Share

Bab 3-Ibu Berhak Bahagia

Teh di gelas Ayah masih setengah cangkir,  sementara 3 biji lumpia di atas piring yang ku hidangkan sudah habis tak tersisa. Belum ada pembicaraan yang serius antara kami. Sesekali Ayah menanyakan nama tetangga yang melintas di depan rumah. 

 

"Ayah mau lagi, lumpianya? Biar Widuri gorengin lagi," tawarku.

 

"Cukup lah Wid, nanti malah kekenyangan, sebentar lagi juga makan siang."

 

Suasana sedikit canggung, mungkin karena aku merasa belum terbiasa dengan kehadiran Ayah di tengah-tengah kami. Kemungkinan Ayah pun sama.

 

"Eeemmm...sejak kapan Ayah tau keberadaan kami?" Untuk memecah kesunyian aku mencoba untuk mulai bicara sesuatu yang lebih pribadi.

 

"Sudah hampir satu bulanan," jawab Ayah sambil menyesap tehnya.

 

"Kok baru muncul sekarang." 

 

"Karena Ayah pengecut." Pandangan ayah menerawang ke atas, "Ayah takut Ibumu tak mau menerima Ayah lagi."

 

"Selama ini Ayah tinggal dimana?" 

 

"Ayah mengontrak rumah Pak Sofian." Pak Sofian adalah tetanggaku yang berprofesi sebagai hakim. Sudah hampir tiga bulan memang rumahnya kosong karena Pak Sofian dipindah tugaskan ke Jogja. 

 

"Dan selama itu Ibu tidak tahu, kalau Ayah tinggal di situ?" tanyaku penasaran, Ayah menggeleng. 

 

"Ayah akan mengintip Ibumu dari balkon saat belanja sayur, atau saat Ibumu ngobrol dengan tetangga di depan rumah." Senyum menghias wajah Ayah saat mengenang kelakuan konyolnya. 

 

"Ayah bahkan tahu jadwal Ibumu ke pasar." 

 

"Dan Ibu tidak menyadari kalau hampir sebulan ada yang jadi stalker-nya?" tanyaku sedikit terkekeh.

 

"Sepertinya tidak, Ayah benar-benar stalker profesional." Ayah tergelak, lalu kembali menyesap tehnya kembali. 

 

Perlahan suasana di antara kami mulai mencair. Ternyata semudah itu aku memaafkannya. Atau sebenarnya selama ini aku merindukan kehadir laki-laki yang mewariskan mata tajamnya pada Toya ini.

 

"Ayah juga mulai bertanya-tanya tentang Ibu pada para ahli gibah di komplek ini." 

 

"Bu Tejo?" Tebakku dan langsung diangguki oleh Ayah. 

 

"Apa saja yang Ayah tanyakan pada Bu Tejo?" 

 

"Banyak, kegiatan Ibumu selama ini, apa ada laki-laki yang mendekati Ibumu, bagaimana Ibumu disini, banyak lah." 

 

"Emang Bu Tejo nggak curiga ditanya-tanya terus?" 

 

"Kan tanyanya pakai startegi, Ayah juga pura-pura tanya tentang tetangga yang lain, jadi Bu Tejo tidak curiga." 

 

"Terus info apa yang Ayah dapat dari Bu Tejo?" 

 

"Banyak, cuma di kasih sogokan sedikit saja, informasinya mengalir deras, sampai-sampai yang nggak Ayah tanyakan aja dikasih tahu." Dasar Bu Tejo.

 

"Emang Ayah nyogok pakai apa?" Kupandang Ayah yang masih saja senyum-senyum sendiri. 

 

"Pernah makanan, pernah tas, pernah kain batik." 

 

"Nggak heran lah, Bu Tejo memang begitu, tapi sebenarnya orangnya baik. Dulu waktu awal-awal Ibu hamil Toya, gosip tentang Ibu yang hamil diluar nikah ramai banget. Tapi Bu Tejo akhirnya yang sibuk klarifikasi ke tetangga yang lain setelah tahu masalah sebenarnya dari Tante Mira. Padahal nggak ada yang minta loh, Yah. Dia kaya punya kewajiban untuk membersihkan nama Ibu. Yangti dan Ayah pernah jadi trending topik di komplek ini, loooh." Ayah tampak beberapa kali menarik napas panjang mendengar ceritaku.

 

"Ayah tahu, bahkan Ayah pernah disumpahi impoten sama Bu Tejo." Ayah meringis miris, sementara aku tak sanggup menahan tawa. 

 

"Jangan bilang kalau Ayah takut kejadian beneran?"

 

"Ya takutlah, bagaimanapun Ayah banyak salah pada kalian, kalau benar kejadian, bagaimana program adik buat kalian nanti." 

 

"Ayah serius ingin program adik buat kami?" 

 

"Serius lah, bahkan dua rius." 

 

"Ibu hampir lima puluh tahun loh yah, resikonya besar kalau punya anak lagi." 

 

"Nah itu, Ayah ingin ngasih kalian adik, tapi Ayah juga nggak mungkin membiarkan Ibumu hamil dengan resiko tinggi." 

 

"Ayah nggak serius dong?" 

 

"Serius, siapa bilang nggak serius? Serius tapi ada syarat dan ketentuan yang berlaku." Ayah ngeles sambil nyengir. 

 

"Kalian berdua sudah lebih dari cukup untuk Ayah." ucapnya sambil mengusap kepalaku. 

 

"Rasanya seperti mimpi, bisa berkumpul dengan kalian lagi, sesuatu yang dulu sudah tidak berani Ayah harapkan. " 

 

"Saat pertama melihat Ibumu lagi, ayah merasa tidak pantas untunya, ternyata Ibumu baik-baik saja tanpa Ayah."

 

"Sejak kapan Ayah akhirnya berani muncul di hadapan Ibu? Bukan pas aku pulang kan?" tanyaku penasaran.

 

"Hampir semingguan, awalnya Ibumu shock ketemu Ayah, dua hari Ibumu tidak mau menemui Ayah."

 

"Kok terus mau? Pakai dukun, ya?" tanyaku sedikit bercanda. 

 

"Ayah nunggu Ibumu sambil hujan-hujanan di depan rumah ini." Senyum kembali hadir di wajah Ayah. 

 

"Serius?" tanyaku tak percaya. 

 

"Serius lah."

 

"Kok kaya sinetron belut terbang, Yah?" 

 

"Memang Ayah meniru sinetron, Wid. Hampir sebulan Ayah nganggur, kegiatannya ya nonton sinetron. Ayah jadi tahu kalau mau minta maaf harus hujan-hujanan seharian di depan rumah." Aku benar-benar tak kuasa menahan tawa mendengar cerita Ayah. 

 

"Dan Ayah benar-benar hujan-hujanan seharian?" tanyaku sambil tertawa. 

 

"Untung Ibumu nggak setega itu, belum satu jam Ayah sudah disuruh masuk, Ibumu terus marah-marah, katanya Ayah malu-maluin." kenang ayah sambil senyum-senyum. Terlihat jelas raut bahagia di wajahnya.

 

"Iya lah, nggak kebayang kaya apa malunya Ibu waktu itu." 

 

"Habis itu Ayah sakit, Ibumu mau jenguk Ayah,dari situ Ibumu mulai mau menerima Ayah lagi."

 

"Kok ibu mau ya jenguk Ayah?" 

 

"Ayah minta tolong Bu Tejo, sebelumnya ayah ceritakan semua kisah Ayah dan Ibumu pada Bu Tejo dan Pak Tejo, Ayah juga tunjukin surat nikah kami." Yah, Pak Tejo adalah RT di lingkungan kami. 

 

"Bu Tejo memang ahlinya meyakinkan orang, kadang gosip yang nggak benar saja kaya beneran kalau yang woro-woro Bu Tejo." Ayah tertawa mendengar fakta tentang Bu Tejo. 

 

"Ayah juga nggak tahu bagaimana cara Bu Tejo meyakinkan Ibumu, karena nggak berselang lama Ibumu datang, bahkan mau merawat Ayah."

 

"Mungkin sudah waktunya Ibu bahagia, Yah." 

 

"Ibumu menyerahkan padamu dan Toya keputusan untuk kembali atau tidak, Naaak." Ayah menatap penuh harap ke arahku. "Sekali lagi Ayah minta maaf! Tidak seharusnya Ayah baru datang sekarang, setelah banyak penderitaan yang kalian alami. Ayah merasa tidak tahu diri sekali.

 

"Widuri sudah memaafkan Ayah. Tapi kalau harus bertemu keluarga Ayah, Widuri belum siap, Yah," jawabku pelan. "Apa tidak bisa kami di sini saja, Yah?" 

 

"Ahli waris laki-laki sangat penting bagi keluarga Sudarmo. Ayah sebenarnya sudah mengikhlaskan semua, tapi Yangtimu yang tidak terima. Dulu saat masih ada Aldo tidak ada masalah, sekarang Toyalah cucu laki-laki satu-satunya." 

 

Kuhembuskan napasku, apa yang harus ku putuskan? Terlalu berat kembali ketengah keluarga yang dari awal memang tidak menginginkan kami. 

 

"Kenapa Ayah tidak bisa memutuskan sendiri? Kenapa harus selalu ada Yangti disetiap keputusan Ayah?" 

 

Sosok Yangti tiba-tiba terbayang di pelupuk mataku. Sosok wanita yang tegas dan memiliki kemauan yang keras. Bagaimana dulu Yangti memperlakukan Ibu masih terpatri kuat di otakku. Tak kubayangkan bagaimana nanti kalau kami dipertemukan kembali.

 

"Karena Yangtimu ibu Ayah, ibu yang melahirkan Ayah, Ibumu juga tidak pernah mengizinkan Ayah melawan Yangtimu. Dulu Ayah selalu menunggu Ibumu meminta Ayah untuk mengajaknya pergi. Ayah rela meninggalkan semuanya asal selalu bersama Ibumu. Tapi sampai detik ini pun Ibumu tak pernah memintanya, bagi Ibumu surga di telapak kaki Ibu. Bagaiman bisa Ayah berpaling dari wanita sebaik Ibumu." Tampak keseriusan di wajah Ayah saat mengatakannya. 

 

"Ayah berjanji kali ini hanya ada Ibumu, tidak ada yang lain."

 

"Ayah sudah berpisah sama Tante Vina?" Ayah menganggukan kepalanya, lalu menarik napas panjang. 

 

"Tolong jangan benci Tante Vina, Naaak, Ayah lah yang salah di sini, Ayah tak pernah bisa adil padanya, kesalahan terbesar Tante Vina adalah mencintai Ayah," ucap Ayah sambil menatap nanar langit-langit teras rumah kami. 

 

"Mungkin dulu Ibumu tidak mendapat kasih sayang dari Yangti dan saudara-saudara Ayah, tapi Ibumu mendapat cinta yang besar dari Ayah. Sesuatu yang sangat diinginkan Tante Vina, dan tak pernah bisa Ayah berikan."

 

"Kenapa ayah menceraikan Tante Vina?" 

 

"Bukan Ayah yang menceraikan Tante Vina, tapi Tante Vina lah yang meminta, dia akhirnya menyerah disaat Ayah mulai belajar menerima keadaan."

 

"Ayah menyesal berpisah dengan Tante Vina?" 

 

"Tidak, bagaimanapun Tante Vina juga layak bahagia, tapi tidak bersama Ayah."

 

"Apa Tante Vina sudah menikah lagi?"

 

"Sudah, dengan ayah kandung Aldo. Sekarang Tante Vina sudah banyak berubah. Apapun yang pernah Tante Vina lakukan dulu, Widuri mau kan mengikhlaskannya?" Kuanggukan kepala, tak ada yang terpaksa memaafkan adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan hati. Toh Ibu juga selalu mengajari kami untuk tidak menyimpan dendam. 

 

"Widuri tidak keberatan kalau Ibu mau ikut Ayah ke Jakarta. Tapi bisa nggak Yah, kalau tinggal di rumah sendiri saja? Jangan di rumah Yangti?" tawarku, entah lah aku masih sedikit takut kalau tinggal serumah dengan Yangti. 

 

"Ayah juga sudah berpikir ke situ, Naaak." Lega rasanya ketika Ayah berpikir serupa denganku. "Ayah harus memastikan kalian nyaman di sana.  Yangti biar jadi urusan Ayah nanti."

 

Aku tak bisa menahan senyum bahagia. "Widuri tidak suka rumah yang besar Yah, rumah yang biasa saja," tawarku lagi.

 

"Apapun untuk kalian." Senyum Ayah semakin lebar, ada kelegaan di sana. 

 

"Tapi Widuri tetap di sini loh Yah, sesekali saja ke Jakarta, pekerjaan Widuri kan di sini." Ayah sedikit memicingkan matanya ke arahku. 

 

"Widuri tidak bisa pindah saja ke Jakarta?" tawar Ayah sedikit memohon. "Kita sudah berpisah terlalu lama, Ayah ingin berkumpul dengan kalian."

 

"Ribet ngurusnya Yah, untuk Toya biar nanti dia memutuskan sendiri ya, Yah." 

 

"Ya sudah, ini dibicarakan lain kali saja, kemarin Ayah sudah sempat bertukar kabar lewat telpon dengan Toya, Ayah sangat bersyukur karena dikaruniai anak-anak yang baik-baik seperti kalian." Kembali Ayah mengusap kepalaku sambil tersenyum. 

 

Aku berharap keputusan ini, keputusan yang terbaik bagi kami, khususnya untuk ibuku. Ibu berhak bahagia.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status