Share

Bab 10

"Wah ... Pangeran sudah datang rupanya, silahkan bergelayut tuan putri selangkangan," ledekku saat melihat yang datang adalah Mas Arga, aku juga nggak ngerti kenapa mulutku benar-benar tajam sekarang ini.

Hanin! 

Bentak Mas Arga, tapi suaranya tidak setinggi tadi pas di dampingi ibunya.

Tidak ku hiraukan bentakannya, kakiku dengan tegas melangkah ke kamar menyusun pakaianku dan anak-anak. Tidak selang berapa lama Mas Arga menyusulku ke kamar saat aku mulai mengangkat satu per satu koper yang sudah ku isi penuh.

"Hanin," panggilnya lembut, ku tulikan telingaku, kuseret dua koper sekaligus saat hendak melewatinya, Mas Arga kembali memegang pergelangan tanganku membuatku kembali emosi.

"Apa, sih?!" bentakku lalu ku hempaskan tangannya dengan kasar.

"Kamu kok jadi kasar, sih?" bukannya menjawab ia malah balik memberi pertanyaan yang sangat bodoh.

"Kamu tanya aku kenapa kasar, tanya sendiri pada dirimu Arga, jawabannya ada pada dirimu," jawabku berusaha tenang sambil menunjuknya.

"Oke, aku tahu aku salah, tapi kita bisa bicara baik-baik," ucapnya mengalah, bukannya aku luluh, bibirku malah menunjukkan senyum mengejek.

"Boleh Mas, kamu wajib bicara baik-baik dengan pelakor itu ya kedepannya, oke, biar kalian nggak cerai juga," sambungku lalu kembali ke seret koper itu sampai ke mobil.

Setelah semuanya selesai aku langsung menutup mobil, tapi sebelumnya aku bergegas keluar pagar menuju ke rumah Pak RT untuk memberi tahu jika ada sepasang kekasih yang tinggal satu atap, tapi belum menikah.

Setelah selesai, aku kembali masuk ke halaman rumah, ternyata Mas Arga dan pelakor itu sudah berdiri di teras, aku hanya tersenyum licik padanya lalu masuk ke mobil dan pergi meninggalkan rumah yang sudah 7 tahun kutempati itu.

Sebelum meluncur ke rumah peninggalan orang tuaku, kusempatkan ke rumah Sinta untuk menjemputnya. 

"Assalamualaikum," ucapku saat berada di ambang pintu rumah Sinta, terlihat dari kejauhan Sinta bergegas menghampiriku.

"Walaikumsalam, gimana, Nin?" tanyanya penasaran.

"Dia sudah menalakku dan aku akan tinggal di rumah peninggalan kedua orang tuaku, sekarang kemasi pakaianmu dan Fandi, yuk nginap di rumahku," ajakku tanpa basa-basi membuat Sinta menyergit.

"Kok buru-buru Nin, istirahat dulu," tawarnya dengan ramah, aku langsung menggeleng.

"Nggak usah Sin. Hana dan Dani sedang bersama Ayah mertuaku, takut mereka sampai duluan ke rumah, kita belum sampai disana," tolakku, kulihat Sinta mangut-mangut.

"Oke bentar ya, ku ambil keperluan dulu," lanjutnya, aku langsung mengangguk.

Tidak berapa lama kemudian, Sinta dan Fandi sudah rapi. Tanpa membuang waktu kami langsung menempuh perjalanan ke rumah baruku.

Sekitar satu jam kami sudah sampai di rumah baruku itu. Begitu kami sampai, kulihat Hana dan Dani sudah di teras bersama Ayah mertuaku.

Aku langsung turun dan bergegas mengahmpiri mereka yang diikuti Sinta dan Fandi. Fandi langsung berlari menghampiri Hana dan dani yang sedang bermain, kulihat ada mainan baru di tangan mereka, mungkin ayah membelikannya.

"Ayah udah lama sampai?" tanyaku sambil menyalam tangan Ayah yang diikuti dengan Sinta.

"Belum, kami baru sampai, kamu udah makan?" tanya Ayah. Aku memang tidak merasakan kasih sayang Ayah kandungku, tapi kasih sayang Ayah mertuaku sudah lebih dari kasih sayang Ayah kandung.

"Udah Ayah," jawabku berbohong padahal aku belum makan dari pagi, demi menyelesaikan semua masalah ini.

"Jangan sungkan sama Ayah, Nak. Jika kamu merasa tidak nyaman dengan Ayah mertuamu karena Arga, maka Ayah tidak apa-apa. Anggap 'lah Ayah sebagai Ayah kandungmu bukan mertuamu," terang Ayah membuatku bungkam seribu bahasa, hati seperti apa yang dimiliki Ayah mertuaku.

"Ya udah kalo gitu Ayah pulang ya," pamit Ayah membuatku kaget.

"Bukannya Ayah baru sampe, masuk dulu Ayah," bujukku, Ayah langsung melihat jam tangannya.

"Tidak apa-apa Nak, Ayah takut kemalaman di jalan, sekarang udah jam 5.30. Lain waktu Ayah datang lagi ya kesini," ucap Ayah lalu berjalan ke arah mobilnya, membuat mataku kembali memanas. 

Aku memang sudah memutuskan hubungan dengan Mas Arga dan Ibu mertuaku, tapi tidak dengan Ayah, beliau akan tetap jadi Ayahku selamanya.

"Hanin," panggil Sinta pelan sambil memegang pundakku, membuatku langsung tersadar lalu menoleh.

"Yuk masuk, udah mau adzan," ajaknya, aku langsung mengangguk lalu masuk ke dalam.

"Loh, itu nasi kotak siapa? Kok banyak banget sampe 10 kotak?" tanyaku, mendengar itu Bik Sumi langsung menghampiriku.

"Itu Non, tadi si Bapak yang ngasih katanya buat makan malam," jawab Buk Sumi, lagi-lagi aku terharu pada Ayah.

"O iya, Bibik biasanya pulang atau tinggal disini?" tanyaku karena memang belum tahu, kulihat Bik Sumi terkekeh.

"Rumah saya di samping Non, kita tetanggaan," jawabnya membuatku dan Sinta ikut tertawa.

"Maaf ya Bik, saya nggak tahu," 

"Tidak apa-apa Non, kalo gitu saya pulang dulu ya Non, udah mau Magrib, biasanya saya di sini sampe jam 5 sore, tapi tadi karena ada Bapak saya nggak enak," tuturnya membuatku mangut-mangut.

"Ya udah, Bibik sekalian bawa 5 kotak nasi itu kerumah Bibik aja, soalnya kami cuma lima orang juga," lanjutku yang dibalas anggukan olehnya.

***

PoV Arga

Aku duduk di sofa dan kembali mengingat kejadian tadi pagi, dimana aku menjatuhkannya talak pada Hanin. Apa setelah ini aku tidak bisa lagi ketemu Hana dan Dani? Ah, otakku buntu sekarang.

"Sayang," panggil Mita tiba-tiba duduk di sampingku, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 8 malam.

"Yuk aku antar pulang," ajakku, tapi Mita malah menggeleng.

"Kok pulang, sih? Kita di sini aja, sih," kesalnya lalu memanyunkan bibirnya membuatku langsung tertawa.

"Nggak bisa sayang tadi itu, aku lihat Hanin pergi ke arah rumah Pak RT, aku takut kalo kamu tidur disini kita akan di grebek," terangku membuatnya langsung kesal.

"Memang mantan istri kamu itu iblis ya, liat nih muka aku aja masih perih gara-gara tamparannya," tambah Mita membuatku langsung bungkam, aku juga bingung kenapa Hanin berubah 180°, padahal biasanya ia selalu mengalah dan tidak mau marah-marah.

"Iya udah, nggak usah di pikirin, yuk nanti kemalaman," lanjutku lalu menarik tangan Mita pelan.

Begitu kami keluar rumah, kulihat Pak RT hendak masuk ke pekarangan rumah.

"Sayang kamu masuk ya, ada Pak RT disana," suruhku, dengan segera Mita masuk ke dalam mobil. Lalu kulangkahkan kakiku menghampiri Pak RT.

"Assalamualaikum Pak Arga," sapa Pak RT ramah.

"Walaikumsalam Pak, ada yang bisa saya bantu," jawabku tidak kalah ramah.

"Em … begini Pak, bukan bermaksud mencampuri urusan keluarga Bapak, tadi Bu Hanin bilang ke saya kalo kalian sudah cerai dan Bu Hanin juga meminta untuk mengawasi rumah ini," terang Pak RT membuatku langsung kaget, Hanin memberi tahu tentang perceraian mereka.

"Gini Pak, saya tidak melarang Bapak melakukan apapun yang Bapak mau, tapi kalo bisa jangan disini Pak, saya juga tidak ingin berselisih dengan bapak, karena sudah hampir 6 tahun kita tetanggaan," lanjut Pak RT, membuatku seperti di tangkap basah sekarang.

"Baik Pak, terima kasih sudah mengingatkan saya," jawabku tidak ingin memperpanjang masalah. Setelah Pak RT pergi, aku langsung masuk ke dalam mobil.

"Kenapa sayang? Kok pucat gitu?" tanya Mita sambil mengusap wajahku.

"Hanin memberi tahu Pak RT tentang kita dan tadi Pak RT ngasih peringatan," terangku membuat Mita langsung berhenti mengusap wajahku, terlihat aura kemarahan di wajahnya.

"Memang cewek ini nyari masalah terus," gumamnya, tapi sorot matanya lebih tajam.

"Udah sayang, nggak udah di pikirin," lanjutku menenangkannya supaya tidak semakin berapi-api.

Setelah mengantar Mita pulang, aku kembali ke rumah, malam ini aku ingin menenangkan diriku terlebih dahulu, tapi apa yang kudapat.

Begitu aku masuk ke rumah, aku seperti mendengar suara teriakan Dani dan Hana seolah-olah mereka sedang kejar-kejaran. Langsung ku gelengankan kepalaku untuk menghilangkan bayangan itu lalu mengunci pintu.

Lalu aku masuk ke kamar ingin mengistirahatkan tubuhku yang terasa remuk seharian ini menghadapi perceraian dan kemarahan Ayah dan Hanin.

Bagitu aku membuka pintu kamar, samar-samar aku melihat Hanin sedang menyusun pakaian ke lemari.

"Hanin," panggilku sambil melangkah mendekat, begitu tanganku hendak menyentuh pundaknya.

Tiba-tiba aku tidak melihat Hanin lagi, dan ternyata tanganku memegang pintu lemari. Aku langsung duduk di tepi ranjang, kenapa aku dihantui bayangan mereka bertiga.

Ku usap berkali-kali wajahku untuk memperjelas pengalihatanku, lalu ku rebahakan tubuhku ke ranjang, tanpa menunggu lama, aku langsung terjun ke alam mimpi.

***

Pagi hari aku menggeliat lalu tanganku meraba ke samping, karena merasa tidak ada orang aku langsung membuka mataku dan berusaha duduk.

"Hanin," panggilku, tapi anehnya tidak ada sahutan. Tanpa membuang waktu aku langsung keluar dari kamar.

"Hana, Dani," panggilku, namun hasilnya tetap nihil. Tidak sengaja mataku melihat masih ada beberapa pecahan vas bunga di sudut lantai.

Detik kemudian aku langsung sadar dan menepuk jidatku, Hanin dan anak-anak 'kan sudah pindah.

Ku pungut kaca yang kececer tersebut mungkin Mita tidak melihatnya makanya masih ada yang tertinggal, karena kemaren malam Mita yang membersihkan pecahan vas tersebut.

"Aku bisa gila, jika seperti ini terus," gumamku sambil membuang kaca tersebut ke tong sampah.

***

Hari-hari berlalu Hanin dan anak-anak terlihat bahagia walaupun tanpa Arga, karena biasanya juga Arga hanya numpang tidur di rumah, untuk mengajak anak-anak main-main, ia bahkan sangat jarang.

"Bunda," panggil Hana, saat melihatku sedang memasak di dapur. Aku langsung menoleh melihatnya.

"Kenapa sayang?" tanyaku lembut padanya.

"Bunda, Ayah kok nggak ikut ke sini?" 

Jleb!

Pertanyaan Hana membuatku langsung pusing harus menjawab apa. Ternyata Hana sangat mengingat Ayahnya, berbeda dengan Dani sekalipun ia tidak pernah menanyakan hal itu padaku.

"Ayahmu pergi kerja lama," jawab seseorang membuatku langsung menoleh begitu juga dengan Hana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status