Share

Bab 3

Bab 3

"Astagfirullah. Rani hamil?" Ibu menutup mulutnya sembari membelalak. Aku pun sama terkejutnya dengan beliau. Tapi wajar, sih, jika Rani hamil, mereka, kan, memang melakukannya.

Lelaki bejat, untuk perempuan murahan. Benar-benar pasangan serasi.

"Iya ... hamil! Aku sudah memeriksanya ke bidan," ucap Tante Marni. "Sudah biasa zaman sekarang, bukan Rani, aja yang begitu, gadis-gadis di luar sana juga banyak yang hamil duluan. Masih mending Rani gak gugurin kandungannya," lanjut Tante Marni lagi yang membuat aku dan Ibu kompak beristigfar.

Sepicik itu pikiran Tante Marni. Dia membenarkan dan seolah mendukung perbuatan anaknya hanya untuk mendapatkan lelaku kaya seperti Mas Doni.

"Rani itu tetap salah, Marni. Hamil di luar nikah itu bukan perbuatan yang patut untuk dibenarkan. Jual murah itu namamya." Ibu mencoba menasehati Tante Marni. Namun, wanita yang usianya dua tahun di bawah Ibu itu sepertinya tidak terima. Matanya tajam menatap wajah Ibu.

"Bilang aja iri, Mbak. Kalian sakit hati karena Fina batal nikah sama Doni dan sekarang malah Rani yang berhasil dapat suami kaya raya, kan? Lagian, memang Rani yang lebih cocok jadi istrinya Doni. Dia sekarang tambah cantik dan glowing selama tinggal di Jakarta. Sedangkan Fina, cuma gadis kampung. Makanya, Doni lebih terpikat pada Rani."

Pedas, kata-kata yang diolntarkan Tante Marni. Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan sembari menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan pikiran Tante Marni.

"Besok, rencananya kami akan mengantarkan uang itu, Marni. Jangan khawatir, kami tidak akan memakan yang bukan hak kami. Dosa. Kamu sekarang pulang dan banyak istirahat. Kamu butuh banyak tenaga untuk mempersiapkan pernikahan putrimu."

Ibu berkata dengan sangat tegas. Mungkin, beliau juga sudah jengah mendengar kata-kata Tante Marni.

"Nah ... gitu, dong. Lebih cepat lebih baik. Oya, kalian aku undang untuk bantu-bantu masak, ya. Datang, loh! Terutama kamu, Fin. Kamu harus lihat dengan mata kepala sendiri saat Doni mengucapkan ijab qabul. Jadi, nantinya kamu bisa terima kenyataan bahwa Doni sudah jadi suami Rani dan kamu gak mengharap Doni bakal balik ke kamu lagi. Intinya, kamu gak boleh ganggu Nak Doni lagi. Titik."

Seketika, berdesir darahku. Ada hawa panas menjalar dalam dada. Dadaku naik turun menahan emosi. Kata-kata Tante Marni kali ini tak bisa ditoleransi.

"Tenang, aja, Tante. Fina jua gak bakalan sudi berhubungan dengan lelaki itu lagi. Jangankan mengganggunya, melihat wajahnya saja, perut Fina jadi mual. Tapi, biasanya, laki-laki yang berselingkuh itu akan terus-terusan berselingkuh. Jadi, Rani harus hati-hati, Tante."

Seketika, Tante Tante Rani menatapku dengan tatapan begitu tajam seolah dia ingin menerkamku. Kuhadiahi dia dengan seutas senyum sungging.

Bisa-bisanya Tante Marni berkata begitu. Siapa juga yang mau balikan dengan laki-laki penghianat seperti Mas Doni? Biarpun mas kawin yang diberikan berupa emas sebesar kepala kerbau, aku tak akan berubah pikiran. Bagiku, Mas Doni sudah mati.

Tanpa basa-basi lagi, Tante Marni langsung bangkit dari tempat duduknya dan pergi begitu saja.

Beberapa saat setelah Tante Marni pergi, ada sebuah motor bebek memasuki pekarangan dan berhenti di depan rumah. Dua orang lelaki yang mengendarainya turun lalu menghampiri kami yang masih berdiri di depan pintu.

"Assalammualaikum," ucap lelaki yang lebih tua. Kalau dilihat dari wajahnya, mungkin seusia dengan Bapak.

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah ... akhirnya sampai juga kau ke gubukku ini, Yo. Ayo, silakan masuk," sahut Bapak, renyah, lalu saling berpelukan sembari tertawa senang.

Bapak mengajak kedua lelaki itu duduk di ruang tamu.

"Fin, tolong buatkan minum, ya," titah Bapak padaku. Aku mengangguk, lalu bergegas menuju dapur.

Sedang asik menyiapkan cangkir untuk membuat minuman, tiba-tiba Tante Marni muncul di depan jendela dan hampir saja membuat jantungku copot.

"Ada apa, Tante? Ngagetin, aja," ucapku kesal.

"Buka pintunya, Tante mau masuk," katanya sambil cengengesan.

Dengan malas, aku membukakan pintu untuknya. Begitu pintu di buka, Tante Marni langsung masuk dan melangkah menuju ke ruang tamu.

Aku tahu apa maksud Tante Marni balik lagi ke sini. Pasti dia ingin tahu siapa yang datang dan mau apa mereka ke sini. Dasar, tukang kepo.

Gegas, kusiapkan pekerjaanku membuat teh.

Karena rumah kami yang tak terlalu besar, aku dapat mendengar percakapan Bapak dengan kedua tamunya itu. Suara Tante Marni juga tak kalah ramainya mendominasi percakapan mereka.

Kedua tamu itu datang membawa kabar gembira. Rumah kami telah laku terjual dengan harga lumayan tinggi. Syukurlah, sisa uang yang ada bisa untuk mengontrak rumah, nantinya.

Kubawa baki berisi beberapa cangkir teh ke ruang tamu, lalu Kuletakkan cangkir itu satu per satu di atas meja, kemudian mempersilakan mereka untuk meminumnya

"Ini Fina, anak gadisku. Fin, ini Pak Bagio, sahabat lama Bapak dan itu anaknya, Aditya. Mereka yang membantu Bapak menjual rumah ini dengan harga yang lumayan tinggi." Aku mengangguk ramah sembari melempar senyum pada mereka.

Kuulurkan tangan untuk bersalaman. Entah mengapa, ada debar tak menentu ketika aku bersalaman dengan Adit—anak Pak Bagio—sebab secara tak sengaja mata kami saling bersitatap.

"Wah, kalau dilihat-lihat, si Fina dan si Adit cocok jadi pasangan suami istri. Jodohkan saja mereka, Mbak." Kata-kata Tante Marni membuatku terkejut. Seketika, kulepaskan jabatan tanganku dan Mas Adit.

"Husss, kamu ini, jangan asal ngomong, Marni!" bentak Ibu sambil membelalak pada Tante Marni.

"Aku cuma kasih saran, Mbak. Dari pada Fina gak laku, gak ada yang mau. Lagi pula, aku takut, dia malah menggoda si Doni lagi. Tapi, ya ... aku yakin, si Doni udah gak tertarik lagi sama Fina. Secara, Rani, kan lebih segala-galanya dari Fina." Sudah dibentak pun, Tante Marni tetap nyerocos. Minta disumpal kaus kaki itu mulutnya.

"Tante gak punya hak untuk ngatur-ngatur hidup Fina. Mendingan, Tante pulang aja, dari pada terus-terusan bikin ribut di sini." Kutatap tajam Tante Marni yang tak tahu diri itu. Sepatah lagi dia bicara, aku akan menyeretnya keluar dari rumah ini.

Ternyata, nyalinya ciut juga. Mungkin dia takut melihat emosi yang terpancar di wajahku. Tante Marni langsung diam, tapi dengan bibir komat-kamit tanpa suara.

"Betul juga, ya. Kok, kita gak kepikiran menjodohkan anak kita, Basuki? Ide yang bagus, ya, kan, Dit?" sahut Pak Bagio dengan raut wajah senang. Dia menoleh pada anaknya sembari memainkan kedua alisnya.

Seketika, ada debaran tak menentu di dalam dada. Entah apa yang kurasakan, yang jelas, aku tak merasa keberatan dengan pendapat Pak Bagio itu. Jujur, anak sahabat Bapak ini lumayan tampan, tak kalah dengan Mas Doni. Tubuhnya juga atletis dengan rambut hitam walau agak sedikit gondrong, kalau dirapikan, pasti dia akan mirip dengan Mas Arhan—pemain sepak bola itu, beda di warna kulit aja, yang ini sedikit lebih putih.

Akan tetapi, hati ini masih dibalut luka yang mendalam. Tak segampang itu dia bisa menerima cinta yang lain walau pada dasarnya tak mengharap cinta tang lama. Aku masih belum siap menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Taj tahu, entah sampai kapan. Yang kuingini sekarang adalah melupakan Mas Doni dan membuang semua kenangan bersamanya.

"Kalau aku, terserah anaknya saja. Kalau mereka setuju, kita lanjut. Sebagai Bapak, aku tak bisa memaksa," sahut Bapak disertai gelak tawa.

"Gimana, Nak Fina? Kamu mau dijodohkan dengan anak saya? Kalau Adit sudah pasrah dengan keputusan saya. Gagal terus dia untuk cari bini. Makanya, sekarang, dia nyerah."

Mendengar kata-kata Pak Bagio, semua orang di ruangan ini ikut tertawa.

Keras, aku berpikir untuk memberikan jawaban yang pas. Entah kata-kata apa yang harus kuutarakan pada mereka.

"Gimana, Fin? Kamu mau?" tanya Ibu pelan. Aku hanya menunduk, dalam.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Narsih In
kenapa updetnya lama sekali ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status