Share

Bab 11

"Sinta, nyampe kapan?" tanyaku saat ia sudah berdiri di samping kulkas, Sinta langsung tertawa lalu menaruh kantong plastik di tangannya ke atas kulkas.

"5 menit yang lalu," jawabnya tanpa melihatku.

"Anty, itu apa?" tanya Hana sambil menunjuk kantong plastik yang dibawa Sinta tadi.

"Ini apel, kamu mau?" lanjut Sinta yang dibalas anggukan oleh Hana, setelah memberikannya pada Hana. Sinta kembali mendekatiku yang sedang mengiris bawang sambil menahan perih.

"Nggak terasa ya Nin, udah tiga minggu aja setelah kamu cerai sama Arga," ucap Sinta membuatku langsung berhenti mengiris bawang lalu melihatnya.

"Iya Sin, tapi aku belum sempat juga ngurus surat perceraian kami. Aku nggak boleh boros dulu sekarang ini demi anak-anak," curhatku membuat Sinta langsung mangut-mangut.

"Iya udah sih, itu mah bisa belakang toh kamu juga belum mau nikah 'kan?" godanya membuatku langsung terkekeh.

"Nikah dari Hongkong, cukup melihat anak-anakku bahagia, itu udah lebih dari cukup buatku, Sin," lanjutku.

"Iya sih bener, rata-rata seorang ibu selalu mengutamakan anak-anaknya bukan nafsunya. O iya aku ke sini mau ngajak kamu jalan-jalan ke mall tau, udah lama banget aku nggak ke sana," ajak Sinta membuatku sejenak berfikir.

"Udah 'lah, jangan terlalu di pikirin. Sekalian kita belanja keperluan dapur, mumpung hari minggu, bawa Hana dan Dani keluar," lanjutnya, aku langsung mengangguk. 

Semenjak 3 minggu yang lalu mereka tidak kemana-mana, kecuali Ayah mertuaku datang ke sini, itu pun baru dua kali.

"Ya udah, aku dan anak-anak siap-siap dulu," ucapku yang dibalas anggukan oleh Sinta.

Setelah semuanya selesai kami langsung berangkat memakai mobil Sinta biar kami nggak misah-misah.

Begitu sampai di mall kami berlima langsung masuk dan mulai jalan-jalan sambil cuci mata. 

"Kita liat-liat baju yuk, udah lama nggak beli baju," ajak Sinta setelah semua keperluan rumah selesai kami beli.

Bagitu kami masuk ke deretan baju-baju branded, samar-samar aku melihat Mas Arga bersama Mita sedang memilih baju juga.

"Ayah!" teriak Hana membuatku dan Sinta langsung kaget, kulihat Mas Arga berbalik dan melihat ke arah kami.

"Han-" belum sempat aku memanggilnya ia sudah berlari ke arah Mas Arga, aku langsung melihat Sinta begitu juga sebaliknya.

"Hana sepertinya kangen sama Arga, Nin," terang Sinta membuatku langsung membuang nafas kasar.

Disisi lain, Mas Arga yang melihat Hana berlari ke arahnya langsung berjongkok lalu memeluk Hana.

"Hana ngapain, Nak?" tanya Mas Arga lalu mencium pipi Hana, ada rasa sesak di hatiku melihat pemandangan itu, tapi anehnya Dani tidak sedikit pun ingin menyusul Hana untuk bertemu Ayahnya.

"Kakak temenin bunda belanja," jawab Hana polos, kulihat matanya beralih ke arahku dan Dani yang sedang bermain di sampingku bersama Fandi, langsung ku alihkan pandanganku dari mereka.

"Kakak mau baju nggak? Ayah beliin," tawarnya kulihat Hana langsung mengangguk lalu ia menggendong Hana.

Aku sebenarnya tidak apa-apa jika Hana bersama Ayahnya, tapi yang membuatku emosi, saat tangan pelakor itu mengusap wajah putriku.

"Kamu liat sendiri 'kan Sin, aku benci jika pelakor itu menyentuh putriku," kesalku membuat Sinta langsung menoleh lalu merangkul pundakku.

"Udah biarin aja, kita tunggu sini aja," ucapnya menenangkanku lalu menarikku kembali untuk melihat-lihat baju.

Anehnya, selama Hana masih bersama Mas Arga, aku merasa was-was, aku takut anakku dibawa lari olehnya, mataku tidak hentinya melirik mereka.

Saat aku sedang berjongkok sambil menyocokkan baju untuk Dani, samar-samar aku mendengar panggilan Hana.

"Bunda," panggilnya dari belakang membuatku langsung berbalik, mataku hampir saja keluar ternyata Hana datang bersama Mas Arga, tapi untung pelakor itu tidak ikut, kulihat sekilas ia masih memilih baju.

"Ini ada sedikit uang untuk Hana dan Dani," ucapnya memulai percakapan sambil menyodorkan sebuah amplop ke depanku.

"Makasih," ujarku lalu mengambil amplop tersebut, entah kenapa rasanya sangat canggung untuk berbicara banyak, seperti ada tembok yang membatas kami.

"Dani Salim Ayah, Nak," suruhku pada Dani, untuk mengalihakan pembicaraan, awalnya Dani tidak mau, tapi langsung ku tuntun ia ke depan Mas Arga.

Mas Arga yang melihat itu langsung menyodorkan tangannya, perlahan tangan Dani meraih tangannya lalu menyalamnya. Kulihat mata Mas Arga memanas melihat Dani, entah mataku yang salah penglihatan aku tidak tahu.

Tanpa membuang waktu ia langsung menggendong anak kecil itu lalu mencium pipinya, kulihat air matanya jatuh. Apa itu? Mas Arga nangis? Langsung kualihakan pandanganku, aku tidak sanggup melihatnya.

"Dani sehat, sayang?" tanyanya dengan sangat lembut, kulirik Dani hanya mengangguk.

"Ini Ayah beliin kamu baju, coba Ayah cocokkan dulu," ucapnya lalu menurunkan Dani dari gendongannya, kulihat ia mencocokkan baju tersebut ke badan Dani dengan sangat teliti.

Entah kenapa mataku ikut memanas melihat pemandangan itu, tanpa membuang waktu aku langsung berbalik pura-pura memilih baju agar bisa menghapus air mataku, yang turun begitu saja.

Kenapa nggak dari dulu ia seperti itu? Kenapa harus sekarang setelah semua berakhir begitu saja? Aku tidak mengerti jalan pikiran Mas Arga.

Sinta yang mengerti dengan keadaanku langsung memegang pundakku membuatku langsung menoleh, kulihat ia mengangguk seolah-olah menguatkanku.

"Sayang udah belum, kita bayar yuk," tiba-tiba suara pelakor itu sangat dekat membuat rasa kasihanku langsung lenyap seketika, aku langsung berbalik melihat mereka dan menatap tidak suka ke arah pelakor tersebut.

"Nah, ini udah pas buat Dani," lanjut Mas Arga lalu memberikan baju tersebut ke tangan Dani sambil mengusap-usap kepala Dani, mungkin karena sudah hampir sebulan Dani tidak pernah mendengar suara Mas Arga makanya ia tidak takut lagi seperti sebelumnya.

"Udah selesai belanjanya?" tanya Mas Arga pada Mita yang dibalas anggukan oleh Mita membuatku langsung muak, kenapa harus di depanku.

"Ya udah kalo gitu Ayah pergi dulu ya, Nak," pamit Mas Arga lalu mengusap kepala Hana dan Dani secara bergantian.

"Tente pergi dulu ya, sayang," pamit pelakor itu dengan genitnya, aku tahu dia sengaja memanas-manasiku. Setelah mereka berjalan beberapa langkah dari kami. Aku langsung mengangkat semua belanjaan dan buru-buru berbalik hendak melangkah dan

Brug! 

Aku menabrak seseorang sehingga semua belanjaanku jatuh kembali ke lantai, mataku terbelalak melihat belanjaanku tercecer.

"Maaf-maaf Mbak, saya nggak sengaja," ucap orang yang ku tabrak sambil ia berjongkok mengambil semua barangku, kulirik sekilas ke arah kasir, kulihat Mas Arga tengah memperhatikanku.

"Ini belanjaannya," lanjutannya lalu ia berdiri membuatku langsung menoleh ke arahnya, detik kemudian pandangan kami bertemu.

"Hanin," ucapnya tidak percaya.

"Dimas," tebakku membuat Sinta yang sedang memilih baju langsung mendekatiku.

"Loh, Dimas!," pekik Sinta membuat Dimas langsung tertawa. Dimas adalah teman kuliahku dan Sinta, cuma kami beda jurusan.

Dimas dulu adalah laki-laki pertama yang berani mengatakannya cinta padaku di perpustakaan kampus. Namun, aku menolaknya karena sudah di jodohkan dengan Mas Arga, setalah aku menolaknya Dimas memilih pindah universitas.

Dari situlah, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya, tapi hari ini kami di pertemukan kembali di tempat yang sangat ramai ini.

"Kamu tahu Hanin, aku selalu berharap untuk tidak ketemu denganmu lagi, tapi lihat 'lah hari ini apa yang terjadi," lanjutnya membuatku langsung tersenyum.

"Sudah 'lah, itu 'kan masa lalu sekarang kamu pasti udah nikah dan istrimu jauh lebih cantik dari aku," ujarku membuatnya tertawa lalu menggeleng.

"Aku belum menemukan perempuan yang lebih cantik darimu, makanya sampe sekarang aku masih jomblo," ucapnya lebay membuat aku dan Sinta langsung tertawa.

"Dari dulu sudah gombal sekarang makin gombal," ledek Sinta, tiba-tiba Dani datang mengendus padaku membuatku langsung menunduk.

"Kenapa, Nak?" tanyaku, kulihat matanya sudah merah mungkin sudah mengantuk.

"Ini anakmu?" tanya Dimas membuatku kembali menoleh lalu mengangguk.

"Itu satu lagi," ucapku lalu menunjuk Hana yang sedang melihat bajunya yang dibelikan Mas Arga.

"Wah … aku udah jadi Om rupanya dan kamu Sinta?" tanyanya pada Sinta.

"Itu anakku," jawab Sinta sambil menunjuk Fandi.

"Bunda gendong," rengek Dani mulai rewel karena ngantuk.

"Bunda nggak bisa sayang, 'kan bunda bawa belanjaan, sabar ya Nak setelah ini kita pulang," bujukku tapi Dani malah makin merengek sambil menarik-narik gamisku.

"Ya udah sini Om gendong," tawar Dimas lalu berjongkok mensejajarkan posisinya pada Dani.

"Nggak usah Dimas, dia memang kayak gitu kalo mau tidur suka rewel," tolakku tapi tidak di hiraukan oleh Dimas, ia malah menggendong Dani seperti bayi.

Benar saja belum berapa menit di gendong Dani sudah memejamkan matanya, membuatku langsung merasa tidak enak.

"Kamu pulang sama siapa?" tanya Dimas.

"Sin, kita pulang ya, Dani udah tidur," ajakku.

"Yah Hanin, aku 'kan belum selesai belanja," jawab Sinta membuatku langsung bingung, anakku udah tidur di gendongan Dimas.

"Ya udah, gimana kalo aku antar pulang?" tanyanya membuatku langsung bingung lalu melihat Sinta.

"Nggak apa-apa Nin, kamu duluan aja, aku masih lama ini," ucap Sinta membuatku mau tidak mau langsung mengangguk.

"Ya udah yuk, mobilku dan parkirkan," ajaknya, tanpa sengaja mataku melihat ke arah Mas Arga, ia menatap tidak suka ke arahku, tapi tidak kuhiraukan kerena memang aku tidak bisa menggendong Dani.

"Yuk," lanjutku lalu ku genggam tangan Hana.

"Kami duluan ya Sin, maaf nggak bisa nemanin kamu," pamitku.

"Iya santai, hati-hati ya kalian," ucapnya yang dibalas anggukan oleh Dimas lalu kami melangkah keluar mall dan menuju parkiran.

Sampai di parkiran aku langsung memasukkan barangku terlebih dahulu ke kursi belakang lalu menaikkan Hana di kursi belakang.

"Sini, aku yang gendong Dani," ucapku mengambil alih Dani dari gendongan Dimas.

"Anakmu lucu ya, gemesin," pujinya lalu memberikan Dani ke gendonganku.

Tanpa kusadari ternyata Mas Arga memperhatikanku dari jauh, aku mengetahuinya saat hendak masuk ke dalam mobil, tidak sengaja mataku melihatnya yang tidak jauh dari kami, terlihat jelas ia sedang memperhatikan kami.

Apa dia sedang membuntuti kami? Tanpa membuang waktu, aku langsung masuk ke dalam mobil lalu Dimas membantu menutup pintu mobil karena melihatku kesusahan. Setelahnya baru ia berjalan ke ke samping dan masuk ke dalam mobil.

"Namamu siapa, Nak?" tanyanya lembut pada Hana yang asik memainkan boneka Barbie nya, mungkin Mas Arga membelikannya tadi.

"Hana Angraini, Om," jawab bibir mungil itu membuatku langsung tersenyum melihatnya dari spion. Begitu juga Dimas ia langsung tersenyum lalu mengacungkan jempolnya pada Hana.

"Anakmu pintar-pintar, Nin. Suamimu kok nggak ikut belanja?" tanyanya membuatku kembali melihat ke luar jendela, kulihat Mas Arga masih setia memperhatikan kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status