Share

Kucari Jodoh Yang Biasa Saja
Kucari Jodoh Yang Biasa Saja
Penulis: asihmukti62

Bab 1- Dia Datang Lagi

Hidup dengan ibu semua seperti bukan masalah, tidak masalah, semua baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Selalu ada senyum di bibirnya, disertai untaian kata lemah lembut mengalir bak aliran sungai, gemericik tapi menenangkan. Sampai usiaku menginjak 27 tahunpun tak ada yang berubah dari Ibu. Ibu tak pernah berubah, aku lah yang berubah.

 

Senyumnya masih sama, hanya sekarang aku tau, senyum Ibu menyimpan banyak luka. Kilasan masa lalu sering muncul dalam alam pikirku. Dulu Ibu bisa menutupi dariku, tapi sekarang aku mengerti sendiri tanpa beliau memberi tahu. Perlakuan Yangti, Ibu dari Ayahku, yang tak ada manis-manisnya pada Ibu. Atau sikap saudara-saudara Ayah, yang selalu sinis dan merendahkan Ibu. Semua terekam dengan sangat baik di otakku.

 

20 tahun aku merasa hidup tenang. Hidup bersama Ibu, dan adik laki-lakiku. Jauh dari hingar bingar ibu kota. Tak ada rumah mewah, atau fasilitas mewah lainnya, kami hidup sederhana tapi bahagia. Tak ada kata-kata kasar yang masuk di telinga kami. Hanya alunan kata-kata Ibu yang selalu setia menyapa gendang telinga kami.

 

Entah apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu, karena setelah itu aku hidup hanya dengan ibu. Yang kutahu adalah, dulu kami diusir, namun tak pernah tahu apa masalahnya, karena sepertinya Ibu juga tak pernah berniat memberi tahu. Yang kutahu hanya akhirnya kami pergi, meninggalkan ibu kota, dan menetap di Kota Wali, kabupaten kecil di timur Semarang. Hidup berdua, memulai lembaran baru tanpa ayah dan keluarga kayanya. 

 

Awal menetap di Kudus, ibu langsung bekerja di konveksi temannya. Ibu mengontrak rumah kecil untuk kami tempati. Setiap pagi ibu mengambil jahitan, lalu dijahit di rumah menggunakan mesin pinjaman dari Tante Rini teman Ibu. Allah maha baik, karena ditengah kesulitan, kami dipertemukan dengan orang-orang baik, yang dengan suka rela meringankan beban ibu saat itu. 

 

Tiga bulan menetap di Kudus, ibu diketahui hamil. Usia kandungannya sudah menginjak empat bulan saat itu. Cibiran mulai berdatangan, hamil tanpa suami kata mereka. Namun lambat laun cibiran-cibiran itu berhenti, dan berganti simpati. Dan dari gosip tetangga itulah aku tahu ibuku diusir oleh mertuanya, orang yang biasa kupanggil yangti.  Tante Rini lah yang menjelaskan pada mereka, meskipun aku yakin ibu tak pernah minta. Karena seingatku Tante Rini sering gemas pada ibu karena hanya diam ketika jadi bahan gosip.

 

Tante Rini adalah teman SMA ibu, teman rasa saudara lebih tepatnya. Entah apa yang terjadi dengan kami jika tidak bertemu Tante Rini. Ibu pergi tanpa membawa apa-apa, Tante Rinilah yang mencarikan kontrakan, memberi lapangan pekerjaan buat ibu, bahkan ikut menyokong kehidupan kami sehari-hari. Aku masih ingat sekali, setiap kali Tante Rini ke rumah tak sekalipun Tante Rini datang dengan tangan kosong, dari kebutuhan dapur sampai jajan untukku selalu ditentengnya. 

 

Pekerjaan yang diberikan Tante Rini lambat laun merubah kondisi ekonomi keluarga kecil kami. Apalagi ibu cukup lincah dalam usaha, dari yang awalnya hanya menerima jahitan dengan upah yang tak seberapa, akhirnya ibu bisa mendirikan konveksi sendiri, tentu tetap ada peran Tante Rini disitu.

 

Melihat ibu yang pontang panting bekerja siang malam, membuatku semangat belajar. Usahaku membuahkan hasil, dari SMP beasiswa selalu di tangan sehingga dapat meringankan beban Ibu. Saat kuliah pun aku sengaja mengambil yang ikatan dinas, supaya tamat kuliah bisa langsung kerja tentunya. Dan akhirnya aku sekarang menjadi PNS di Pemprov Jawa Tengah. Sementara adikku pun berpikir sama, sekarang adikku sedang mengikuti pendidikan di Akmil. Hanya kebahagian ibu tujuan kami saat ini. 

 

Kumatikan leptopku, waktu pulang telah tiba. Hari ini hari Jumat saatnya aku pulang ke Kudus. 

 

" Mudik, Wid?" tanya Mba Mira teman sekantorku. Mba Mira seorang ibu dengan dua anak. Usianya hampir 40 tahun, tapi gayanya masih dua puluhan.

 

"Iya Mba Mir, kangen ibu," jawabku sambil memasukan leptop ke dalam tas punggungku.

 

"Kenapa ibumu nggak kamu ajak tinggal di sini aja to, Wid?"

 

"Sudah pernah tak ajak Mba, nggak mau orangnya."

 

"Ya sudah lah, senyamannya ibumu aja ya, Wid?" kata Mba Mira sambil menyamai langkahku yang mulai beranjak keluar ruangan.

 

"Pulang Kudus, Beb?" tanya Mas Dika salah satu taman kantor yang sering modus padaku.

 

"Iya Mas, biasa."

 

"Abang anterin ya Beb?" Entah kelilipan apa Mas Dika bicara sambil mengedip-kedipkan matanya.

 

"Koe kelilipen, Dik?" tanya Mba Mira usil.

 

"Yuuuu yuuu ora pengerten sampean, namanya juga usaha, Yuuu."

 

"Eh yang ada Widuri geli kali Dik, lihat kelakuanmu kaya pria setengah mateng gitu."

 

"Asem Mba Mira loooh," protes Mas Dika.

 

"Ojo gelem karo sing model ngene, Wid! Aku kok sangsi sih kualitasnya." Mba Mira masih menggoda Mas Dika. 

 

"Eeits jangan salah Mba, apa maksudnya meragukan kualitasku? Mau reyen opo piye? Tes drive gitu?"

 

"Halah emoh," cibir Mba Mira.

 

"Atau kamu beb, mau tes drive?"

 

"Gundulmu!" kata Mba Mira sambil menoyor kepala Mas Dika. Aku hanya senyum-senyum saja melihat kelakuan dua rekan kerjaku itu.

 

Tanpa terasa kami telah sampai di parkiran kantor. Kuambil helm yang teronggok di atas spion motor. Mbak Mira dan Mas Dika masih setia menemaniku. Mobil Mas Dika memang terparkir tak jauh dari motorku, sementara Mbak Mira masih menunggu jemputan sepertinya.

 

"Hati-hati jangan ngebut-ngebut!" pesan Mba Mira saat aku sedang mengenakan helm.

 

"Siiiaaap." Kuacungkan ibu jariku ke arahnya. 

 

Naik motor Semarang-Kudus adalah rutinitasku seminggu sekali. Meskipun lelah tapi kucoba menikmatinya. Pulang ke rumah ketemu Ibu menjadi penyemangatku 

 

"Salam buat Ibu ya, Beb, dari calon mantu ngono!" kata Mas Dika, yang hanya kujawab dengan senyuman saja. Sementara Mba Mira tampak mencibir mendengar ucapan Mas Dika. 

 

Mba Mira sudah seperti saudara bagiku. Dia selalu ada saat senang maupun susah. Kisah hidupku Mba Mira tau semua. Ada banyak hal yang bisa aku bicarakan dengan Mba Mira, tapi tidak bisa aku bicarakan dengan Ibu. Bukan karena aku tak sayang ibu, tapi karena takut membuatnya sedih. 

 

Di jalan kusempatkan mampir ke salah satu toko yang menjual lumpia, jajanan khas Semarang favorit ibuku. Sudah terbayang binar mata ibu setiap kali kubawakan makanan kesukaannya itu.

 

Selesai membeli satu besek lumpia, segera kuarahkan motorku untuk pulang. 

 

*****

 

Menjelang adan Maghrib aku sampai di rumah. Tampak ibu menyambut di teras rumah. Masih ada beberapa pekerja ibu di rumah. Ibuku sekarang membuka konveksi sendiri, beliau memproduksi tas buat hantaran. Ada sekitar 10 orang yang setiap hari datang ke rumah untuk menjahit dan mengepak pesana tas. Hal ini juga yang cukup menenangkanku, paling tidak ibu tidak terlalu kesepian. 

 

"Perjalanan lancar, Nduk?" tanya Ibu sambil menyabut uluran tanganku. 

 

"Alhamdulillah lancar, Bu." kulirik sepasang sepatu pria yang terletak di depan teras. Nggak mungkin sepatu salah satu pekerja ibu, karena aku tau merek sepatu itu tidak semua orang sanggup beli, lagian pekerja ibu tidak ada yang laki-laki, semuanya wanita. 

 

Ibu merangkulku masuk ke dalam rumah. Entah aku merasa ada yang yang beda dengan rangkulan ibu saat ini, seperti sedang menyalurkan kekuatan padaku. Saat memasuki ruang tamu, pandanganku langsung tertuju pada sesosok pria yang sedang duduk di sofa. Seorang pria duplikat Toya adik laki-lakiku. Tanpa ibu kenalkan pun aku langsung mengenalinya, laki-laki yang ku panggil ayah dua puluh tahun yang lalu. 

 

Laki-laki itu berdiri tapi tak berusaha untuk mendekat. Akupun sama, kakiku seolah terpaku ke bumi, tak bisa digerakkan. Hanya sayup-sayup ku dengar dia menyebut namaku. Dua puluh tahun ternyata dia masih ingat namaku, dan aku tidak tahu harus senang atau sedih, semua terasa buram.

 

****

 

Setelah salat maghrib kami bertiga duduk bersama di sofa ruang tamu. Kami salat berjamaah, ayah lah yang mengimami, ada rasa tak rela menjadi makmum di belakang ayah, egoku begitu tinggi jika berdekatan dengannya. Namun usapan tangan ibu di rambutku meluruhkan sedikit egoku. 

 

Lama tak ada yang memulai obrolan. Ku palingkan pandangan ini, tak berniat untuk menatap laki-laki yang telah membuatku hadir di dunia ini. Tangan kanan ibu masih setia menggengam tanganku, dan tangan kirinya merangkul pinggangku dari belakang. Ibu seolah sedang menyalurkan kekuatannya kepadaku.

 

"Widuri." Lirih kudengar dia menyebut namaku, namun aku tetap tak bergeming tak berniat menyapanya balik. 

 

"Maafkan ayah, Nak!" Akhirnya Ayah bersuara, terdengar suaranya bergetar.

 

Tangan Ibu selalu otomatis mengelus-elus punggungku setiap kali Ayah bicara. Mungkin Ibu takut kalau aku terbawa emosi. Lidahku kelu, banyak yang ingin ku tanyakan, tapi tak sepatah katapun keluar dari bibirku. 

 

"Kenapa kesini?" Kutatap wajah Ayahku, masih gagah hanya wajahnya yang mulai berhias kerutan. 

 

"Ayah..." 

 

"Mengapa Ayah masih berani menemui kami, padahal dulu membiarkan kami terusir?" kupotong ucapan Ayah. 

 

"Naaak, Ay..."

 

"Ayah tidak mencari kami, apa Ayah tau kami hidup susah? Buat makan aja sulit, rumah aja nggak punya, harus ngontrak-ngontrak, Ayah kemana aja saat itu?"

 

"Maafkan Ayah!" Ayahku tergugu, air mata perlahan menetes di pipinya.

 

"Lalu buat apa sekarang Ayah di sini? Bukankah Ayah sudah bahagia dengan keluarga Ayah? Kami juga sudah terbiasa hidup tanpa Ayah."

 

"Naaak." Kali ini suara Ibu yang terdengar. Aku hampir lupa jika ada Ibu disampingku, yang masih setia mengelus-elus punggungku. Hanya saja kali ini air matanya turut urun peran.

 

"Ibu yang meninggalkan Ayahmu, Nduuuk." Isakan Ibu perlahan meredakan amarahku.

 

"Ibu yang selama ini sembunyi, maafkan Ibu telah memisahkan kalian." 

 

Aku hanya terdiam melihat Ibu yang masih menangis. Sebegitu cintanyakah Ibu sehingga masih saja membela laki-laki yang telah membuatnya sengsara. Ayahku pun sama, air matanya semakin deras menganak sungai. 

 

"Widuri tau seperti apa dulu, Bu." setelah terdiam saja akhirnya kubuka suara.

 

"Perlakuan mereka pada Ibu, Ibu seperti pembantu di sana. Setiap hari Ibu menyembunyikan tangisnya, Widuri waktu itu masih kecil aja tau kalau Ibu habis nangis. Masa Ayah nggak tau? Ibu juga, kenapa masih menutup-nutupi?"

 

"Nduuuk..."

 

"Mereka membuat Ibu menangis setiap hari, menghina Ibu, Ibu selalu salah di mata mereka , dulu Ibu bisa bohong, sekarang Widuri tahu Bu, tanpa Ibu kasih tahu juga Widuri mengerti, jadi tolong tidak usah menutup-nutupi lagi!"

 

"Sayaaag ibu...." ibu masih berusaha memotong omonganku. 

 

"Ayah kemana saat itu, kenapa tidak membela Ibu waktu Ibu dihina? Dimana Ayah saat Ibu disuruh ini itu, seperti pembantu? Kenapa Ayah biarkan Ibu menderita sendirian?" 

 

"Cah ayuuu, Ayahmu nggak salah naak..." 

 

"Terus saja Ibu membelanya!" 

 

"Bukan begitu naaak..." 

 

"Apa tidak cukup kita bertiga saja bu, aku merasa selama ini tidak ada yang kurang meski hidup tanpa Ayah." 

 

"Maafkan Ayah, Naaak..." Suara ayah kembali lirih terdengar. 

 

Sejenak kami terdiam, tak ada yang berusaha mengeluarkan suara. Aku pun sedang berusaha menekan amarahku. Melihat Ibu begitu sedih aku jadi merasa bersalah. 

 

Beberapa saat kemudian Ibu membuka keheningan di antara kami." Ibu yang memutuskan pergi, Nduk." aku hanya diam tak lagi berusaha menyanggah Ibu. 

 

"Ibu tidak ingin membuat Ayahmu menjadi anak durhaka. Bukan Ayahmu tak tau Ibu sering menangis, tapi ibu sendiri yang meminta ayahmu untuk bersabar," ucapnya mencoba meyakinkanku. 

 

"Ibu yang salah, karena akhirnya Ibu yang menyerah memilih pergi." 

 

Untaian masa lalu terus keluar dari bibir Ibu. Aku sedikit memahami posisi Ayahku. Hanya aku masih tetap tidak terima dengan perlakuan keluarga Ayah pada Ibuku. 

 

"Bertahun-tahun Ayah mencari kalian, Ayah hancur ketika pulang ke rumah kalian tidak ada." kenang Ayah. 

 

Kudengarkan dengan seksama, kisah masa lalu fersi ayah. Tak sekalipun kucoba membantahnya. Mendengar cerita Ayah sedikit banyak mengikis amarah di hatiku. Ternyata Ayah juga korban disini. 

 

Ibu akhirnya berhasil membuatku dan ayah berpelukan. Perasaan sakitku pada Ayah yang bertahun-tahun bercokol di hatiku bukannya hilang tak berbekas, tapi perlahan rasa rindu dan sayang mulai kembali bertahta disana, mengikis amarah yang selama ini terpedam.

 

Kami akhirnya makan bersama. Menu sederhana masakan ibuku tersaji di meja makan. Oseng tempe teri lombok ijo, sayur sop, ayam goreng, dan sambel benar-benar menggugah selera. Mungkin rindu yang terobati, ayah makan dengan begitu lahapnya. Ibu pun sigap mengambilkan nasi dan lauk saat melihat piring ayah hampir kosong. Melihat interaksi ayah dan ibu yang tak kaku meski berpisah puluhan tahun, ada rasa bahagia muncul di sanubariku. Aku hanya berharap ini awal kebahagiaan, bukan sekedar selingan hidup yang mampir sebentar lalu pergi lagi. 

 

Sedikit obrolan di meja makan, membuatku mengetahui, jika selama ini ibu dan ayah tak pernah bercerai. Pantas saja ibu tak mau menikah lagi. Bukan ku tak tahu, dari dulu banyak laki-laki yang mendekati ibu, tapi ibu seolah membentengi diri. Merekapun mundur teratur ketika ibu tak juga membuka diri untuk mereka. 

 

"Naaak, kenapa makanmu sedikit sekali, diet?" tanya ayah melihat isi piringku yang tak seberapa tapi tak habis-habis.

 

 

"Widuri kenyang lihat ayah makan," jawabku sekenanya. 

 

Ayah tergelak hingga tersedak, ibu langsung mengambilkan air putih dan menepuk-nepuk punggung ayah. 

 

"Makanya kalau lagi makan jangan sambil ngobrol, telan dulu," kata ibu masih sambil menepuk punggung ayah. 

 

Interaksi ayah dan ibu tak luput dari pandanganku. Ibu benar-benar bahagia, ternyata hanya ayah yang bisa membuat binar mata ibu kembali terlihat. 

 

Andai Toya adikku ada disini lengkaplah sudah kebahagian kami. Aku tak tahu apa yang ada di depan nanti, kunikmati saja apa yang terjadi hari ini. 

 

Setelah selasai makan, ayah duduk di depan TV. Ku cuci piring bekas makan kami. Selesai berberes di dapur, kupotong buah apel untuk dibawa ke ruang keluarga. Ayah dan ibu duduk berdampingan, tak ada kecanggungan diantara mereka. Mereka seperti muda-mudi yang sedang kasmaran nempel terus kaya perangko. Saat aku datang ibu terlihat sedikit bergeser memberi jarak. Namun ternyata ayah tak rela, ditariknya kembali ibu mendekat. Aku hanya tersenyum sinis melihatnya. Benar-benar tah tahu malu Ayahku ini.

 

Kami kembali ngobrol sambil menikmati buah apel yang telah kupotong-potong. Basa-basi kutanyakan kabar keluarga ayah di Jakarta. Sampai akhirnya kutanyakan hal yang selama ini menjadi ganjalan di hatiku. Aku ingin kali ini semua terang benderang, sehingga tidak lagi ada prasangka. 

 

"Mengapa dulu ayah menikah lagi dengan Tante Vina?" 

 

Ayah memang memiliki dua istri, Ibuku istri pertama, dan Tante Vina istri keduanya. Meskipun sama-sama menantu tapi beda nasib. Jika Ibu jadi menantu yang teraniaya, maka Tante Vina adalah menantu kesayangan. Ayah dengan Tante Vina dikaruniai dua orang anak, Elvira dan Aldo. 

 

Mendengar pertanyaanku ibu hanya terdiam, sementara ayah tampak beberapa kali menarik napas panjang. 

 

"Supaya ayah boleh menikah dengan ibumu, maka ayah harus bersedia menikah dengan Tante Vina." akhirnya ayah membuka suaranya. 

 

"Ayah pikir saat itu yang penting ayah dan ibu bersatu, toh cinta ayah hanya untuk ibumu. Tapi ternyata itu tak cukup, ayah hanya menabur luka di hati ibumu. Kalau akan seperti ini jadinya, ayah lebih baik kawin lari saja saat itu." 

 

"Kenapa tidak? Kenapa tidak kawin lari saja?" ayah terdiam. 

 

"Ibu yang tidak mau." ibu yang menjawab pertanyaanku. "Ibu tidak mau ayahmu menjadi anak durhaka." sambung ibu. 

 

"Dua puluh tahun lebih, kenapa ayah baru datang?" 

 

"Ayah benar-benar tidak tahu kalian di mana."

 

"Kok sekarang bisa ketemu?" entah mengapa rasa penasaranku terus bersambung tak ada habisnya. 

 

"Yangtimu yang memberi tahu." 

 

"Yangti tahu kami menetap di Kudus?" ayah mengangguk menjawab pertanyaanku. 

 

"Yangti akan memberi tahu keberadaan kalian, jika Ayah bersedia membawa kalian kembali." 

 

"Yangti minta kami kembali?? Ada apa?" 

 

"Toya sekarang menjadi cucu laki-laki satu-satunya menyandang nama Sudarmo." Apel yang sekiranya meluncur ke mulutku, urung kumakan, terlalu terkejut mendengar penjelas ayah. 

 

Yangti memiliki tiga anak, Ayahku dan dua adiknya, Tante Cyntia dan Tante Celia. Tante Cyntia memiliki seorang anak perempuan bernama Selina, sementara Tante Celia memiliki seorang dua anak, Refan dan Yasmin. Meskipun Tante Celia memiliki anak laki-laki tapi Refan menyandang nama Prasetyo ikut nama ayahnya. Bagi keluarga Yangti yang memang masih ada keturunan Tionghoa, cucu laki-laki dalam memang sangat berarti. 

 

"Kemana Aldo?" 

 

"Aldo bukan anak kandung Ayah," jawab Ayah lirih. Kenapa keluarga ayah harus selalu sedrama ini. 

 

"Kenapa yangti yakin kalau Toya darah daging ayah?" tanyaku yang langsung mendapat tatapan terkejut dari ibuku

 

"Yangti sudah punya tes DNA Toya, 98,9% cocok." Orang kaya memang bisa berbuat seenaknya. 

 

"Ayah ingin membawa kalian ke Jakarta, bekumpul lagi hanya ada ibumu kali ini." Kata ayah sambil melirik ibu. 

 

"Aku tidak mau kembali ke rumah itu, aku juga nggak mau ibu kembali kesana" jawabku,aku benat-benar tidak ingin bertemu dengan Yangti dan keluarga ayah yang lain. 

 

"Yangti akan kembali memisahkan ayah dan ibu jika kalian tidak ikut ke Jakarta." 

 

Apa lagi ini??

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status