Share

Bab5-Yang Biasa Saja

Kupuaskan dua hari ini libur di rumah dengan tidak kemana-mana, benar-benar di rumah saja, menikmati kebersamaan dengan Ayah dan Ibu. Banyak kegiatan yang kami lakukan, dari beberes rumah, mengurus bunga, atau mencoba menu baru. 

Di setiap kegiatan kami Ayah tanpa sungkan ikut membantu, meskipun ada beberapa bantuannya  yang bukannya meringankan tapi malah mengacaukan kata ibu. Tak jarang Ibu ngomel-ngomel karena Ayah hanya menambah pekerjaan saja.

"Udah lah, duduk saja kamu, Mas! Nggak selesai-selesai kalau begini caranya," protes Ibu saat melihat Ayah salah menyiram bunga anggrek koleksinya.

"Aduh maaf. Emang anggrek nggak boleh disiram apa gimana? Mas nggak tahu." Ayah mencoba membela diri.

"Bukannya nggak boleh disiram, Yah. Tapi nggak boleh berlebihan airnya nanti bisa busuk." Aku mencoba menerangkan pada Ayah.

"Astaghfirullah, maaf ya, yang! Nanti deh Mas belikan bunga anggrek. Mau yang macam apa, tinggal pilih aja."

"Bukan masalah belinya, Mas. Kalau beli sih gapang, yang penting ada duitnya." Ibu masih saja ngomel-ngomel.

Melihat Ibu mengomeli Ayah tidak membuat hatiku sedih, tapi membuat dadaku rasanya penuh dengan kebahagiaan, sampai-sampai mataku berka-kaca tapi senyum juga setia bertahan di bibirku. Ayah pun tak berhenti menggoda Ibu, tiap kali wanita pemilik rambut hitam panjang itu ngomel karena sang suami membuat kekacauan.

Diam-diam kufoto setiap kegiatan mereka berdua, saat ayah membantu membersihkan ikan yang baru dibeli dari pasar, lagaknya yang seperti chaf profesional, tapi membersihkan ikan saja membuat dapur kacau balau seperti kapal pecah, atau saat ayah belepotan tepung membantu ibu membuat kue, ada juga saat ibu cemberut karena ayah masuk kerumah tanpa cuci kaki dulu, membuat lantai kotor mencetak jejak kaki ayah, yang memang habis membantu ibu menanam bunga, ayah pun dihukum untuk mengepel ulang lantai rumah oleh ibu. Tak lupa setiap moment yang ku jepret, ku kirim ke Toya supaya dia ikut merasakan keseruan kami. 

Entahlah, ku lihat ayah seperti sedang maraton mengganti waktu yang banyak hilang bersama ibu. Apapun yang diminta ibu tak sekalipun ayah membantah, meskipun selalu nurut, namun memang selalu ada saja cara ayah untuk menggoda ibu, sesekali aku tak bisa menahan tawa melihat kelakuan ayah.

"Ibu kok bisa jatuh cinta sama ayah?" Ibu tak segera menjawab pertanyaanku, sambil mengulum senyum, dipandangnya ayah yang sedang mengepel lantai, sementara kami masih asik dengan pot-pot bunga koleksi ibu. 

"Dulu Ibu juga nggak langsung suka dengan Ayahmu, waktu itu ibu kasir di cafe yang sering ayahmu kunjungi. Suatu hari ayahmu mengajak kenalan, mulai saat itu ayah gencar mendekati ibu," kenang ibu tanpa mengentikan kegiatan menanam bung yang sedang kami kerjakan.

"Ayahmu setiap hari membawakan Ibu bunga, Ibu sampai malu sama teman-teman ibu, karena banyaknya sampah bunga yang Ibu hasilkan."

"Dari situ pertama kalinya ibumu mulai ngomel-ngomel, Wid." ayah yang sudah selesai membereskan kekacauannya kembali bergabung dengan kami. "ibumu meminta ayah menghentikan kebiasaan mengirim bunga, mubazir katanya." 

"Bunganya kan mahal, sayang saja kalau akhirnya berakhir di tempat sampah." jawab Ibu. 

"Setelah itu Ibu nerima Ayah?" tanyaku penasaran. 

"Nggak lah, ayah menghabiskan waktu hampir setengah tahun buat PDKT sama ibumu." kali ini ayah yang menjawab, "jinak-jinak merpati ibumu ini, malu-malu tapi mau." 

Ayah tergelak menceritan kenangan masa muda mereka, sementara sesekali ibu memukulkan tangannya ke pundak ayah, aku yakin sakitnya tak seberapa, tapi ayah mengaduh-aduh seperti sedang di pukul pakai gada, benar-benar drama ayahku ini. 

" Kenapa akhirnya Ibu mau menerima Ayah?" 

Kali ini bukan hanya aku yang fokus menunggu jawaban Ibu, Ayahpun tiba-tiba menghentikan kegiatannya memasukan tanah ke dalam pot, rupanya ayah ikut penasaran dengan alasan Ibu dulu mau menerimanya. 

"Ibu pernah melihat Ayahmu menolong seseorang yang kesusahan di jalan, dari situ ibu berkesimpulan kalau ayahmu orang baik." 

Ayah mengerutkan alisnya, "Kapan Yang? Mas nggak ingat."

"Di jalan depan cafe, ada bapak-bapak yang membawa barang dibonceng pakai sepeda, tapi tiba-tiba barang bawaannya terjatuh, ayahmu lah satu-satunya orang yang mau membantu bapak itu," kenang Ibu. 

"Kok Mas lupa ya, Yang?" rupanya ayah tidak berhasil mengingat peristiwa itu. 

"Itu tandanya Ayah orang baik, karena tidak mau mengingat-ingat kebaikan yang sudah Ayah lakukan." ku peluk ayah dengan bangga. 

"Ayah melawatkan banyak waktu tanpa kalian." ucap ayah sambil membalas pelukan dariku, "Apa kau punya banyak teman?" ku anggukan kepalaku di dalam pelukan ayah. 

Ayah merenggangkan pelukan kami, lalu menatap wajahku, "Anak ayah cantik sekali, umur berapa cinta pertama Widuri datang?" aku hanya melotot mendengar pertanyaan tak terduga dari ayah. 

"Nggak akan dikasih tahu, ibu saja nggak tau." 

Tanganku yang belopotan tanah, sengaja sedikit ku usapkan ke baju ayah, "Waduh baju ayah kotor kena tanganku, Yah." ku coba mengalihkan pertanyaan ayah. 

Ayah mengalihkan pandangannya ke arah bajunya yang ku tunjukan, "nggak apa-apa kotor sedikit, nanti bisa dicuci." 

"Ayah dan Ibu hari apa ke Jakarta?" 

"Hari Rabu, naik kereta malam dari Semarang, nanti mampir dulu ke kosan kamu, kita jalan-jalan dulu di Semarang." ibu menjelaskan sambil membereskan pot-pot yang telah selesai kami isi. 

"Widuri berangkat ke Semarang, nanti sore atau besok pagi?" tanya ayah. 

"Besok saja Yah, jam lima dari rumah." 

"Ayah antar ya? Ayah khawatir, kamu naik motor jarak jauh begitu apa nggak gakut? " 

"Nggak usah yah, Widuri sudah biasa, ayah tenang saja." ku lemparkan senyum termanisku untuk menenangkan ayahku. 

Ayah mengulurkan tangannya ke arah hidungku, lalu menariknya gemas, "untung hidungmu ngikut ayah, coba kalau ngikut ibumu, pasti tersiksa, ngupil aja susah, lubangnya kekecilan." 

"Ibu dengar loh, Yah, maksudnya ibu pesek begitu?" 

"Nggak apa-apa pesek yang penting cantik." ayah mengedipkan salah satu matanya ke arah ibu, sementara ibu memutarkan bola matanya mendengar gombalan ayah. 

Selesai menanam bunga, kami habiskan sisa sore dengan duduk-duduk di teras, sambil menikmati kue yang diakui ayah sebagai kue buatannya. 

****

Hari keberangkatan Ayah dan Ibu telah tiba. Siang hari ayah dan ibu sudah tiba di depan kantorku dengan menaiki taksi daring, mereka sengaja menjemputku untuk sekedar makan siang. 

"Ayah, Ibu kenalkan ini teman-teman kantor Widuri." Kuperkenalkan satu persatu temanku yang juga mau keluar mencari makan siang. 

"Apa kabar, Tante." Mba Mira yang memang sudah mengenal Ibuku, menyapa sambil mencium tangan wanita yang telah melahirkanku itu. 

"Alhamdulillah baik, Mba Mira. Lama tidak bertemu ya?" Mba Mira memang pernah beberapa kali main ke rumah karena dia memiliki keluarga di Kudus. 

"Iya Tante, lain kali kalau ke Kudus mampir." 

"Om, Tante perkenalkan saya Dika teman Dek Widuri." Mas Dika yang baru datang tanpa sungkan langsung memperkenalkan  diri, Ayah dan Ibu pun dengan senang hati menyambut uluran tangan Mas Dika. 

"Tumben ini Om dan Tante mampir ke kantor Dek Widuri." Mas Dika mulai mengeluarkan jurus sok kenal sok dekatnya. 

"Jemput Widuri untuk makan siang bareng." Ayah menjawab sambil tersenyum ramah. 

"Mau makan siang dimana? Atau mau saya antar? Kebetulan saya bawa mobil." Tawar Mas Dika berbaik hati. 

"Sudah pesan taksi kok, itu menunggu di depan." Tunjuk Ayah ke arah mobil putih bermerk xenina yang terparkir di depan kantor. 

Tampak Mas Dika mengangguk pasrah, karena tidak berhasil mengantar kami makan siang. Bukan aku tak tahu jika Mas Dika menyimpan rasa padaku, hanya saja aku yang pura-pura tak tahu. 

"Om dan Tante duluan ya," pamit ayah mewakili kami, sebelum masuk ke dalam mobil. 

Akhirnya kami menikmati soto semarang untuk menu makan siang kali ini, selama makan siang ayah selalu menggodaku, ayah rupanya cukup peka dengan perasaan Mas Dika kepadaku. 

" Menurut ayah, cukup tampan, tidak malu-maluin lah kalau diajak kondangan." mendengar ayah terus menggodaku aku hanya diam, pura-pura sibuk menghabiskan soto di depanku. 

"Widuri tidak ingin memberi kesempatan? Mungkin sedikit membuka diri, sepertiny juga dia orang baik," imbuh Ayah lagi. 

Kugelengkan kepala, tak ada kata yang keluar dari mulutku, aku memang selalu kehabisan kata-kata, kalau sudah membicarakan tentang jodoh. 

"Apa yang membuat Widuri berat untuk membuka hati?" Pertanyaan ayah benar-benar membuatku putus asa. 

"Orang tua Mas Dika memiliki beberapa toko besi dan toserba," jawabku lirih. 

"Terus apa masalahnya?" cecar ayah. 

"Widuri hanya ingin berjodoh dengan orang yang biasa saja Yah, Mas Dika terlalu kaya untuk Widuri." 

"Apa Widuri pernah pacaran?" aku sedikit terkejut dengan pertanyaan Ayah, namun akhirnya kugelengkan kepala untuk menjawabnya. 

"Dua puluh tujuh tahun, belum menikah dan belum pernah pacaran, Widuri cari pasangan yang seperti apa sebenarnya?" 

"Yang biasa saja Yah, tadi kan Widuri sudah bilang." 

"Yang biasa itu yang bagaimana? Harus spesifik, Naak." Ayah masih saja mencecarku. 

"Widuri tidak ingin berjodoh dengan orang kaya Yah, Widuri ingin yang biasa saja yang mau menerima Widuri apa adanya, tidak memandang rendah Widuri. Widuri takut Yah, kalau tidak diterima  di tengah keluarga yang kaya."

Ayah tiba-tiba menghentikan makannya, dan menatapku dengan air muka yang sulit diterka. 

"Maafkan ayah!" 

"Kenapa Ayah tiba-tiba minta maaf?" tanyaku heran. 

"Maaf karena perlakuan keluarga Ayah pada Ibumu sepertinya telah membuatmu trauma."

"Widuri baik-baik saja Yah, hanya belum ketemu jodoh yang tepat saja." 

Apa benar kata ayah kalau aku trauma? Aku memang begitu sulit dekat dengan orang yang kaya, selama ini aku membatasi pergaulanku, aku merasa lebih nyaman bergaul dengan orang biasa saja, aku merasa lebih dihargai. Bukannya aku menolak bergaul dengan orang kaya, hanya saja aku tidak akan bisa lebih dekat dengan mereka, ada rasa kurang nyaman, atau takut, entahlah aku kadang bingung dengan yang ku rasakan sendiri.

"Nak, cobalah konsultasi dengan orang yang lebih paham, psikolog misalnya. Tidak semua orang kaya seperti keluarga ayah, yang baik juga ada, banyak bahkan, mungkin hanya Widuri saja yang terlalu membentengi diri." aku hanya menganggukan kepala untuk menenankan ayah yang mulai galau karena merasa menemukan fakta yang menyedihkan tentangku. 

Setelah makan siang aku mengantar ayah dan ibu ke kosku, mereka akan menungguku pulang kantor, kami membuat rencana jalan-jalan seputar semarang sambil menunggu jadwal keberangkatan kereta. 

Apa benar aku trauma? Toh aku merasa baik-baik saja selama ini. 

Apa perlu aku konsultasi dengan psikolog? Semenyedihkan itukah aku? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status