Share

Sesuatu yang Buruk

“Kapan aku bisa pulang?” tanya Dayana mengalihkan pertanyaan Sagara.

“Mungkin menunggu hasil pemeriksaan terakhir, memangnya ada apa?” sahut Sagara, ia mengerti jika wanita di depannya enggan membahas tentang sosok sang Suami.

Dayana mengangguk, wanita itu kembalu diam dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar rawat. “Ada masalah?”

Dayana menoleh sejenak, lantas kembali memandang plafon rumah sakit. “Jika iya pun sepertinya aku tak pantas berbagi denganmu.”

Sagara mengangguk ia mengerti, jika Dayana masih canggung terhadapnya. “Jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, katakan saja. Ini kartu namaku, aku seorang lawyer jika hal buruk menimpamu, kamu bisa segera menghubungiku.”

Dayana kembali melempar netranya menatap pria berkemeja di sampingnya. “Sagara Andaru Biantara,” lirih Dayana membaca kartu nama yang digenggamnya.

Setelah memberikan kartu namanya, pria itu memilih duduk di sofa dan menikmati secangkir kopi hangat yang ia pesan dari aplikasi online.  Dayana larut dalam pikirannya, ia membayangkan apa yang akan terjadi jika ia pulang nanti. Aidan tentu akan marah padanya, dan tak ada yang bisa menebak apa yang pria itu akan lakukan padanya, hanya amarah di bibir atau tangan pun ikut bergerak.

Desahan napas berat keluar dari Dayana, ia tak siap dengan semuanya. Namun, ia tak mungkin mundur. Wanita itu terikat janji pada ayah dan ibu Aidan kala mereka masih hidup dulu. Rasa balas budi membuat Dayana bertahan dalam biduk rumah tangga yang penuh kepalsuan itu.

“Permisi!” pekik seseorang dari balik pintu rawat inap Dayana. Tak lama pintu pun terbuka dan menampilkan dua orang wanita berbeda usia.

“Selamat pagi, Bu Dayana. Bagaimana tidurnya?” sapa seorang wanita yang berprofesi sebagai dokter itu.

“Feel better, dok.”

Wanita paruh baya itu tersenyum lembut, ia pun memasang stetoskop dan mulai memeriksa Dayana. “Hasilnya sudah baik, hanya saja gips di tangannya belum bisa kami lepas untuk beberapa hari ke depan ya.”

“Saya boleh pulang dok?” tanya Dayana antusias. Wanita itu merespon dengan senyuman juga anggukan kepala, Dayana menghela napas lega. Walau ia sendiri tak yakin keadaannya akan baik-baik saja ketika tiba di rumah, namun ia merasa itu jauh lebih baik ketimbang berada di dalam ruangan berdua dengan pria yang ia sendiri tak tahu asal usulnya.

“Lusa, ibu harus kembali lagi ke sini untuk mengambil hasil rontgennya ya, Bu.” Dayana menggangguk.

Setelah itu, dengan bantuan perawat yang bertugas, Dayana berjalan menuju kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Wanita itu tak mau berlama-lama di sana, ia segera melucuti semua pakaiannya dan mengganti dengan pakaian yang ia kenakan terakhir kali. Namun pakaian itu dalam keadaan yang jauh lebih bersih.

“Sudah bu?” tanya perawat yang menjaga di depan pintu kamar mandi. “Ibu hendak pulang sekarang?” Dayana lagi-lagi hanya mengangguk, ia pun terlihat mencari tasnya.

“Ini,” ujar Sagara seraya mengulurkan tas jinjing kesayangan Dayana.

Setelah selesai merapikan barang-barangnya, Dayana pun segera meninggalkan kamar rawat. Ia mengantri di loket obat bersama dengan Sagara. “Maaf apa tidak papa kamu menungguku di sini? Maksudku, apa keluarga atau istrimu tidak mencari?” tanya Dayana tak enak hati.

Pria di sampingnya justru tertawa renyah dan berkata. “Apa aku terlihat setua itu?” Dayana mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sagara. “Aku belum berkeluarga.”

Dayana melemparkan tatapan tak enak hati, bibir tipisnya mengucapkan kata maaf. Sagara pun mengangguk merespon ucapan wanita itu.

“Em, untuk kerugian mobil dan biaya rumah sakit, bisakah aku mencicilnya. Aku tidak akan kabur, aku akan bertanggung jawab atas semuanya.”

Sagara tampak terkejut mendengar ucapan Dayana namun, detik selanjutnya ia pun merubah air mukanya. “Sepertinya tidak perlu, karena juga lecetnya tidak seberapa –“

“Tetapi biaya rumah sakit ini tentu tidak murah,” potong Dayana.

“Tak apa, anggap saja aku ganti rugi karena lalai berkendara.” Dayana mendesah pelan, sungguh ia tak suka berhutang budi.

Terakhir kali ia berhutang budi, hidupnya menjadi sengsara dan menikah dengan pria sejenis Aidan yang berperi kemanusiaan dan keistrian. “Kenapa? Ada masalah?”

“Tidak,” sahutnya cepat.

Setelah melalui obrolan kecil, Sagara pun mengetahui jika Dayana bekerja sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan impor ekspor barang. Tak lama obat milik Dayana pun selesai diracik. Dayana bergegas mengambil obatnya.

Mereka berjalan beriringan hingga lobby rumah sakit. “Kamu sungguh tidak mau aku antar?”

Dayana menggeleng. “Tidak perlu terima kasih, akan lebih berbahaya jika Suamiku tahu aku pulang bersama pria lain. Ia sangat mencintai daan mengkhawatirkan.” Semoga, imbuh Dayana dalam hati.

Sagara pun menganggukkan kepala, ia tak mau membuat Dayana berada dalam masalah besar, mengingat seberapa marah suaminya kala ia tak pulang malam itu. Sagara mengedarkan pandangannya sedangkan Dayana ia mencoba mencari cara agar terhindar dari amukan sang Suami.

Sagara pun melambaikan tangannya pada sebuah taksi yang berada tak jauh darinya. Tak lama sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Sagara tampak berbicara sejenak, lantas ia memanggil Dayana yang masih melamun. Berulang kali Sagara memanggil wanita itu tetapi Dayana masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Daya awas‼” ujar Sagara seraya berlari mendekati Dayana. Pria itu meraih bahu Dayana dan membawanya menepi. “Kamu ngak papa?” tanya Sagara masih mendekap tubuh Dayana.

“Lain kali jangan di tengah jalan mba! Ini buat orang melintas bukan melamun!” amuk salah seorang keluarga pasien yang baru saja dibawa masuk ke dalam rumah sakit.

“Maaf bu,” balas Sagara sopan.

“Kamu gak papa?” ulang Sagara karena Dayana masih saja diam.

Dari jarak sedekat itu, Dayana dapat melihat garis wajah Sagara. Pria yang memiliki jambang tipis dan rahang yang tegas itu terlihat menawan dan berkharismatik. Manik mata coklat pria itu seakan memberikan keteduhan dan ketenangan bagi Dayana. ‘Astagfirullah,’ lirihnya seraya membuang muka.

“Aku gak papa, Mas. Terima kasih.” Dayana melepaskan tubuhnya dari dekapan Sagara dan memberi jarak antarnya.

“Lain kali jangan melamun di tengah jalan yah, berbahaya.” Dayana mengangguk, suasana canggung melingkupi hatinya. “Naiklah, dia akan mengantarkanmu sampai ke tujuan.”

“Terima kasih,” sahut Dayana dan melangkah menjauhi Sagara. Ia merasa canggung, belum lagi degup jantung yang berpacu bak perlombaan kuda.

Sagara melihat taksi yang ditumpangi Dayana mulai menjauhinya, dengan secepat kilat ia juga masuk ke dalam mobil dan bergegas menyalakan mesin menyusul taksi yang ditumpangi oleh Dayana.

Ia sengaja mengikuti Dayana, selain memastikan jika wanita itu baik-baik saja, ia juga ingin mencari tahu seperti apa kehidupan wanita itu. Sagara sendiri tak tahu alasan yang pasti mengapa dirinya begitu penasaran dengan Dayana, sosok wanita yang ia temui karena nenabrak mobilnya.

Setelah melalui jalanan berkelok, akhirnya taksi yang Dayana tumpangi berhenti tepat  di depan sebuah rumah yang minimalis namun mewah. Rumah dua tingkat dengan nuansa abu dan putih itu terlihat teduh dan tenang.

Dayana turun dari mobil dengan susah payah, setelah itu ia masuk ke dalam rumah dengan gerbang yang terbuka separuh. Sagara terus mengamati dari kejauhan setiap gerak gerik Dayana.

Dayana melangkahkan kakinya setelah memejamkan mata sesaat guna menetralkan degup jantung yang berpacu tak terkendali. Pikirannya dipenuhi dengan kenangan kala ia berpapasan dengan mobil Aidan, sikap Aidan yang sering main tangan juga dengan fakta obat yang pria itu berikan padanya.

“Bismillah!” ujarnya seraya mendorong pintu rumah.

Hening, rumah berukuran 10x10 itu terasa sepi tak berpenghuni. Kening Dayana berkerut, ia melihat mobil sang  Suami terparkir di halaman rumah namun ketika ia masuk ia tak menemukan siapapun di sana.

Dengan raut wajah bingung, Dayana menyusuri lantai keramik di rumahnya. Langkah kaki wanita itu berhenti di depan kamar utama yang menjadi persinggahannya setiap malam.

Tak ada suara apapun, Dayana pun memutuskan untuk mendorong pintu yang terbuka sedikit. Manik matanya menelisik ke seluruh penjuru ruangan hingga netranya berhenti pada pintu kamar mandi yang tertutup. Suara gemercik air terdengar, Dayana pun menyimpulkan jika Aidan tengah mandi.

Namun, saat Dayana semakin masuk ke dalam kamar, ia menemukan suara lain yang mengisi bilik berkaca itu. Suara desahan dan tawa yang saling bersahutan menelusup ke indra pendengarannya. Jantung Dayana berdegup semakin kencang, kala mendengar obrolan sepasang sejoli itu.

“Kamu memang terbaik Shana, tubuhmu selalu menjadi candu bagiku. Ahhh … .”

“Ahhh mass bisa saja. Memangnya Dayana gak enak?” sahut suara manja.

“Enak? Menyentuhnya saja aku jijik, apalagi menggaulinya! Sahabatmu itu bukan seleraku! Wanita miskin sepertinya tak cocok mengandung garis keturunanku,” ujar Aidan dari balik bilik kamar mandi.

Tubuh Dayana meringsut seakan ia kehilangan tulang penopang, ia meremas pakaiannya melampiaskan rasa marah yang membuncah. Ia tak menyangka jika wanita yang menjadi duri dalam rumah tangannya adalah sahabatnya sendiri.

Dayana memejamkan mata mencoba menenangkan diri. Rasa kecewa dan marah membuat air matanya terasa kering, pandangannya berkabut namun bulir bening itu enggan untuk jatuh membasahi pipi chuby Dayana.

Dayana mendongak kala mendengar suara pintu terbuka. “Sudah puas? Sudah puas kalian menghancurkan hidupku? Sudah puas mas? Sudah puas menghinaku?” tanya Dayana beranjak dari posisinya. Ia mencoba berdiri tegap walau pada kenyataannya ia harus bersusah payah menopang tubuhnya sendiri.

MeilyyanaM

Yuk ramaikan kisah Dayana!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status