Sepasang mata yang hitam itu terlihat dingin dan tajam. Setiap lirikannya mengandung pembunuhan, membuat siapa pun yang melihat akan merinding dan tanpa sadar ingin melarikan diri. Tekanan udara yang mendadak rendah sukses membuat suasana kian mencekam. Mendadak, seolah terjeda oleh tombol pause, tidak ada yang berani bergerak.
Semua fokus hanya ke satu titik.
Seorang remaja yang secara perlahan berdiri dari posisi duduknya. Dengan santai menepuk-nepuk bagian belakang dan beberapa tempat yang terasa kotor. Lalu, seolah tidak puas, jemari hitam yang tertutup tanah bergerak dan udara yang kuat menerpa.
Dalam sedetik, semua kotoran menghilang di tubuh sang remaja. Setiap gerakan tubuhnya sangat santai, tidak terburu-buru sama sekali seolah-olah mereka bukan di medang perang, tetapi di sebuah taman wisata yang membuat semua orang akan terhibur.
Setiap Penyihir yang terlahir, tidak mungkin untuk mampu mengendalikan energi sihirnya. Namun, beberapa anak yang berbakat tidak akan memberikan efek yang terlalu signifikan selain sesekali, mereka akan mampu untuk mengeluarkan sihir mereka sendiri tanpa alat perantara.Salah satu hal yang paling mempengaruhi energi sihir di dalam tubuh yang tidak memiliki perantara adalah emosi. Semakin kuat emosinya, semakin kuat sihir yang akan meletus. Karena itulah, ketika remaja itu mengatakan bahwa mereka mempercepat peledakan tubuh Corin Yudhistira ... Caroline memucat.Mendadak, ia teringat dengan telinga Snow yang mendadak keluar ... sungguh, bukankah tanda-tanda itu sangat jelas? Energi di tubuh Corin berfluktasi dan hal ini tentu saja akan mempengaruhi Snow! Tidak mungkin untuk Kucing Hitam dengan mudah mengubah wujud mereka bila bukan dengan sihir.
“SNOW SUDAH SADAR!” teriakan melengking yang mendadak sukses membuat tubuh yang baru terbangun, tersentak kaget. Jantung Corin terasa mencelos. Ia refleks menoleh—mencoba mencari sumber suara. “KAK CORIN JUGA SUDAH BANGUN!” Teriakan kedua terdengar lebih dekat dan Corin langsung tahu dari mana sumbernya. Tawa anak kecil mengalun diiringi dengan tubuh mungil yang berlari keluar dari balik pohon besar. Gadis kecil itu seolah mendapatkan mainan kesukaan, dengan tawa yang menyenangkan berlari mendekati Corin. Namun dalam seketika, gadis Yudhistira menyadari bahwa anak itu tidak sendiri. Ia turut membawa sepupu yang sejak tadi mengekorinya. Oh, ini Piby dan Al. Sepasang saudara yang ditinggalkan di tengah hutan. Piby terkekeh. Gadis kecil berkuncir dua itu berlari mendekati Corin, senyuman lima jariny
Pertanyaan yang dilontarkan Caroline Weish benar-benar membuat Corin bingung. Sungguh, bukankah seharusnya ia yang bertanya? Jelas dirinya pingsan sebelum ikut bertarung ... memikirkan hal ini, membuat sulung Yudhistira malu. Uh ... bukankah ia begitu menyusahkan semua orang? Jangankan berpikir untuk melarikan diri dan mengurangi beban kerja, Corin justru yakin dirinya sudah menghambat perlindungan yang dilakukan Caroline dan Joshua.“Yah ... ,” wajah Corin memanas—mendadak ia benar-benar merasa malu. “Setelah melihat Snow terluka, bukankah aku ... pingsan?” menelan liur paksa. Kata-kata terakhir benar-benar terdengar canggung.Sulung Weish mengerutkan alis. “Hanya itu?”Sepasang mata hitam berkedip. Apa maksudnya dengan Hanya itu? Bukankah memang ... hanya itu? Corin bingung bukan main. Sepasang kelereng hi
Rimbun pepohonan membentang—meneduhi apa pun yang berada di bawahnya. Namun tanah yang tidak rata dan beberapa akar yang menjulur keluar tidak membuat hutan perawan terlihat indah dan ramah sama sekali. Sebaliknya, hal ini benar-benar menyusahkan Corin untuk melangkah.Mengelap peluh yang membasahi pelipis untuk yang kesekian kalinya, napas remaja berkuncir satu itu sudah terengah-engah. Punggungnya basah kuyup bermandikan keringat. Kakinya terasa melepuh. Namun mengeluh dan berkata untuk beristirahat hanya akan menunda mereka.Phoenix menggendong Piby dan Al, Snow membawa ranselnya yang super besar, Lin dan Josh juga menenteng ransel mereka sendiri. Satu-satunya yang tidak membawa beban adalah sulung Yudhistira. Namun dirinyalah yang paling terlihat kelelahan ketimbang yang lain. Karena itu, Corin benar-benar malu untuk mengatakan berhenti dan beristirahat.
Suhu udara yang cenderung tinggi pada siang hari terasa membakar kulit, karena itulah, berteduh di bawah naungan pohon besar benar-benar suatu kenikmatan tersendiri. Terlebih saat udara sejuk menerpa meraba kulit yang terbuka. Oh, sangat sejuk dan nyaman, sukses membuat tubuh yang kelelahan merasa sedikit lebih rileks.“Ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya,” Caroline Weish memecahkan keheningan. Remaja cantik itu menghela napas, menatap sosok yang semula menunduk, kini mengangkat kepalanya untuk menatap lawan bicara. “Nanti, mungkin kau akan tahu sendiri.”“Kapan?” sulung Yudhistira kembali melemparkan pertanyaan. Ia refleks mendesak, nada suaranya agak tinggi beberapa oktaf. Menyadari nadanya cenderung agresif, Corin refleks mencoba memperbaikinya. “Aku ... maksudku ... .”“Kau tidak p
Chapter 39: Pergi (I)Perjanjian Pedang Suci adalah sebuah perjanjian antara Penyihir dengan budaknya. Perjanjian yang terikat antara kedua jiwa, perjanjian yang memaksa untuk salah satu pihak untuk tunduk dan taat dengan pihak lainnya.Saat benar-benar mengetahui bahwa satu-satunya cara terbaik sekarang bukanlah memiliki cincin sihir tetapi melakukan Perjanjian Pedang Suci ... Corin sungguh tidak tahu harus mengatakan apa. Semua hal terasa sia-sia. Pada akhirnya, ia tetap akan didorong dan dipaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin dilakukannya kembali.“2 hari ... kita hanya punya waktu 2 hari .... ,” Corin bergumam kosong. Menatap meja makan begitu saja. Ia ... sungguh, tidak bisa memikirkan apapun kembali. Semuanya terasa tidak nyata. Terlebih eksekusi mati yang akan jatuh ke atas kepalanya.“Mereka pasti berbohong,” Edle mendengus. “Tujuan mereka adalah Kucing milik Kak Corin. Mereka tidak bi
Ketika pertanyaan Bungsu Weish terlontar memecahkan keheningan, Corin dapat merasakan jantungnya mencelos. Pertanyaan itu menohoknya. Bagaimanapun, ia adalah penyebab kedua anak kecil datang dan mengikuti mereka.Menatap wajah serius tetapi galak remaja yang sedikit lebih pendek, Corin menelan liur paksa. Jantungnya berdebar-debar tidak tenang. Panik sekali, membuatnya tanpa sadar menatap sekitar—mencoba mencari pertolongan. Bagaimana pun, harus ada yang menjelaskan. Namun sulung Yudhistira bukan orang yang tepat untuk buka suara.Lin menghela napas. Remaja itu tidak terpengaruh dengan tatapan mengintimidasi adiknya sendiri.“Kami menemukannya,” Lin menjawab jujur. “Di tengah hutan ... bila bukan karena mereka, Snow dan Rin akan mati.”“Mati?” Roni kali ini buka suara. Kat
Cring ... cring ...Suara bel yang jernih dan merdu terdengar. Halus di antara keheningan yang tercipta. Semua pasang mata memandang sosok remaja yang mengenakan pakaian Maid, membungkuk ke arah seorang batita kecil dengan sepasang mata hijau yang seolah siap untuk menangis ...Remaja itu sangat cantik. Dengan helai hitam panjang yang diurai, rambut ikalnya mencapai pinggang. Kulitnya seputih pualam, sangat kontras dengan warna helai rambut yang gelap. Ditambah sepasang iris hijau keemasan yang indah ...Kucing.Satu kata muncul di kepala Corin saat memandang remaja itu. Dalam sekali pandang, entah bagaimana ia menebak identitas remaja ini. Oh, bukan hanya Corin. Bahkan semua orang yang melihatnya, entah bagaimana mengetahui identitas Remaja yang mendadak muncul di udara kosong.