Demi ambisimu untuk memiliki anak laki-laki, kamu telah membawa wanita lain ke istana kita. Bahkan, kau buat wanita itu tidur di kamarku. Maka, lihatlah, Mas! Aku akan membuatmu melihat siapakah istri yang menemanimu dalam keadaan senang, susah, sakit, dan terpuruk. Aku atau istri keduamu itu?
View MoreSetelah lama tertidur akibat kematian, saat ini untuk pertama kalinya Lintang kembali membuka mata. Namun dia membuka mata dengan perasaan aneh di mana di sekujur tubuhnya seperti terdapat banyak luka. Terlebih Lintang merasa seakan dia telah tertidur sangat lama hingga kedua kelopak matanya sulit sekali terbuka.
“Ada apa ini? Mengapa seluruh persendianku terasa amat sakit? Apa mungkin aku telah mengalami penyiksaan? Ah tidak mungkin, bukankah terakhir kali kuingat diriku masih berupa ruh?” gumam Lintang mulai meracau.
Lintang terbangun di sebuah kamar berdinding kayu dengan satu lentera kecil tergantung di dekat pembaringan. Tidak ada apa-apa di sana selain meja kayu sederhana yang di atasnya terdapat sebuah poci tanah liat lengkap dengan cangkir berbahan bambu.
Ada juga sepasang pedang lusuh yang menempel pada salah satu dinding dengan posisi menyilang sehingga tampak seperti hiasan. Tapi Lintang tidak peduli, dia kini sedang menitikan air mata teringat dengan semua kenangan keluarganya. Lintang belum sadar bahwa dirinya hidup kembali dan sedang berada di tubuh seorang anak kecil.
“Ayah, ibu, Sari, Tari, Rani, Rara, Arga, Sugi, Ayu, bagaimana keadaan kalian?” ucap Lintang lirih dipenuhi linang air mata. “Jagat, Asgar, Limo,” gumamnya pelan.
Dia masih terbaring bingung, menatap kosong pada langit-langit, membayangkan wajah semua keluarga yang pasti sedang bersedih akibat kematiannya. Namun sesaat kemudian lamunan pemuda itu seketika buyar dikejutkan oleh sebuah suara keras dari balik pintu kamar.
“Oiii, Kusha! Aku tahu kau sedang menangis. Dasar cengeng! Ayo cepat bangun, ibu memanggil kita keruang makan.” Teriak seorang anak lelaki berusia 14 tahun yang entah siapa.
“Kusha? Siapa Kusha? Mengapa ada suara seorang bocah? Bukankah di sini tidak ada siapa-siapa selain aku?” Lintang mengerutkan kening tidak mengerti.
Dia mulai sadar bahwa dirinya ternyata sedang berada di sebuah ruangan yang entah di mana. Yang pasti Lintang tidak lagi terkurung dalam kegelapan semesta.
“Rasa sakit? Bernapas? Detak jantung? Apa mungkin aku hidup kembali?” gumam Lintang melebarkan mata. Dia kemudian segera meraba dada, memastikan bahwa detak jatung yang ia rasakan bukanlah mimpi.
Dan benar saja, Lintang ternyata kembali memiliki jantung, membuat pemuda itu tertawa terbahak bahak.
“Hahaha, aku hidup! Aku hidup! Yosh! Aku hidup lagi!” Lintang meracau berlompatan di atas pembaringan. Dia berlompatan senang layaknya seorang anak kecil tanpa peduli pada teriakan yang terus memanggil nama Kusha dari luar kamar.
“Dasar gila! Apa mungkin dia mengalami gegar otak akibat benturan?” umpat seorang anak lekaki di luar kamar.
“Oii, Kusha, cepat buka pintu! Ayah dan ibu sudah menunggu kita, ayo cepat keluar!” bentak anak tersebut.
“Kusha? Dasar bocah nakal! Siapa dia? Mengapa anak itu terus berteriak ke dalam kamar?” gumam Lintang.
Karena merasa heran, Lintang pun lantas mengedarkan pandangan, menyusuri setiap sudut ruangan memastikan barangkali ada anak bernama Kusha di sana. Tapi sekeras apa pun Lintang mencari, di dalam kamar tetap saja tidak ada siapa pun selain dirinya.
“Aneh! Di sini tidak ada siapa-siapa?” gumam Lintang mengerutkan kening.
Namun anak lelaki tadi kembali berteriak, kali ini suaranya lebih kencang membuat Lintang sakit kepala mendengarnya.
Merasa kesal kepada anak itu, Lintang pun lantas menanggapi teriakannya.
“Oiii bocah! Siapa kau? Mengapa terus memanggil nama Kusha?” seru Lintang.
“Dasar tengik! Berani kau memanggil aku, Bocah? Ayo cepat keluar, ibu sudah menunggu kita sedari tadi!” balas sang anak lelaki dengan umpatan.
“Ibu?” Lintang duduk di pembaringan, menyandarkan punggung pada dinding dipan sembari mengangkat tangan berniat mengurut keningnya yang terasa sakit.
Namun sebelum tangannya tiba menyentuh kening, Lintang langsung terperanjat kaget melebarkan mata. Dia tidak percaya menyaksikan tangan yang seharusnya kekar entah mengapa menjadi begitu kecil layaknya tangan anak-anak.
Dan ketika diraba kulitnya terasa begitu lembut bagaikan bayi. Terlebih dia memiliki kulit berwarna biru tua membuat Lintang semakin terkaget keheranan.
“Ini ...? A-a—ada apa de-dengan ta-tanganku?” Lintang terbata.
Mengira semua itu hanya ilusi, Lintang pun lantas memeriksa kaki, tubuh, serta meraba wajahnya, memastikan bahwa dia tidak sedang terjebak dalam jurus seseorang. Tapi seberapa kali pun pemuda itu memeriksa, tubuhnya tetap tidak berubah membuat dia langsung berteriak panik.
“Kyaaaaaaaaa, tidakkkkk! Aku tidak mau! Mengapa tubuhku menjadi anak kecil seperti ini, ayahhhhh, tidakkkkk! Siapa pun tolong aku!” Lintang menjerit histeris.
Dia kembali meracau seperti orang gila, tapi racauannya kali ini bagaikan seorang yang sedang tersakiti membuat anak lelaki di luar kamar langsung mendobrak pintu sangat khawatir.
Brak! Wush! Bruuus!
Pintu kamar terlempar sejauh 2 meter dan berakhir tergeletak di dekat pembaringan. Setelah itu, seorang anak lelaki berusia 14 tahun berlari cepat menghampiri Lintang.
Raut wajahnya pucat karena panik, dia mengenakan pakaian berwarna abu dengan celana panjang sebetis yang juga berwarna abu. Sebuah ikat pinggang anak tersebut berwarna hitam, melingkar mengencangkan pakaian serta menjadi penyangga sebilah pedang.
Tubuhnya cukup kekar, berkulit putih mulus dengan wajah tampan berambut panjang. Dia mengenakan ikatan kepala berupa kain berwarna merah tua sebagai ciri seorang murid dari sebuah perguruan.
“Kusha! Ada apa? Di mana? Siapa yang menyakitimu?” teriak anak lelaki itu kepada Lintang.
Dia terlihat mengedarkan pandangan menyusuri setiap sudut kamar, mencari seseorang yang telah membuat adiknya menjerit. Tetapi di sana tidak ada apa-apa selain seorang bocah berusia tujuh tahun berkulit biru yang sedang duduk termangu sembari memeluk kedua lututnya seperti anak yang tengah ketakutan.
Merasa kesal mengira sudah dipermainkan, anak lekaki tadi lantas menggetok kepala Lintang menggunakan gagang pedang membuat bocah berkulit biru langsung mengerang berteriak kesakitan.
“Apa yang kau lakukan bocah? Sakit tahu, dasar anak tidak tahu sopan santun!” maki Lintang sembari menggosok kepala berusaha mengurangi rasa sakit.
Peletak! Aaaaaaaw!
Lintang lagi-lagi menjerit terkena getokan kedua, di mana anak lekaki tadi ternyata menggetoknya kembali dengan wajah merah menahan amarah.
“Dirimu yang bocah, dasar tengik! Beraninya kau memaki kakakmu sendiri,” umpat sang anak lelaki sembari menyilangkan tangan di depan dada.
“Apa! Aku? Kau yang bocah, dasar anak nakal!” maki Lintang masih kesakitan, sementara sang anak lelaki tadi hanya terkekeh menyeringai ke arahnya.
“Siapa kau bocah? Mengapa menggangguku?” teriak Lintang.
Dia berdiri di atas pembaringan seraya menatap marah kepada sang anak lelaki.
“Hahaha! Lama kutinggalkan ternyata dirimu sudah melupakan aku, dasar adik nakal! Kau lupa atau pura-pura lupa, Kusha? Tentu saja aku adalah kakakmu, Balada yang tampan dan pemberani,” sang anak lelaki tertawa membuat Lintang semakin bingung tidak mengerti.
“Ka-ka—kakak? Sejak kapan aku memiliki kakak?” gumam Lintang di dalam hati.
Namun tidak lama setelah itu, Lintang kembali menjerit akibat kupingnya dijewer oleh Balada. Dia ditarik keluar kamar, dibawa melalui lorong panjang menghadap sepasang suami istri yang tengah duduk di atas meja makan.
Setelah ditelusuri lebih dalam aku menemukan sebuah situs web khusus para pria hidung belang, di sana mereka bisa membahas para organ intim wanita yang pernah mereka cicipi berikut dengan Poto b*gilnya.Yang membuat otakku panas ialah poto Desti juga ada di sana, beberapa pria berkomentar tentang bentuk tubuh anakku, bahkan diantara mereka dengan terang-terangan mengincar tubuh putriku itu."Bagaimana ini, Lira?"Gadis itu langsung meluncur ke restoran begitu mengetahui Poto sy*r Desti tersebar."Apa Poto itu diambil ketika Desti diculik kemarin ya?" tanya Lira."Aku tak mau tahu Poto itu diambil kapan, yang kumau poto-poto anakku terhapus, apa kamu bisa membantuku?"Digulung emosi aku sampai membentak adik sendiri, beruntung Lira tak membalas gertakanku, ia hanya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada laptopnya.Sebagai seorang ibu tentu hatiku sakit melihat poto-poto Desti tersebar luas apalagi dengan busana tidak pantas, selama ini aku selalu menjaganya, memastikan jika ia baik-
Aku pun meninggalkannya di luar rumah karena masih banyak yang harus kupersiapkan di dalam.Benar saja rambut Dara belum disisir, sedangkan Dita teriak-teriak mencari seragamnya, dan Desti gadis itu sedang makan sambil melamun, insiden penculikan itu benar-benar telah merenggut keceriaannya."Dara, cepat sisir rambutmu ya, Kak Haikal sudah datang itu.""Ya, Ma, bentar ini balesin chat Amina dulu." Aku geleng-geleng kepala, seperti biasa ponsel telah menyibukkan anak-anakku."Dita! Coba cari seragam olahraganya di keranjang, siapa tahu belum di setrika sama Mbak Ani!" teriakku dengan suara memekik."Duuh Mbak Ani gimana sih, kok seragam aku belum disetrika, mau dipake sekarang, Ma, gimana dong?!" teriak Dita yang menyalahkan asisten rumah tangga kami.Aku terpaksa naik ke lantai atas padahal ingin sekali bicara dengan Desti."Sini Mama setrikain, kamu cepetan keringin dulu itu rambutnya." "Gitu dong dari tadi."Aku berdecak kesal, setiap pagi pasti ada saja yang diributkan, kukira se
"Aku sudah bicara dengan Haikal, dia bersedia jadi supir anak-anakmu, Yul," ujar AndreSedikit tak percaya dengan apa yang diucapkannya, karena kulihat Haikal adalah lelaki gagah dan masih muda, bahkan terakhir kudengar ia memiliki pekerjaan."Masa sih dia mau, Dre, bukankah dia memiliki pekerjaan?" tanyaku."Ya dia mau, karena dia tak hanya mendapatkan gaji darimu tapi dariku juga, lalu dia bisa melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda sambil bekerja," jawab Andre."Memangnya anak itu putus kuliah?""Ya, semenjak keadaan ekonomi kakakku melemah, Haikal memilih berhenti kuliah dan membantu orang tuanya mencari nafkah.""Oh begitu, tapi kamu tak perlu ikut-ikutan menggajinya, Dre, aku sanggup kok memberikan gaji yang besar untuknya."Aku merasa tak enak saja pada Andre, sudah mobil ia yang carikan bahkan ia ikut andil dalam pembelian mobil ini, Andre terlalu banyak membantu kehidupanku, sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya."Ga apa-apa, Yul, itung-itung aku bantu dia s
(POV Susan)"Ya makanya dicoba dulu, dan ingat jika dia ke sini kamu harus memelas dan memohon, juga jangan coba-coba memancing amarahnya."Ia berdecak sambil memalingkan wajah, aku tahu ia paling anti kalah dengan mantan istrinya itu, tapi bagaimana lagi saat ini posisi kami memang lemah, tak memiliki jabatan dan juga uang, sementara Mbak Yuli memiliki segalanya, dengan uangnya itu ia bisa membeli nyawa dan hidup seseorang."Aku pulang dulu, Mas, semoga saja Mbak Yuli mau membebaskanmu."Tak ada kata yang terucap darinya sebelum kepergianku.Di depan rumah bercat abu tua ini aku berdiri, rumah minimalis dua lantai itu sudah banyak mengalami perubahan, Mbak Yuli sudah banyak merenovasi bagian-bagian tertentu hingga terlihat nyaman.Mengesampingkan rasa malu aku mengetuk pintu, semoga saja wanita itu masih ada di rumahnya pagi ini.Pintu rumah terbuka nampaklah Mbak Yuli dengan setelan kerjanya, mata kami sempat bersitatap dalam diam beberapa detik."Susan?"Aku mengukir senyum tipis d
(POV SUSAN)"Apa, Dokter? Perempuan lagi?" Dokter Lia itu tersenyum sambil menganggukkan kepala."Iya, Bu, semuanya normal ya, Ibu harus banyak gerak biar persalinannya lancar nanti."Aku tak percaya setelah beberapa kali melakukan USG ternyata benar bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan lagi.Entah bagaimana reaksi Mas Ferdi nanti jika tahu anak yang ia harapkan laki-laki ternyata lahir perempuan lagi."Mau laki-laki atau perempuan yang penting sehat dan selamat, Bu," ujar Dokter Lia.Ia tak mengerti saja bagaimana keadaan rumah tanggaku, aku sangat takut Mas Ferdi tak tahan lalu pergi meninggalkan kami seperti dulu ia meninggalkan Mbak Yuli.Dulu saat si kembar masih kecil aku tak terlalu risau ditinggalkannya, karena aku merasa bisa mandiri, tetapi sekarang aku bergantung seratus persen padanya setelah mengandung anak ini dan tak lagi bekerja di club malam."Apa kamu bilang?! Perempuan lagi, bener ga itu hasilnya jangan-jangan salah lagi kayak yang udah-udah."Benar saja
(PoV Ferdi) Yuli sudah melapor maka lambat laun aku akan dipanggil polisi, sekarang keadaannya sudah berbeda, aku tak bisa menggunakan uang untuk membebaskan diri dari tuduhan seperti beberapa tahun silam.Aku mengacak rambut, kenapa hidup dengan Susan banyak sekali masalah, bahkan di usia pernikahan yang ketujuh masih juga belum mendapatkan kedamaian.*"Yang datang semalam siapa?" tanya Susan saat merapikan baju di kamar."Anak buah Vincen, mereka menghajarku semalam, mereka juga bilang kalau Vincen mecat aku."Susan menghentikan aktivitasnya, dengan mulut menganga ia menatapku."Kok menghajar kamu bukannya hutangmu sudah lunas? Terus sekarang kita gimana kalau kamu dipecat?"Susan memang mengetahui semua rencanaku pada Desti, dan dia mendukungnya, katanya yang penting hutang kami lunas dan beban kami hilang.Tak mudah untuk melakukan hal itu, aku harus melakukan penyelidikan terlebih dahulu agar mudah menyerahkan Desti pada Vincen."Yuli berhasil membawa kabur Desti sebelum anak i
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments