Lusi kembali menjerit di depan Raka.
Akan tetapi, pria itu tetap bergeming.
Tatapan Lusi teralihkan pada sahabat yang sekarang sudah menjadi musuhnya. Padahal, dia menyayangi Mila seperti saudara sendiri. Namun, malah air tuba yang Mila balas untuk susu yang telah Lusi berikan.
Senyum itu, kini tampak menjijikkan di mata Lusi. Mila masih saja tersenyum walaupun sudah ia hina. Mungkin urat malunya sudah putus sampai Mila dengan bangga mengakui kehamilan hasil dari perselingkuhan.
Luar biasa sekali.
"Untuk kamu! Aku baru tahu kalau kamu ternyata cuma seorang jalang!"
Wajah Mila seketika berubah. Ada kemarahan yang mulai terlihat di rautnya. Entah kenapa, itu justru membuat rasa sakit Lusi pelan-pelan tersamarkan.
"Aku memberimu kepercayaaan, tapi malah disalahgunakan. Aku tidak tahu kalau selama ini kamu hanyalah barang murahan!"
Kali ini ekspresi dua orang itu menegang. Mungkin tidak menyangka jika seorang Lusi bisa mengeluarkan kata-kata pedas dan menohok.
"Kalau memang kamu mau Mas Raka, ambillah! Tapi, kamu lupa sesuatu." Lusi menyeringai. "Dia ... bukan apa-apa tanpaku." Ucapan Lusi sukses membuat wajah Raka berubah pasi.
Mila terlihat bingung dan kesal mendengar perkataan perempuan di hadapannya, dan itu membuat hatinya bergejolak hebat.
Ada bara api yang berkobar di dalam dada Lusi. Membuat lukanya kian terbakar.
Ini dendam.
"Ingat, Mas. Kalau kamu mau menikahi dia, talak aku dulu! Tapi, sebelum itu, akan kubuat kalian menderita. Camkan itu!"
Lusi mengatakan hal itu dengan hati yang berapi-api. 'Kalian salah sudah membuat masalah denganku. Aku memang pendiam dan penyabar, tapi saat kemarahan mencapai ubun-ubun, kalian tak akan tahu betapa menyeramkannya kemarahan orang penyabar.'
Sumpah serapah pun diikrarkan dalam hati Lusi.
***
Lusi menangis sejadi-jadinya, tapi sengaja ditutupi dengan bantal. Kamarnya sengaja dikunci karena dia meyakini jika Raka akan menyusul. Untunglah Alia--anak mereka--masih sekolah, jadi Lusi bisa meluapkan emosi yang begitu menyesakkan saat ini.
Entah berapa lama Lusi menangis. Hingga tiba-tiba terdengar ketukan pintu menginterupsi. Dia yang sudah kelelahan menangis hanya bisa termenung tanpa pergerakan apa pun.
Suara Raka terdengar bersamaan dengan ketukan di pintu. Lusi langsung bangkit dan membuka pintu. Dia menumpahkan kesakitan yang sudah tertoreh.
"Apa ini, Mas? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?" tanya Lusi kepada pria yang masih mengaku sebagai suaminya itu. "Kupikir, selama ini kita baik-baik saja. Kupikir, kamu pria baik-baik yang menjaga rumah tangga kita. Tapi, kamu tega menusukku dari belakang! Aku tidak mengerti, apa yang membuatmu berkhianat, Mas? Apa salahku?!" tuntut Lusi.
"Kamu tidak salah apa pun, aku yang salah. Aku yang berengsek. Tapi, kumohon jangan tinggalkan aku dan terimalah Mila sebagai madumu," terang Raka lirih, tapi itu membuat jantung Lusi tersentak.
Dengan cepat Lusi menarik kedua tangannya dari genggaman Raka.
Pria itu terlihat kaget akan reaksi istrinya.
"Menerima Mila sebagai maduku? Hah, lelucon apa yang sedang kalian mainkan, heh?!" Lusi mundur selangkah, menelusuri penampilan Raka yang masih rapi, tapi tidak dengan wajah itu.
Ada gurat sesal dan lelah yang tergambar jelas. Mungkin sebelum mengetahui Raka selingkuh, Lusi akan memanjakannya dengan segudang perhatian. Namun, kali ini dia tidak sudi hanya untuk sekedar menawarkan minum.
"Tidak, Lus. Aku serius. Aku hanya ingin pengertianmu. Aku harus menikahi dia, tapi juga tidak bisa menceraikanmu," ujarnya membuat Lusi tertawa.
Raka menatap Lusi bingung. Tetapi, wanita itu terus tertawa dengan rasa sakit yang menggerogoti hati. Kenapa sebagian pria selalu serakah seperti ini? Mereka tega menyakiti, tapi tidak mau melepaskan. Bajingan.
"Baik sekali kamu, Mas. Saking baiknya, kamu menawarkan madu yang terasa pahit. Maaf saja, aku menolak!" seru Lusi tegas.
Raka langsung menggeleng-gelengkan kepala. Dia kembali meraih tangan Lusi dengan paksa. Lusi mencoba menolak, tapi tenaganya kalah oleh pria itu.
Namun demikian, Lusi tidak patah arang. Dia tetap berusaha melepaskan diri dari Raka, sampai tiba-tiba Raka menarik istrinya ke dalam pelukan, begitu erat sampai Lusi tak bisa bergerak.
"Jangan. Jangan tinggalkan aku, Sayang. Aku mengaku salah, aku brengsek, aku bodoh. Tapi, aku tak berdaya. Maaf sudah mengkhianatimu. Tolong, beri aku waktu untuk menyelesaikan semua masalahku dengan Mila. Aku hanya butuh kesabaranmu, Lus."
Bibir Lusi bergetar mendengar permintaan Raka. Egois, semua kalimat yang diucapkan laki-laki itu adalah keegoisannya. Dia tidak tahu apa yang terjadi antara Raka dan Mila, tapi mendengarnya berkata seperti itu, dipastikan ada masalah yang menyebabkan mereka harus bersama.
Namun, Lusi tidak peduli. Terlepas dari itu semua, dia terlanjur sakit hati. Apa pun penjelasan yang akan Raka berikan, tetap tak ada pengkhianatan yang bisa dibenarkan.
Hancur, semua sudah hancur. Tak akan ada lagi yang sama meskipun sudah diperbaiki. Nalar Lusi masih belum bisa mencerna tentang kejadian hari ini.
Dia tak bisa memaklumi penyebab mereka berselingkuh. Jadi, untuk apa Lusi memberi kesempatan pada orang yang sudah melukai hatinya? Jawabannya tentu saja tidak.
"Cukup, Mas. Kita berpisah saja."
"Tidak, Lus. Sampai kapan pun aku tidak akan menceraikanmu," ujar Raka tetap bersikukuh.
Dia menarik tangan Lusi untuk duduk di kasur. Tatapannya begitu dalam dan panuh arti, tapi Lusi berusaha tidak memedulikannya.
Hati wanita itu terlalu sakit untuk melihat wajah sialan milik Raka. Suami yang dikira surga, ternyata neraka yang ditutupi wajah kepalsuan. Dia tertipu oleh sikap manisnya selama ini.
Teman-teman Lusi banyak memuji keromantisannya dengan Raka, mereka mengatakan iri. Hanya Mila seorang yang bersikap biasa dan tak pernah membahas tentang rumah tangga mereka. Tetapi, Mila selalu mempertanyakan keseharian Lusi pada Bu Nur, tetangga sebelah rumah yang kebetulan kenal dengan Mila.
Lusi kira Mila adalah teman yang tidak suka membahas masalah pribadi. Ternyata, dia menaruh dengki padanya hingga akhirnya musibah ini terjadi.
Tak pernah dikira, bahkan di mimpi sekalipun kalau Raka berani main belakang, dengan temannya sendiri pula. Kata orang, Lusi cantik, putih dan ideal. Bahkan mereka mengatakan kalau Raka beruntung beristrikan dirinya.
Namun, kenapa semua itu tidak seperti menyataannya? Apa salahnya diri Lusi? Apa kurangnya dia selama ini, sampai suaminya tega berkhianat? Pertanyaan itu membuat Lusi stres.
"Lus, dengar!"
Lusi tersentak dari lamunan kala Raka berseru dan menggenggam tangannya dengan erat. Sorot mata memohon itu membuat Lusi muak. Jika ini bukan masalah perselingkuhan, dia akan memaafkan kesalahannya. Apa pun itu.
Lantas, apa yang akan Raka lakukan agar Lusi percaya padanya?
"Nggak ada! Nggak ada alasan apa pun. Kamu salah, harusnya kamu lihat dulu siapa yang datang. Kalau memang maling bisa kan langsung mukul tanpa tiba-tiba saja mengeroyok orang? Kamu pakai sapu, aku tangan kosong. Pokoknya aku nggak mau tahu, ya. Hari ini juga kita ke kantor polisi!" seru Maura. Dia tidak akan kalah begitu saja. "Aduh, jangan dong, Mbak. Nanti gimana dengan keluarga saya di kampung? Kalau saya di penjara, siapa yang akan mencari nafkah?""Lah, bukan urusanku! Itu tanggung jawab sendiri, ngapain kamu mukul orang sembarangan?" ujar Maura, masih bersikukuh kalau dirinya ingin semua ini dipermasalahkan ke jalur hukum. "Atau gini aja deh, Mbak. Gimana kalau sebagai gantinya aku akan melakukan apanpun yang Mbak suruh," ucap Imel membuat Mila terkesiap, sementara Maura terlihat kaget. Tidak menyangka kalau gadis ini bisa mengatakan hal seperti itu."Nggak ada, nggak ada. Ah, Maura! Dia itu kerja sama aku dan mulai hari ini Imel akan menjadi asistenku juga tinggal di sini."
Melihat pemandangan di depan mata, Mila semakin puas. Dia membiarkan kejadian itu terjad,i malah dengan gampangnya merekam semua itu. Anggap saja ini balas dendam atas rasa sakit yang diberikan Maura karena ucapannya kemarin.Adiknya ini tidak tahu diri. Sudah untung ditampung di sini, tetapi malah melakukan hal seperti itu. Mila rasa merekrut Imel menjadi asistennya itu tidak ada salahnya, malah menguntungkan seperti ini."Berhentikan! Aku Maura. Kalau kamu tidak berhenti aku laporkan kemu ke polisi!" teriak Maura menggema di ruangan itu, membuat Imel langsung menghentikan pukulannya. Sang gadis mundur beberapa langkah dan membuka mata, betapa terkejutnya dia melihat kalau yang di depannya itu adalah Maura. Sang wanita meringis kesakitan. Beberapa kali mengusap tangan dan punggungnya yang barusan dipukul oleh Imel. "Aduh sakit banget," gumam Maura, kesakitan. Wanita itu berdiri dan menatap Imel dengan tajam, sementara sang gadis ketakutan. Dia benar-benar pemikiran tentang maling
Tak lama kemudian, taksi itu pun sampai di depan rumah Mila. Wanita itu mengernyitkan dahi karena melihat kalau gerbang rumah Mila terbuka. Artinya ada orang yang datang. Setelah membayar argo taksi, wanita itu tidak langsung masuk. Dia menebak terlebih dahulu siapa yang kira-kira masuk ke rumah ini. "Apa mungkin Mas Raka, ya? Atau memang Kak Mila yang udah pulang?" gumam wanita itu.Dia tidak bisa langsung masuk begitu saja tanpa menaruh kecurigaan. Zaman sekarang pasti banyak maling yang akan menggasak rumah kosong. Jadi, dia akan berusaha untuk tenang dulu dan mengendap-endap. Siapa tahu memang ada maling yang masuk. Lagi pula Mila tidak memberitahunya di telepon, begitu pikir sang wanita. Padahal Mila melakukan itu karena berpikir kalau adiknya tidak berguna. Untuk apa juga memberitahunya? Wanita itu tidak akan peduli lagi kepadanya.Maura mengendap-endap masuk ke pekarangan rumah Mila. Dia melihat sekitar, tidak ada mobil. Tentu saja karena mobil Mila masih di bengkel, tapi Mau
"Oke, kita lihat saja siapa yang bisa menang. Kamu pikir Bu Winda akan begitu saja menyerahkan jabatan yang penting padamu? Sementara kelakuan kamu saja seperti ini," ungkap Kiara berani mengatakan kalau Maura tidak punya kesempatan untuk menjadi lebih baik dari sekarang. Wanita itu mengeratkan kedua tangan dan berusaha untuk tenang walaupun hatinya sudah panas. Kalau ini bukan supermarket, mungkin wanita itu akan berani melakukan sesuatu yang buruk kepada Kiara. Maura tidak mau lagi menjadi wanita lemah dan menerima apa saja yang dilakukan oleh orang-orang lain kepadanya. Dia akan melawan jika itu menurutnya bisa merugikan."Baiklah, kita lihat saja. Aku juga tidak akan diam. Kalau perlu aku akan laporkan kejadian ini pada Mbak Winda. Sekarang aku permisi."Wanita itu pergi dan sama sekali tidak memberikan sopan santun yang baik. Kiara hanya terkekeh samar dan menggelengkan kepala."Anak zaman sekarang memang beda, tidak punya sopan santun. Bahkan pamitan pun dilakukan tidak benar.
"Sudah jangan lihat-lihat seperti ini. Kamu pasti berkhayal ingin bekerja di tempat ini, kan?" cetus Kiara, seolah membaca pikiran Maura, membuat wanita itu langsung terkesiap dengan mata sinis.'Wanita ini pasti belum berpasangan. Mulutnya saja pedas seperti ini,' gumam Maura dalam hati."Sok tahu!" seru Maura.Kiara tampak santai dan terduduk di depan meja kebesarannya. Dia melipat tangan di depan dada sembari menggoyangkan kaki, menatap penampilan wanita ini yang sebenarnya terlihat polos layaknya seorang anak SMA. Tetapi sikap dan mulutnya itu benar-benar di luar dugaan, sepertinya tidak mendapatkan ajaran baik tentang sopan santun dan tata krama. "Kamu itu diajarin tata krama nggak, sih?"Pertanyaan itu berhasil membuat Maura menoleh dengan wajah kesal. Wanita ini tidak punya sopan santun juga karena bertanya demikian kepada orang baru. "Kalau mau bertanya itu coba tanyakan pada diri sendiri, ngapain bertanya seperti itu kepada orang yang baru dikenal?" ucap Maura dengan kesal,
Waktu sudah menunjukkan sore hari, sekarang Mauta bisa pulang. Dia meregangkan seluruh badannya sebelum keluar dari loker karyawan. Semua orang melihat bagaimana tingkah Maura. Tetapi wanita itu sama sekali tidak peduli, Yang penting sekarang bisa pulang dari sini.Nanti kalau ketemu dengan Winda dia minta untuk dipindahkan saja di bagian lain yang kira-kira tidak terlalu capek seperti sekarang. Menyusun barang dan mengecek stok itu benar-benar memuakkan. Dia harus bolak-balik mengecek bagian-bagian di setiap rak agar memastikan barangnya tersusun rapi, apalagi kalau melihat tanggal kadaluarsa, ini akan memperlambat kerjanya. Kiara yang dari tadi memang sudah mengamati Maura pun tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Dia harus memastikan dulu apa yang diinginkan oleh Maura sampai berlaku tidak baik di hari pertama kerja. Kalau perlu dia akan merekam semua percakapannya dan langsung memberikan kepada bosnya."Kamu tidak boleh pulang dulu," ucap Kiara tiba-tiba membuat kar
Hari ini Lusi benar-benar senang. Semua teman barunya itu begitu welcome menerimanya sebagai karyawan baru, meskipun usianya lebih tua dari mereka. Tetapi tidak ada yang membanding-bandingkan atau bersikap buruk. Tentu saja Lusi tidak tahu semua ini adalah settingan dari David. Entah bagaimana kalau sang wanita tahu jika semua ini adalah akal-akalan David, apakah akan menerima atau malah mengucapkan terima kasih kepada pria itu? Saat istirahat tiba, wanita itu pun memilih untuk menelepon anaknya. Bertanya apakah Alia sudah makan dan lain sebagainya. Untunglah anak itu tidak rewel dan nurut kepada Adiba. Dia benar-benar merasa 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚊𝚗𝚝𝚞. Ketika sedang seperti ini, tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan masa lalunya. Lusu jadi bertanya-tanya, mungkinkah Raka sedang mencarinya atau pria itu memilih untuk fokus kepada dirinya sendiri dan sedang menjalani hidup tanpa memikirkan Alia?Lusi langsung menggelengkan kepala. Dia berusaha mengusir semua itu."Nggak! Aku tidak boleh me
"Kalau kamu tanya apakah aku siap atau belum jika kamu hamil, jawabannya belum. "Seketika Winda langsung tersentak. Tampak kekecewaan begitu jelas di mata wanita itu. "Kamu tahu? Aku masih dipusingkan dengan masalah Mila dan juga Alia. Kalau kamu hamil dalam situasi seperti ini, aku malah takut akan mengecohkan semuanya atau yang lebih parahnya aku tak acuh kepadamu. Tapi kalau misalkan kamu sudah terlanjur hamil, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Bagaimanapun itu adalah anakku. Tapi, aku harap pengertianmu. Untuk sekarang jangan dulu berpikiran untuk hamil, ya? Aku harus membereskan dulu masalah ini. Kalau Mila sudah lahiran, aku akan berusaha untuk mendapatkan hak asuh anak lalu meninggalkannya," ungkap Raka dengan serius, membuat Winda yang sebelumnya murung tiba-tiba saja semringah. Awalnya terlihat terkejut, tetapi juga ada kebahagiaan di sorot matanya. Itu artinya dia masih punya kesempatan emas untuk mendapatkan keluarga yang utuh tanpa embel-embel menjadi istri ke
Kali ini Raka cukup lama sekali diam dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya. Winda sudah mulai takut kalau apa yang ditanyakan itu membuat Raka murka. Dia tidak mau ada pertengkaran di hari bulan madunya, berharap kalau Raka bisa mengabulkan semua permintaannya. Termasuk pertanyaan yang diucapkan oleh Winda barusan. Sebab selama berhari-hari bulan madu dengan Raka, pria itu lebih banyak diam dan melamun. Ini membuat sang wanita merasa kalau bulan madunya ini hanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang lebih baik kecuali mereka menghabiskan waktu bersama. Itupun Raka berkali-kali terus saja memikirkan Alia. Tetapi Winda hanya bisa mengerti dan bersabar, berharap kalau Raka punya inisiatif sendiri untuk memberikan kejutan di hari bulan madu.Namun, sampai detik ini pun tak ada yang lebih spesial kecuali pertanyaan ini dan berharap pria itu mau menjawab semuanya."Kamu diam artinya kamu tidak mau punya anak dariku," ucap Winda dengan nada kecewa. Raka tahu pasti, Winda menginginkan ha