"Apa kesalahan Hanin dalam berumah tangga, sehingga kamu tega berbuat seperti ini," tanya Ayah, kulihat Mas Arga hanya menggeleng.
"Jadi kenapa kamu selingkuh? Dibilang Hanin mandul, tidak, kalian bahkan punya dua anak. Dibilang Hanin tidak bisa memiliki keturunan laki-laki, tidak, kalian punya Dani. Dibilang Hanin nggak bisa mencari uang, tidak, dia sarjana, ngajar juga, bahkan dulu kamu yang membujuk-bujuknya untuk berhenti bekerja. Apa Hanin tidak memberi nafkah batin sehingga kamu putuskan untuk selingkuh?" Ayah mengungkap semuanya. Aku memang salut sama Ayah, ia tidak pernah menyalahkan satu sisi.
Aku semakin bingung, lagi-lagi Mas Arga menggeleng, kenapa dia? Dan Ibu mertuaku tetap pada posisi antagonisnya, ia bahkan membuang pandangannya dari kami.
"Kenapa kamu hanya menggeleng Arga? Jawab!" bentak Ayah membuatku langsung kaget, untunglah anak-anak berada di teras, kalo tidak mereka bisa ketakutan.
"Hanin nggak salah apa-apa, Ayah," kata-kata itu keluar dari mulut Mas Arga, kulihat Ayah langsung menarik nafas dalam-dalam.
"Terus kenapa?" tanya Ayah lagi kali ini nada bicaranya mulai menurun, Mas Arga terlihat sangat bingung, ia juga dengan susah payah menelan salivanya.
"Aku khilaf," jawabnya singkat membuat bola mataku hampir keluar mendengar jawaban indah itu. Bisa-bisanya dia cuma bilang khilaf, tapi terang-terangan di depanku selingkuhan.
"Apa aku seperti orang bodoh dimatamu, Mas? Sehingga jawabanmu sangat enteng dan santai, jelas-jelas di depanku kau memamerkan hubunganmu, dan itu nggak cuma sekali," mulutku tidak tahan untuk tidak menjatuhkannya.
"Heh kamu, jadi perempuan itu yang benar jangan mau enaknya aja," mulut pedas Ibu mertuaku kembali menyerangku, ia tidak tahu jika di badanku ini sudah dipenuhi amarah dari tadi malam.
"Heh Ibu mertuaku yang ku hormati, dengar aku baik-baik, sekarang siapa diantara kita yang mau enaknya aja, aku atau Ibu? Aku yakin Ibu belum lupa dengan apa yang baru saja Ayah katakan, semua warisan ini diawali dengan harta kedua orangtuaku. Bahkan baju yang kau pake itu mungkin masih termasuk harta orang tuaku! Ibu tidak mendengar Ayah di PHK karena tuduhan korupsi, bayangkan jika Ayahku tidak ada, apa yang terjadi sama Ayah? Beruntungnya Ayahku punya sahabat seperti Ayah yang jujur, tidak mau enaknya aja!" jawabku dengan lebih pedas lagi padanya, mumpung sekarang ingin mengakhiri semuanya akan ku hajar siapapun yang menjatuhkanku dan anak-anakku.
Ayah tidak marah dengan apa yang ku katakan barusan karena memang aku berbicara sesuai fakta, tapi tidak Mas Arga raut wajahnya tampak marah mendengar ucapanku barusan.
"Bisa sopan nggak sama, Ibu?" tanya Mas Arga dengan suara yang tertahan, aku tidak takut sama sekali.
"Baiklah Mas, selama ini aku sopan sama Ibu mertua tercinta, tapi apa pernah ia baik sekali saja untukku, Arga Wijaya!" bentakku, aku benar-benar sudah tidak tahan dengan semua ini, biar ku keluarkan semua amarahku hari ini.
Ku lihat Mas Arga langsung bungkam, tapi matanya menatap tidak suka ke arahku. Aku berpihak pada Ayah, jika Ayah melarang maka aku diam, jika tidak di larang, aku bebas memaki kalian.
"Talak aku sekarang juga!" lanjutku dengan nada tinggi membuatnya langsung emosi.
"Enggak!" bentak Mas Arga membuatku tersenyum miring.
"Kenapa? Nyesal udah duain aku yang ternyata orang kaya? Asal kamu tau Mas, nggak ada gunanya kamu pertahanin aku, udah telat, aku juga nggak bakalan mau baik-baik sama Ibumu lagi, setalah aku tahu semuanya yang numpang enak itu ternyata siapa dan seleraku juga bukan kamu lagi, sampe sini kau ngerti Mas maksudku?" jawabku tidak mau kalah, kali ini aku tidak akan baik ke siapapun lagi, kecuali ke Ayah, kulihat Mas Arga bungkam dan Ibu menatapku tidak suka.
"Kenapa, Bu? Apa semua yang ku katakan tidak benar?" tanyaku dengan nada mengejek, Ibu memilih mengalihkan pandangannya.
"Selama ini aku diam, di hina, di maki, di gibah bahkan di finah oleh Ibu mertuaku sendiri, setalah itu lanjut ke suami yang nggak ada otak dan iman, semudah itu selingkuh. Menurutku ini udah lebih dari cukup, kalo di film 'kan ini bakal lama banget habisnya, jadi untuk mengakhirinya maka di endingkan saja. Kau bisa bersama wanita murahan itu dan aku bebas, ayo sekarang talak," lanjutku, rasanya mulutku tengah mengeluarkan semua yang kupendam.
"Udah Arga talak aja, nggak ada gunanya istri seperti itu dipertahankan," Ibu mulai mengompor-ngompori Mas Arga.
"Betul sekali, aku juga nggak ada gunanya mempertahankan martua seperti, Anda," aku sengaja memanas-manasi Mas Arga.
"Hanin! Cukup kamu hina-hina Ibu! Sekarang aku jatuhkan talakmu!" ucapnya lalu berdiri dengan keadaan emosi, akhirnya dia mengucapkannya juga.
Aku langsung tersenyum puas mendengarnya, dan Mas Arga sadar akan ucapannya ia kembali duduk dengan lesu.
"Hanin ak-" ucapannya sengaja ku potong.
"Makasih Mas, sekarang aku bebas. Berbahagialah dengan Mita karena sekarang dia bukan pelakor lagi, tapi pelayan nafsumu," potongku membuatnya langsung menunduk, aku tidak peduli!
Kulihat Ayah berusaha memejamkan matanya, mungkin baginya ini terlalu dadakan, tapi tidak denganku, ini sudah terlalu lama.
"Ayah," panggilku pelan, membuat Ayah kembali membuka matanya lalu melihatku.
"Terima kasih banyak udah merawat Hanin hingga Hanin selesai kuliah bahkan sampai sekarang, Hanin nggak bisa balas itu semua," ucapku, kulihat sudut matanya mulai berair. Ya Tuhan kenapa aku seperti bercerai dengan Ayah, tidak terasa pipiku juga ikut basah.
"Iya Nak, Ayah ikhlas semuanya. Tapi boleh minta satu permintaan?" tanya Ayah, aku langsung mengangguk mengiyakan.
"Izinkan Ayah untuk ketemu dengan Hana dan Dani walaupun sekali seminggu," pinta Ayah, air mataku semakin deras mendengar permintaan itu yang seharusnya keluar dari mulut Mas Arga.
"Iya Ayah, kapanpun Ayah mau ketemu, Hanin izinkan," ucapku dengan suara yang mulai serak.
"Bunda …. Bunda!" teriak Dani dari teras sambil berlari ke arahku, segera ku hapus air mataku dengan cepat.
Langsung ku tangkap tubuh mungil itu saat sudah di depanku, kuangkat Dani kepangkuanku lalu kupeluk dan kucium anak kecil itu.
'Maafin Bunda Nak, kalian harus kehilangan kasih sayang seorang Ayah. Bunda janji akan menjaga dan merawat kalian semampu, Bunda,' batinku sambil memejamkan mataku.
"Bunda kenapa nangis?" tanya Hana yang baru saja menghampiriku, aku langsung kaget lalu menghapus air mataku.
"Nggak sayang bunda nggak apa-apa," jawabku lalu mengusap kepalanya.
"Bunda, Kakak lapar," rengek Hana sambil memegangi perutnya, kulihat Ayah meraih tangan Hana lalu mendudukkan Hana di sampingnya.
"Hana mau makan apa? Kakek beliin?" tanya Ayah aku tersenyum melihatnya, Dani langsung turun dari pangkuanku lalu beralih ke Ayah.
"Dani juga lapal, Kakek," tambah Dani sambil menarik-narik tangan Ayah membuat Ayah tersenyum lalu mengangkat Dani kepangkuannya.
Sedang Mas Arga, ia hanya diam menyaksikan Hana dan Dani dan Ibu mertua hanya berusaha membuat dirinya se jutek mungkin.
"Di dapur nggak ada makanan," ketus Ibu membuatku menyergit, siapa juga yang mau meminta makanannya, Ayah tidak meladeni ucapan Ibu.
"Yok kita beli makanan, Kakek yang bayar, mau?" ajaknya.
"Mau!" ucap mereka dengan girang.
"Em … Ayah, Hanin mau pulang ke rumah duluan untuk mengambil semua pakaian kami. Kalo Ayah mau sama mereka silahkan aja," pamitku membuat Ayah langsung mengangguk.
"Iya Nak, nanti Ayah antar mereka ke rumahmu yang baru saja ya, di sana ada Bik Sumi, dia yang selalu membersihkan rumah itu setiap hari, Ayah masih ingin sama mereka seharian ya," terang Ayah, aku yang mendengar itu hanya mengangguk lalu pamit pulang.
Sampai di halaman rumah, aku hendak membuka pintu mobil, tapi tiba-tiba tanganku di tahan oleh seseorang, aku langsung berbalik.
"Ngapain kamu, Mas!" bentakku lalu menghempaskan tangannya.
"Kamu mau kemana?" pertanyaan bodoh kembali muncul dari mulutnya.
"Apa kau gila? Kau baru saja menalakku dan itu artinya kita sudah putus, jangan berani-berani kau menyentuhku!" jawabku dengan nada tinggi.
"Hanin aku nggak sengaja tadi," lanjutnya membuatku muak.
"Sengaja nggak sengaja, tapi yang jelas kalimat itu sudah keluar dari mulutmu. Akan segera ku urus surat perceraian kita, ku tunggu kau di pengadilan," tantangku lalu aku masuk ke dalam mobil. Ku tinggalkan ia yang masih mematung melihat kepergianku.
Hampir 4 jam perjalanan, akhirnya aku sampai juga. Tapi anehnya kenapa pintu rumah terbuka, tanpa membuang waktu aku langsung turun dari mobil dan bergegas masuk.
Begitu aku masuk, kulihat Mita sedang duduk seperti ratu di sofa, darahku kembali mendidih melihatnya.
"Hai Mbak, kau udah pulang," sapanya, aku langsung menatapnya tajam.
"Pantes 'lah Mas Arga nggak mau sama Mbak, jahat rupanya seperti hantu," ledeknya, dia mengira sekarang waktunya bercanda.
Aku langsung mendekatinya, ia juga langsung berdiri di hadapanku, kuperhatikan dia dari atas sampai bawah sudah lalu aku menyunggingkan senyum.
"Ini bajunya harganya 2ribu rupiah ya," ledekku sambil menarik tali branya yang terlihat jelas.
"Mbak jangan kurang ajar ya!" bentaknya lalu menghempaskan tanganku.
"Kok kurang ajar, sih, 'kan biasanya wanita sepertimu biasa di gituin sama laki-laki 'kan?" tanyaku dengan nada mengejek, kulihat ia sangat marah lalu tangannya terangkat hendak menamparku.
"Hap," aku menangkap tangannya lalu ku cengkram dengan kuat membuatnya langsung meringis.
"Lihat 'lah ringisanmu saja seperti orang mendesah, pantes laki-laki selalu ingin mendengar suaramu ayu ini," ledekku lalu ku hempaskan tangannya dengan kuat lalu tanganku kembali terangkat.
Plak!
Aku menampar mukanya sekuat tenagaku, hingga di muka terlihat jelas cap tangan di wajah badutnya itu, kulihat bedaknya menempel di tanganku. Setelah ia memegangi wajahku kemudian tangannya kembali terangkat ingin membalas tamparanku, nafasnya memburu dan.
Mita!
Teriak seseorang dari pintu, kami berdua langsung menoleh.
Bentak Mas Arga, tapi suaranya tidak setinggi tadi pas di dampingi ibunya.
"Wah ... Pangeran sudah datang rupanya, silahkan bergelayut tuan putri selangkangan," ledekku saat melihat yang datang adalah Mas Arga, aku juga nggak ngerti kenapa mulutku benar-benar tajam sekarang ini. Hanin! Bentak Mas Arga, tapi suaranya tidak setinggi tadi pas di dampingi ibunya. Tidak ku hiraukan bentakannya, kakiku dengan tegas melangkah ke kamar menyusun pakaianku dan anak-anak. Tidak selang berapa lama Mas Arga menyusulku ke kamar saat aku mulai mengangkat satu per satu koper yang sudah ku isi penuh. "Hanin," panggilnya lembut, ku tulikan telingaku, kuseret dua koper sekaligus saat hendak melewatinya, Mas Arga kembali memegang pergelangan tanganku membuatku kembali emosi. "Apa, sih?!" bentakku lalu ku hempaskan tangannya dengan kasar. "Kamu kok jadi kasar, sih?" bukannya menjawab ia malah balik memberi pertanyaan yang sangat bodoh. "Kamu tanya aku kenapa kasar, tanya sendiri pada dirimu Arga, jawabannya ada pada dirimu," jawabku berusaha tenang sambil menunjuknya. "O
"Sinta, nyampe kapan?" tanyaku saat ia sudah berdiri di samping kulkas, Sinta langsung tertawa lalu menaruh kantong plastik di tangannya ke atas kulkas. "5 menit yang lalu," jawabnya tanpa melihatku. "Anty, itu apa?" tanya Hana sambil menunjuk kantong plastik yang dibawa Sinta tadi. "Ini apel, kamu mau?" lanjut Sinta yang dibalas anggukan oleh Hana, setelah memberikannya pada Hana. Sinta kembali mendekatiku yang sedang mengiris bawang sambil menahan perih. "Nggak terasa ya Nin, udah tiga minggu aja setelah kamu cerai sama Arga," ucap Sinta membuatku langsung berhenti mengiris bawang lalu melihatnya. "Iya Sin, tapi aku belum sempat juga ngurus surat perceraian kami. Aku nggak boleh boros dulu sekarang ini demi anak-anak," curhatku membuat Sinta langsung mangut-mangut. "Iya udah sih, itu mah bisa belakang toh kamu juga belum mau nikah 'kan?" godanya membuatku langsung terkekeh. "Nikah dari Hongkong, cukup melihat anak-anakku bahagia, itu udah lebih dari cukup buatku, Sin," lanjutk
"Em … jalan yuk, aku sambil cerita," ucapku yang dibalas anggukan oleh Dimas, perlahan ia mulai menjalankan mobil. "Sebenarnya, aku baru aja bercerai sekitar 3 minggu yang lalu," ucapku mulai menceritakan tentang keluarga kecilku, Dimas yang mendengar penuturan singkatku itu langsung menepikan mobil membuatku langsung bingung. "Kenapa? Bannya kempes 'kah?" tanyaku, tapi tidak di hiraukan oleh Dimas. "Katakan kenapa suamimu menceraikanmu, apa kesalahan mu?" cecarnya membuatku langsung tersenyum, ia sama sekali tidak berubah dari zaman kuliah sampe sekarang, masih suka kepo berlebihan kepadaku. "Aku minta cerai karena dia selingkuh terang-terangan di depanku," jawabku santai sambil mengusap-usap kepala Dani. Aku menoleh ke belakang mendapati Hana juga sudah tertidur sambil memeluk barbienya. "Ada yang bisa ku bantu," tawaranya membuatku langsung menyergit, perasaan aku tidak meminta pertolongan apapun. "Maksudnya?" tanyaku memperjelas tawarannya tersebut. Kulihat Dimas menari nafas
"D--dimas," ucapku tidak percaya membuat Dimas langsung tersenyum. "Jadi yang tadi suamimu? Lumayan 'lah ya mukanya, tapi tidak dengan mulutnya," ledek Dimas membuatku langsung menggaruk alisku yang tidak gatal. "Kok kamu ke sini lagi dan kenapa pakaianmu berbeda?" tanyaku mulai penasaran, kulihat ia membuka topinya dan mengibaskan rambutnya seperti anak perempuan. "Hanin … Hanin, 'kan aku udah bilang, aku ini aktor beneran, masih nggak percaya aja," terangnya membuatku langsung mengernyitkan dahiku tidak percaya. "Bunda …," terdengar suara tangisan Dani dari kamar, sepertinya sudah bangun. "Duduk dulu, aku jemput Dani dulu ke kamar," tawarku sambil menunjuk sofa, kulihat ia mengangguk lalu berjalan ke arah sofa. Beberapa detik kemudian, aku kembali ke ruang tengah sambil menggendong Dani. Lalu aku duduk berseberangan dengan Dimas. "Ayo Dimas, jelasin kenapa kamu bisa ke sini lagi?" aku mengulang pertanyaan, kulihat ia menarik nafas terlebih dahulu. "Jadi tuh, aku kesini karena
"Sehebat apa kamu sekarang benari bohong sama, Ayah?" tanya Ayah lagi, aku langsung panas dingin. Apa Ayah tahu aku dari rumah Hanin? Tok! Tok! Tok! "Masuk," suruh Ayah, tampak seorang perempuan yang berpakaian tidak terlalu seksi. "Maaf Pak, tamu dari perusahaan Dimas company sudah datang, Pak," ucap perempuan itu, sedangkan aku masih harus menahan sakit bekas tamparan Ayah. "Iya, 5 menit lagi saya ke ruangan rapat," jawab Ayah. Setelah perempuan itu pergi Ayah kembali menatap tajam ke arahku. "Jangan coba-coba usik Hanin lagi, karena bagaimanapun juga warisan tidak akan Ayah kasih ke kamu, walaupun Hanin sudah mengikhlaskannya," ancam Ayah membuatku langsung kaget. Se sayang itukah Ayah pada Hanin, padahal jelas-jelas akulah anak kandungnya. "Kok gitu Yah, 'kan Arga satu-satu pewaris, Ayah," sanggahku tidak terima dengan keputusan Ayah. "Ayah tidak akan pernah ikhlas sampai kapanpun, jika uang dari warisan ini kamu gunakan untuk keperluan selingkuhanmu. Dosa besar Ayah menafka
"Em … terserah kamu aja, tapi Hana dan Dani suka ayam kecap ya," lanjutku, kulihat Dimas mengangguk. "Oke, aku pesan dulu ya," ucapnya lalu berdiri untuk memesan makanan. Mita yang melihat Dimas pergi memesan makanan langsung mencari alasan pada Mas Arga. "Sayang, aku pesan minum lagi," ucapnya tiba-tiba membuatku langsung tersenyum miring. Dasar murahan! Kulihat Mas Arga mengangguk lalu pelakor itu mulai mendekati Dimas, aku yang merasa risih terus di lihat sama Mas Arga langsung mencari akal. "Sayang, Bunda mau ke toilet bentar ya, jangan kemana-mana, bentar lagi Om Dimas datang," ucapku pada Hana dan Dani dengan niat biar mereka bisa berkomunikasi dengan Ayahnya. Saat aku masuk ke toilet, tiba-tiba ada yang menutup dan mengunci pintu toilet membuatku langsung berbalik melihatnya. Mataku langsung terbelalak melihat Mas Arga mengikutiku ke toilet wanita. "Mas, kamu ngapain ke sini? Ini toilet wanita," tanyaku hati-hati disertai rasa takut karena Mas Arga terus mendekatiku. Aku
Sebenarnya aku ingin masuk ke dalam toilet tersebut ingin memastikan Arga, tapi karena Hanin menarik tanganku mau tidak mau aku harus menurutnya. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagiku mulai dari restoran hingga sampai di rumah. Kenapa Hanin menangis? Apa Arga menuduhnya lagi? Kenapa Arga memegangi kelaminnya di toilet wanita? Apa Hanin yang melakukannya karena kesal dengan Arga? Keesokan harinya, aku sangat semangat bekerja karena akan bertemu lagi dengan Arga, aku akan membuatnya menyesal telah mencearaikan Hanin demi wanita murahan itu. Aku baru saja sampai di depan kantor Arga, belum sempat aku masuk. Samar-samar kulihat Mita sedang sendirian di parkiran seperti sedang menunggu seseorang. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengurungkan niatku masuk ke kantor, karena menurutku ini sedikit lebih menyenangkan. "Hay," sapaku dari belakangnya, detik kemudian ia langsung berbalik menghadapku lalu tiba-tiba mulutnya sedikit menganga mungkin ia tidak percaya aku menyapanya. "H
"Kamu ngapain di sini?" tanya Arga, kulihat dia berusaha sedatar mungkin agar tidak terjadi keributan. "Em … itu tadi aku kebetulan lewat, kamu sendiri ngapain?" tanyanya balik pada Arga. Pandai sekali kamu berbohong Mita! Udah kayak tukang sulap. "Aku mau bahas projec lah sama Dimas, terus kamu tadi ngapain megang perutnya juga?" tanya Arga lagi, kulirik ekspresi Mita sangat gugup, tapi ia tetap dengan senyumannya. "Eh … itu tadi ada nyamuk di bajunya makanya aku mau nepuk tadi mau bunuh nyamuknya, eh kamu keburu datang," jawab Mita, pandai sekali ia memilih alasan yang bagus di situasi mendesak. Mita langsung berdiri dari sampingku lalu menggeser kursinya ke dekat Arga, aku hanya diam tidak ingin memperkeruh suasana. Ku lihat Mita terus bergelayut manja di tangan Arga, tapi kakinya terus ia colek-colekkan ke kakiku di bawah meja. Benar-benar perempuan murahan. Selama kami membahas projec, Mita tidak henti-hentinya mengganggu kakiku hingga akhirnya tangan Aga tidak sengaja menjat