Share

Mata Tak Lepas Memandang

Pria itu membaca huruf yang tertera di kontak ponsel Dayana. “Suamiku? Tetapi dari nada dan bahasa yang ia gunakan sepertinya ada yang tidak beres.”

Saat ia sibuk dengan pikirannya, seorang perawat membuka pintu ugd “Dengan keluarga pasien?” pekik seorang perawat di ambang pintu ugd.

Pria itu bangkit dari duduknya. “Bagaimana keadaannya sus?”

“Pasien hanya mengalami kelelahan dan cidera pada bagian tangan serta bahu sebelah kanan. Apa bisa kita ambil tindakan?”

Kening pria tegap itu berkerut. “Tindakan?”

“Kita perlu mengambil rontgen juga general check up untuk pemeriksaan lebih detail, karena pada saat kami mengganti pakaian pasien tanpa sengaja kami melihat luka memar di beberapa bagian tubuh juga rahangnya. Mungkin sebelumnya pasien pernah terjatuh.”

“Lakukan saja dok, saya akan mengurus administrasinya.” Setelah mendengar pernyataan pria itu, perawat pun mengarahkan untuk segera menuju ke bagian administrasi dan menyelesaikan semuanya.

Dengan penuh tanda tanya, pria itu berjalan di lorong rumah sakit mengabaikan pandangan kagum setiap kaum hawa yang tanpa sengaja berpapasan dengannya. “Saya mau mengurus pasien atas nama … .” Pria itu membuka dompet Dayana dan mencari kartu identitasnya. “Dayana Frederica Amaranth, yang baru saja masuk ugd.”

“Baik pak, boleh saya pinjam kartu identitasnya?” Pria itu mengangguk dan menyerahkan kartu identitas Dayana.

‘Nama yang indah,’ lirihnya tanpa sadar.

“Dengan bapak siapa?” tanya petugas administrasi itu.

“Sagara.” Petugas pun meminta pria bernama Sagara itu untuk menunggu sejenak.

Setelah proses administrasi selesai, Sagara pun kembali ke ruang ugd. Setibanya di sana, ia melihat brankar Dayana sedang didorong keluar dari ruang ugd. “Mau dibawa ke mana sus?”

“Kita pindahkan pasien ke ruang rawat pak, seraya menunggu pasien sadar setelah itu kami akan melakukan proses rontgent.” Sagara mengangguk, ia pun mengikuti langkah perawat yang memasuki lift khusus pasien.

Lima belas menit berlalu, brankar Dayana tiba di ruang Flamingo kelas vvip. Perawat pun memindahkan tubuh Dayana ke ranjang rawat setelah itu meminta Sagara untuk segera mengabarkan ke perawat jaga jika sewaktu-waktu Dayana sadarkan diri, Sagara mengangguk.

Pria itu melepaskan jasnya dan menyampirkan ke atas sofa, dia duduk di salah satunya seraya pandangan mata yang tak lepas dari tubuh Dayana. Ia pun terasa tak asing dengan wajah Dayana. Seperti pernah bertemu namun ia lupa tepatnya di mana.

“Dayana … Dayana … Dayana, siapa ya? Wajahnya terlihat familiar pun dengan namanya. Tetapi siapa ya? Terus suara penelpon tadi aku seperti kenal.” Sagara hanyut dalam kebingungannya, hingga dering di sakunya berbunyi.

Ia pun segera menggeser tombol hijau dan menempelkannya ke sebelah telinga. “Hallo bro!” sapa Sagara.

[“Di mana bro? Jadi kumpul gak nih? Masak pulang ke indo gak mau mampir dulu?”]

“Waduh penginnya sih mampir bro, tetapi gue lagi ada urusan nih.”

Terdengar desahan kecewa dari balik sambungan telepon. [“Wahh sayang banget ya, padahal hari ini sekalian perayaan hari jadi perusahaan bokap gue loh. Beneran gak bisa datang nih? Usahain lah Bro, ntar juga ada si Aidan kok.”]

“Aidan?”

[“Iya bro, makanya usahain datang ya! Gue tunggu!”] Sambungan telepon pun terputus, Sagara menatap bingung layar ponselnya.

Ia memikirkan sebuah nama yang melekat di hidupnya, nama pria yang menjadi rival dalam selimutnya. Saat Sagara larut dalam pikirannya, tiba-tiba terdengar suara rintihan dari arah ranjang Dayana. Pria itu bergegas keluar kamar mencari perawat jaga.

Tak lama ia pun kembali bersama dengan beberapa perawat. “Biar saya periksa terlebih dahulu ya Pak.” Sagara pun mengangguk dan membiarkan petugas kesehatan itu memeriksan tubuh Dayana.

Selang sepuluh menit, perawat wanita itu keluar dan menghampiri Sagara, ia pun mengatakan jika rongent akan dilaksanakan malam ini. Sagara mengangguk dan menyerahkan segalanya pada pihak rumah sakit.

“Saya di mana?” tanya Dayana pada Sagara yang berdiri di sampingnya.

“Di rumah sakit, kamu tadi menabrak mobilku dan jatuh pingsan.”

“Ahh maafkan aku, aku tii –ti –dak sengaja,” ujar Dayana penuh sesal. Ia merutuki kebodohannya yang berkendara sambil melamun. “Apa ada orang lain yang menjadi korbannya?” tanya Dayana khawatir.

“Beruntungnya hanya kamu yang menjadi korban, sebenarnya bukan kecelakaan besar. Kamu hanya tidak bisa mengimbangi motormu ketika mobilku berhenti di persimpangan jalan tadi. Jadi yah, korbannya hanya dirimu.” Terdengar hembusan napas lega dari Dayana, melihat sikap wanita yang tengah terbaring lemah itu Sagara menaruh rasa kagum.

Sepertinya dia memang wanita baik-baik, dia bahkan memikirkan pengguna jalan lainnya ketimbang menanyakan keadaannya sendiri atau bahkan motornya,’ batin Sagara melihat sikap Dayana.

“Apa lenganmu masih sakit?” tanya Sagara setelah keheningan yang mendera ruangan itu.

Dayana menoleh menatap lengannya yang terbalut gips. “Ah ini, tidak papa. Aku terjatuh saat mandi tadi.”

“Oh oke. Lebam di wajahmu juga karena terjatuh?”

Air muka Dayana pun berubah namun, secepat kilat ia kembali menetralkan keterkejutannya. Dayana pun melempar senyum tipis dan berkata, “Ini aku tidak sengaja terjatuh saat tidur jadinya terantuk tepi nakas.”

Sagara pun mengangguk-anggukkan kepala, walau di dalam hatinya pria itu masih menaruh curiga dengan luka lebam di wajah Dayana.

Keheningan pun kembali tercipta, Dayana memalingkan wajahnya ingatan sebelum ia terjatuh pun kembali berputar. “By the way tadi ada telepon dari suamimu … marah-marah.” Ucapan Sagara kembali mengundang ingatan Dayana. “Setelah itu dia mematikan sambungan teleponnya.”

Bahu wanita itu bergetar hebat, ia teringat bagaimana sang Suami bercumbu dengan wanita lain, kegiatan yang pria itu lakukan di dalam mobil bahkan di tengah jalan. Sagara yang terkejut dengan reaksi wanita di depannya pun mengerutkan kening bingung. ‘Perasaan gue gak mukul deh? Kok nangis? Apa gue salah ngomong ya?’ tanya Sagara dalam hati.

Dayana tak bisa membendung air matanya sendiri, ia pun menangis sesegukan hingga napasnya tercekat. “Day, are you okay?

Dayana menggeleng di sela tangisannya, ia pun menggigit punggung tangannya untuk menyembunyikan suara tangisnya. “Ehh jangan digigit, nanti luka. Kalau mau nangis, nangis saja. Memang kita baru kenal, tetapi kamu gak perlu sungkan.” Tak ada respon apapun dari Dayana, wanita itu masih sibuk menangis dalam diamnya.

“Sepertinya kamu butuh waktu untuk menenangkan diri.” Dayana pun meletakkan kembali tangannya, ia menatap Sagara dengan air mata yang berlinang. “Aku keluar ya?” Tanpa menunggu persetujuan Dayana, Sagara memilih keluar dari kamar rawat itu dan membiarkan Dayana menenangkan dirinya.

‘Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa ia menangis kala aku menyebut nama Suami?’ batin Sagara yang berdiri di balik pintu kamar rawat Dayana.

Cukup lama Dayana larut dalam tangisannya hingga air matanya pun mengering. Tangisannya berhenti bertepatan dengan kedatangan petugas kesehatan yang hendak melakukan rontgen hingga ke general check up. Ia pun tertidur dengan lelapnya setelah kelelahan menjalani pemeriksaan dan menangis. Sagara pun terpaksa bermalam di rumah sakit, tidur di sofa yang tak memadai tubuhnya yang tinggi.  

Suara kicauan burung menyambut setiap insan yang hendak beraktivitas di pagi hari. Sagara masih tertidur di sofanya, sedangkan Dayana wanita itu sudah bangun dan hanya berdiam diri di atas ranjangnya. Sebelah tangannya terpasang gips untuk menopang keretakan di tulang tangannya akibat jatuh tertimpa motornya sore kemarin dan juga luka akibat Aidan mendorongnya tempo hari.

“Kamu sudah bangun?” tanya Sagara yang terbangun kala mendengar suara ranjang berdecit.

“Maaf sudah membangunkanmu,” sesal Dayana tak enak hati.

“Bukan masalah, ini sudah pagi memang seharusnya aku bangun? Oh iya kamu tak ingin menghubungi suamimu? Setidaknya beri ia kabar jika kamu ada di sini ‘kan?”

Dayana pun menggeleng. ‘Percuma memberinya tahu, ia tak akan pernah peduli denganku,” lirih Dayana dalam hati.

“Kenapa? Bukankah ia suamimu?” tanya Sagara membuat air muka Dayana berubah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status