Bu Hanum memasuki ruangan Bu Imas. Ia melihatku dan mengingat-ingat saat aku pernah ke rumahnya.Aku meminta kedua anakku main di depan saja karena aku akan terlibat pembicaraan yang serius dengan kedua orang ini."Faiz ajak Kia main di depan ya! Ayah mau bicara dulu dengan ibu-ibu ini," sahutku."Baiklah, Yah. Jangan lama-lama. Aku udah kangen sama Bunda. Mana sih Bunda? Kata Ayah tadi ada di kamar yang di sebrang itu!" "Tunggu saja ya, Nak. Ayah mau mengobrol dulu sebentar," sahutku.Faiz dan Kia gegas kubawa keluar. Mereka duduk di kursi tunggu di depan."Silahkan duduk kembali Pak! Oya sampai lupa menanyakan nama Bapak, dengan Bapak siapa ya?" tanya Bu Imas."Perkenalkan, saya Wahyu Hidayat. Dulu Ibu Kartikawati itu adalah istri saya, baru-baru ini kami bercerai. Tiba-tiba ia pergi tanpa pesan. Aku dan anak-anak sudah mencarinya kemana-mana," jawabku sembari menatap mata Bu Imas dan Bu Hanum."Silahkan, Bu Hanum mungkin bisa menjelaskan mengenai seseorang yang diduga Ibu Kartikaw
"Bun, anak-anak kangen loh sama Bunda. Gimana kabar Bunda sekarang?" Ia menoleh padaku, tapi tak menjawab sedikitpun. Hanya memandang dan diam lagi kemudian.Aku menoleh pada Bu Hanum. Ingin bertanya mengenai keadaan Tika. Ada apa dengannya?Lalu kulihat pergerakan badannya tidak selincah dulu. Biasanya ia langsung membelai anak-anak. Kali ini, ia membiarkan anak-anak merangkulnya, ia kebingungan sendiri.Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Aku semakin penasaran. Hati ini menangis. Namun aku tetap tersenyum di depan anak-anak."Pak Wahyu, sepertinya Bu Tika butuh istirahat. Bapak pulang saja dulu. Mudah-mudahan nanti Bu Tika lebih sehat lagi," kata Bu Hanum.Apa ia mengalami amnesia? Tapi karena apa? Ia kan mengenalku dan anak-anak. Mestinya ia langsung menyambut mereka.Tika diajak keluar oleh Bu Hanum. Ia lah yang selalu mendampingi Tika. Aku yakin ia orang yang tulus. Itu terbukti ia mau mengabulkan kemauan Tika untuk tinggal di sini.Lalu, apa yang terjadi dengan anak-anak? Mereka
Gegas aku kembali ke ruangan Bu Imas. Anak-anak sudah menunggu. Katanya mereka sudah siap untuk pulang. Entah apa yang dikatakan orang-orang ini sehingga kedua anakku bilang akan pulang dengan mata yang berbinar.Rasa sedih sudah sirna dari diri mereka. Saat ini mereka tertawa dan bahagia."Ayo, Yah. Kita pulang sekarang saja. Aku nggak mau mengganggu waktu istirahat Bunda. Biarkan Bunda di sini dulu, kami akan bertemu Bunda di pekan depan," sahut Faiz.Oh, ternyata mereka dijanjikan akan bertemu bundanya lagi nanti pekan depan. Aku manut saja kalau memang mereka maunya seperti itu."Sekarang kalian udah nggak sedih kan?" tanyaku."Iya, Yah."Kemudian aku meminta waktu untuk berbicara sebentar dengan Tika. Ia kugiring agak jauh dari kumpulan orang, tapi kami nggak hanya berdua, tetap di ruang terbuka."Dek, kamu kalau sakit bilang saja. Apa kamu udah periksakan diri ke dokter?" tanyaku."Sakit apa? Aku sehat kok. Lihat saja sendiri diri ini yang tak kurang apapun. Paling hanya bete se
"Bunda gimana sih? Minggu depan, Bun!" jawab Faiz.Bundanya mengangguk, mobil kami pun melaju dan meninggalkan panti jompo.Saat di jalan, Faiz tak sabar untuk berceloteh mengenai bundanya."Yah, kok Bunda suka banget ngulang kata ya?" tanya Faiz sambil mengerutkan keningnya.Kia menyimak dan memperhatikan kakaknya. Sementara aku kadang menoleh ke mereka, kadang aku fokus ke depan. Saat ini posisi duduk mereka di sampingku. Mereka berdua duduk di depan, katanya ingin sama Ayah. Tapi, nanti kuminta ke belakang kalau mengantuk."Ngulang kata gimana? Memangnya kalian bermain kata?" tanyaku."Ngulang kata-kata yang banyak, Yah. Tadi Bunda nanya terus kapan kalian ke sini lagi? Trus Bunda juga bilang terus kalau Bunda senang di sana, bilang Faiz ganteng juga beberapa kali," katanya.Memoriku berpindah ke kejadian tadi saat di panti jompo. Benar juga, Tika mengulang pertanyaan sampai tiga kali sepertinya."Kalau kata Ayah, saking Bunda kangen kamu kali, jadi bilang kamu ganteng," jawabku a
Telepon dari nomor tak dikenal. Aku segera mengangkatnya."Mas, ini aku.""Tika?"Kemudian, aku menjauhi anak-anak, agar mengobrol lebih leluasa."Ya, Mas. Maaf, Mas. Kamu tak boleh sering-sering bawa ... siapa itu namanya? Mmm ... anak-anak ke sini," katanya."Kenapa? Bukannya kamu yang bilang kalau mereka boleh datang pekan depan?" tanyaku."Iya aku bilang gitu ya? Pokoknya, ya sudah pekan depan saja. Selanjutnya tak usah datang lagi, katanya.""Siapa nama anak-anak kita?""Apa? Mmm ... tadi udah aku sebutkan, duh sekarang lupa," katanya."Mengapa lupa? Kamu udah melupakan anak-anakmu.""Biasa lah, Mas. Kalau banyak pikiran pasti lupa," katanya berkilah."Mengapa aku dan anak-anak tak boleh ke sana?" tanyaku."Tak usah tanya mengapa. Kuminta kamu jangan ... jangan bilang orang tuaku juga, Mas.""Mereka harus tau.""Nggak, nanti mereka khawatir. Aku tak mau mereka nanti sakit," katanya. "Terutama siapa itu? Aku lupa. Mmm ... Bapakku. Sejjak kehilangan ibu kandungku, ia tak bisa menah
Ketika sampai rumah, Cynthia sedang duduk di ruang tamu. Kuminta anak-anak langsung bersiap tidur dan memasuki kamarnya. Mereka manut masuk kamar setelah mencium tangan Cynthia."Dari mana kalian?""Memangnya begitu cara bicara dengan suami?" Kulingkarkan tangan ke lehernya. Cynthia menepis tanganku, aku duduk di sampingnya."Ngapain kamu duduk di situ, Mas?""Bebas dong, aku kan suamimu!""Tapi aku nggak mau dekat-dekat kamu, Mas! Sana! Kamu pergi aja lagi!" ucap Cynthia. Ia membuatku naik darah, tapi aku tetap bersabar."Jangan merajuk seperti ini, Dek. Ini aku bawakan nasi goreng. Tadi kami makan nasi goreng bareng. Kamu pasti suka!" sahutku.Cynthia membulatkan kedua matanya dan menatapku tajam."Mas, aku nggak suka nasi goreng. Tika kan yang suka nasi goreng, kamu kenapa malah teringat dia terus. Itu bukan makanan kesukaanku, Mas! Lagipula nasi gorengnya pasti beli di pinggir jalan kan? Nggak level tau, Mas!"Ingin rasanya membuka matanya. Dulu dia dibawa ke sini oleh Tika, meman
Apa yang diketahui oleh Cynthia? Mungkinkah soal diary dari Tika yang katanya menghilang. Bisa saja memang soal itu. Baiklah aku kan mencari buku diary itu di kamar, siapa tau ia menyimpannya.Sepulang kerja aku ingin berdamai dengannya. Capek juga kalau harus bertikai terus dengannya. Kurasa aku harus meminta maaf lebih dulu sehingga aku membeli makanan kesukaannya yaitu dimsum dan siomay.Saat datang, sengaja aku meminta Bi Sumi untuk menghidangkan di meja setelah memanaskannya nanti agar kami bisa menyantapnya."Dek, aku mau meminta maaf atas segala kesalahanku yang telah kuperbuat kemarin dan tadi. Aku punya kejutan untukmu di meja makan," ucapku.Ia masih merengut dan cuek terhadapku. Sabar dan sabar adalah salah satu caraku untuk menghadapinya."Kejutan kok di meja makan?" tanyanya, terlihat ia mulai penasaran."Iya, lihat saja di sana.""Apa sih? Kamu beli apa memangnya, Mas?" tanya Cynthia yang datang mendekat. Ia mengelus pipiku."Ada deh, kamu ke sana aja kalau mau tau.""Sa
Sejarah penyakitku memang cukup pelik. Aku baru menyadari tiga tahun lebih ke belakang. Saat itu, aku kehilangan kakakku satu-satunya. Ia adalah penyemangatku selama ini selain Mas Wahyu dan anak-anak.Teh Rahmi, demikianlah aku memanggilnya. Ia adalah kakak kandung yang usianya terpaut lima tahun denganku. Ia lebih dewasa dan selalu baik padaku.Aku tau gejala penyakitnya sama dengan yang dialami oleh ibuku dulu. Ibu sudah lama meninggal, jauh saat kami masih kecil, saat aku berumur enam tahun seperti Kia--anakku. Selanjutnya Bapak menikah dengan ibu kami yang sekarang.Alhamdulillah ibu sambungku orang yang baik, ia memperlakukan kami seolah anaknya.Saat itu diketahui ibu mengalami kepikunan, ia tak mengingat apapun, hingga fungsi organnya pun menurun. Ibu mengalami depresi berat, hingga akhirnya meninggal. Hingga kakakku yang mengalami, aku jadi teringat akan ibuku. Saat itu juga aku berpikir kalau penyakit ini mungkin diturunkan.Kakakku dirawat oleh suaminya. Namun keluarga sua