"Ah, akhirnya kamu jawab panggilan aku. Kamu dimana?" tanya Ardi lega.
"Di rumah Laras sekalian ngopi."
"Oh, ya sudah aku kesitu. Tunggu ya!"
"Nggak perlu mas, aku gak mau bertemu kamu sebelum kamu menyelesaikan urusan kamu dengan Mbak Rianti."
Ardi tampak mulai kesal lagi, wajahnya menunjukkan kekecewaan atas sikap Riri yang menolak untuk ditemui. Tapi dia berusaha tetap tenang.
"Sayang, aku sudah ngomong sama Rianti untuk tidak bisa membantunya dalam waktu dekat ini."
Riri menghela nafas, ia faham kenapa Rianti tadi menelponnya dan marah mungkin Ardi sudah menghubungi Rianti.
"Ayolah sayang, jangan kayak gini. Please."
Ardi merajuk, Riri mulai tak kuasa melihat wajah Ardi yang memelas itu. Segala cara dilakukan Ardi untuk membujuk Riri agar mau ditemui dan pulang lalu duduk berdua menyelesaikan semua ini.
Riri menatap Laras, meminta sarannya. Nyatanya Laras hanya mengangkat kedua bahu dan tangannya saja mengisyaratkan semua keputusan ada di tangan Riri.
"Maaf mas, saat ini belum bisa. Aku butuh waktu untuk sendiri dulu, jika sudah baikan aku akan pulang."
Lemas sudah rasanya tubuh Ardi, ia mulai merasa kehilangan Riri yang mudah dirayu ketika marah. Ardi merasa Riri memang telah berada di batas kesabarannya dan amarahnya sudah tak bisa diredam lagi.
Perlahan setelah panggilan itu ditutup, Ardi mengulur ingatannya pada peristiwa masa lalu dimana ia bertemu dengan Riri, gadis berkulit putih dengan hidung mancung, pipi merona, tinggi dengan badan yang ramping, sikap ramah Riri dan kecerdasan yang terpancar di balik hijab yang dikenakannya melengkapi kesempurnaan penampilan itu.
"Siapa ka?" tanya Ardi pada Raka saat melihat Riri melintas di antara mereka yang tengah ngobrol di ruang tamu.
"Adikku," jawab Raka.
"Nggak bilang-bilang kamu punya adik secakep itu. Buat aku ya," ujarnya.
"Rianti?" tanya Raka.
"Dia cuma aku anggap sahabat gak lebih, lagi pula bukan kriteria aku, ibuku juga kurang setuju tapi ya demi memperlancar bisnis ku terpaksa aku terus dekat dan menuruti semua kemauannya."
"G1l4, awas kamu bisa terjebak dengan kelakuanmu itu."
Ardi hanya tersenyum, sedangkan Raka tak mengindahkan perkataan Ardi saat itu.
Usaha Ardi untuk mendekati Riri pun terus dilakukan, Ardi jadi sering ke rumah Raka dengan berpura-pura konsultasi soal bisnis yang sedang dijalankannya. Sayang, Riri tak begitu memperhatikan Ardi hingga Riri kembali pada rutinitas kampusnya pun mereka belum sempat bertegur sapa.
"Kamu kenapa sih, bee?" tanya Rianti ketika mendapati Ardi terus bengong dan banyak melamun.
"Aku baru tahu kalau Si Raka punya adik cewek cantik banget."
"Kamu naksir dia?" tanya Rianti mulai ketus.
"Entahlah, rasanya pikiranku terbayang dia terus Han. Kasih tahu dong cara gaet cewek hijaban."
"Ngapain sih kamu capek-capek ngejar cewek lain sementara di depan kamu ada cewek yang bisa buat kamu nyaman. Aneh!"
Rianti terlihat kecewa dan marah, seketika Ardi menyadari kesalahan dari ucapannya dan langsung meminta maaf. Keduanya berdamai kembali, selalu seperti itu.
Rianti adalah perempuan posesif, konon sejak dulu jika Ardi naksir perempuan lain atau terlihat dekat dengan perempuan lain maka dia akan menggunakan cara apapun untuk membuat perempuan itu menjauh dan pergi dari kehidupan Ardi. Hingga hanya dia yang bersama Ardi.
Perkenalan dengan Riri pun terjadi ketika liburan kedua Riri pulang dan Ardi meminta izin pada Raka untuk bertemu dan ngobrol, Raka mengijinkan dan menemani mereka ngobrol. Ardi semakin dibuat jatuh cinta pada Riri, ia merasa telah menemukan perempuan yang selama ini dicarinya. Meski dia sudah merasa nyaman dengan Rianti tapi dia bukan perempuan pas untuk jadi istri.
Pendekatan pun dilakukan Ardi hingga akhirnya tepat setelah Riri lulus, Ardi mencoba mengutarakan isi hatinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, sorak riang gembira bergemuruh di dada Ardi, tak disangka Riri menerima niat baik yang diutarakan Ardi.
"Kamu jahat bee, kamu jahat."
Rianti meraung-raung memukul dada Ardi ketika kabar itu disampaikan Ardi.
"Maaf, aku gak mau menodai persahabatan kita dengan cinta. Bagaimana pun kita akan selalu bersahabat, Han. Percayalah, Riri pasti bisa menerima kamu sebagai sahabatku."
"Lantas selama ini kamu selalu menuruti aku, melakukan apapun yang kamu mau itu semua bukan karena cinta?" tanya Rianti.
Ardi terdiam, hatinya mulai gamang. Ketika langkah menuju pelaminan dia mulai merasa apa yang dilakukannya salah. Bertahun-tahun menjalin hubungan kedekatan berstatus sahabat dengan Rianti tapi menikah dengan perempuan lain, apa benar ini tidak adil?
Rianti marah besar dan tak mau menemui Ardi hingga cukup lama Rianti kembali menghubungi Ardi dan meminta bertemu dengan Riri sebelum pernikahan itu. Ardi pun setuju dan Riri pun mengindahkan ajakannya.
Pertemuan dua perempuan itu pun terjadi, Ardi terkagum-kagum pada sikap dewasa Rianti. Entah apa yang membuat Rianti mendadak berubah, Ardi tak mau ambil pusing yang penting semua rencananya berjalan lancar. Ia akan tetap menikah dan tetap bersahabat dengan Rianti.
"Terima kasih sudah mau menerima Riri," ucap Ardi saat mereka bertemu di outlet ponsel milik Ardi itu pun atas kerjasama dengan Rianti.
Rianti tersenyum, lalu menatap kedua netra Ardi dengan tatapan yang membuat Ardi terkesima.
"Tetap jadikan aku prioritas di atas perempuan itu, jika tidak, tak segan-segan aku menghancurkan kehidupannya dan kehidupan kamu. Mengerti!"
Rianti menepuk pundak Ardi hingga Ardi terkejut dan hanya mengangguk saja. Rianti tersenyum jahat, dia merasa akan menang dari permainan ini. Meski tak memiliki Ardi seutuhnya, dia akan memastikan hati Ardi hanya miliknya.
Ardi menghempaskan tubuhnya di sofa, mengusap wajahnya, memejamkan mata mencoba menepis bayangan masa lalu itu. Ia tak sadar sudah mengiyakan ucapan Rianti dan hingga kini kalimat itu seolah menjadi ancaman yang berulang. Itulah Ardi tak bisa menolak setiap keinginan Rianti.
Setelah Ardi menikahi Riri, Rianti pergi meninggalkan kota itu dan terdengar kabar akan menikah dengan pilihan neneknya, Ardi dan Riri datang.
"Tidak akan ada yang berubah dengan hubungan kita," bisik Rianti ketika Ardi menyelaminya di pelaminan.
Sejak itulah Ardi selalu berusaha untuk menyenangkan hati Rianti, agar dia tak bersikap aneh-aneh apalagi sampai menyakiti Riri sungguh hal yang sama sekali tak diinginkannya. Lalu kini, semua terjadi seperti ini.
Ketukan pintu menyadarkan Ardi dari perjalanan ingatannya ke masa silam. Bergegas ia membuka pintu berharap Riri yang datang, dengan semangat Ardi membuka pintu yang sudah di depannya.
"Hay, bee."
"Rianti…."
Ardi tertegun melihat perempuan itu sudah berdiri di depannya dan mengulas senyum khas miliknya. Apakah yang akan dilakukan Rianti?
"Rianti…." Ardi tertegun melihat perempuan itu sudah berdiri di depannya dan mengulas senyum khas miliknya. Lalu waktu seolah berjalan menuju dimensi yang telah terlalui ketika mereka pertama kali bertemu beberapa tahun silam tepatnya saat keduanya duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama. Ardi adalah siswa pindahan dari sekolah di kampung tempat tinggalnya, ia ikut tinggal bersama paman dan bibinya karena keterbatasan ekonomi orang tuanya yang dengan empat orang anak, Ardi adalah anak kedua. Sebagai anak kampung Ardi tak banyak gaya dan kehadirannya membuat para pelajar siswi berdecak kagum, wajahnya yang ganteng itu ditambah dengan sikap ramah dan pendiamnya membuat Ardi terlihat cool di mata para pelajar siswi, begitupun di mata Rianti. Gadis ini terpesona sejak pandangan pertama, ketika Ardi sedang duduk di taman sekolah sambil membaca buku dengan agresif Rianti menghampirinya bahkan membuat Ardi kaget. "Hay," sapa Rianti. Ardi masih terdiam, dia menutup bukunya.
"Dengan kamu menerima kehadiran dia di hidup kamu artinya kamu memang tak pernah bisa hidup jauh dari Mbak Rianti, Mas." "Sayang, dengarkan aku dulu. Semua tidak seperti yang kamu kira, aku bisa jelaskan semuanya." "Apa? Apa yang mau kamu jelaskan mas? Aku harus masuk mengendap-endap ke rumah ku sendiri karena mendengar kasak - kusuk mencurigakan ternyata ada dua pasangan sejoli yang selalu bersembunyi di balik kedok persahabatan, iya?" Ardi terlihat semakin serba salah, sementara Rianti merasa puas dan senang. Senyum sumringah dan tatapan penuh kepuasan melihat pasangan itu bertengkar. "Harusnya kalian menikah saja, untuk apa kalian pura-pura menikah dengan orang lain tapi masih saja saling berhubungan hah?" "Sayang, kamu tenang ya. Tenang dulu," ucap Ardi mencoba menenangkan Riri yang emosi. Sikutan tangan Laras membuat Riri keluar dari lamunannya itu."Sayang, kamu akhirnya pulang." Riri mencoba menguasai diri, inginnya marah kayak khayalannya itu tapi sesuai kesepakatan yan
"Jadilah istriku, akan kubuat kamu bahagia."Kalimat itu menggema di telinga Riri manakala menatap foto pernikahannya. Pernikahan yang baru seumur jagung itu kini dihantam badai yang sangat kuat, ia merasa terlalu cepat hal ini terjadi. Bukan kah ujian orang ketiga adalah ujian di sepuluh tahun kedua? Lalu kenapa ia harus menghadapinya bahkan di saat pernikahannya masih seumur anak yang baru bisa berlari.Harusnya saat ini ia masih merasakan keharmonisan rumah tangga, bukan justru sebaliknya. Riri mendekap foto itu dengan erat lalu memejamkan mata, kini ia harus memilih antara mempertahankan atau mengakhiri semuanya.Samar-samar Riri mendengar suara adzan berkumandang, perlahan ia membuka matanya. Foto yang sejak tadi dipelul erat sudah tak ada dan kembali terpajang di atas nakas, bahkan dia pun telah berbeda posisi, me
"Kamu bisa bersikap tenang, lalu kita duduk berdua menyelesaikan semua ini. Aku tuh cape dituduh terus sama kamu."Riri mematung mendengar ucapan suaminya yang lagi-lagi menghentikan langkahnya untuk pergi. "Kalau kamu pergi lalu menceritakan semua persoalan kita pada ibu, apa yakin semua akan selesai?" "Setidaknya mereka tahu kelakuanmu." Ardi mengusap wajah kasar, ia masih mencoba tidak terpancing emosi atas sikap istrinya itu. Ardi maju beberapa langkah hingga tepat di depan Riri. Perlahan meraih tangan Riri dan menjatuhkan tas yang dipegang oleh Riri. Tatapan Ardi lekat pada dua netra yang sudah mengering, tak ada lagi air mata bagi Riri meski hatinya sudah terasa perih. "Tetaplah disini, aku akan menjelaskan semuanya." Riri masih bergeming, terpaku dalam bayangan kisah cintanya dengan lelaki yang akhirnya menikahinya itu. Perjalanan yang terbilang singkat memang hanya kurang lebih delapan bulan sampai menikah. Riri mantap menikah bukan tanpa sebab karena melihat keseriusan
Getar ponsel dengan nada berbeda membuat Riri segera melepaskan cengkraman tangan Ardi yang sudah lemas. Panggilan dari Laras adalah hal yang paling ditunggu saat ini, beruntung Riri punya teman jago IT seperti Laras hingga ia merasa punya penyelidik yang handal. Bergegas menjauh dari Ardi, Riri mengangkat telepon itu."Dari hasil penyelidikan hari ini, Bayu suami si perempuan itu akan pulang akhir pekan ini usahakan kamu jangan dulu kemana-mana. Kita mainkan semuanya.""Oke." "Telepon dari siapa?" Riri terkejut dengan segera ia mematikan telepon itu dan memasukkannya ke dalam saku. Riri mencoba bersikap tenang, lalu ia mengulas senyum manis. Perubahan sikap yang terlalu cepat membuat Ardi heran, tapi Riri tak putus asa untuk membuat semua terlihat baik-baik saja. "Dari klien ku." "Klein ku, sejak kapan kamu menerima konsultasi lagi.""Ah, itulah mas. Mas Ardi itu terlalu ngurusin hidup orang sampai kegiatan istrinya pun lupa padahal aku pernah mengirim pesan izin untuk menerima p
"Aku yakin Laras, mereka bukan hanya sekedar bersahabat. Dugaanku selama ini kemungkinan besar sudah tepat.""Tapi kamu sendiri kan yang bilang kemungkinan foto itu diambil sudah lama.""Tapi Mas Ardi masih menyimpannya, untuk apa?"Laras terdiam, prasangka temannya itu tak mungkin salah apalagi setelah melihat bukti foto yang sengaja Riri ambil dari ponsel Ardi saat Ardi tak sadarkan diri kemarin. Riri memang perempuan pendiam, tapi dalam diamnya Riri selalu mampu bekerja dengan baik pula.
"Dengarkan aku, jadilah wanita yang tetap tenang, elegan dalam menghadapi situasi terburuk sekalipun. Ikuti permainan perempuan itu, jangan bahas apapun berikan sedikit kejutan dengan menyindir apa yang udah kami ketahui. Aku tahu ini pasti sangat menyakitkan tapi terlihat kuat di depan musuh adalah cara terbaik untuk membuat musuh kita takut."Riri mendengarkan nasehat sahabatnya itu dengan baik, dia benar-benar merasa beruntung memiliki sahabat sebaik Laras. Di saat tak ada keluarga terdekat yang tahu akan masalahnya masih ada sahabat yang betul-betul sangat peduli padanya."Doakan aku ya.""Pasti, percayalah Tuha
"Jelaskan ini semua?"Bayu menatap tajam Rianti sesaat setelah melihat isi map itu, Rianti dengan sigap mengambil map itu dan melihat isinya. Dengan tenang dia melihat dan membacanya lalu menarik nafas panjang, wajah Ardi sudah tak karuan sementara Rianti ternyata jauh lebih bisa mengontrol dirinya. Sempurna seolah tak ada rasa bersalah, dia tersenyum lalu menatap mata suaminya."Mas Bayu percaya saya atau percaya dia?" tanya Rianti tenang.Bayu tak menjawab, tentu saja dia bingung karena mungkin satu sisi dia pun masih tak percaya dengan semua yang dilihatnya dari map itu hanya isi percakapan-cakapan pesan.Rianti menghela nafas dan Riri pun mulai mengerti sikap lawannya itu, Ardi mulai terlihat tenang."Mas, hal kayak gini tuh bi