"Wah ... Pangeran sudah datang rupanya, silahkan bergelayut tuan putri selangkangan," ledekku saat melihat yang datang adalah Mas Arga, aku juga nggak ngerti kenapa mulutku benar-benar tajam sekarang ini.
Hanin! Bentak Mas Arga, tapi suaranya tidak setinggi tadi pas di dampingi ibunya.Tidak ku hiraukan bentakannya, kakiku dengan tegas melangkah ke kamar menyusun pakaianku dan anak-anak. Tidak selang berapa lama Mas Arga menyusulku ke kamar saat aku mulai mengangkat satu per satu koper yang sudah ku isi penuh."Hanin," panggilnya lembut, ku tulikan telingaku, kuseret dua koper sekaligus saat hendak melewatinya, Mas Arga kembali memegang pergelangan tanganku membuatku kembali emosi."Apa, sih?!" bentakku lalu ku hempaskan tangannya dengan kasar."Kamu kok jadi kasar, sih?" bukannya menjawab ia malah balik memberi pertanyaan yang sangat bodoh."Kamu tanya aku kenapa kasar, tanya sendiri pada dirimu Arga, jawabannya ada pada dirimu," jawabku berusaha tenang sambil menunjuknya."Oke, aku tahu aku salah, tapi kita bisa bicara baik-baik," ucapnya mengalah, bukannya aku luluh, bibirku malah menunjukkan senyum mengejek."Boleh Mas, kamu wajib bicara baik-baik dengan pelakor itu ya kedepannya, oke, biar kalian nggak cerai juga," sambungku lalu kembali ke seret koper itu sampai ke mobil.Setelah semuanya selesai aku langsung menutup mobil, tapi sebelumnya aku bergegas keluar pagar menuju ke rumah Pak RT untuk memberi tahu jika ada sepasang kekasih yang tinggal satu atap, tapi belum menikah.Setelah selesai, aku kembali masuk ke halaman rumah, ternyata Mas Arga dan pelakor itu sudah berdiri di teras, aku hanya tersenyum licik padanya lalu masuk ke mobil dan pergi meninggalkan rumah yang sudah 7 tahun kutempati itu.Sebelum meluncur ke rumah peninggalan orang tuaku, kusempatkan ke rumah Sinta untuk menjemputnya. "Assalamualaikum," ucapku saat berada di ambang pintu rumah Sinta, terlihat dari kejauhan Sinta bergegas menghampiriku."Walaikumsalam, gimana, Nin?" tanyanya penasaran.
"Dia sudah menalakku dan aku akan tinggal di rumah peninggalan kedua orang tuaku, sekarang kemasi pakaianmu dan Fandi, yuk nginap di rumahku," ajakku tanpa basa-basi membuat Sinta menyergit."Kok buru-buru Nin, istirahat dulu," tawarnya dengan ramah, aku langsung menggeleng."Nggak usah Sin. Hana dan Dani sedang bersama Ayah mertuaku, takut mereka sampai duluan ke rumah, kita belum sampai disana," tolakku, kulihat Sinta mangut-mangut."Oke bentar ya, ku ambil keperluan dulu," lanjutnya, aku langsung mengangguk.Tidak berapa lama kemudian, Sinta dan Fandi sudah rapi. Tanpa membuang waktu kami langsung menempuh perjalanan ke rumah baruku.Sekitar satu jam kami sudah sampai di rumah baruku itu. Begitu kami sampai, kulihat Hana dan Dani sudah di teras bersama Ayah mertuaku.Aku langsung turun dan bergegas mengahmpiri mereka yang diikuti Sinta dan Fandi. Fandi langsung berlari menghampiri Hana dan dani yang sedang bermain, kulihat ada mainan baru di tangan mereka, mungkin ayah membelikannya."Ayah udah lama sampai?" tanyaku sambil menyalam tangan Ayah yang diikuti dengan Sinta."Belum, kami baru sampai, kamu udah makan?" tanya Ayah. Aku memang tidak merasakan kasih sayang Ayah kandungku, tapi kasih sayang Ayah mertuaku sudah lebih dari kasih sayang Ayah kandung."Udah Ayah," jawabku berbohong padahal aku belum makan dari pagi, demi menyelesaikan semua masalah ini.
"Jangan sungkan sama Ayah, Nak. Jika kamu merasa tidak nyaman dengan Ayah mertuamu karena Arga, maka Ayah tidak apa-apa. Anggap 'lah Ayah sebagai Ayah kandungmu bukan mertuamu," terang Ayah membuatku bungkam seribu bahasa, hati seperti apa yang dimiliki Ayah mertuaku."Ya udah kalo gitu Ayah pulang ya," pamit Ayah membuatku kaget."Bukannya Ayah baru sampe, masuk dulu Ayah," bujukku, Ayah langsung melihat jam tangannya."Tidak apa-apa Nak, Ayah takut kemalaman di jalan, sekarang udah jam 5.30. Lain waktu Ayah datang lagi ya kesini," ucap Ayah lalu berjalan ke arah mobilnya, membuat mataku kembali memanas. Aku memang sudah memutuskan hubungan dengan Mas Arga dan Ibu mertuaku, tapi tidak dengan Ayah, beliau akan tetap jadi Ayahku selamanya."Hanin," panggil Sinta pelan sambil memegang pundakku, membuatku langsung tersadar lalu menoleh."Yuk masuk, udah mau adzan," ajaknya, aku langsung mengangguk lalu masuk ke dalam."Loh, itu nasi kotak siapa? Kok banyak banget sampe 10 kotak?" tanyaku, mendengar itu Bik Sumi langsung menghampiriku."Itu Non, tadi si Bapak yang ngasih katanya buat makan malam," jawab Buk Sumi, lagi-lagi aku terharu pada Ayah."O iya, Bibik biasanya pulang atau tinggal disini?" tanyaku karena memang belum tahu, kulihat Bik Sumi terkekeh."Rumah saya di samping Non, kita tetanggaan," jawabnya membuatku dan Sinta ikut tertawa."Maaf ya Bik, saya nggak tahu," "Tidak apa-apa Non, kalo gitu saya pulang dulu ya Non, udah mau Magrib, biasanya saya di sini sampe jam 5 sore, tapi tadi karena ada Bapak saya nggak enak," tuturnya membuatku mangut-mangut."Ya udah, Bibik sekalian bawa 5 kotak nasi itu kerumah Bibik aja, soalnya kami cuma lima orang juga," lanjutku yang dibalas anggukan olehnya.***PoV Arga
Aku duduk di sofa dan kembali mengingat kejadian tadi pagi, dimana aku menjatuhkannya talak pada Hanin. Apa setelah ini aku tidak bisa lagi ketemu Hana dan Dani? Ah, otakku buntu sekarang."Sayang," panggil Mita tiba-tiba duduk di sampingku, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 8 malam."Yuk aku antar pulang," ajakku, tapi Mita malah menggeleng."Kok pulang, sih? Kita di sini aja, sih," kesalnya lalu memanyunkan bibirnya membuatku langsung tertawa."Nggak bisa sayang tadi itu, aku lihat Hanin pergi ke arah rumah Pak RT, aku takut kalo kamu tidur disini kita akan di grebek," terangku membuatnya langsung kesal."Memang mantan istri kamu itu iblis ya, liat nih muka aku aja masih perih gara-gara tamparannya," tambah Mita membuatku langsung bungkam, aku juga bingung kenapa Hanin berubah 180°, padahal biasanya ia selalu mengalah dan tidak mau marah-marah."Iya udah, nggak usah di pikirin, yuk nanti kemalaman," lanjutku lalu menarik tangan Mita pelan.Begitu kami keluar rumah, kulihat Pak RT hendak masuk ke pekarangan rumah."Sayang kamu masuk ya, ada Pak RT disana," suruhku, dengan segera Mita masuk ke dalam mobil. Lalu kulangkahkan kakiku menghampiri Pak RT."Assalamualaikum Pak Arga," sapa Pak RT ramah."Walaikumsalam Pak, ada yang bisa saya bantu," jawabku tidak kalah ramah."Em … begini Pak, bukan bermaksud mencampuri urusan keluarga Bapak, tadi Bu Hanin bilang ke saya kalo kalian sudah cerai dan Bu Hanin juga meminta untuk mengawasi rumah ini," terang Pak RT membuatku langsung kaget, Hanin memberi tahu tentang perceraian mereka."Gini Pak, saya tidak melarang Bapak melakukan apapun yang Bapak mau, tapi kalo bisa jangan disini Pak, saya juga tidak ingin berselisih dengan bapak, karena sudah hampir 6 tahun kita tetanggaan," lanjut Pak RT, membuatku seperti di tangkap basah sekarang."Baik Pak, terima kasih sudah mengingatkan saya," jawabku tidak ingin memperpanjang masalah. Setelah Pak RT pergi, aku langsung masuk ke dalam mobil."Kenapa sayang? Kok pucat gitu?" tanya Mita sambil mengusap wajahku."Hanin memberi tahu Pak RT tentang kita dan tadi Pak RT ngasih peringatan," terangku membuat Mita langsung berhenti mengusap wajahku, terlihat aura kemarahan di wajahnya."Memang cewek ini nyari masalah terus," gumamnya, tapi sorot matanya lebih tajam."Udah sayang, nggak udah di pikirin," lanjutku menenangkannya supaya tidak semakin berapi-api.Setelah mengantar Mita pulang, aku kembali ke rumah, malam ini aku ingin menenangkan diriku terlebih dahulu, tapi apa yang kudapat.Begitu aku masuk ke rumah, aku seperti mendengar suara teriakan Dani dan Hana seolah-olah mereka sedang kejar-kejaran. Langsung ku gelengankan kepalaku untuk menghilangkan bayangan itu lalu mengunci pintu.Lalu aku masuk ke kamar ingin mengistirahatkan tubuhku yang terasa remuk seharian ini menghadapi perceraian dan kemarahan Ayah dan Hanin.Bagitu aku membuka pintu kamar, samar-samar aku melihat Hanin sedang menyusun pakaian ke lemari."Hanin," panggilku sambil melangkah mendekat, begitu tanganku hendak menyentuh pundaknya.Tiba-tiba aku tidak melihat Hanin lagi, dan ternyata tanganku memegang pintu lemari. Aku langsung duduk di tepi ranjang, kenapa aku dihantui bayangan mereka bertiga.Ku usap berkali-kali wajahku untuk memperjelas pengalihatanku, lalu ku rebahakan tubuhku ke ranjang, tanpa menunggu lama, aku langsung terjun ke alam mimpi.***Pagi hari aku menggeliat lalu tanganku meraba ke samping, karena merasa tidak ada orang aku langsung membuka mataku dan berusaha duduk.
"Hanin," panggilku, tapi anehnya tidak ada sahutan. Tanpa membuang waktu aku langsung keluar dari kamar."Hana, Dani," panggilku, namun hasilnya tetap nihil. Tidak sengaja mataku melihat masih ada beberapa pecahan vas bunga di sudut lantai.Detik kemudian aku langsung sadar dan menepuk jidatku, Hanin dan anak-anak 'kan sudah pindah.Ku pungut kaca yang kececer tersebut mungkin Mita tidak melihatnya makanya masih ada yang tertinggal, karena kemaren malam Mita yang membersihkan pecahan vas tersebut."Aku bisa gila, jika seperti ini terus," gumamku sambil membuang kaca tersebut ke tong sampah.***Hari-hari berlalu Hanin dan anak-anak terlihat bahagia walaupun tanpa Arga, karena biasanya juga Arga hanya numpang tidur di rumah, untuk mengajak anak-anak main-main, ia bahkan sangat jarang."Bunda," panggil Hana, saat melihatku sedang memasak di dapur. Aku langsung menoleh melihatnya.
"Kenapa sayang?" tanyaku lembut padanya.
"Bunda, Ayah kok nggak ikut ke sini?"
Jleb!
Pertanyaan Hana membuatku langsung pusing harus menjawab apa. Ternyata Hana sangat mengingat Ayahnya, berbeda dengan Dani sekalipun ia tidak pernah menanyakan hal itu padaku.
"Ayahmu pergi kerja lama," jawab seseorang membuatku langsung menoleh begitu juga dengan Hana.
"Sinta, nyampe kapan?" tanyaku saat ia sudah berdiri di samping kulkas, Sinta langsung tertawa lalu menaruh kantong plastik di tangannya ke atas kulkas. "5 menit yang lalu," jawabnya tanpa melihatku. "Anty, itu apa?" tanya Hana sambil menunjuk kantong plastik yang dibawa Sinta tadi. "Ini apel, kamu mau?" lanjut Sinta yang dibalas anggukan oleh Hana, setelah memberikannya pada Hana. Sinta kembali mendekatiku yang sedang mengiris bawang sambil menahan perih. "Nggak terasa ya Nin, udah tiga minggu aja setelah kamu cerai sama Arga," ucap Sinta membuatku langsung berhenti mengiris bawang lalu melihatnya. "Iya Sin, tapi aku belum sempat juga ngurus surat perceraian kami. Aku nggak boleh boros dulu sekarang ini demi anak-anak," curhatku membuat Sinta langsung mangut-mangut. "Iya udah sih, itu mah bisa belakang toh kamu juga belum mau nikah 'kan?" godanya membuatku langsung terkekeh. "Nikah dari Hongkong, cukup melihat anak-anakku bahagia, itu udah lebih dari cukup buatku, Sin," lanjutk
"Em … jalan yuk, aku sambil cerita," ucapku yang dibalas anggukan oleh Dimas, perlahan ia mulai menjalankan mobil. "Sebenarnya, aku baru aja bercerai sekitar 3 minggu yang lalu," ucapku mulai menceritakan tentang keluarga kecilku, Dimas yang mendengar penuturan singkatku itu langsung menepikan mobil membuatku langsung bingung. "Kenapa? Bannya kempes 'kah?" tanyaku, tapi tidak di hiraukan oleh Dimas. "Katakan kenapa suamimu menceraikanmu, apa kesalahan mu?" cecarnya membuatku langsung tersenyum, ia sama sekali tidak berubah dari zaman kuliah sampe sekarang, masih suka kepo berlebihan kepadaku. "Aku minta cerai karena dia selingkuh terang-terangan di depanku," jawabku santai sambil mengusap-usap kepala Dani. Aku menoleh ke belakang mendapati Hana juga sudah tertidur sambil memeluk barbienya. "Ada yang bisa ku bantu," tawaranya membuatku langsung menyergit, perasaan aku tidak meminta pertolongan apapun. "Maksudnya?" tanyaku memperjelas tawarannya tersebut. Kulihat Dimas menari nafas
"D--dimas," ucapku tidak percaya membuat Dimas langsung tersenyum. "Jadi yang tadi suamimu? Lumayan 'lah ya mukanya, tapi tidak dengan mulutnya," ledek Dimas membuatku langsung menggaruk alisku yang tidak gatal. "Kok kamu ke sini lagi dan kenapa pakaianmu berbeda?" tanyaku mulai penasaran, kulihat ia membuka topinya dan mengibaskan rambutnya seperti anak perempuan. "Hanin … Hanin, 'kan aku udah bilang, aku ini aktor beneran, masih nggak percaya aja," terangnya membuatku langsung mengernyitkan dahiku tidak percaya. "Bunda …," terdengar suara tangisan Dani dari kamar, sepertinya sudah bangun. "Duduk dulu, aku jemput Dani dulu ke kamar," tawarku sambil menunjuk sofa, kulihat ia mengangguk lalu berjalan ke arah sofa. Beberapa detik kemudian, aku kembali ke ruang tengah sambil menggendong Dani. Lalu aku duduk berseberangan dengan Dimas. "Ayo Dimas, jelasin kenapa kamu bisa ke sini lagi?" aku mengulang pertanyaan, kulihat ia menarik nafas terlebih dahulu. "Jadi tuh, aku kesini karena
"Sehebat apa kamu sekarang benari bohong sama, Ayah?" tanya Ayah lagi, aku langsung panas dingin. Apa Ayah tahu aku dari rumah Hanin? Tok! Tok! Tok! "Masuk," suruh Ayah, tampak seorang perempuan yang berpakaian tidak terlalu seksi. "Maaf Pak, tamu dari perusahaan Dimas company sudah datang, Pak," ucap perempuan itu, sedangkan aku masih harus menahan sakit bekas tamparan Ayah. "Iya, 5 menit lagi saya ke ruangan rapat," jawab Ayah. Setelah perempuan itu pergi Ayah kembali menatap tajam ke arahku. "Jangan coba-coba usik Hanin lagi, karena bagaimanapun juga warisan tidak akan Ayah kasih ke kamu, walaupun Hanin sudah mengikhlaskannya," ancam Ayah membuatku langsung kaget. Se sayang itukah Ayah pada Hanin, padahal jelas-jelas akulah anak kandungnya. "Kok gitu Yah, 'kan Arga satu-satu pewaris, Ayah," sanggahku tidak terima dengan keputusan Ayah. "Ayah tidak akan pernah ikhlas sampai kapanpun, jika uang dari warisan ini kamu gunakan untuk keperluan selingkuhanmu. Dosa besar Ayah menafka
"Em … terserah kamu aja, tapi Hana dan Dani suka ayam kecap ya," lanjutku, kulihat Dimas mengangguk. "Oke, aku pesan dulu ya," ucapnya lalu berdiri untuk memesan makanan. Mita yang melihat Dimas pergi memesan makanan langsung mencari alasan pada Mas Arga. "Sayang, aku pesan minum lagi," ucapnya tiba-tiba membuatku langsung tersenyum miring. Dasar murahan! Kulihat Mas Arga mengangguk lalu pelakor itu mulai mendekati Dimas, aku yang merasa risih terus di lihat sama Mas Arga langsung mencari akal. "Sayang, Bunda mau ke toilet bentar ya, jangan kemana-mana, bentar lagi Om Dimas datang," ucapku pada Hana dan Dani dengan niat biar mereka bisa berkomunikasi dengan Ayahnya. Saat aku masuk ke toilet, tiba-tiba ada yang menutup dan mengunci pintu toilet membuatku langsung berbalik melihatnya. Mataku langsung terbelalak melihat Mas Arga mengikutiku ke toilet wanita. "Mas, kamu ngapain ke sini? Ini toilet wanita," tanyaku hati-hati disertai rasa takut karena Mas Arga terus mendekatiku. Aku
Sebenarnya aku ingin masuk ke dalam toilet tersebut ingin memastikan Arga, tapi karena Hanin menarik tanganku mau tidak mau aku harus menurutnya. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagiku mulai dari restoran hingga sampai di rumah. Kenapa Hanin menangis? Apa Arga menuduhnya lagi? Kenapa Arga memegangi kelaminnya di toilet wanita? Apa Hanin yang melakukannya karena kesal dengan Arga? Keesokan harinya, aku sangat semangat bekerja karena akan bertemu lagi dengan Arga, aku akan membuatnya menyesal telah mencearaikan Hanin demi wanita murahan itu. Aku baru saja sampai di depan kantor Arga, belum sempat aku masuk. Samar-samar kulihat Mita sedang sendirian di parkiran seperti sedang menunggu seseorang. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengurungkan niatku masuk ke kantor, karena menurutku ini sedikit lebih menyenangkan. "Hay," sapaku dari belakangnya, detik kemudian ia langsung berbalik menghadapku lalu tiba-tiba mulutnya sedikit menganga mungkin ia tidak percaya aku menyapanya. "H
"Kamu ngapain di sini?" tanya Arga, kulihat dia berusaha sedatar mungkin agar tidak terjadi keributan. "Em … itu tadi aku kebetulan lewat, kamu sendiri ngapain?" tanyanya balik pada Arga. Pandai sekali kamu berbohong Mita! Udah kayak tukang sulap. "Aku mau bahas projec lah sama Dimas, terus kamu tadi ngapain megang perutnya juga?" tanya Arga lagi, kulirik ekspresi Mita sangat gugup, tapi ia tetap dengan senyumannya. "Eh … itu tadi ada nyamuk di bajunya makanya aku mau nepuk tadi mau bunuh nyamuknya, eh kamu keburu datang," jawab Mita, pandai sekali ia memilih alasan yang bagus di situasi mendesak. Mita langsung berdiri dari sampingku lalu menggeser kursinya ke dekat Arga, aku hanya diam tidak ingin memperkeruh suasana. Ku lihat Mita terus bergelayut manja di tangan Arga, tapi kakinya terus ia colek-colekkan ke kakiku di bawah meja. Benar-benar perempuan murahan. Selama kami membahas projec, Mita tidak henti-hentinya mengganggu kakiku hingga akhirnya tangan Aga tidak sengaja menjat
"Ya udah sekarang kita ke bagian administrasi, yuk," ajaknya, aku hanya melihat Dimas sekilas lalu mengekorinya dari belakang. "Berapa semua biaya atas nama Hana Anggraini yang berada di kamar nomor 87?" tanya Dimas pada petugas administrasi. "Sebentar ya, Pak," ucap perempuan berbaju biru dan berkerudung putih tersebut. "Sudah lunas Pak, totalnya 3 juta sudah semuanya," lanjut perempuan tersebut membuat Dimas langsung melihatku begitu juga denganku, aku langsung melihatnya sekilas lalu melihat perempuan itu lagi. "Siapa yang bayar, Mbak?" tanya Hanin membuka suara. "Disini tertulis, Arga Wijaya," jawabnya aku langsung mengangguk. "Baguslah dia udah membayarnya, toh Hana juga anaknya," lanjut Dimas lalu kami kembali ke ruangan Hana. Bagitu kami masuk, Mas Arga langsung berdiri lalu menghampiriku, kulihat Dimas meninggalkan kami lalu ia pergi ke dekat Hana. "Aku mau sholat dulu," ucap Mas Arga, aku yang sedari tadi tidak ingin melihat wajahnya hanya acuh tanpa menjawab apapun.