"Rianti…."
Ardi tertegun melihat perempuan itu sudah berdiri di depannya dan mengulas senyum khas miliknya. Lalu waktu seolah berjalan menuju dimensi yang telah terlalui ketika mereka pertama kali bertemu beberapa tahun silam tepatnya saat keduanya duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama.
Ardi adalah siswa pindahan dari sekolah di kampung tempat tinggalnya, ia ikut tinggal bersama paman dan bibinya karena keterbatasan ekonomi orang tuanya yang dengan empat orang anak, Ardi adalah anak kedua.
Sebagai anak kampung Ardi tak banyak gaya dan kehadirannya membuat para pelajar siswi berdecak kagum, wajahnya yang ganteng itu ditambah dengan sikap ramah dan pendiamnya membuat Ardi terlihat cool di mata para pelajar siswi, begitupun di mata Rianti.
Gadis ini terpesona sejak pandangan pertama, ketika Ardi sedang duduk di taman sekolah sambil membaca buku dengan agresif Rianti menghampirinya bahkan membuat Ardi kaget.
"Hay," sapa Rianti.
Ardi masih terdiam, dia menutup bukunya.
"Aku Rianti, kelas kita beda tapi aku bisa membuat kelas kita sama kalau kamu mau."
Ardi hanya tersenyum saja.
"Wajah kamu bukan kayak orang kampung, sudah cocok kayak orang kota kok. Mau berteman dengan ku?" tanyanya lagi.
"Maaf, saya masih baru disini. Terima kasih sudah mau berteman dengan saya, saya permisi."
Ardi meninggalkan Rianti sendiri, Rianti kesal dan kecewa baru kali ini kehadirannya ditolak. Tapi sebagai anak yang berpengaruh di sekolah ini, dia tak kehabisan akal.
Ya, Rianti adalah anak dari pasangan pengusaha yang kandas di tengah jalan. Rianti adalah anak korban perceraian yang lalu ditinggalkan oleh keduanya dan tinggal bersama neneknya.
Tumbuh bergelimangan harta, kedua orang tuanya masih mencukupi semua kebutuhannya termasuk apapun yang diminta Rianti tapi tidak dengan kasih sayang dan kebutuhan jiwanya. Hingga ya begitulah, Rianti tumbuh menjadi anak gadis yang sombong, urakan dan tak bisa menghargai orang lain dengan baik.
Melihat sikap dingin Ardi membuat Rianti gemas dan semakin tertarik, Rianti terus melakukan apapun untuk membuat Ardi meliriknya dan mau berteman dengannya. Dan Rianti sudah pintar sejak dulu kalau urusan menggaet orang, dia merubah penampilan dirinya menjadi sederhana, bersikap sok ramah dan selalu terlihat baik di depan Ardi.
Hingga beberapa kesempatan Ardi pun akhirnya mulai melirik gadis itu, tanpa tersadar mereka pun dekat dan beberapa kali selalu terlihat bersama saat menghabiskan waktu istirahat.
Rianti selalu memberikan apapun yang Ardi butuhkan, yang membuat Rianti senang melakukannya adalah ketulusan Ardi yang tak pernah meminta tapi Rianti tahu sendiri.
"Lain kali kalau kamu butuh sesuatu bilang aja."
"Nggak usah, aku gak enak lah."
"Ngapain gak enak segala kita kan friend," ucap Rianti.
Pertemanan itu terus berlanjut hingga mereka dewasa, Ardi selalu berusaha menjadi pelindung bagi Rianti karena merasa telah banyak dibantu oleh Rianti. Sedangkan Rianti merasa semakin di atas angin mana kala berhasil membuat Ardi bertekuk lutut.
Pernah suatu ketika, saat duduk si bangku kuliah mereka digosipkan berpacaran karena saking selalu terlihat dekat, lalu Rianti terlihat bahagia dengan kabar itu.
"Kenapa sih kita gak buat kabar itu benar saja, bee?" tanya Rianti.
Ardi hanya tersenyum, baginya selama ini bersama Rianti adalah karena merasa balas budi saja. Perempuan yang mau berteman dengannya dan memberikan apapun yang dia butuhkan ya cuma Rianti jadi rasanya tak pantas jika harus mencintai perempuan itu.
"Nggak ah, nanti kalau kemana-mana kamu yang bayar malu lah aku."
Rianti tertawa lepas mendengar hal itu.
"Jadi kamu mau nunggu banyak duit dulu baru pacaran sama aku?" tanya Rianti.
"Ya, kalau udah punya uang hasil sendiri bisa saja."
"Baiklah, pokoknya kamu harus selalu sama aku."
Ardi hanya tersenyum, rasa nyaman yang dirasakan Rianti si gadis kesepian dan kurang perhatian itu membuat Rianti tak sanggup untuk berjauhan dengan Ardi, beberapa kali menjauhkan Ardi dari perempuan yang mendekatinya hingga membuat Ardi harus menelan malu karena sikap Rianti. Tapi, lagi - lagi Ardi menahan diri.
Waktu terus bergulir, Ardi masih saja menganggap Rianti adalah sahabatnya. Bagi Ardi tak ada getaran apapun ketika bersama Rianti karena saat bersama Rianti dia hanya seperti kacung bersama taunnya. Namun semua itu berbeda ketika Rianti memutuskan untuk pergi sejenak tinggal sementara bersama keluarga baru ibunya di luar pulau.
Meski mereka masih terus berkomunikasi tapi perasaan aneh mendadak hadir dalam diri Ardi, tapi ia terus merasa bahwa ini adalah perasaan rindu biasa seorang sahabat pada sahabatnya. Saat kekosongan hari-hari Ardi lalu bertemu dengan Riri, saat itulah semua berubah.
Ardi semakin kabum dengan perubahan sikap Rianti yang dewasa menyikapi kedekatannya. Kabar yang Ardi berikan membuat Rianti kecewa besar tapi entahlah apa yang tengah direncanakannya hingga dia bisa bersikap biasa saja begitupun saat Ardi mengenalkam Riri pada Rianti yang sengaja datang untuk bertemu dengan calon istri dari sahabatnya itu.
Ardi heran, padahal Rianti baru tinggal bersama ibunya kurang lebih enam bulan tapi sikap Rianti sudah banyak berubah. Segera Ardi tepis keraguan itu, karena dia sadar jika Tuhan sudah berkehendak jangankan urusan hati, gunung yang besar saja bisa dibalikkan jika Ia mau.
Sayang, Ardi terjebak dengan sikap manis yang dihadirkan oleh Rianti apalagi ketika di depan Riri. Di belakang Riri banyak kata-kata yang membuat Ardi mati kutu tak berkutik hingga membuat ia masih harus berada pada lingkaran perintah Rianti.
Dorongan kuat dari tangan Rianti yang membuat Ardi terduduk di sofa ruang tamu membuat bayangan kisah pertemuan mereka menguap. Senyum menyeringai terukir di bibir perempuan itu, Ardi terlihat panik dan gugup.
"Kamu mau ngapain?"
"Kamu gak pernah mengerti aku, bertahun-tahun aku menunggu kamu mengucapkan kata cinta tapi tak jua kudengar malah kamu ucapkan kata itu pada perempuan lain. Kurangku apa?" gertak Rianti menarik baju Ardi hingga keduanya nyaris tanpa penghalang.
"Han, dengarkan penjelasanku dulu. Kamu gak perlu marah kayak gini, lepaskan."
Rianti melepaskan cengkramannya dengan keras hingga tubuh Ardi terpental, Rianti merapikan penampilannya. Lalu ia duduk dengan tegak di depan Ardi.
"Sudah kubilang jangan kecewakan aku. Tidak ada yang bisa merubah kedekatan kita sekalipun itu pasangan kita."
"Aku bukan mau mengecewakan kamu, aku hanya butuh waktu. Riri marah padaku karena kita terlalu dekat, aku harus mencari cara untuk menjelaskan pada Riri kalau kita tidak ada apa-apa, kalau kita…."
"Tidak perlu kamu jelaskan, Mas."
Seketika keduanya terkejut dengan suara itu, lalu bersama menoleh ke sumber suara. Riri sudah berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh tanya.
"Sayang," lirih Ardi terlihat pucat pasi.
"Mbak Rianti."Rianti menoleh ke sumber suara, Lita sudah berdiri tak jauh darinya membawa kantong belanjaan penuh dengan sayuran. Rianti tersenyum. "Ibu ada, Lita?" tanya Rianti. "Ada mbak, ayo masuk."Lita mengajak Rianti masuk, ada yang berbeda kini Lita jauh lebih ramah pada Rianti. Rianti pun menanyakan hal itu, Lita hanya tersenyum dan mengatakan jika semua sudah selesai, ia tak mau mengungkit lagi yang sudah berlalu. Rianti lega mendengar hal itu, hingga dia merasa semua keputusannya hari ini adalah hal yang paling tepat. Lita memanggil ibu, sementara Rianti menunggu di kursi tamu. Tak lama ibu datang dan menyapa Rianti dengan ramah, pelukan hangat yang selalu Rianti rindukan dari seorang ibu bisa didapat dari ibu Ardi. Cukup lama berpelukan, mereka terlepas ketika Lita datang membawa minum. "Bu, ini ada sedikit oleh-oleh untuk ibu dan Lita. Saya kemarin bersama Dani ke Bali," ucap Rianti. "Walah, repot-repot. Makasih ya, nak.""Wah, mbak dari Bali. Keren ya kalau orang ka
"Saya turut prihatin dengan kepergian bapak, saya tak sempat datang saat itu karena memang tengah di luar negeri. Lalu setelah pulang saya berziarah dan bermaksud mendatangi ibu tapi tak ada katanya sudah pindah. Akhirnya saya pun menunda keinginan bertemu saya dengan Dani." Rianti menatap nanar dengan senyum tipis pada lelaki yang duduk di depannya. Usianya tak jauh berbeda dengan dirinya, memang Pak Joko itu pantasnya jadi ayahnya bukan jadi suaminya. Farel terus bercerita tentang kehidupannya, dari pertemuannya dengan Pak Joko hingga bisa sesukses sekarang, Farel merasa perlu membalas semua kebaikan Pak Joko, kini beliau sudah tak ada maka Farel akan membalasnya pada Dani dan juga Rianti. Setelah sekian lama ngobrol, Rianti dan Dani memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan mencari tempat wisata lainnya. Farel menawarkan diri untuk mengantar tapi Rianti menolak, ia tetap kuat dalam tujuannya. Kedatangannya kesini bersama Farel untuk menikmati waktu berdua saja dengan Dani tanpa
Rianti hanya mengaktifkan ponselnya saat Dani tertidur di siang hari ataupun malam hari, ini adalah hari kedua dia ada di pulau Dewata ini bersama Dani. Setia waktu Rianti merasakan setiap detiknya bersama Dani, ada wajah yang tak pernah Rianti perhatikan hingga dalam hati terkecilnya sesuatu yang hangat menjalar mengisi setiap ruang yang hampa selama ini. Saat Dani tertidur pulas, Rianti menatap wajah itu mirip sekali dengan lelaki tua yang menikahinya. Lelaki yang seharusnya menjadi ayahnya, bukan suaminya. Tapi lelaki itu mencintainya dengan sepenuh hati, memanjakannya hingga Rianti merasa beruntung memilikinya meski seluruh dunia mencemoohnya. Bayangan hidup bersama Papa Dani, membuat Rianti tersenyum sendiri, betapa hidupnya saat itu sungguh bahagia, punya harta yang berlimpah, suami yang penyayang dan ibu yang selama ini hilang mendadak datang begitu ramah menyapa. Hari Rianti kembali terisi di dengan cinta hingga dia bisa menerima kabar kembalinya Ardi dan Riri. Tapi duka ke
"Ambillah waktu untuk jauh dari segala rutinitas seharian anda, Bu Rianti. Nikmati kebersamaan bersama putra anda, jangan sampai ada waktu yang terabaikan, jauhkan gadget dan lingkungan sosial media. Tak perlu lama tiga hari saja, tatap lekat setiap anak anda tengah terlelap dan tersenyum rasakan dan tanyakan pada diri anda apakah anda rela melihat semua itu sirna."Rianti terdiam mendengar ucapan Dokter Inggit, orang yang sudah beberapa Minggu ini menjadi teman ceritanya. Bukan hanya menjadi seorang dokter, Rianti seolah menemukan teman bercerita untuk dia mengungkapkan apapun yang dialaminya. Ya, selama ini Rianti perlu itu. Tak ada orang yang bisa dipercaya Rianti untuk dia menumpahkan semua keluh kesahnya. Sejak dulu apapun yang dirasakannya selalu disembunyikan dari banyak orang, bahkan sedekat apapun dengan Ardi ada banyak hal yang tak diungkap oleh Rianti pada Ardi. "Apakah itu bisa menyembuhkan saya, dok?" tanya Rianti. "Bukan hanya sembuh tapi tangki cinta anda akan kembal
"Iya, ma. Aku keliru, aku pikir semua akan selesai jika Mas Ardi menikahi Rianti, kesakitan hati yang dialami Rianti akan hilang dan semua akan baik-baik saja. Aku akan hidup tenang, tidak merasa bersalah lagi."Mama tersenyum, lalu melepas genggaman tangan, menghela napas beranjak dari duduknya perlahan berjalan menuju jendela. "Riri, jangan terlalu membayangkan segala sesuatu semudah itu. Pikirkan lagi, berapa kali kamu selalu kecewa dan sakit hati saat Ardi dulu lebih mementingkan Rianti, saat dulu dia tak menganggap hati kamu sakit, sekarang dia sudah berubah jauh lebih baik dan kamu merasakan itu hingga kamu pun memutuskan untuk menerimanya kembali. Butuh waktu berapa lama untuk bisa menerima dia kembali. Pikirkan itu, jangan asal mengambil keputusan yang akhirnya kamu justru terperosok lebih dalam dan lebih parah dari sebelumnya."Riri tertunduk, ia seolah menyadari semua telah keliru. Mama terus berbicara hingga membuat Riri sadar akan keputusan yang mendadak hadir, lalu terin
"Mama."Riri terkejut dengan kedatangan sang Mama ke tokonya, sudah lama mereka tak bertemu. Dua perempuan itu berpelukan dan melepas rindu yang sudah menggunung, sejak Riri kembali menikah dengan Ardi lalu memutuskan tinggal di kampungnya Ardi menjalankan usaha berdua, Mama menjadi orang yang paling mendukung meski tak selalu hadir, sesekali selalu datang menjenguk tapi sudah hampir dua bulan ini Mama absen datang karena sibuk menemani Papa mengurus proyeknya dan satu bulan kemarin Mama tinggal di rumah Mas Raka membantu Mbak Wulan mengurus bayinya. Dan di situlah terakhir mereka bertemu, saat selamatan tujuh hari kelahiran anak kedua Mas Raka dan Mbak Wulan setelah itu mereka belum bertemu lagi.Riri langsung mengajak mama masuk ke ruangan kerjanya, menyerahkan toko ke pegawai dan meminta pegawai menyiapkan beberapa potong kue untuk tamu istimewanya itu. Sesampainya di ruang kerja, Riri dan mamanya duduk berbarengan, menjatuhkan bobot tubuhnya, Riri menyandarkan kepalanya di pundak