Share

Terbuang

"Raisa, keluar!" 

Geduran dan teriakan itu semakin kencang. Mas Bambang memintaku tetap tenang, dan menghadapi mereka. Aku sudah tahu kalau akan terjadi hal seperti ini. Sepertinya kelima anaknya tidak suka dengan kehadiran diri ini.

Mereka, anak-anak Mas Bambang. Pasti akan melakukan berbagai cara untuk membuat aku pergi dari rumah ini. Aku menarik napas perlahan sebelum melangkah untuk membukakan pintu. Menarik napas, untuk memastikan pasokan oksigen masih banyak.

Perang akan dimulai. Mereka mengaku sebagai anak, tetapi dulu membuang sang ayah. Kasihan, Mas Bambang harus memiliki anak seperti mereka.

Pasti mereka ketakutan harta ayahnya akan jatuh ke tangan aku dan Arman. Perlahan aku membuka kenop pintu untuk melihat mereka semua.

"Ada apa?" tanyaku.

"Ada apa kamu bilang? Kami tidak akan membiarkan kamu menguasai harta Papa. Ingat Raisa, kamu itu hanya pengasuh. Dikasih hati malah minta jantung." Harlan, anak pertama Mas Bambang kini terus berbicara seolah ia anak yang berbakti. 

Mereka lupa jika harta kekayaan itu milik sang ayah. Namun, mereka malah menelantarkannya. Mas Bambang tidak bodoh, ia tidak mau membalik nama perusahaan dan semua aset. Sampai ia bertemu denganku dan merubah semua aset kekayaannya dengan namaku. Itu setelah aku menyetujui pernikahan ini.

"Wanita tidak tahu malu." Makian itu kini datang dari Raya, anak ketiga Mas Bambang.

Aku menantikan mereka bergantian mencercaku. Senyum ini hanya penghias saat aku merasa lelah. Hidup ini sudah sangat sulit bagiku, dan tidak akan pernah melepaskan kesempatan ini.

Bukan karena aku tamak, tapi semua demi anakku. Masa depannya butuh uang, bukan hanya kasih sayang.

Harta ini sangat bermanfaat untuk membalaskan semua dendamku pada dua orang yang membuat hidupku menderita.

"Aku bukan seperti yang kalian bilang. Kemana kalian saat Mas Bambang membutuhkan kalian? Bahkan kalian mau mengirimnya ke panti jompo jika tidak ada yang mau merawatnya. Sekarang, kalian bilang aku tidak tahu malu?" Sejujurnya aku takut, tapi kekuatan ini kudapat saat mengingat Arman, anakku.

"Mana Papa? Jangan-jangan setelah ini kamu racuni Papaku!" teriak Harlan.

"Bukan aku yang meracuni Papa kalian. Tapi, kalianlah yang perlahan membuat ia terluka hingga tidak memiliki keinginan bertahan hidup."

"Jangan sok tahu kamu Raisa."

"Memang kenyataan, bukan aku mengada-ngada. Tolong kalian pergi, Papa kalian mau istirahat."

Aku menutup pintu sebelum terjadi perdebatan kembali. Harta, dan harta, itulah yang mereka takutkan akan jatuh ke tangan ku.

Sudah pasti mereka sangat mencemaskan itu. Demi Allah, aku bertahan dengan harta Mas Bambang hanya untuk membalas rasa sakit ini.

"Sa, jangan dipusingkan, saya sudah telepon security untuk mengusir mereka."

"Benarkah, itu?"

"Iya, saya istirahat dulu."

Pria yang dulu kupanggil dengan sebutan Bapak, kini menjadi suamiku. Orang yang kurawat saat ia merasa kesepian. 

Dada ini sesak mengingat Mas Bambang terisak kala mengingat kelima anaknya tidak ada yang menginginkannya. Mas Bambang seperti bola yang dilepas ke sana, kemari.

Sampai aku merawatnya. Arman membuat ia kembali bangkit. Mas Bambang merindukan cucunya. Anakku juga merasa senang, ia kembali bisa makan dengan lauk yang enak. 

Sejak Mas Wiji mengusirku, kami hanya bisa memakan nasi dan garam. Semua tabungan habis untuk kehidupan. Aku sudah tidak memiliki orang tua. Mau kemana lagi, saudara pun tidak menganggap kala kami jatuh miskin. 

Bahkan, suamiku direbut sepupuku sendiri. Tega benar mereka sebagai saudara. Berawal dari menumpang hidup, dan beralih menjadi perusak rumah tanggaku. Ini murni kesalahanku.

Kembali aku mengingat kejadian menyesakkan itu. Tentang awal dari sebuah kehancuran.

"Mau kamu apa, Mas? Kalian berzinah di depan mataku. Tega kamu Rianti!" teriakku.

Dada ini sesak saat melihat mereka menyatukan tubuh, saling mengulas senyum dalam peraduan yang biasa aku tempati.

Dengan cepat aku menjambak rambut Rianti, mendorongnya ke tembok berulang kali. Belum puas hati ini, Mas Wiji yang sudah berpakaian, menarik aku. 

"Sialan, kalian!"

"Kamu mau masuk penjara sudah membuat Rianti seperti itu?" 

"Adanya aku yang memenjarakan kalian. Kamu tidak tahu malu, Rianti. Di mana otak kamu!" pekikku.

Aku menahan bulir ini, tubuh ini luruh ke lantai. Tega sekali dia yang mengaku sabagai saudara ternyata menikung seperti itu.

Tidak terima aku kembali bangkit menarik Rianti, lalu mendorongnya jatuh. Rianti bangkit, ia menjambakku. Lalu, mendorongku ke lantai. 

Saat aku mulai bangkit lagi, Mas Wiji menghadangku.

"Pergi kamu, Raisa. Mulai malam ini, kamu bukan istriku lagi."

Berdegup hati ini. Rasanya hati ini retak begitu banyak. Malam ini, ia menalakku. Aku tidak percaya, ia dibutakan nafsu sesaat.

"Awas kamu, Mas. Karma akan segera datang pada kalian. Suatu saat, kubuat kalian menyesal."

"Sa." Sapaan Mas Bambang membuat aku terkesiap, dan tersadar dari lamunan masa lalu.

"Iya, Mas, ada apa?"

"Saya tidak bisa tidur kalau tidak gelap."

"Iya, maaf saya lupa."

Segera kumatikan lampu, dan merebahkan tubuh di kasur sebelah ranjang Mas Bambang.

***

Sepagi ini, aku harus pergi ke kantor bersama Mas Bambang. Aku akan memulai perlahan mengurusi perusahaan miliknya. 

"Harus cantik, ya, Sa. Mereka suka jika pemimpin mereka cantik. Karena akan datang para lelaki yang mencari perhatian, dan terlihat mencari muka. Di sanalah kamu bisa menendang mereka yang tidak kompeten."

"Iya, Mas."

Mas Bambang menginginkan aku menyingkirkan mereka yang banyak memakan uang perusahaan. Sudah banyak terdengar gosip itu, tetapi belum ada tindakan yang pasti.

Bismillah, mobil ini berhenti di kantor tempat mantan suamiku. Kenapa bisa pas momentnya. Pa Ardi, supir pribadi Mas Bambang membantu untuk duduk di kursi rodanya. 

"Biar saya yang mendorong."

"Tidak usah, Sa. Kamu sudah secantik ini tidak mungkin mendorong saya. Sebentar akan saya telepon orang kepercayaan saya."

Mas Bambang mengambil ponsel untuk menelepon seseorang. Tidak lama setelah itu, seorang pria muda datang menghampiri kami.

"Pak Bambang, selamat pagi. Senang bertemu dengan Anda lagi." Ia mencium takzim punggung tangan suamiku. 

Berbeda dengan yang lain, mereka hanya menjabat tangan Mas Bambang. Sementara, pria ini, ia mencium penuh hormat pada Mas Bambang.

"Kamu pasti sudah tahu wanita cantik di sebelah saya?"

"Sudah, Nyonya Raisa." Pria itu menunduk hormat.

"Sa, ini Arfian. Dia akan membantu kamu."

"Iya, Mas."

Kami bersamaan memasuki gedung besar itu. Semua mata memandang, mereka langsung menunduk hormat ketika kami lewat. 

Dan, mata ini tertuju pada sesesorang. Mas Wiji pria yang membuat aku bertemu dengan Mas Bambang. Karena dia, aku hidup menggelandang, menjadi gembel diemperan toko. Mencari nafkah di pinggir sampah. Sementara, ia bisa tidur nyenyak di rumah bersama Rianti.

Awas kamu, Mas. Akan kubuat kamu jatuh miskin.

**BERSAMBUNG

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
balas lebih menderita lgi si wiji edan .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status