"Mas!" Lusi menaikkan nada bicara karena kesal pada Raka.
Untuk apa Raka memohon pada Lusi jika tidak mau jujur? Tadi saja memaksanya untuk mendengarkan penjelasan Raka. Tetapi, sekarang? Kenapa dia bungkam? Apakah dia sudah berubah pikiran? Semua pertanyaan itu berputar di benak Lusi.
"Kalau kamu tidak jawab pertanyaanku, maka--"
"Tiga bulan, Lus." Jawaban Raka seperti petir yang menggelegar di atas kepala Lusi.
Menyentak jantung dan meluluh lantak1an persendiannya. Apa katanya? Tiga bulan? Itu artinya saat Lusi mencarikan kontrakan baru untuk Mila dan itu kontrakan milik Lusi.
Gila! Bagaimana bisa mereka melakukan pengkhianatan di belakang Lusi semulus ini? Lusi kecolongan sampai akhirnya Mila hamil duluan.
"Hahaha. Luar biasa, Mas."
Entah apa yang mendorongnya sampai tertawa seperti ini. Tidak ada yang lucu, justru hanya ada kepiluan dan miris akan nasib diri. Lusi menertawakan diri sendiri yang bodoh karena terpedaya oleh dua orang pengkhianat itu.
"Tiga bulan? Itu artinya setelah sebulan aku mengenalkanmu pada Mila, kalian bermain gila? Apakah kamu melakukannya di kontrakanku?" tanya Lusi menyelidik.
Raka hanya menunduk pasrah. Tidak ada satu kata yang terucap dari mulutnya, dan itu artinya dia tidak menyangkal tebakan Lusi.
Plak!
Tangan Lusi bergetar dengan rasa pedas yang menjalar di telapak tangan. Terlihat Raka tetap diam kala tamparan mendarat mulus di pipinya. Saking mulusnya, gambar tangan itu begitu jelas.
"Biadab! Berengsek! Bajingan! Kamu laki-laki jahat dan kotor, Mas! Apa yang membuatmu seperti ini? Kenapa kamu melakukannya padaku? Apa salahku, Mas? Apa!"
Lusi menarik kerah kemeja Raka lagi, hingga wajah Raka terangkat. Dia tidak berani menatap Lusi, tapi wajahnya terlihat pasrah saat diperlakukan kasar.
"Apa yang ada di pikiranmu, Mas? Kenapa kamu tega? Kenapa?!" Lusi menangis tersedu-sedu. Sesak, sangat sesak sampai yang keluar dari mulutnya adalah isakan tertahan.
Lusi mendorong tubuh Raka hingga terjerembab ke lantai. Dia tidak mengerti. Selama ini, rumah tangga mereka baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran yang begitu berarti. Bahkan, dia tidak menemukan gelagat aneh dari suaminya. Tetapi, kenapa semua ini bisa terjadi? Apa yang salah? Di mana letak salahnya?
Semua pertanyaan itu berlomba-lomba memenuhi benak. Lusi sangat hancur.
"Kamu tidak salah, Lus. Aku sudah katakan itu. Kamu juga tidak ada kekurangan. Tapi, karena kamu yang terlalu sempurna membuatku seperti ini."
Lusi terdiam dan tangis itu langsung berhenti. Suami brengsek itu masih saja menunduk. Dia berbicara sembari bersimpuh di hadapannya.
"Aku merasa tidak ada gunanya di depanmu, Lus. Kamu sangat sempurna, sampai aku tak terlihat oleh orang lain. Kamu terlalu baik padaku hingga aku merasa hanya bisa menyusahkanmu. Semuanya salahku, Lus."
Lusi masih diam. Muak, memang. Tetapi, dia ingin mendengarkan semua penjelasan Raka.
"Aku berada di zona nyaman dan tidak pernah mengalami kesulitan yang berarti. Hingga, rasa jenuh itu muncul, Lus. Dari sanalah semua ini terjadi. Aku salah, dan menyesal." Sekarang pria itu mendongak dengan mata memerah. Ada sesal juga pengharapan yang nyata. Tetapi, apakah semua itu berguna sekarang? Tentu tidak.
"Aku mohon ampun padamu, Lus. Aku salah, aku berengsek, aku biadab, aku bajingan dan apa pun sebutan yang pantas untukku, lontarkan saja. Tapi, aku mohon. Jangan tinggalkan aku, Lus."
Lusi terdiam sesaat, lalu tak lama kemudian terkekeh sembari menatap wajah Raka. Melihatnya memohon seperti itu, Lusi jadi penasaran dengannya.
"Mas, apa alasanmu ingin bertahan denganku? Jangan katakan soal cinta, karena kamu saja berani berkhianat. Jawab, Mas. Apa alasanmu yang sebenarnya?"
"Kenapa kamu diam, Mas? Katakan sesuatu. Jangan membuatku muak dan memilih menceraikanmu!" seru Lusi, kesal.
Pria itu masih saja diam. Dia malah menunduk di pangkuan Lusi sembari mengeratkan genggaman di tangan itu.
Lusi mencoba menyingkirkannya, tapi Raka malah menangis tersedu-sedu. Air mata buaya yang membuatnya muak.
Ini memang kali pertama dia melihatnya menangis, tapi langsung muak karena air mata itu sebuah sesal dari pengkhianatannya.
"Aku mencintaimu, Lus. Sungguh. Aku khilaf, karena telah main gila di belakangmu. Kalau saja Mila tidak hamil, aku tidak akan mau menikahinya," ujar Raka, suaranya terdengar parau.
Lusi sontak tertawa. Tetapi sialnya, air mata itu malah ikut keluar. Drama sekali hidup Raka.
"Lalu, kamu pikir aku akan tetap bertahan denganmu meski Mila tidak hamil? Tentu saja tidak, Mas! Aku masih waras untuk tidak menderita di sampingmu."
Enteng sekali Raka bilang begitu. Dia bilang tidak mau menikahi Mila, padahal dia sendiri yang sudah merenggut kesucian Mila. pengecut, kan?
"Aku, kan sudah bilang, Mas. Jangan bawa-bawa nama cinta kalau kamu saja berani mendua. Kebohongan besar itu, Mas! Dan aku tidak percaya lagi dengan perkataanmu."
Raka masih setia menunduk. Genggaman di tangan Lusi pun semakin erat. Apakah dia mulai putus asa?
Lusi diam sejenak, menjeda emosi yang sebelumnya membuncah. Beberapa kali dia menarik napas dan membuangnya secara perlahan.
Lusi masih tidak percaya kalau semua ini terjadi. Sungguh seperti mimpi buruk yang tak berujung. Tak bisa lagi tergambarkan kesakitan dan hancurnya perasaan itu.
Sekarang, Lusi berpikir untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Jika Lusi bercerai, bagaimana dengan Alia? Dia tidak mau anaknya menjadi korban broken home. Tetapi, dia juga tidak sudi harus berbagi suami dengan wanita jalang itu. Tidak.
Lusi harus berpikir jernih. Tidak bisa diputuskan hari ini. Dia tidak akan rugi jika kehilangan Raka, tapi gantinya, Alia yang akan kehilangan kasih sayang ayahnya.
Apalagi Mila akan punya anak. Perhatian Raka pasti fokus pada anak Mila yang masih bayi.
'Tuhan, kenapa semua ini bisa terjadi? Apa yang harus aku lakukan?'
Saat pintu rumah itu dibuka, Mila terdiam. Dia melihat sekeliling rumah yang begitu mewah, arsitekturnya juga megah. Wanita itu sampai meneguk saliva dengan susah payah. Bahkan harta yang dia punya sekarang pun tidak akan sebanding dengan harga rumah ini, tapi entah kenapa David membuat rumah ini jauh dari pemukiman. Sepertinya untuk menyembunyikan rahasia besarnya, termasuk tentang hubungan mereka berdua. "Kenapa diam saja? Ayo masuk!" seru Aldo membuyarkan lamunan Mila.Wanita itu dengan susah payah berusaha untuk memberanikan diri. Bagaimanapun dia harus menyelesaikan masalah ini dengan David dan segera pulang. Wanita itu tidak mau terjadi hal yang buruk kepada dirinya dan anak yang ada di dalam kandungan. Dengan agak kasar Aldo mendorong Mila untuk kembali berjalan. Aldo menyuruh wanita itu untuk naik ke lantai 2. Semakin tak karuan perasaan Mila. Mungkin saja memang ada bahaya yang ada di sana. "Kamu akan menjebak saya?!" tanya Mila lagi."Jalan saja, tidak usah banyak bicara
Tak lama kemudian Aldo dan Mila sampai di sebuah rumah yang jauh dari perkampungan. Tempat ini sangat terpencil dari kota, bahkan dari pinggiran Jakarta. Atau mungkin ada di perbatasan Jakarta. Mila sampai melihat ke sekitar, hanya ada pepohonan yang berjajar rapi. Rumah ini pun berada terpencil dan hanya satu-satunya di antara perkebunan itu. Dia tidak tahu itu pohon apa, yang pasti Mila dibawa ke tempat di mana orang-orang tidak tahu tempat itu.Mila merasa kalau dia sudah berada di tempat yang salah. Wanita itu pun langsung melirik kepada Aldo dengan tatapan tajam. "Kamu menculik saya ke mana, hah?!" Sayangnya, Aldo tidak mengatakan apa-apa. Saat sampai di depan gerbang rumah megah itu, ada dua penjaga yang berpakaian serba hitam. Mereka memakai kacamata dan membukakan gerbang untuk mobil Aldo. Dengan cepat gerbang itu segera dikunci setelah mobil Aldo melewati dan sampai di depan pintu rumah itu. Aldo keluar dari mobil, sementara Mila masih kebingungan. Dia tidak tahu harus m
"Halo, ada apa?" tanya Maura, wajahnya masih kesal. Nadanya juga ketus, membuat orang yang di seberang sana kaget sampai menjauhkan ponselnya sendiri."Mbak, kenapa sih tiba-tiba saja marah? Aku kan nelepon baik-baik," ucap orang di seberang sana yang ternyata Imel. Maura berusaha untuk menenangkan diri. Lagian salah Imel, tiba-tiba saja menelepon saat dirinya sedang bad mood. "Ya, ya. Sudah cepat katakan, apa lagi? Kalau mau minta uang tambahan, nggak ada, ya. Sesuai dengan kesepakatan kita, 50% : 50%.""Bukan masalah itu, Mbak. Aku malah mau ngasih tahu, kalau kita punya project baru dan ini akan menguntungkan kita kedua," ucap Imel dengan semangat, membuat Maura yang sebelumnya kesal langsung sembringah. Dia sampai terduduk tegak dengan wajah berseri-seri. "Project baru? Sebutkan apa itu? Memang apa yang harus aku lakukan?" tanya Maura dengan semangat pula. "Gini, Mbak. Kata Mas Raka, dia akan kasih upah pada siapa saja yang bisa memberikan informasi tentang siapa David sebena
Aldo menyeringai tajam, sepertinya wanita ini masih juga belum sadar bagaimana posisinya saat ini. Tetapi tampaknya sangat menarik kalau membuat wanita ini kelabakan. "Baiklah, kalau begitu saya akan membebaskan Anda, tapi saya yakin Anda pasti tidak akan bisa memenuhi nominal yang saya inginkan," ucap Aldo membuat Mila kesal.Wanita itu menyilangkan kedua tangan di depan dada, sembari menaikkan dagu. Menandakan kalau dia tidak suka dengan perkataan pria itu. "Jangan sembarangan kamu! Sebutkan nominalnya. Butikku itu sudah terkenal di olshop manapun, jadi berapa uang yang kamu minta, pasti saya akan berikan," timpal Mila dengan percaya diri, karena dia yakin bisa menebus dirinya sendiri jika pria ini meminta uang darinya.Menurutnya tak masalah kehilangan banyak uang, yang penting keselamatan dirinya terjamin. Apalagi Mila takut kalau Raka sampai tahu bagaimana masa lalunya dengan David.Aldo mengangguk-anggukan kepala. Dia menoleh sembari tersenyum kecil."Baiklah, 10 miliar." Sek
Mila terkesiap. Dia tidak menyangka kalau pria ini bisa membaca pikirannya. Wanita hamil itu sampai meneguk saliva dengan susah payah."Anda tahu saya adalah orang yang lebih berpengalaman dalam bidang ini. Jangan pernah coba-coba untuk menipu saya. Apalagi berusaha kabur, kalau Anda tidak percaya silakan telepon Pak David dan pastikan kalau saya memang adalah bawahannya," ujar Aldo dengan percaya diri, tetapi tentu saja Mila tidak melakukan itu.Bahkan sang wanita sudah memblokir dan menghapus nama David dari ponselnya. Mereka hanya bertemu satu malam dan bisa mendapatkan uang sebanyak itu atas belas kasihan David. Bahkan David sudah berbicara kalau dia akan melupakan kejadian itu selamanya dan tidak akan pernah mengungkit-ngungkit lagi, tetapi kenapa semua tidak sesuai dengan perkataan David? Harusnya pria itu menepati janji. Sebagai seorang laki-laki yang dipegang adalah ucapannya, tetapi tidak bagi David. Ini benar-benar memuakkan untuk Mila. Baru saja dia ingin mengendalikan Ra
Melihat diamnya Maura, Winda pun tersenyum senang. Sekarang setidaknya dia sudah punya pembela. Walaupun mungkin Bu Sinta menjadi mertua yang materialistis, tetapi itu lebih baik daripada dia berjuang sendiri dan diperas oleh anak kecil seperti Maura. "Kenapa diam saja? Bingung, kan? Jadi, sekarang jangan datang lagi ke tempatku. Kamu aku pecat! Lagian, kalau kamu memang mau kerja sama orang lain, ikuti aturannya. Jangan semena-mena. Kalau kamu seperti ini, yang ada aku rugi," ujar Winda. Setelah itu sang wanita memilih untuk pergi. Dia memakai mobilnya agar segera sampai di rumah Bu Sinta. Walaupun tak jauh dari sana, tetapi yang penting dia cepat ketemu dengan mertuanya. Kalau berjalan, bisa-bisa Maura menyusul atau mungkin berbuat jahat kepadanya.Winda pergi begitu saja, mobilnya meninggalkan Maura yang berdiri dengan kebingungan.Maura yakin ada yang tidak beres di sini. Pasti Bu Sinta dan wanita itu punya sesuatu sampai mereka bisa bersekongkol. Karena terakhir yang diketahui