Share

Bab 2

Bab 2

Setelah keluar dari rumah sakit, Mas Doni dan kedua orang tuanya langsung datang ke rumahku tanpa rasa malu sedikit pun.Dengan sekuat hati, aku menemui mereka ditemani oleh Bapak dan Ibu.

"Mau apa kalian datang ke sini?" tanya Bapak tenang tapi wajahnya terlihat tegang dan merah padam. Mungkin beliau sedang menahan emosi.

"Begini, Pak. Kami mohon keluarga Bapak tidak terpancing dengan isu yang beredar. Doni itu dijebak. Dia diberi obat bius oleh si Rani itu, makanya sampai pingsan. Di saat pingsan itulah si Rani membuka pakaian Doni. Sudah sejak dulu si Rani itu ingin mendekati Doni, tapi Doni menolak. Dia mengira dengan cara licik seperti itu akan bisa menjadi menantu di rumah kami. Saya tidak akan mudah tertipu. Kami ingin Fina yang jadi istrinya Doni." Mama Mas Doni berkata dengan wajah penuh harap. Dia pikir segampang itu memaafkan perbuatan anaknya.

"Anda pikir kami orang bodoh, tidak bisa membedakan mana yang dijebak dan mana yang benar-benar dibudak oleh nafsu?"

Bapak menatap nyalang pada mereka. Suaranya terdengar bergetar. Entah setinggi apa amarah Bapak saat ini. Tak pernah kulihat beliau bersikap semarah itu.

"Saya sangat mencintai Fina, Pak. Saya masih ingin melanjutkan pernikahan dengannya. Fin, jangan putus, ya. Kita lanjutkan pernikahan kita," ucap Mas Doni menghiba. Dasar lelaki tak tahu malu. Bisa-bisanya dia bicara begitu. Enak saja. Setelah asyik-asyikkan dengan Rani, dia minta balikan sama aku? Tentu tidak, Mas.

Kuhela napas, dalam, sembari memejamkan mata. Mendengar keinginan Mas Doni rasanya aku ingin menampar wajahnya agar dia sadar telah menyakiti hatiku teramat dalam.

"Apa? Ingin melanjutkan pernikahan? Kurang aj*r! Kalian pikir anak saya itu apa, haaa? Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan anakku kepada laki-laki bia*ap sepertimu! Sekarang juga angkat kaki dari rumahku!"

Bapak berkata dengan suara menggelegar sembari menunjuk wajah Mas Doni.

"Tapi Pak ...," seru Mas Doni yang langsung dipotong oleh Bapak.

"Tidak ada tapi-tapian. Pergi dari rumahku!" Bapak menunjuk ke arah pintu.

Papa Mas Doni sedari tadi hanya diam saja. Dia diam dan tertunduk dalam. Mungkin, dia malu dengan tindakan anak dan istrinya.

Tiba-tiba, Mas Doni menjatuhkan tubuhnya dan bersujud di depan Bapak. Bapak yang kelihatan terkejut, langsung menggeser posisi duduknya dan mendorong tubuh Mas Doni.

"Sudah, Don, jangan mengemis begitu. Masih banyak gadis lain yang mau sama kamu," ucap mama Mas Doni seraya membantu anak kesayangannya itu untuk bangkit.

"Saya yakin kamu tidak akan mendapatkan laki-laki sekaya dan setampan Doni. Belagu kamu, ya. Jika kamu menolak Doni, hari ini, saya sumpahi, kamu akan jadi perawan tua." Mama Mas Doni mencibir sambil menunjuk tepat ke wajahku. Lalu dia menarik paksa anak dan suaminya untuk keluar dari rumahku.

"Oya, satu lagi. Saya minta kalian kembalikan semua uang yang sudah kami berikan. Saya beri waktu sampai minggu depan. Uang itu akan dipakai untuk melamar perempuan lain," ucap mama Mas Doni dengan wajah merah padam. Lalu mereka beranjak meninggalkan rumahku.

Bapak hanya geleng-geleng kepala mendengar kata-kata mama Mas Doni. Sedangkan aku kembali terisak. Biar bagaimana pun keadaan ini sangat menyakiti hatiku. Bukan aku menyesali karena tak jadi menikah dengan Mas Doni, tapi aku hanya masih belum bisa menerima kondisi ini dengan ikhlas. Mengapa harus aku yang mengalami hal ini?

"Sudah Fin, jangan nangis. Allah itu baik sama kamu. Kamu tau sifat asli calon suamimu sebelum kalian menikah. Coba kalau sudah menikah, bisa hancur rumah tangga kalian." Ibu mencoba menenangkanku, memelukku erat dalam dekapannya.

"Bagaimana caranya kita mengembalikan semua uang Mas Doni, Bu?" Tiba-tiba aku teringat ucapan mama Mas Doni, tadi.

Uang lima puluh juta yang sudah diberikan Mas Doni kepadaku sebagian besar sudah digunakan untuk membayar semua keperluan pesta. Tak hanya itu, mama Mas Doni juga minta agar semua anggota keluarga dibelikan baju seragam yang harganya lumayan mahal. Uang yang tersisa hanya tinggal lima juta saja, itu pun akan dipakai untuk membayar pernak-pernik yang akan dijadikan bingkisan untuk para undangan. Minggu depan semua pernak-pernik itu sudah selesai dibuat.

Aku tahu bagaimana kondisi keuangan Bapak dan Ibu. Untuk mengembalikan uang lima puluh juta dalam waktu satu minggu, rasanya tak mungkin. Kami tak memiliki uang sebanyak itu. Bapak hanyalah seorang penjaga malam di sebuah pabrik di kota. Sedangkan harta yang kami punya hanyalah seperak rumah.

"Dari awal Bapak memang tidak suka sama Doni. Makanya Bapak menentang hubungan kalian. Ternyata, firasat Bapak benar."

Bapak menarik napas, berat. Matanya menatap jauh entah ke mana.

"Bagi Bapak, kehilangan harta tidak menjadi masalah. Yang terpenting, kamu selamat dari laki-laki bej*t seperti Doni. Kita akan jual rumah ini. Kita tidak punya harta, tapi kita masih punya harga diri," ucapnya tegas. Bapak memang orang yang sangat memegang prinsip. Pantang baginya menjatuhkan harga diri demi sebuah belas kasihan.

"Kita akan tinggal di mana, Pak?" tanyaku lirih. Sakit di hati akibat perbuatan Mas Doni belum lagi hilang, kini aku harus melihat keluargaku menderita karena ulah lelaki itu.

"Kita bisa ngontrak. Bapak akan segera menghubungi pembelinya. Mudah-mudahan dia mau membeli rumah ini." Bapak bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah menuju kamar. Tak lama, terdengar suaranya sedang berbicara entah dengan siapa melalui panggilan telepon.

*

Pagi-pagi sekali Tante Marni—ibunya Rani—sudah datang bertandang ke rumah kami. Jarang-jarang dia ke sini. Biasanya, jika ada maunya saja dia bertamu ke rumah ini, untuk meminjam uang misalnya, atau untuk keperluan lain yang sangat mendesak untuknya.

"Kapan, sih, kalian kembalikan uang si Doni itu? Kalau aku, ya, Mbak, sudah kukembalikan tanpa diminta sama orangnya. Malu. Gak jadi nikah, masak mau makan uangnya," ucap tante Marni begitu cerewetnya. Kenapa pula dia yang harus sibuk mengurusi hal itu?

"Memangnya ada urusan apa Tante dengan uang itu?" tanyaku menyelidik.

"Ya, jelas ada, dong! Sebentar lagi Rani dan Doni akan menikah, tentunya butuh biaya banyak. Pestanya harus megah, biar orang-orang gak meremehkan Rani. Walaupun dia viral di mana-mana, tapi dia tetap bisa menggelar pesta megah."

Berdesir darahku mendengar penuturan Tante Marni. Tak adakah rasa malu di hatinya untuk mengadakan pesta pernikahan untuk Rani? Padahal beberapa waktu lalu dan bahkan sampai sekarang putrinya itu masih menjadi buah bibir karena kejadian viral itu. Aku mengusap dada sembari beristigfar.

"Kapan acaranya akan dilangsungkan, Marni? Bukannya Nak Doni masih belum mau menikah dengan Rani?" tanya Ibu kemudian.

Waktu itu, Tante Marni mengajak Pak RT dan beberapa orang kampung sini ke rumah Mas Doni untuk meminta pertanggung jawaban. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, Tante Marni juga meminta Bapak ikut bersama mereka, tap dengan tegas Bapak menolak sebab tak ingin ikut campur dengan urusan itu. Namun, menurut kabar yang kudengar, Mas Doni dan keluarganya berkilah, tak mau menikahi Rani dengan alasan dijebak.

Kasihan sebenarnya melihat nasib Rani, sudah ketangkap basah dan viral begitu, tapi Mas Doni mengelak dan menolak untuk menikahinya. Malah beberapa waktu lalu, dia mengajakku untuk melanjutkan pernikahan kami.

"Kali ini, Doni gak bisa ngelak, Mbak. Dia harus tanggung jawab. Gak mungkin, kan, Rani melahirkan tanpa punya suami? Itu anaknya Doni. Kalau sampai dia lari dari tanggung jawab, aku akan lapor polisi," ucap Tante Marni geram.

Bersambung.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status