Kegagalanku menikah denganmu tak membuatku jatuh dan rapuh. Sampah sepertimu memang harus dibuang ke lubang sampah. Mau tau bagaimana kehidupan Fina setelah gagal menikah dengan Doni? Ikuti kisahnya di sini, ya.
ดูเพิ่มเติมBab 1
Mendadak, aku merasa sesak napas ketika melihat mobil Mas Doni—calon suamiku— terpampang dalam sebuah video yang tersebar di aplikasi F******k."Sepasang sejoli yang sedang indehoy, pingsan di dalam mobil."Begitu caption yang tertulis di unggahan tersebut.Dengan mata berkaca-kaca, kutelisik setiap detik video yang sedang diputar. Diposting sekitar satu jam yang lalu. Betapa sakit hati ini, bagai ditusuk beratus pisau belati. Tak kusangka belahan hati tega berbuat sehina ini.Mas Doni—lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku—sedang dalam keadaan lemas tak berdaya, mungkin tak sadarkan diri dalam sebuah mobil yang terparkir di tepi hutan kota. Bukan hanya kondisinya yang setengah bug*l membuat jantungku mau lepas, tapi wanita itu, wanita yang terkulai lemas di sampingnya adalah Rani—adik sepupuku—juga dalam kondisi yang sama.Mendidih darahku. Tercekat rasanya tenggorokanku. Ingin aku ke sana dan menghajar dua manusia yang tak punya rasa malu itu. Namun, aku tak ingin mempermalukan diriku di depan khalayak. Jika aku melakukan itu, wajahku akan terpampang dan ikut viral di media sosial bersama kedua manusia busuk itu. Orang-orang akan merendahkanku sebab memiliki calon suami yang amoral seperti itu.Sebulan yang lalu Rani kembali dari Jakarta. Sudah hampir satu tahun dia bekerja di sana, entah sebagai apa. Adik sepupu yang tak begitu dekat denganku itu, tiba-tiba saja pulang dan menawarkan diri untuk membantu mempersiapkan pernikahanku dengan Mas Doni. Aku yang merasa kerepotan mengurus persiapan pernikahan sendirian, apalagi waktunya tinggal tiga minggu lagi, setuju saja dengan tawarannya. Sedikit pun aku tak menaruh curiga dengan apa yang dilakukan Rani.Beberapa kali Rani kuajak bertemu dengan Mas Doni, bahkan dia sempat kuajak ke rumah calon suamiku itu yang ada di desa tetangga."Mbak Fina beruntung sekali, ya. Mas Doni itu kaya, tampan pula. Aku juga pengen dapat suami kayak dia, Mbak," ucap Rani waktu itu. Aku senyum saja menanggapi kata-katanya.Memang, selain tampan, Mas Doni juga berasal dari keluarga berada. Ayahnya memiliki lima hektar ladang sawit dan lima buah kandang peternakan ayam yang menyebar di beberapa kampung. Bisa dibilang, mereka orang terkaya di wilayah sini. Banyak gadis yang tertarik dan ingin menjadi pacar Mas Doni. Tapi, Mas Doni memilihku jadi pacarnya.Walaupun kaya, Mas Doni tak pernah sombong. Dia selalu tampil bersahaja dan suka memberikan bantuan dana untuk kegiatan muda-mudi di kampung ini. Itu yang membuat aku menerima cintanya setahun yang lalu. Hubungan kami berjalan langgeng sebab keluarga Mas Doni tak memandang status calon menantu mereka. Cuma bapakku saja yang agak ragu dengan Mas Doni. Namun, akhirnya beliau juga menyetujui hubungan kamu. Tanpa rintangan yang berarti, akhirnya kami pun memutuskan untuk menikah.Tok! Tok! Tok!Bunyi ketukan pada pintu kamar membuyarkan lamunanku."Fin ... Fina! Ini aku, Salsa. Buka pintu, Fin!"Terdengar suara Salsa—sahabat karibku—memanggilku di luar kamar. Pasti dia juga sudah menonton video viral itu.Kutarik napas dalam-dalam untuk membuat dadaku sedikit lega, lalu aku melangkah gontai menuju pintu kamar. Setelah pintu terbuka, Salsa langsung memelukku.Aku kembali terisak dan menumpahkan semua kepedihanku padanya."Sabar, Fin. Kamu perempuan kuat. Kamu harus sabar, ya," ucap Salsa sembari mengusap lembut. Dia terus berusaha membuatku tenang dan sabar."Mas Doni jahat, Sa. Mereka berdua jahat. Aku benci ... sangat benci mereka!"Pecah tangisku mengiringi ungkapan hati yang sejak tadi ingin kuteriakkan."Nangis aja, Fin, gak papa. Biar kamu lega. Tapi setelah ini, kamu harus bisa melupakan Doni. Dia gak pantas untuk dicintai. Jangan pernah mengharapkan dia lagi. Lelaki busuk memang cocok dengan perempuan murahan seperti Rani.""Tapi, hatiku sakit, Sa. Waktunya sudah dekat, kenapa ini yang terjadi. Aku malu ... aku malu, Sa!""Gak perlu malu, Fin. Kamu gak ngelakuin apa-apa. Orang-orang pasti akan respect sama kamu. Yang harus kamu lakukan hanya satu, lupakan Doni. Buang jauh-jauh lelaki kep*r*t itu dari hatimu. Kamu masih muda dan cantik. Kamu pantas memiliki suami yang setia dan penyayang. Udah, hapus air matamu. Jangan cengeng. Mereka akan tertawa melihatmu terpuruk. Kamu harus kuat!"Aku terdiam, berusaha mengajak hati berdamai. Aku duduk di lantai, diikuti Salsa. Lama aku tercenung berusaha memberi kekuatan pada hati. Salsa benar, sekuat apa pun rasa cinta ini, aku tak mungkin mengharapkan Mas Doni lagi. Sekali dia berani berkhianat, selamanya akan ada kebohongan dalam hubungan kami.Gagal sudah harapanku untuk hidup bahagia bersama lelaki yang begitu aku cintai. Semua persiapan pernikahan tak ada artinya lagi. Sia-sia. Bayang-bayang acara pernikahan yang akan digelar, satu per satu melintas di benakku, membuat aku kembali terisak.Satu yang jadi pertanyaanku sekarang, sejak kapan hubungan mereka terjalin? Apakah sebelum berpacaran denganku mereka sudah saling mencintai atau hanya nafsu sesaat? Entahlah. Terserah mereka saja. Yang jelas, aku dan Mas Doni tak mungkin lagi bersatu. Itu tekadku."Mereka di mana sekarang, Sa?" tanyaku pada Salsa.Tiba-tiba aku kepikiran untuk menemui mereka berdua. Aku ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh Mas Doni ketika bertemu denganku nanti."Mau ketemu? Untuk apa?" tanya Fina dengan wajah heran."Ada yang harus aku katakan pada Mas Doni. Dia harus membayar rasa sakit di haiku." Aku mengusap cincin yang melingkar di jari manisku."Yakin?"Aku mengangguk, pelan."Mereka dibawa ke rumah sakit. Keracunan gas dari AC mobil, jadi pingsan. Kenapa gak mati sekalian, ya." Salsa mencibir, geram.Setelah merapikan penampilan dan berpamitan pada Ibu, aku dan Salsa segera pergi ke rumah sakit. Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit naik motor untuk tiba di sana.Sengaja, aku belum memberitahu Bapak dan Ibu. Ada yang harus kutuntaskan. Aku akan bercerita pada mereka setelah pulang dari rumah sakit.Setelah sampai di rumah sakit, Salsa mengajakku ke bagian administrasi untuk menanyakan keberadaan Mas Doni. Aku melangkah ragu mengikuti Salsa yang kelihatan sangat bersemangat menuju ruangan tempat Mas Doni dirawat.Ragu, aku membuka pintu ruang rawat Mas Doni. Sepertinya di dalam ada banyak orang.Karena desakan hati, kuberanikan diri untuk masuk ke ruangan itu. Begitu pintu terbuka, aku langsung disambut oleh mama Mas Doni."Akhirnya kamu datang juga, Fin. Maaf, ya, Tante belum sempat ngabarin. Kondisi Doni tadi sangat mengkhawatirkan. Tante masih gemetaran sampai sekarang. Takut kalau Doni kenapa-kenapa." Mama Mas Doni begitu ramahnya padaku seolah tak terjadi apa-apa atau mungkin dia mengira aku belum tahu kejadian itu?Kutelisik seisi ruangan ini, tak ada Rani di sini. Mungkin, dia dirawat di ruangan terpisah."Mas Doni udah sadar, Tante?" tanyaku tanpa mengulas senyum sedikit pun."Oh, sudah. Dia sudah menunggumu sejak tadi. Dia ...,"Tak kupedulikan mama Mas Doni yang masih saja terus bicara. Aku melangkah mendekati Mas Doni yang terbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Lelaki bermata sipit itu tersenyum manis kepadaku. Dia mengulurkan tangan untuk menyambutku. Kusambut uluran tangannya dengan seutas senyum sungging."Aku kembalikan cincin pertunangan kita. Hubungan kita cukup sampai di sini! Kamu gak pantas bersanding denganku," ucapku tegas dengan gigi bergemeletuk. Ingin saja aku melayangkan satu tamparan ke pipinya agar hati ini merasa puas. Tap, tak mungkin, ada banyak orang di sini."Kok, dibalikin, Fin? Kita akan segera menikah, Fin. Fin ... Fina!"Setelah mengembalikan cincin pertunangan kami, aku dan Salsa beranjak dari ruangan itu. Kuhiraukan suara Mas Doni yang memanggil-manggil namaku.BersambungBab 14"Kok, balik lagi, Mas? Motornya mana?" tanyaku pada Adit.Mas Adit melangkah masuk, membiarkan Tante Marni ke luar meninggalkan rumah ini. "Motornya mogok, masih diperbaiki di bengkel," sahut Mas Adit lalu beranjak dari ruang tamu menuju kamar kami dengan raut wajah masam. Aku mengikutinya ke dalam kamar. Di dalam kamar, Mas Adit duduk di tepi ranjang. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu atau mungkin juga kesal sebab motornya mogok."Mas kenapa?" tanyaku hati-hati. Mas Adit menoleh padaku. "Sini," ucapnya sembari menepuk ranjang, memintaku untuk duduk di sampingnya. Dengan beribu tanya di hati, aku melangkah menghampirinya, lalu duduk di sampingnya. Mas Adit menatap wajah ini lekat, membuat aku semakin merasa tak menentu."Kamu mau kita pindah dari sini?" tanya Mas Adit pelan. Tatapannya begitu serius. Aku menggeleng. "Kasihan Bapak sama Ibu, Mas. Biarlah kita di sini dulu sampai rumah ini benar-benar diambil oleh pemiliknya. Bapak masih berharap bisa membeli kembal
Bab 13Terkejut? Tentu saja. Ini kali pertama bibirku disentuh oleh seorang laki-laki. Aku mencoba melepaskan ciuman itu, tapi bukannya lepas. Mas Adit malah menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Sesak terasa dada ini menahan debaran-debaran tak menentu yang terus menjalar di dalam sana. Kemudian, Mas Adit menggiringku menuju ranjang. Aku dan Mas Adit berbaring di atas ranjang. Entah bagaimana rina wajah ini. Malu bercampur tegang membaur menjadi satu. Aku benar-benar gerogi.Baru saja Mas Adit ingin melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar. Lalu, kemudian ada yang mengetuk pintu kamar kami."Fin, Fina!" Suara Ibu memanggilku.Mas Adit segera menggeser tubuhnya. Dengan malu-malu kami saling berpandangan. "Mas buka pintunya, ya," ucapnya kemudian. Aku mengangguk pelan. Mas Adit merapikan pakaiannya, lalu berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang."Maaf, Nak Adit, Ibu mengganggu. Itu di depan ada Tante Marni. Dia guling-guling di ruang tamu s
Bab 12Aku berdiri terpaku menatap ke dalam manik mata Mas Adit. Aku bingung harus berkata apa. Jika saja aku punya ilmu menghilang, mungkin saat ini, aku akan langsung lenyap dari hadapan lelaki ini. Bisa-bisanya, aku menabraknya tepat di depan pintu. Kok, orang sebesar itu gak kelihatan olehku, ya? Bodohnya aku."Fina mau masuk ke kamar?" tanyanya membuat aku terkesiap."Eh ... itu, iya," sahutku gugup."Untung kamu nabrak Mas, kalau nabrak pintu, bisa benjol, Fin," ucapnya sembari tersenyum simpul. Dia pasti menertawakan aku di dalam hatinya. Gak lucu!Aku merengut lalu melangkah masuk ke kamar. Kutinggalkan begitu saja, Mas Adit yang masih berdiri di depan pintu kamar. Aku kembali duduk di depan cermin, berpura-pura menyibukkan diri mengusap wajah dengan kapas. Padahal, aku hanya ingin menyembunyikan kegugupanku.Tak lama, Mas Adit menyusul masuk ke kamar. Aku melirik sekilas. Lelaki yang masih mengenakan pakaian pengantin itu menutup pintu, lalu melangkah menghampiriku, membuat
Bab 11Seakan terpengaruh kata-kata Rani, Bapak menatap ragu pada Mas Adit. Tak menjawab, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi imam dalam rumah tanggaku itu hanya tersenyum."Mbak, silakan keluar saja dari ruangan ini. Saya tidak mau acara pernikahan anak saya kacau gara-gara ada Mbak di sini. Silakan ... pintu keluar ada di sana." Pak Bagio yang mulai kelihatan geram pada Rani berkata dengan tegas sambil menunjuk ke arah pintu rumah kami.Rani kelihatan salah tingkah. Mungkin dia malu karena ditegur seperti itu oleh ayahnya Mas Adit. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan tatapan sinis. "Saya ini sepupunya Fina. Enak, aja, main usir begitu, ya, kan, Fin?" sahut Rani bersikeras."Udah, jangan ribut. Kamu tetap di situ, tapi tolong, jangan bikin ribut, Ran." Ibu ikut memberi pengertian pada Rani. Rani yang mungkin tak terima dipermalukan seperti itu, melirik tajam pada Ibu sembari mencebikkan bibirnya. Setelah suasana kembali tenang, acara pernikahanku dengan Mas Adit pun dilanju
Bab 10.Aku juga belum tahu siapa yang akan menjadi calon suamiku. Aku berkata begitu agar laki-laki ini membatalkan niatnya untuk melamarku. Terlebih, Tante Marni, aku tak suka caranya menjodoh-jodohkan aku dengan lelaki yang sama sekali tak pernah kukenal."Tante tau, pasti pemuda miskin yang waktu itu datang bersama ayahnya, kan? Pikir ulang, Fin. Kamu akan sengsara hidup sama dia. Yang ada, kamu malah akan semakin gencar mengganggu Doni sebab hidup kamu susah sementara Doni dan Rani hidupnya serba berkecukupan."Ya, ampun, ini orang ngomongnya makin ke mana-mana. Yang ada dipikirannya cuma uang, uang dan uang. "Uang bisa dicari, Tante. Kebahagian itu gak melulu diukur dengan uang. Semua sudah diatur oleh Allah. Sudahlah, sebaiknya Tante pulang, aja. Jangan pernah datang lagi membawa laki-laki gak jelas untuk dinikahkan denganku."Muak sudah aku meladeni Tante Marni. Semakin diturut, dia semakin menjadi. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku hancur."Ya, sudah, kalau gak mau. Tante itu
Bab 9Pagi ini, kami sekeluarga sedang menikmati sarapan bersama. Tiba-tiba, terdengar suara Tante Marni memanggil-manggil dari depan rumah. Mendengar nada panggilannya, biasanya ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikannya."Pagi-pagi, udah ganggu hidup orang, aja," gerutu Faiz—adikku. Dia memang tak suka dengan Tante Marni.Ibu buru-buru melangkah menuju pintu. Tak ketinggalan, kususul Ibu ke depan sebab aku penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Tante Marni.Ketika pintu terbuka, muncullah wajah Tante Marni bersama seorang laki-laki."Ada apa, Mar? Kamu bawa siapa ini?" tanya Ibu pada Tante Marni yang berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatan umurnya tak jauh beda dari Tante Marni, mungkin terpaut sekitar dua tahun lebih muda."Dipersilakan masuk dulu, dong, Mbak. Masak berdiri di depan pintu begini," sahut Tante Marni sambil cengengesan. Mau tak mau, Ibu mengajak mereka masuk juga."Ada perlu apa ke sini, Mar? Ini s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น