Share

Bab 2 - Ayah Bucin

Apa yang layak untuk menggambarkan sosok Ibuku, Miranti Rahayu. Wanita yang tak hanya cantik wajah tapi juga cantik hatinya. Selama dua puluh tujuh tahun usiaku, tak sekalipun Ibu pernah berkata kasar, apa lagi berbuat kasar padaku. Pun dalam pergaulan dengan lingkungan sekitar, Ibu bukan tipe yang suka bergibah, membicarakan kejelekan orang lain. Sesekali ketika ada yang mengajaknya bergibah, beliau lebih sering diam, atau menghindar.

 

Kemunculan Ayah di rumah kami pun tak luput dari gibah tetanggaku. 

 

"Ibu nggak berniat menjelaskan pada mereka." 

 

Jujur aku mulai risih dengan pergunjingan tetangga. Ibu hanya tersenyum sambil terus mengaduk santan yang baru saja dimasukannya ke dalam wajan. 

 

"Hadeeeh ditanya malah senyum doang, mentang-mentang lagi kasmaran." 

 

"Biarkan saja nanti juga diam sendiri, kamu kaya nggak tau mereka saja." Akhirnya Ibu bersuara. 

 

"Tapi kan risih Bu, tadi Widuri dengar sendiri , mereka mengira ibu kumpul kebo sama mantan suami, mana ghibahnya keras banget lagi," protesku. 

 

Asli emosiku hampir tak terbendung, mendengar bagaimana mereka menjelek-jelekan Ibu. Yaaah bolehlah, mungkin mereka mengira tidak ada orang di rumah, karena Ayah ikut Ibu pergi belanja ke pasar, tapi membicarakan orang yang selama ini baik dengan mereka, sementara yang dibicarakan fitnah semua, bagaimana aku nggak mendidih. Mereka tidak tau saja kalau aku jongkok di balik tembok sedang nguping sambil temu kangen dengan bunga-bungaku. 

 

"Ibu dan ayah sudah lapor ke pak RT, bawa surat nikah juga. Biar nanti pak RT yang menjelaskan ke mereka," jawab ibu tanpa melihatku. 

 

"Tetep aja kesel, Bu! Tadi aku sudah mau keluar sebenernya, mau mereka apa sih? Kurang apa baiknya ibu sama mereka? Masih aja dinyinyiri di belakang."

 

"Sudah! Nanti kalau mereka tahu yang sebenarnya juga baik lagi."

 

Ibu selelu begitu, nggak asik kalau diajak bersekutu dalam huru-hara, positife vibes

banget bawaannyaan. 

 

"Ayah ke sini naik apa bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

 

"Kenapa tidak kamu tanyakan sendiri, Nduk."

 

Kuputar kedua bola mataku. Entahlah, aku merasa masih canggung dengan Ayah. Bingung saja mau memulai obrolan.

 

Sejenak ibu menghentikan kegiatan masaknya. "Ajaklah bicara Ayahmu, Nduuk. Yang terluka disini tidak hanya kita, dua puluh tahun dia menyimpan lukanya sendiri." 

 

"Dimana Ayah sekarang?" tanyaku, karena setelah pulang dari pasar ayah tak terlihat. 

 

"Tadi diajak ngobrol Pak Ratno." Pak Ratno adalah tetangga samping rumah yang seorang polisi. 

 

"Halo sayang." Memang panjang umur baru dibicarakan orangnya langsung muncul. 

 

"Masak apa, Bu." Ayah mendekat ke arah Ibu, setelah sebelumnya mencium puncak kepalaku. 

 

"Masak garang asem, Yah." 

 

"Ayam yang tadi kita beli di pasar kan ini?"Ibu hanya mengangguk sambil terus sibuk dengan masakannya. 

 

"Ini tadi ayah yang belanja loh, Wid," kata ayah antusias, "Ibumu belanja lama banget, kebanyakan nawar."

 

"Belanja di pasar memang harus nawar, ini ayam harusnya seratus dua puluh ribu juga dikasih." Elaah Ibuku sedang merajuk. 

 

"Lima belas ribu doang, Yang." Astaga sayang-sayangan kaya ABG aja. 

 

"Lima belas ribu lumayan loh Yah, beli bawang dapat setengah kilo, kangkung malah dapat 10 iket." Ibuku masih juga merajuk, manis banget. 

 

"Yasalam masih belum ikhlas juga? Tau nggak Wid? Sepanjang jalan Ibumu marah-marah gara-gara ayah nggak mau nawar." ayah tertawa, sementara ibu cemberut. 

 

Melihat interaksi ayah dan ibu membuat dadaku penuh, antara bahagia dan ingin menangis. Sedari tadi kusibukan diri membereskan peralatan dapur yang kotor, sambil memantau interaksi kedua orangtuaku. Tak ada kecanggungan di antar mereka. Semua terasa alami, hanya aku yang masih belum terbiasa.

 

"Lumayan tau, kamu sih belum pernah merasakan hidup nggak punya uang," gerutu ibu. 

 

Tiba-tiba suasana menjadi hening. Raut muka Ayah tiba-tiba mendung. 

 

"Maaf!" ucap Ayah lirih. "Maaf ayah tidak disamping kalian saat kalian hidup dalam kesusahan." Ibu yang sebelumnya memunggungi kami karena sedang mengiris tempe, berbalik lalu mendekat ke arah Ayah. 

 

"Yah, jangan begitu! Ibu nggak apa-apa kok." 

 

"Harusnya Ayah datang lebih cepat, kalian pasti mengalami banyak kesulitan." Mata Ayah mulai berkaca-kaca. 

 

"Ayah kan lihat kami baik-baik saja, berhenti menyalahkan diri sendiri." Ayah menarik Ibu ke dalam pelukannya, air matanya seolah enggan berhenti mengalir, sehingga menular pada Ibu.

 

Melihat pemandangan di depanku, pertahananku pun jebol, air mataku pun tumpah ruah tak tertahankan. Dan akhirnya aku ikut bergabung dalam pelukan mereka. Ikut menyelami rasa yang mereka rasakan antara sedih dan bahagia. 

 

Moment sedih tiba-tiba terganggu dengan bau gosong. Wajan yang sedang digunakan untuk menggoreng pisang sudah mulai berasap, buru-buru ku matikan kompor. Jangan tanya bagaimana nasib pisang gorengnya, sudah barang tentu tak terselamatkan, warna sudah menghitam karena gosong. 

 

Setelah menangis bersama, kali ini kami tertawa bersama. Begitulah hidup tangis dan tawa datang silih berganti, manusia hanya lakon yang mengambil perannya masing-masing. 

 

"Yaaaah nggak jadi makan pisang goreng, Mas." kata ibu. 

 

"Apa tadi?" tanya ayah. 

 

"Apa?" Ibu menaikan alisnya, bingung dengan pertanyaan Ayah. 

 

"Kamu panggil aku apa tadi?" 

 

"Panggil apa? Mas?" Ayah menjawab dengan menganggukan kepala sambil tersenyum dengan binar mata lucu. 

 

"Lama sekali aku merindukan panggilan itu, kamu panggil mas saja Yang, biar Widuri dan Toya yang memanggilku Ayah," ucap ayah sambil memeluk Ibu dari belakang. 

 

"Aku di sini loh ya, kalau lupa." sindirku melihat Ayah dan Ibu yang tak sungkan bermesraan di depanku.

 

"Kamu pengin punya adik lagi nggak, Mbak?" aku yang sedang membungkus garang asem dengan daun pisang hanya bisa melongo mendengar pertanyaan Ayah. Sementara Ibu langsung terbatuk-batuk membuat ayah buru-buru mengambilkannya air putih. 

 

"Kenapa sih, Yang?" tanya Ayah tanpa dosa telah melontarkan pertanyaan yang membuat kami shock

 

"Jangan panggil yang, Mas!" ucap Ibu disela batuknya. "Malu, kayak ABG yang yangan," lanjut Ibu. 

 

"Kenapa? Dulu juga Mas panggil sayang, kamu nggak apa-apa." Ayah masih ngeyel. 

 

"Itu kan dulu, sekarang kita sudah tua, malu. Apa kata tetangga nanti kalau dengar." 

 

"Iyaa iyaa, tapi program adiknya Toya tetap jalan ya? Terus kalau berdua saja panggil sayang nggak papa ya," tawar Ayah sambil memainkan alisnya.

 

Kenapa Ibu bisa cinta mati dengan laki-laki model kaya gini. Aku tersenyum geli melihat kelakuan Ayah yang tak henti menggoda Ibu.Sementara Ibu spontan memukulkan sodet kayu yang dipegangnya ke bahu ayah.

 

"Sakit Yang, kejam banget kamu," kata ayah sambil mengusap-usap bahu yang kena pukul Ibu. 

 

"Tidak tahu umur, aku sudah hampir lima puluh tahun masa mau hamil lagi." Roman picisan kembali tayang ini. 

 

"Masa sih Yang, kaya masih dua puluhan," goda Ayah lagi.

 

"Yang yeng yang yeng dibilangi juga, jangan panggil yang, Maaaaas." Ibu kembali melayangkan protesnya. 

 

"Kan nggak ada siap-siapa, Yang."

 

"Widuri kamu anggap apa? Galon?" Astaga Ibu analoginya, masa aku disamakan dengan galon. 

 

"Widuri kan anak kita, buah cinta kita bukan orang lain." 

 

"Terserah kamu saja lah, Mas." Ibu mulai pasrah menghadapi Ayah. 

 

"Jadi nggak papa ya panggil sayang? Program adiknya Toya gimana? Di ACC juga nggak?" 

 

"Yasalam Maaas, nggak selesai-selesai Ibu masaknya kalau dinganggu terus." Tampaknya ibu benar-benar mulai putus asa menghadapi keabsurdan ayah. 

 

"Wid kamu ajak ke depan Ayahmu! Biar Ibu yang selesaikan masaknya." 

 

"Loh, Mas kan mau bantu, Yang," tolak ayah. 

 

"Nggak nggak nggak! Bisa tahun depan baru selesai, kalau Mas ikut bantu."

 

"Lama amat tahun depan, nanti aku makan apa?" rajuk Ayah bak anak kecil, yang hanya di balas dengan lirikan tajam oleh Ibu. 

 

"Makan kamu aja ya?" bisik Ayah lirih di teling ibu, tapi masih dapat ku dengar, aku pun pura-pura nggak dengar. Kusibukan diriku dengan mencuci peralatan masak sambil bersenandung. 

 

"Aduh Yang sakit." Entah apa lagi yang dipukulkan ibu ke ayah kali ini. 

 

"Wid ajak Ayah ke dapan." Hilang sudah kesabaran ibu, didorongnya tubuh Ayah ke arahku. 

 

Kugandeng lengan Ayah menuju ke teras depan. Kami duduk di kursi teras sambil melihat beberapa tetangga yang lalu lalang di jalan depan rumah. Hari ini ibu meliburkan anak buahnya, mungkin ibu ingin menikmati kebersamaan dengan ayah tanpa ada yang mengganggu. 

 

"Ayah mau teh?" tanyaku memecah keheningan.

 

"Boleh, gulanya satu sendok saja,

Naak!" jawab Ayah. 

 

Ku beranjak ke dalam membuatkan Ayah teh. Tak lama aku kembali lagi ke teras dengan membawa nampat berisi secangkir teh dan sepiring lumpia goreng. 

 

Berdua kami larut dalam obrolan tentang masa lalu yang mulai bisa kuterima. Sosok ayah yang lama ku rindukan kini nyata di depank. Laki-laki yang sempat mematahkan hatiku sedang menikmati lumpia goreng, buah tanganku memarin dari

Semarang. 

 

Semua terasa indah, aku hanya berharap semoga ini bukan sementara. Lalu terbersit permintaan Ayah yang ingin membawa kami kembali ke Jakarta. 

 

Apa keputusanku kali ini? siapkah aku bertemu mereka yang pernah menoreh luka begitu dalam di hidup kami. Atau tetap disini dengan risiko harus kembali berpisah dengan ayah?

 

Dan aku masih saja bimbang. 

 

Bersambung. 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status