Masuk ke dalam rumah aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, dan dari arah dapur Mas Ferdi datang dengan wajah tenang."Baru pulang ya? Aku baru aja mesen makanan ini."Aku tersenyum sinis, entah di mana lelaki itu bertemu Susan, yang jelas tak mungkin di rumah ini.Ingin sekali aku mengatakan agar ia menyudahi akting murahannya itu, lalu membuka kedoknya dan menunjukkan pada dunia jika ia adalah seorang pengkhianat ulung."Kamu kenapa, Yul?"Dia keheranan menatapku yang tercenung sejak tadi, aku menghela napas lalu duduk di kursi dengan anggun."Tak apa-apa, Mas.""Mama!""Mama udah pulang!"Dita dan Dara bersorak sambil berlari menghampiriku, melihat mereka berdua rasanya aku ingin mengeluarkan air mata.Andai kalian tahu, Nak, seseorang yang kalian panggil ayah diam-diam telah menghancurkan kebahagiaan kita semua."Hai, Sayang, mana Kakak?""Di kamar lagi nonton," jawab Dita."Oh ya, apa hari ini rumah kita kedatangan tamu?" tanyaku sambil menatap mereka berdua."Tamu? Emm
Jemariku mencengkeram erat kusen pintu yang terbuat dari besi ini, sementara mataku memanas hingga tak terasa cairan hangat meluncur membasahi pipi.Beberapa langkah lagi tanganku yang panas ini sebenarnya sudah bisa menampar pipi Mas Ferdi, serta menjambak rambut Susan hingga terlepas dari kepalanya.Namun, sekuat tenaga aku mengendalikan emosi dan hasrat ingin menyerang mereka, karena ini tempat Susan bisa saja aku kalah dan wanita itu malah menyerang balik.Minuman di dalam gelas mereka nampaknya sudah habis, setelah itu Mas Ferdi berjalan menjauh dariku masuk ke ruangan lebih dalam.Tak mau ketinggalan aku melangkah membuntuti mereka diam-diam, lalu langkah kaki mereka terhenti tepat di deretan kamar, sepertinya kamar-kamar itu khusus para pel*cur melayani laki-laki hidung belang.Mereka berdua masuk ke salah satu kamar itu, lalu selanjutnya sudah pasti mereka melakukan itu.Mataku terbayang merasakan ribuan pedang menusuk dada, lalu terbayang lagi setiap gerakan dan d*s*h*n merek
"Hari ini biar aku yang ke restoran ya, Yul, kamu di rumah saja temani anak-anak, sudah waktunya kamu istirahat," ujar Mas Ferdi.Setelah beberapa hari lepas dari tongkatnya ia memutuskan untuk mengelola usahanya lagi, padahal jika dipikir untuk apa ia menyembunyikan kesembuhannya dariku?"Ya, tapi ada beberapa hal yang harus kita bicarakan di sana, jadi untuk hari ini aku akan ikut kamu.""Oh ok, bersiaplah." Dari raut wajah ia terlihat tak senang.Kami berangkat ke restoran bersama dan aku yang menyetir mobil, sementara Mas Ferdi duduk di sebelahku."Mas, bagaimana statusmu dengan, Susan?" "Emm ... maksudmu?" Ia terlihat berpikir dan mencoba mengulur waktu memberi jawaban."Ya, apa kamu sudah menceraikannya?" "Emmm ... aku memang belum mengatakan langsung sih karena waktu dia pergi 'kan aku ga bisa ngomong, tapi dalam hati aku sudah menceraikannya kok."Aku tersenyum tipis, lagakmu, Mas, akting terus, kukasih sup kambing lagi baru tahu rasa."Oh begitu ya, memangnya kamu belum per
Ia menoleh sekilas lalu kembali berpaling menghadap jendela dapur yang terbuka, setelah itu kulihat di luar gerimis mulai turun karena memang sejak pukul enam pagi cuaca sangat mendung."Desti! Angkat cucian di belakang, Nak!" "Ya, Ma! Dita, bantuin Kakak!" teriak Desti, ia memang seperti itu jika disuruh selalu meminta bantuan adiknya.Hingga mereka berdua berlarian mengangkat jemuran sambil tertawa lepas. Dan mata kami berdua memandang mereka dengan tatapan kosong."Kamu lihat Desti, Mas, semenjak kamu meninggalkan perempuan itu sikapnya kembali hangat, baik pada kita ataupun pada adik-adiknya."Terdengar ia mengehela napas sambil mengusap wajahnya dengan sebelah tangan."Simpan di keranjang ya, Kak," ujarku saat mereka berdua masuk ke dapur sambil membawa bergunung-gunung pakaian hingga menutupi sebagian tubuhnya."Baiklah, jika kamu merasa tak nyaman dengan perbuatanku tadi maka aku minta maaf."Untuk kesekian kalinya aku memancing tapi tetap saja ia tak mau bicara, apakah aku ha
"Dan kamu ... kita bercerai saja, karena Susan tak mau jadi yang kedua."Terasa ada yang meledak di atas kepala, aku memejamkan mata dengan erat dan mengepalkan jemari hingga urat-urat di tangan terlihat.Untuk beberapa saat tubuhku terasa melayang, rasanya ingin pingsan lalu bangun kembali dalam keadaan baik-baik saja, aku harap ini mimpi, tapi tidak, ini nyata bahkan lenganku terasa sakit saat kucubit.Dua tahun aku menanti dan berjuang keras agar ia kembali, setidaknya bukan untukku tapi demi putri kami, tapi ternyata ambisinya tak pernah mengikis meski sudah dihujani kasih sayang setiap harinya.Hatimu lebih keras dari karang di lautan, Mas.Sebelah tanganku meraih bangku lalu berpegangan erat padanya, dengan sisa tenaga bangku itu ditarik lalu kududuki perlahan.Merenung sambil menopangkan siku ke atas meja, setelah itu memijat kening yang terasa berdenyut."Maaf, Yul. Tapi kamu tak usah khawatir aku pasti akan tanggung jawab pada anak-anak."Aku menengadahkan wajah yang terasa b
"Mungkin pergi, Dek.""Oh, sepagi ini?""Hem," jawabku.Seperti hari biasanya aku mengantar mereka ke sekolahnya masing-masing, beruntung sekarang Dara jarang memintaku untuk menungguinya di sekolah.Ia selalu patuh jika aku berpamitan pulang karena tak bisa menunggunya seperti biasa."Mama akan jemput setengah sepuluh nanti ya, Sayang.""Iya, Ma."Aku memutuskan kembali ke rumah, untuk saat ini rasanya aku tak ingin bepergian ke mana-mana apalagi bertemu banyak orang.Aku butuh menyendiri dan mengumpulkan tenaga untuk menghadapi kenyataan-kenyataan yang akan terjadi selanjutnya."Assalamualaikum, Mba."Dari arah pintu terdengar suara perempuan masuk, buru-buru aku menghapus jejak air mata dan melangkah ke luar."Lira, Ibu."Mereka yang sudah duduk di sofa kembali berdiri ketika melihatku."Apa kamu baik-baik aja, Yul?" tanya ibu sementara Lira--adikku--menatap sendu."Ya tentu baik-baik aja, Bu, memangnya kenapa?" Aku menatap mereka berdua bergantian."Semalam Desti telpon aku, dia n
"Apa Susan akan tinggal di sini menggantikanku?"Mas Ferdi tersenyum tipis mendengar pertanyaanku itu seolah hal yang lucu."Tentu saja, karena Susan akan melahirkan anak laki-laki untukku maka ia pantas tinggal di sini," jawabnya dengan tatapan remeh.Aku tersenyum, memperlihatkan jika diri dan hatiku sama sekali tak terluka oleh perbuatannya, serta memperlihatkan jika aku wanita kuat."Oh ya? Apa dia sudah mengandung anakmu, Mas?" tanyaku dengan tatapan menantang."Iya, Yul, dia sedang hamil anakku, dan aku yakin dia berjenis kelamin laki-laki," jawabnya dengan sangat percaya diri.Sebenarnya hatiku luluh lantak saat ini, rasa sakit yang kurasa bukan lagi berdarah melainkan bernanah."Tapi, apa kamu yakin dia itu benar-benar anakmu Hem? Mengingat dia tinggal di club malam itu, aku takut dia open bo dan tidur dengan sembarang lelaki."Aku tersenyum lebar sementara senyuman yang terlukis di bibirnya mendadak padam."Hati-hati ya, Mas, jangan sampai kamu tertipu." Senyumku makin lebar
Raut ketakutan terpancar dari wajah Dita sementara Dara hanya tercenung kebingungan."Aku ikut Mama sama Kakak aja deh. Dek, kamu juga ikut Kakak sama Mama ya, jangan tinggal di sini," ujar Dita, sementara Dara hanya menganggukkan kepala."Ayo, kemasi barang-barang kalian sama Kakak, besok pagi kita pergi dari sini ya." Aku menatap mereka dengan tenang."Emang kita akan pergi ke mana, Ma?" tanya Dita.Aku hanya tersenyum kecil, tentu saja Mama akan bawa kalian ke tempat yang jauh lebih baik dari rumah ini."Kita lihat aja besok ya, sana kemasi dulu barang-barang kalian.""Iya deh." Mereka berdua pergi menyusul kakaknya ke kamar, sekarang hanya kami berdua yang masih berdiri berhadapan."Siap-siap saja kamu akan kehilangan anak kita, Mas." Aku tersenyum kecil sambil menatap wajahnya dari jarak dekat"Mungkin bukan hanya kehilangan anak, tapi juga segalanya." Aku menyeringai lebar, lalu pergi meninggalkannya yang masih berdiri.Ia pasti heran kenapa aku terlihat kuat tanpa ada satu air