Saat aku ingin beranjak dari tepi ranjang, tiba-tiba sebelah kakiku merasakan ada sesuatu yang kuinjak. Dan ternyata benar saja, dompet Mas Yoga terjatuh di bawahnya. Dengan sedikit berjongkok, aku pun meraih benda persegi berwarna hitam itu. Niat hati ingin meletakkan dompet milik Mas yoga di atas nakas, akan tetapi entah kenapa hati kecilku meminta agar membuka benda persegi berlipat itu. Sejenak aku melirikkan kedua netraku ke arah Mas Yoga. Tentu untuk memastikan kalau lelaki itu masih terlelap dalam tidurnya. Setelahnya aku pun lantas membuka benda berlipat itu.Sesuatu yang langsung tertangkap dalam pandanganku adalah lembaran-lembaran merah yang berjejer dengan rapi di dalam sana. Tanganku beralih pada bagian tempat penyimpanan kartu. Mengernyitlah dahiku saat melihat ada dua buah kartu Atm dari bank yang berbeda. Aku mengeluarkan dua kartu tersebut, menatapnya dengan perasaan penuh tanya. Sebab seingatku, Mas Yoga hanya memegang satu kartu dari bank B*a, akan tetapi di dala
Aku melangkah menuju ke meja makan saat sayup-sayup aku mendengar denting sendok yang mulai beradu."Sarapan dulu, Mbak," ucap Mutia yang sepertinya sedang berusaha sok manis padaku. "Iya, makasih," jawabku. Lantas aku pun menghenyakkan tubuhku di kursi yang biasa aku tempati saat makan. Saat kedua netraku menyusuri isi meja, di sana hanya terhidang satu mangkok kecil yang berisi dua potong ayam. Mangkok yang berbeda dengan mangkok yang digunakan oleh Ibu mertua untuk menaruh potongan-potongan ayam yang terbilang banyak itu. Aku yakin, ini adalah ayam yang sudah kutukar tadi. Di samping olahan ayam itu ada piring yang berisi olahan sayur bayam."Kenapa dilihatin aja? Nggak doyan sama masakan ibu?!" ketus Ibu mertua sembari melerikku tak suka. "Makanlah, Ren," ucap Mas Yoga. Lantas aku pun mulai memindahkan secentong nasi ke piringku lalu mengambil satu potong ayam. Sengaja aku tak mengambil sayur bening, sebab aku khawatir jika sayuran itu sudah dibubuhkan serbuk pencahar perut.
Beberapa kali Mas Yoga keluar masuk ke kamar mandi, ada rasa kasihan sebenarnya, akan tetapi lebih baik mereka lah yang merasakan sakit perut daripada aku yang terkena jebakan mereka. "Ren, kamu ada obat mules? Perutku rasanya seperti dikuras habis-habisan. Baru juga keluar, ini rasanya udah melilit lagi," ucap Mas Yoga dengan wajah pucatnya. "Nggak ada, Mas. Mau aku belikan?" "Boleh. Buruan ya. Mas udah nggak tahan."Belum sempat aku bangkit dari tempat dudukku, Mas Yoga pun langsung berlari kembali masuk ke dalam kamar mandi. Aku pun bergegas keluar dari kamar. Saat baru saja sampai di ruang tamu, tiba-tiba suara ibu memanggilku. "Ren, kamu baik-baik saja?" tanya Ibu yang disampingnya berdiri seorang Mutia. "Seperti yang ibu lihat, Rena baik-baik saja," ucapku sesantai mungkin. Dua orang perempuan beda usia itu lantas saling berpandangan. Saling melempar pertanyaan melalui sorot matanya. "Rena mau belikan Mas Yoga obat sakit perut, Bu. Rena pergi dulu." "Eh, tunggu!""Kenapa
Pov Yoga**"Mas, kapan kamu akan mengatakan semuanya pada Mbak Rena kalau kamu akan menikahiku secara resmi?" tanya Mutiara yang saat ini sedang menemuiku di rumah makan milikku. Aku mengusap tengkuk leherku. Meskipun tanggal yang sudah kami sepakati untuk melangsungkan acara pernikahan sudah semakin dekat, aku tak kunjung mendapatkan keberanian untuk mengatakannya pada Rena– istriku. Novita Mutiara Absari– sosok perempuan yang merupakan cinta pertamaku. Sosok perempuan yang membuatku mengenal artinya cinta. Sosok perempuan yang sempat terpisah karena takdir yang tak berpihak pada kami. Ya, bertahun-tahun aku menjalin hubungan dengan Mutiara. Bahkan sejak sekolah SMA, hingga suatu ketika Mutiara dijodohkan oleh kedua orangtuanya dengan sosok lelaki kaya yang ternyata tak mampu membahagiakan Mutiara. Jangankan membahagiakan, lelaki tak bisa memperlakukan Mutia dengan selayaknya. Dia sosok lelaki yang kasar, perhitungan dan tempramental. Aku tahu semuanya. Dan Mutia lah yang mence
"Sayang!" "Eh, iya. Maaf ...." Panggilan dari Mutia mampu membuatku terkesiap. Suara itu mampu membuyarkan lamunan atas kejadian beberapa tahun yang lalu. "Jadi kapan kamu akan bicara sama istri kamu? Aku nggak mau lagi menunggu terlalu lama," ucap Mutia sembari wajah yang terlihat kusut. "Sebanarnya kita bisa menikah secepatnya, tapi siri." "Aku nggak mau kalau kamu nikahi secara siri, Mas! Kamu gimana sih, kemarin-kemarin kan kamu udah janji secepatnya akan membicarakan hal ini dengan istri tuamu, tapi kenapa sekarang kamu jadi ingkar seperti ini?!" Mutia berucap dengan nada tinggi. Terlihat dengan jelas raut ketidaksukaannya. Aku menghembuskan napas berat. "Kalau kamu tetap seperti ini, sepulang dari sini aku akan mengatakan semuanya pada istrimu itu!" ucap Mutia yang terkesan seperti suatu ancaman. Aku pun segera mencekal tangan Mutia agar tak berdiri dari tempat duduknya. "Iya-iya, Mas janji nanti malam akan mengatakan hal ini pada Rena. Tapi kamu jangan bicara apapun ya
Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Bergegas aku pun memasukkan ponsel itu ke dalam tas kerja milikku, lalu meraih tas tersebut. Aku pun lantas melangkah keluar ruanganku dan menuju ke arah di mana mobilku terparkir.Belasan menit kendaraan roda empatku menyusuri jalanan beraspal, hingga akhirnya kendaraanku masuk ke dalam halaman. Saat baru saja aku keluar dari mobil, tiba-tiba Mutia datang menyambut dan melangkah mendekat ke arahku. Cepat mataku menyusuri ke segala penjuru, takut jika Rena akan melihat kejadian ini. "Mas, jangan lupa kamu hari ini harus bilang sama istri tuamu itu ya," ucap Mutia mengingatkanku atas janji yang kuucapkan tadi padanya. "Kan masih ada waktu sampai besok malam," lirihku. "Ya usahakan malam ini, Mas! Jangan lama-lama, pernikahan kita tinggal menghitung hari!" pekik Mutia sembari melotot ke arahku. "Iya, iya. Nanti akan aku bicarakan dengan Rena. Sekarang kamu masuk, jangan sampai Rena melihat ini," pintaku."Halah, Mas. Orang be
"Kenapa kamu baru membahasnya sekarang? Dulu kamu tak pernah membahas perihal anak. Tapi kenapa kamu tiba-tiba meminta izin untuk menikah lagi dengan alasan karena aku tak kunjung memberikan keturunan untukmu? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kehadiran anak itu mutlak kuasa Allah? Bukankah kamu sudah bilang kalau pernikahan itu tak melulu soal anak? Bahkan, kamu mengatakannya belum ada sebulan yang lalu loh. Apa kamu sudah amnesia?!"Aku menelan saliva dengan susah payah. Yang dikatakan oleh Rena memang benar adanya. Dulu aku selalu mengatakan hal itu jika Rena gelisah karena tak kunjung hadirnya janin di dalam rahimnya. "Tapi sekarang berbeda, Ren! Ibuku sudah semakin tua. Ibu juga menginginkan cucu dari anak lelaki semata wayangnya," ucapku tak mau kalah. Jangan sampai Rena membuatku mati kutu. Bagaimana pun caranya aku harus membuatnya memberikan izin untukku menikahi Mutia. Walau dengan ucapan paling menyakitkan sekalipun.Terlihat Rena mengusap lelehan air mata itu denga
"Sayang ...."Aku pun langsung memeluk tubuh Mutia dari belakang, tentu membuat tubuh yang sedikit berisi itu tersentak kaget. "Kamu apa-apaan sih, Mas! Bikin kaget saja," gerutu Mutia. Aku hanya tersenyum, lantas ia pun langsung mengurai pelukanku lalu memutar tubuh, hingga akhirnya pandangan kami pun saling bertemu. "Ibu kemana? Kok nggak sama kamu?" tanyaku yang saat berjalan menemui Mutia, taku kulihat Ibu sama sekali. Aku hanya melihat Mutia yang sedang berdiri di ruang tamu sembari memainkan ponsel dengan posisi membelakangiku. "Ibu tadi katanya mau ke kamar mandi sih," jelas Mutia yang kubalas dengan anggukan sembari mengulas senyum. Akan tetapi, Mutia tiba-tiba menatapku dengan kening yang berkerut tajam. "Mas ....""Ya?" "Sepertinya kamu sedang bahagia, ya kan?!" tebak Mutia menelisik wajahku dengan seksama. Aku tersenyum lalu mengangguk cepat. "Aha ... aku bisa menebaknya, pasti kamu sudah membicarakan pernikahan kita dengan istri tuamu itu ya?!"Lagi, aku hanya meng