dari motor jadulnya.
"Emang situ pilih mana, halal atau haram?" Tanyanya tiba-tiba.
"Halal lah, kalo Abang pilih mana?" tanyaku lucu. Biasanya perempuan sedikit malu, di sini Bang Rio yang tidak berani menatapku. Malu. Atau aku yang terlalu agresif. Terserah deh.
"Jadi, kalau abang tidak ingin halal dan haram itu bercampur, ya ... besok suruh ayah abang datang," ucapku sengaja mengerjainya.
Mana mungkin dia menyuruh ayahnya datang secara usia Bang Rio masih sembilan belas tahun. Kami hampir sebaya hanya beda bulan saja.
"Buat apa beliau ke sini?"
Tanya Bang Rio bikin kesal plus menggemaskan, ingin kujitak agar loadingnya lebih cepat lagi.
"Buat ngantarin aku ke warung," jawabku meloyor pergi dari hadapannya. Sama sekali tidak hendak melihat ekpresi wajahnya.
Betapa aku terkejut, sewaktu mamah menelpon, ayah Bang Rio--Papa Santoso datang melamar aku untuk Bang Rio.
Sebab, satu kampung, juga masih saudaraan jauh. Mama menyetujui tanpa memberitahuku, yang sebenarnya juga sangat setuju. Hari itu juga keluarga Bang Rio membawakan hantaran meskipun tak ada permintaan hantaran dari aku.
Sembilan tahun lalu, aku tersenyum kecil mengenang kenangan mengenal cinta yang begitu indah.
"Hei, sejak kapan hobi melamun?" Tante Sari melirikku tak suka.
"Abis Tante gak jawab, Rumi kan nanya, kenapa sih kok gagal nikahin si Kinan, padahal Kinan cewek baik, masa Bang Rio salah pilih wanita, nikah sama Rumi yang gak ada apa-apanya ini," ujarku sedikit menyindir. Terlihat Tante Sari sedikit gusar tapi ditahan.
"Mana tau, Tante. Tanyalah si Rio," jawabnya lugas hampir membuat aku tertawa.
Telanj*ng bulat juga si Kinanti, di depan Bang Rio. Kujamin Bang Rio yang ngacir lari.
Aku sangat mengenal Bang Rio, lelakiku itu tidak akan pernah menyakitiku.
Tapi Kalimat Tante Sari, sungguh menancap di hati ini.
"Mil, kamu darimana?" Tanya Tante Sari yang melihat Mili datang dari pintu dapur. Wajahnya sedikit lusuh.
"Daring di rumah Meri, abis tu ke rumah Kak Kinan," jawab Mili sambil mengeluarkan bungkusan berisi rantang. Ada ayam goreng yang Mili pindahkan ke wadah lain.
Aku diam saja, tidak mengomentari Tante Sari lagi, sepertinya ayam goreng pemberian Kinanti yang dibawa Mili.
"Mana Bang Rio, Mah. Ini Kak Kinan pesan ayam goreng buat Bang Rio. Mili tadi bantuin Kak Kinan masukin tomat sama terung dalam keranjang, agennya datang, lumayan banyak panen ladangnya Kak Kinan,"
"Ah, si Kinan memang rajin, walaupun sering ke kebun wajahnya masih cantik aja, padahal sudah punya anak satu, pinter cari duit, si Rio aja dulu yang matanya buta," ucap selentingan dari Tante Sari, sungguh tidak mengenakkan hati ini.
Memilih berdiam diri di kamar pilihan paling baik.
Azan isya berkumandang, aku menggendong Alya ke ruang tamu. Biasanya jam segini suka ada tamu yang datang, kalau aku di kamar, apa kata tamu, 'menantu pemalas, yang tidak mau berbaur dengan keluarga?'
Serba salah emang kalau tinggal di kampung.
Kutahan hati, bermain bersama Alya di ruang tamu bukan masalah, walau dulu biasanya, Tante Sari gemar bermain bersama Alya, membuatnya tertawa, bahkan rela menjadi kuda-kuda, karena katanya Alya itu mewarisi semua punya sang ayah, dari wajah sampai tingkah.
"Ma, besok mandi sungai, Yuk!" Ajak Alya sambil menyusun lego yang sengaja kubawa dari rumah, agar ia tak bosan di kampung.
"Okeh, tapi jangan sampai menggigil, yang gak tahan lama pijitin Mamah, ya," jawabku mengacung kelingking.
"Kalo dapet ikan, ikannya kita goreng ... !" Teriaknya kencang.
Alya tertawa saat aku memperagakan orang yang tengah masak ikan dan ikannya menyiprat.
Dini baru saja datang, wajahnya sedikit merona, baru ketemu pacar kayaknya.
"Hai onti, Dini!" Sapa Alya lembut melambai pada Dini yang melewatinya. Aku tersenyum miris. Bebas banget si Dini sekarang.
"Gi mana, Mah. Jadi kan aku kuliah, masa udah daftar, udah lulus, cuma bayar UKT doank kita gak bisa, malu Dini sama teman-teman kalau gak jadi," Dini berucap santai menuju meja makan, mengambil nasi, netranya sedikit terbelalak meihat ayam goreng.
"Siapa yang ngasih ayam, Mil!" Teriak Dini dari dapur, aku yang tadi sama beranjak dengannya dari ruang tamu, menuju dapur kehilangan selera makan.
"Kak Kinan," Jawab Mili santai.
"Hah, aku ada ide, Mah." Tiba-tiba Dini nyelutuk sambil satu jari menempel di keningnya.
"Ide apa?" Kerut Mili tak mengerti.
"Kenapa kita tidak minjam duit Kak Kinan Aja buat kuliah Dini, Mah. Entar pas panen raya kita ganti." Usul Dini mendadak berbinar.
"Emang bakal dikasih, bukan dikit
lo, biaya kuliah itu," sahut Mili seakan mencibir ide Dini.
"Bilangin ke Bang Rio, biar dia yang minjam, pasti dikasih, nyawanya aja dia bakal kasih sama Bang Rio, apalagi cuma pinjaman buat kuliah," ucap Dini semangat sekali.
Aku mengelus dada. Mencoba memahami, ternyata sakit juga.
Sebenarnya perutku terasa lapar. Gulai tadi siang sudah habis. Biarlah menahan lapar, menunggu Bang Rio pulang dari mesjid, daripada aku makan dan nanti ada masalah lagi.
"Wah ....ide bagus tu, minjam sama Kak Kinan," balas Mili dan Jini serentak.
"Apalagi sekarang kabarnya suami Kak Kinan udah jadi tangan kanan pemerintah daerah," Jini berucap sambil memainkan jarinya seolah itu hal luar biasa.
"Keren ya keluarga mereka, agen perkebunan, agen penjualan eh tangan kanan pemerintah pula," celoteh Mili lagi.
"Makanya aku mau tadi siang waktu Kak Kinan minta tolong, mana tahu entar dikasih kerjaan, plus adeknya Kak Kinan si Fatur kan ganteng bingit."
Mili menyenggol b*k*ng Jini saat mengucapkannya, tawanya berderai. Aku hanya melihat dari ruang tamu yang langsung tembus ke arah meja makan.
"Kan, sudah mama bilang ke kalian, si Rio nyesal gak Nerima Kinan, selain cantik juga super cari duit. Coba aja menantu mama si Kinan, kamu pasti gak perlu repot cari pinjaman duit, Din."
Gak perlu repot-repot. Aku sedikit curiga dengan. kelakuan mereka sejak Bang Rio resmi jadi pengangguran.
Benar kata pepatah. saat kita punya uang semua mengaku saudara. Ketika kita jatuh semua menjauh, seakan kita membawa virus di kehidupan mereka.
Hanya yang tak habis pikir olehku. Tante Sari. Ibu yang melahirkan Bang Rio tega melakukan ini padanya. Menunjukkan sifat tidak suka hanya karena Bang Rio tidak lagi memiliki duit.
Apakah Dia bukan ibu kandung. ah ya kenapa aku terlalu jauh memikirkan hal hal aneh ini.
Aku mencoba rileksasi. menarik napas. lalu menghembusnya.
"Kenapa sih Bang Rio bisa cinta mati banget sama Rumi itu, mama aja geli liatnya," ucapnya menyenggol Dini.
Rasanya hatiku tertampar. Walau mereka tidak menampar.
Sakit. Kutahan mengepal tangan. Berusaha terus. bertahan, mendengar ocehan unfaedah itu. Apalagi yang akan mereka bahas.
"Mah, dengar-dengar dari sodara Papa, sebenarnya papa punya bagian warisan lumayan, tapi belum bisa ditebus sama oom kan, Ma," bisik Dini namun jelas terdengar.
Oh jadi membahas warisan sekarang!
"Iya, besok kalau papa datang kita cari cara untuk dapatin warisan itu biar dijual, gak perlu minjam si Kinan juga."
"Mama sih, percuma punya Bang Rio tapi gak bisa di andelin," cerocos Mili.
"Terus mama harus gimana?"
"Ya gak gimana gimana, mama cuma harus tegas biar bang Rio tidak disetir istrinya. Lakukan segala cara donk, Ma. Kalau aku sih yes Bang Rio kita jodohkan dengan Kak Kinan. Seperti kata mama. Kita akan sejahtera kalau menantu mama itu Kinanti bukan Rumi. Jauh panggang dari api kalau sama Rumi itu."
Aku meringis. Geleng-geleng kepala, mengusap dada berusaha istigfar berkali-kali. Benar-benar hujan sehari telah melenyapkan mentari selama sembilan tahun bercahaya.
"Rio itu anak mama yang sangat berbakti. Kalian tenang saja, mama akan buat dia percaya sama kita. Dia harus bisa mencari akal. Bukankah anak lelaki itu selamanya milik ibunya, Rio kan sangat paham itu. Berbakti adalah kewajiban anak lelaki. Istri dilarang protes."
Berbakti katanya!
Aku jijik mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Tante Sari. Dia tidak seperti perempuan yang aku kenal selama kami masih bergelimang harta. Ketika bengkel kami maju, aku disanjung mereka. Ketika gaji bang Rio naik dari biasanya. apalagi menerima bonus. mereka lebih dulu tahu bonus itu daripada aku.
Luar biasa radar bau uang idung keluarga Bang Rio ini. Aku tidak menyangka sama sekali. Pertolongan kami selama beberapa tahun belakangan sama sekali tidak lengket di memori mereka.
Minimal bersyukur.
Sekarang Bang Rio tidak memiliki pekerjaan. Sebagai ibu seharusnya. Tante Sari yang memberikan pekerjaan atau menolong Mario dari keterpurukan ekonomi, bukankah dia sendiri yang bilang bahwa selamanya anak lelaki itu milik ibunya, maka selayaknya dia tidak hanya menginginkan hartanya saja tetapi dia juga harus menolong ketika Anaknya hidup dalam keterpurukan Bukan malah seperti sekarang.
disayang ketika punya uang ditendang ketika kehabisan uang.
lama-lama otakku benar-benar memikirkan Apakah sebenarnya Bang Rio bukan anak kandung dari Tante Sari, karena dia sangat berbeda memperlakukan Bang Rio daripada anak-anaknya yang lain.
Bang Rio seolah sapi perah yang tidak ada habisnya diperah, sementara ketiga anak gadisnya hidup dalam kebebasan manja padahal tinggal di kampung semua fasilitas wajib terpenuhi kalau tidak merengek tidak karuan seperti anak yang hendak tantrum.
"Hai, Rum! kenapa kamu lihat-lihat kami, nge gosip? mau ikutan gosip juga!" tiba-tiba Tante Sari melirik kepadaku dengan tajam karena aku memang sedang mempelototi mereka satu persatu.
Dia pikir aku takut.
"Oh no!" takut bukanlah tipe Rumi, aku makin membesarkan mata ini menatap mereka berdua yang tengah menyusun strategi untuk mendapatkan uang suamiku lagi dan lagi, bahkan pada saat pengangguran seperti ini saat kami terpuruk karena Bang Rio tidak bekerja, Tante Sari Masih memikirkan cara bagaimana menghabisi uang dari suamiku.
Ini sesuatu yang aneh dan benar-benar aneh, Aku sama sekali tidak menyangka Tante Sari punya sifat ke binatangan yang luar biasa.
Hanya saja Bagaimana aku bisa menceritakan kepada Bang Rio tentang keanehan mereka semua, karena suamiku itu adalah lelaki yang maha yang sangat lembut.
Aku yakin dia tidak akan percaya ketika aku mengatakan ini buktinya aneh dan adik-adiknya juga aneh.
"hei kok malah bengong, kamu pengen punya rencana ingin menceritakan apa yang kami bulang barusan kepada Rio. Halah .... Rum! kami sudah mengenal Rio sejak kecil. Kamu tidak akan pernah berhasil mencuci otak Rio, karena akulah memang membesarkan Rio dan sangat tahu seperti apa Rio itu, jadi jangan pernah berpikir untuk mengadu domba kami ya," ucap Tante Sari sambil menarik tangan Sini berlalu dari hadapanku.
Kesal benci jengkel menjadi satu aku harus mengambil sikap lebih cepat.
Ini tidak bisa dibiarkan. Keluarga kecilku harus segera di selamatkan dari keluarga toxic.
#TBC