"Ayah!" teriak seseorang yang tidak asing bagiku suaranya. Mataku langsung celingak-celinguk mencari arah sumber suara. Dari kejauhan kulihat Hanin, anak-anak dan Dimas baru saja sampai di pintu depan. Hana melambaikan tangan padaku membuatku langsung tersenyum, tapi aku bingung melihat ekspresi Hanin yang jutek. PoV Hanin. Kami sampai di rumah sakit jam 9 an lewat karena jalanan tidak begitu macet, tapi alangkah kebetulannya ini semua, baru tadi pagi aku mendapat kiriman bahagia mereka, sekarang sudah ketemu lagi di sini. Aku meraba tasku untuk memastikan aku membawa kotak itu, dadaku sedikit bergemuruh ntah apa yang terjadi di dalam, aku tidak tahu. "Dimas," panggilku membuat Dimas langsung menoleh ke arahku. "Kenapa? Kamu cemburu?" tanyanya membuatku langsung menatap tajam ke arahnya lalu ia cengengesan. "Tolong bawa Hana ke dalam ya ketemu dokter, sebentar lagi aku nyusul. Aku nggak pengen mereka denger obrolan dewasa ini," pintaku, kulihat ia menyergit sekilas lalu mengang
"Kita pulang sekarang?" tanya Dimas pada Hanin, kulihat hanya mengangguk sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya. "Arga, kami pulang dulu atau kamu kamu ikut," tawar Dimas, kuakui Dimas adalah laki-laki yang baik, ia rela menghabiskan waktunya untuk Hanin dan anak-anak dibanding pergi berpacaran yang biasanya dilakukan laki-laki lainnya. "Nggak usah, aku pulang ke rumah aja soalnya bawa mobil sendiri," tolakku halus yang sebenarnya berlawanan dengan kata hatiku, hatiku mengatakan untuk ikut ke rumah Hanin, tapi aku nggak mau buat Hanin makin bete melihatku. PoV hanin Aku kaget saat Hana mengatakan Mas Arga menangis, kulirik sekilas nggak yakin rasanya jika ia menangis secara ini 'kan hari bahagianya. Aku sangat kesal mendengar ajakan Dimas pada Mas Arga, kenapa Dimas terlihat sangat peduli sama Mas Arga. Tapi, hatiku langsung lega saat Mas Arga menolaknya. Sekarang kami menuju parkiran, anehnya Mas Arga mengikuti kami sampai ke mobil Dimas, nggak biasanya dia begitu. Ia me
Saat Aku dan Dimas sedang mengobrol, samar-samar kami mendengar suara tangisan kecil. Aku dan Dimas langsung menoleh ke arah Mita, benar saja dia menangis membuat empat laki-laki yang sedang mengelilinginya langsung menghentikan aksi mereka. Aku dan Dimas saling berpandangan, detik kemudian Dimas berdiri menghampiri Mita. "Mita yuk kita pergi," ajaknya kulihat dengan segera Mita berdiri di samping Dimas kemudian ia menunduk. "Berhubung kalian semua di sini, silahkan rapat dengan Arga, saya pergi dulu," ucap Dimas menarik Mita keluar dari kefe. Ada rasa bersalah di hatiku telah membuat Mita seperti itu, tapi apa boleh buat jika tidak begitu Mita sangat ganas terhadap laki-laki, ia bahkan tidak peduli yang muda atau yang tua semua di embat. PoV Dimas Aku adalah tipe cowok yang tidak tega melihat wanita menangis, apalagi melihat kondisi Mita yang dikelilingi banyak laki-laki. Sampai di mobil, kulihat Mita masih terus menangis, aku mengurungkan niat untuk mengantarnya pulang sekaran
Ting! Mataku kembali terbuka dengan segera tanganku membuka mengambil ponsel berharap Hanin membalas pesanku. Tapi aku kembali lesu saat yang masuk adalah pesan spam dari kartuku. Saat tanganku kembali ingin meletakkan ponsel di meja, tiba-tiba ada penggilan masuk, dengan malas aku membaca namanya. Tapi detik kemudian aku langsung duduk dan mengangkat telpon tersebut karena dari Hanin. [Ha--halo, assalamu'alaikum] ucapku dengan semangat. [Ayah] ucap Hana lirih, membuatku langsung kaget. [Iya sayang, kenapa, Nak?] tanyaku lembut pada Hana. [Ayah kenapa nggak kesini sama, Kakak] rengek Hana membuatku langsung menarik nafas dalam-dalam, ingin rasanya kupeluk putriku ini. [Besok pagi, Ayah datang ya sayang] bujukku lembut. [Janji?] lanjut Hana membuatku langsung tersenyum. [Iya Nak, Ayah janji besok pagi datang ke sana, malam ini Hana tidur dulu ya] jawabku kudengar ia bersorak-sorak riang. [Iya Ayah, jangan lupa bawa ice cream ya] permintaan kecilnya itu membuatku semakin bersem
Ada apa dengan Mas Arga? Kenapa dia berubah seperti ini, biasanya ia tidak peduli dengan anak-anak dan menganggapku remeh. "Ayah, Kakak udah kenyang, yuk kita makan ice cream," ucap Hana lalu meneguk air putih di depannya. "Dani udah kenyang, Nak?" tanya Mas Arga pada Dani, kulihat Dani mengangguk karena mulutnya masih penuh. "Ya udah kalo gitu Ayah ambilin ice cream, ya," lanjut Mas Arga sambil menyusun piring mereka bertiga lalu ia membawanya ke dapur. "Kamu makanlah Nin, jangan di liatin terus kapan kenyangnya? Nanti nggak boleh makan ice cream," ucap Dimas sambil terkekeh membuatku langsung tertawa. "Apa sih, aku ke dapur bentar ya, ngambil minum," ucapku yang dibalas anggukan oleh Dimas sambil menyendokkan nasi ke mulutnya. Aku langsung beranjak menuju dapur, saat tanganku hendak meraih gelas, samar-samar kulihat Mas Arga sedang mencuci piring. Apa aku salah lihat? Kudekati ia untuk memastikan benarkah ia mencuci piring dan ternyata mataku masih sehat, benar itu Mas Arga s
"Kamu harusnya jadi perempuan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk suatu perbuatan. Sekarang lihatlah, kamu datang ke sini meminta Arga untuk tanggung jawab anak yang kamu kandung. Siapa yang nyuruh kamu mau-maunya melakukan hal seperti itu? Laki-laki tergoda biasanya karena perempuan yang menggodanya, kamu juga tahu nafsu laki-laki seperti binatang jika melihat perempuan yang berpakaian seperti kamu sekarang ini, apalagi laki-laki kurang iman seperti Arga yang kamu goda. Apa orang tuamu bangga melihat anaknya begini?" cecar Ayah panjang lebar membuat Mita langsung diam dan aku juga tersindir. Memang dari dulu Mita tidak pernah berpakaian sopan, selalu saja menunjukkan belahan dadanya di lengkapi dengan rok mininya. "Yang rugi kamu sendiri, semua aib ke kamu sebagai perempuan. Kamu yang harusnya masih gadis, sekarang jadi hamil tanpa ada ikatan pernikahan dan sekarang bayi itu akan di cap anak haram," lanjut Ayah kemudian Ayah pergi begitu saja ke kamar. "Pulanglah Mita
"Siapa, Nin?" tanya Sinta membuatku kembali mendongak."Mas Arga," jawabku jujur, kulihat Sinta mengangkat alisnya sebelah lalu memicingkan matanya ke arah ponselku."Angkat aja sih, tapi nggak usah banyak ngomong, datar aja," suruh Sinta, aku langsung mengangguk, kuangkat telponnya lalu kudekatkan ke telingaku.[Assalamualaikum] ucapku memulai percakapan.[Walaikumsalam, Dek maaf ya kalo Mas ganggu kamu malam-malam] jawab Mas Arga.[Iya, ada apa, Mas?] tanyaku to the point.[Hana masih manggil-manggil Mas, nggak?] tanyanya, aku yakin ini hanya basa-basi.[Nggak kok, dia udah tidur] [Oh syukurlah. Em … Mas mau minta tolong sama kamu boleh nggak?] lanjut Mas Arga membuatku langsung menyergit.[Iya, apa itu?] tanyaku penasaran.[Em … kalo Mita mengganggumu, tolong kasih tau Mas ya] ucapnya memohon, aku langsung menahan nafasku sejak.[Iya, tapi nggak apa-apa sih, aku bisa ngadepinnya sendiri] lanjutku, kudengar ia mengehela nafas kasar.[Ya udah, tapi kalo dia ngelakuin hal yang aneh-a
Ku jalankan mobil dengan kecepatan tinggi menuju kantor, lalu ku parkiran mobil di perkirakan kantor kemudian aku memilih pergi tanpa menggunakan mobil.Pikiranku berkecamuk sekarang, aku tidak tahu harus kemana dan mengadu pada siapa. Ini seperti karma untukku karena udah menyia-nyiakan Hanin dan anak-anak.Aku menaiki angkot tidak tahu tujuannya kemana yang penting aku pergi, selama di dalan angkot aku terus melamum apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Hampir satu jam aku di lama angkot, hingga terakhir aku turun di halte, aku memilih duduk di halte hingga hari mulai gelap, mendengar suara adzan berkumandang, aku beranjak lalu berjalan mencari mesjid terdekat.PoV Hanin.Setelah selesai sholat magrib, Sinta langsung mendandaniku, Sinta memang paling ahli dalam dunia per makeupan."Semoga aja nanti mertua nggak stres ya melihat kecantikan mantan menantu yang selalu di fitnahnya ini," gumam Sinta sombong, aku langsung tertawa melihatnya dari kaca."Iya serius, sukur-sukur nanti o