Share

Bab 4- Dunia Milik Berdua

Melihat Ayah dan Ibu kembali bersama benar-benar seperti mimpi. Aku bahkan sudah  sempat menganggap Ayahku sudah meninggal. Rasa kecewa dan sakit hati memaksaku untuk melupakan Ayah dan keluarga kayanya. Tapi Tuhan ternyata berkehendak lain, Ayah sekarang ada di tengah kami.

Ayah dan Ibu bak dua sejoli yang baru jatuh cinta. dimana ada Ibu di situ ada Ayah. Terlebih Ayah yang kelihatan sekali bucin  tingkat akut.

Seperti pagi tadi mereka berdua pergi ke pasar. Berhubung letaknya  tidak jauh dari rumah Ayah mengajak Ibu untuk jalan kaki. Ayah bahkan tak sungkan membawakan tas belanjaan Ibu.

Aku bahkan melihat bagaimana tatapan tetangga saat Ayah dan Ibu lewat depan rumah mereka. Jelas sekali kecanggungan di wajah Ibu, tapi tidak bagi Ayah, laki-laki pemilik wajah blasteran Indonesia Jerman itu bahkan tidak sungkan menggandeng tangan Ibu, sementara tangan satunya membawa tas belanjaan. Sesekali Ibu menghempaskan tangan Ayah, namun ia tak perduli, digandengnya lagi tangan wanita yang telah melahirkanku itu, seolah-olah takut belahan jiwanya itu kembali pergi meninggalkannya. Aku yang saat itu sedang menyapu jalan depan rumah ingin tertawa melihat kelakuan Ayah, kalau saja Ibu tidak melotot ke arahku.

"Berasa ngontrak di bumi kita," sindirku saat Ayah dan Ibu memasuki pagar.

"Makanya cari pacar, biar tahu rasanya gandengan, masa kalah sama truk," jawab Ayah membuatku langsung cemberut, tapi tidak sampai masuk ke hati. Aku tahu Ayah hanya sedang menggodaku saja.

"Belanjanya banyak bener?"

"Mumpung ada yang bantu bawa, sekalian saja," jawab Ibu sambil berlalu. "Nanti bantu Ibu masukan sayur ke kulkas, Nduk!" lanjut Ibu sebelum masuk ke rumah.

Dulu saat masih di rumah Yangti, Ibu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, karena meskipun beliau istri pertama, tapi yang biasa diajak kemana-mana bukan Ibu, tapi Tante Vina. Yangti dan Tante Vina akan berkomplot menggagalkan rencana Ayah, ketika Ayah berniat mengajak Ibu keluar. Sesekali Ayah mengajak kami keluar rumah, itupun sembunyi-sembunyi.

Masih tertanam di otakku bagaiman dulu aku sudah bersiap pergi, sudah memakai baju bagus, Ayah bilang mau mengajakku pergi ke mall. Namun, ketika akan berangkat Yangti justru meminta Ayah untuk mengantar beliau dan Tante Vina pergi entah kemana. Selalu seperti yang lalu-lalu Ayah tak mampu menolaknya. Ketika ayah menolak pun Ibu lah yang akan membujuk Ayah untuk menuruti keinginan Yangti.

Terlalu asik ngobrol banyak hal dengan Ayah, tak terasa waktu makan siang tiba. Dari dalam Ibu sudah memanggil kami untuk makan siang. Makan siang kali ini sangat berbeda dari biasanya. Selain karena ada ayah yang menemani kami, jumlah makanan yang terhidang di meja pun beraneka macam. Ibu benar-benar nggak kira-kira masak untuk kami. Piring Ayah bahkan sampai penuh karena banyaknya lauk yang ibu taruh di piringnya.

"Kita cuma bertiga loh Bu, Ibu nggak salah masak sebanyak ini?" Ibu tersenyum sambil sibuk menawari Ayah lauk makannya.

"Cukup Yang, Mas bingung ini mau makan dari mana dulu, lagian sebanyak ini mana habis Mas nanti." Piring Ayah yang menggunung membuatku geleng-geleng kepala, dikiranya Ayah kuli panggul kali, makannya porsi jumbo begitu.

"Pantesan lama, masaknya banyak gini, habisin stok kulkas, Bu?" sindirku sambil mengambil nasi.

"Ini semua kan makanan kesukaan Ayahmu, iya kan Mas?" Ayah otomatis mengangguk, sementara aku mencebikkan bibirku, dasar Ibu bucin.

"Ya makanan kesukaan Ayah, tapi nggak semua dimasak juga kali Bu, yaa ampuuun mentang-mentang lama nggak masakin suami."

Ibu hanya tersenyum mendengar sindiranku, tak lama Ibu beranjak dari kursi namun Ayah segera mencegahnya, "Yang, mau kemana?"

"Ambil jus jeruk Yah, Ibu lupa tadi sudah buat."

"Sini saja dulu, kita makan berdua ya! Mas nggak mungkin habisin ini sendirian." Ibu mengurungkan niatnya mengambil jus jeruk, digeser kursinya mendekat ke arah Ayah. Dan selanjutanya live adegan romantis tersaji di depanku, mereka makan sepiring berdua dan saling suap-suapan. Bener-bener deh, aku merasa jadi air kobokan di sini, tersisihkan.

"Widuri, usiamu bulan depan dua puluh tujuh tahun kan?" tanya Ayah sambil menyuapkan nasi buat ibu.

Kuanggukan kepala, baru sadar kalau sebentar lagi usiaku bertambah. "Iya yah tanggal 14 bulan depan."

"Widuri minta hadiah apa?" Aku terdiam sejenak tidak langsung menjawab pertanyaan Ayah. Sebenarnya selama ini kutak ada yang pernah menarik dengan ulang tahunku, jadi aku sedikit bingung ketika ditanya tentang ulang tahun.

"Nggak usah yah, lagian juga Widuri nggak pernah ngerayain ulang tahun," tolaku halus.

"Nggak bisa begitu, dua puluh tahun ayah tidak pernah memberimu apa-apa, kali ini tidak boleh menolak! Atau Widuri mau ulang tahunnya dirayakan?"

Aku yang sedang minum, tanpa sengaja menyemburkan minumanku, terlalu terkejut mendengar pertanyaan Ayah. Tak terbayangkan aku yang wanita dewasa berusia 27 tahun membuat perayaan ulang tahun. Bagi orang lain mungkin hal biasa tapi bagiku itu terlalu absurd.

"Widuri ulang tahun ke dua puluh tujuh, bukan ulang tahun ke tujuh, Ayah, tidak ada raya-rayaan kaya anak kecil aja," tolakku sambil sedikit tergelak.

"Ok, tidak ada perayaan tapi harus ada hadiah, nanti kamu pikirkan saja mau hadiah apa!" K anggukan saja kepalaku, tanpa berniat membantah Ayah.

"Nduk, kamu sudah memberi keputusan untuk permintaan Ayah kan?" tanya ibu, yang kujawab dengan anggukan.

"Bagaiman tadi keputusannya?" imbuh Ibu

"Widuri setuju kalau Ibu mau kembali dengan Ayah, tapi Widuri tetap di sini, kerjaan Widuri kan di sini jawabku.

Aku benar-benar tak pernah merass se-happy

Andai Toya disini, semua pasti akan lebih mudah, meskipun usianya masih muda, tapi Toya sangat dewasa.

"Toya bagaimana?" lanjutku.

"Toya juga menyerahkan semua ke ibu, sebelum kamu pulang ibu sudah hubungi Toya, ayahmu juga sempet vidio call, alhamdulillah respon Toya tidak seperti yang ayah dan ibumu khawatirkan sebelumnya .

"Bagaimana kalau kemarin Toya dan aku tidak mau menerima ayah, Bu?" tanyaku penasaran.

"Ibu akan bertahan bersama kalian."

"Kenapa? Ibu tidak kasihan dengan ayah? Perjuangannya menemui ibu kan tidak main-main, jadi mata-mata saja hampir satu bulan" ayah tergelak sambil mengelus-elus tangan kiri ibu.

kegiatan makan siang kami yang telah selesai beberapa menit yang lalu, kami lanjutkan dengan ngobrol di meja makan.

"Kalian harta terindah ibu, nggak mungkin ibu mengorbankan kalian."

"Lalu mas bagaimana, Yang?" rajuk ayah membuatku mencebikan mulutku melihat kelakuannya yang terlalu manja, sama sekali tidak cocok dengan tampilannya yang maskulin.

"Ya itu tantangannya Mas, untuk menaklukan Widuri dan Toya." ibu memandang geli tingkah ayah.

"Kamu tega sekali, Yang."

"Lah terus mau ayah bagaiman?"

"Ya kamu nggak boleh nolak aku, kita berjuang bersama-sama untuk meyakinkan anak kita."

"Astaga ayah, apa lagi ini? Kalian kan memang sudah kembali bersama, Widuri dan Toya juga tidak ada masalah, terus apa yang diributkan?" ucapku mulai jengah tapi juga ingin tertawa melihat kelakuan ayah.

"Kan ini pura-puranya, Nak," bela ayah sambil nyengir.

"Ayah bermaksud membawa ibumu ke Jakarta minggu depan, Widuri mengijinkan tidak, kalau bisa Widuri menyusul saat akhir pekan?"

"Terserah ibu saja Yah, bagaimana baiknya menurut ibu, Widuri tidak masalah yang penting ibu bahagia."

"Sambil menunggu ayah menyiapkan rumah, biar nanti kita bisa langsung ke rumah sendiri."

"Jadi bagaimana Widuri bisakan akhir pekan menyusul ke Jakarta, yangti juga pasti ingin ketemu Widuri?"

"Ya Yah, In shaa Allah." ku kabulkan keinginan ayah, meskipun aku tidak terlalu yakin apa Yangti benar kangen padaku.

"Semoga secepatnya kita bisa kumpul bersama." doa ayah yang lalu diamini oleh ibu dan aku. Mengamini doa ayah berarti juga merembet ke pekerjaanku yang tentu juga harus pindah, aku hanya bisa tersenyum miris.

Aku berharap ibu kali ini bisa diterima dengan baik oleh keluarga ayah, aku berjanji akan membawa ibu sejauh-jauhnya kalau mereka kembali menyakiti ibu.

Kurang luar biasa apa kami bisa menerima ayah begitu saja setelah dua puluh tahun dalam bayangan kelam yang diciptakan keluarga ayah, perjuangan Ibu tidaklah mudah, banyak tangis mengiringi.

Tapi entahlah kali aku sangat yakin dengan kesungguhan ayah, paling tidak aku menjadi lebih tenang melepas Ibu kembali ke sisi Ayah.

Inshaa Allah semua akan baik-baik saja, aku hanya bisa memasrahkan semua padaNya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status