Prang!
Vas bunga tersebut jatuh ke lantai menggema di seluruh ruangan, hancur berkeping-keping, tidak ada ubahnya seperti hatiku yang sekarang.
Pov Arga
Aku keget mendengar ada yang jatuh di dekat pintu, langsung kuhentikan aksiku dan memakai celana dan bajuku secepat kilat. Lalu kaki jenjangku melangkah keluar kamar, memeriksa apa yang pecah.
Mataku langsung terbelalak melihat Hanin berdiri dengan melipat kedua tangannya memasang muka yang sangat marah, tapi terlihat jelas olehku matanya merah dan masih membendung sedikit air mata.
"Hanin," panggilku.
"What!" bentaknya membuatku langsung kaget, seumur-umur Hanin tidak pernah membentak, tapi kali ini suaranya sangat tinggi.
"Aku bisa jelasin," lanjutku mencoba menenangkannya, bukannya menjawab malah mempertajam tatapannya.
"Tidak ada yang perlu kau jelasin Arga Wijaya!" Hanin kembali membentakku, tapi kali ini ia mengucapkan nama lengkapku dengan lantang.
"Sayang," panggil Mita, tiba-tiba sudah bergelayut manja di tanganku, kulihat mata Hanin beralih ke Mita.
"Halo, sampah selangkangan," panggil Hanin pada Mita membuatku kaget, sejak kapan ia menjadi kasar seperti ini, bisanya Hanin selalu adem dan penyabar.
"Sayang, liat deh istri kamu jahat banget," rengeknya pada Mas Arga, aku kembali kaget saat Hanin meludah di depan kami berdua.
"Hanin, kamu!" bentakku karena merasa Hanin tidak sopan meludah di depanku.
"Apa? Apa yang kau mau sekarang suami murahan? Jangan kau ingat karena selalu diam dengan sikapmu berarti aku bodoh, kau salah besar! Kita lihat besok apa yang terjadi," ancam Hanin dengan nada tinggi, ia seperti orang kesurupan sekarang.
"Kamu mau ngapain?" tanyaku hati-hati melihat Hanin yang berapi-api.
"Cerai!" lanjutnya membuatku langsung kaget lalu dengan cepat menggeleng.
"Nggak, aku nggak akan ceraiin kamu," sanggahku, sekarang nada bicaraku mulai menurun.
"Kenapa? Warisan 'kah? Aku tidak peduli warisan, harga diriku jauh lebih mahal di banding semua warisanmu itu, ambil semuanya, tapi tidak dengan anak-anak, kau paham!" teriak Hanin membuatku langsung bungkam, aku tidak mengerti bagaimana cara menenangkan Hanin sekarang.
"Selama ini aku diam karena menghargai Ayahmu yang sudah sangat baik padaku, tapi ternyata anaknya tidak sebaik Ayahnya," kali ini nada bicara Hanin mulai menurun.
"Ceraiin aja sih sayang, toh warisan juga udah sama kamu," bujuk Mita membuatku langsung bingung.
"Dasar murahan, otaknya cuma ada duit dan nafsu, kalian nggak ada ubahnya seperti binatang, tidak ada malu sedikit pun. Bahkan perbuatan kalian tadi seperti sebuah prestasi yang luar biasa untuk kalian, amazing!" ejek Hanin sambil bertepuk tangan, ada apa dengannya?
"Penyesalan selalu datang di akhir Mas, kau cam 'kan itu!" bentaknya sambil menunjuk wajahku lalu ia pergi keluar rumah, dan membanting pintu sekuat tenaganya.
'Apa besok kami akan bercerai,' batinku tidak tenang.
"Sayang, aku antar kamu pulang ya," bujukku pada Mita, kulihat ia langsung mendengus kesal.
"Kok pulang sih, nanggung lagi nanti aja pulangnya," tolaknya, tapi aku takut besok tiba-tiba Ayah dan Ibu datang ke rumah ini.
"Please sayang, sekarang ya, besok pasti akan ada masalah besar," lanjutku membuat Mita mau tidak mau harus pulang sekarang juga.
***
Disisi lain, selama perjalanan aku merasa hatiku sedang di campuri setan, ingin rasanya aku terus mengamuk dan memaki-maki Mas Arga dan pelakor itu.
Mulutku kupaksa untuk terus ber istighfar supaya di jauhi setan, besok aku dan anak-anak akan pergi ke rumah Ayah mertua.
Sampai di rumah Sinta, aku langsung masuk, kulihat Dani masih belum tidur juga, amarahku langsung turun melihat anakku tersebut, kudekati ia dan langsung ku kasih dot yang di tanganku sambil ku usap-usap kepalanya lembut.
"Kamu kenapa, Nin?" tanya Sinta tiba-tiba, entah sejak kapan ia sudah di sampingku.
"Aku akan gugat cerai Mas Arga besok," jawabku, kulihat ia sedikit menyergit alisnya.
"Udah dapat bukti yang kuat?" tanyanya, Sinta memang selalu mendukungku, aku hanya mengangguk lalu memberikan ponselku padanya.
Awalnya kulihat Sinta biasa aja menontonnya, sekita 10 detik video berputar, ia langsung menutup mulutnya tidak percaya.
"I--ini mereka di rumahmu?" tanyanya tidak percaya, aku hanya mengangguk.
"Iya dan di kamar kami berdua, mereka melakukan itu," jawabku membuatnya geleng-geleng, mungkin dia tidak habis fikir dengan suamiku itu.
"Sin, besok kami ke rumah Ayah mertuaku dulu, aku ingin semua masalah ini langsung selesai tidak ada yang di sembunyikan," lanjutku membuatnya mangut-mangut.
"Iya-iya aku paham, jadi gini aja, besok setelah kamu resmi di talak sama dia, kamu pindah ke sini aja, rumahku ini terbuka kapan pun untukmu," tawarnya, bersyukurlah aku punya teman sebaik Sinta, aku langsung mengangguk.
"Makasih ya," ucapku, ia langsung menepuk-nepuk pundakku pelan.
"Santai, anggap rumah sendiri," lanjutnya.
***
Keesokan harinya; pagi-pagi sekali kami sudah berangkat ke rumah orang tua Mas Arga, Sinta tidak membolehkan kami pergi naik kendaraan umum, ia memaksa untuk membawa mobilnya, sedangkan ia ke sekolah naik motor.
Sambil menyetir ku ambil ponselku dan ku kirim voice note ke Mas Arga, awas aja kalo sampe dia nggak datang ke rumah orang tuanya juga.
***
Disisi lain Aku yang baru saja bangun dari tidurnya langsung mengecek ponsel, kulihat ada pesan suara dari Hanin, tanpa membuang waktu langsung ku putar pesan tersebut.
[Kutunggu kau di rumah orang tuamu, kalo sampe kau nggak datang, maka jangan harap warisan jatuh ke tanganmu]
Aku langsung bangkit dari ranjang, Hanin benar-benar ingin menggugat cerai sekarang juga, tanpa membuang waktu lagi, aku langsung membersihkan diriku lalu berangkat ke rumah orang tuaku.
Ada rasa cemas dan deg-degan di hatiku, Ayah adalah orang yang tegas dan ia juga sangat menyayangi Hanin.
Hampir 4 jam aku menempuh perjalanan, akhirnya aku sampai juga, kulihat mobil warna merah sudah terparkir di halaman rumah, mungkin itu mobil Sinta temannya Hanin.
Ku beranikan diri membuka pintu mobil lalu melangkahkan kakiku masuk ke dalam, di teras kulihat Hana dan Dani sedang bermain sambil memakan cemilan di tangan mereka.
Begitu aku sampai di pintu, kulihat Ayah sedang mengobrol dengan Hanin.
"Assalamualaikum," ucapku sopan membuat keduanya langsung menoleh ke arahku, jantungku terasa ingin berhenti saat melihat tatapan Ayah yang begitu tajam ke arahku.
"Walaikumsalam, kamu melakukan apa sih, Nak? Sampe si Hanin mau cerai sama kamu atau ini cuma alasannya aja biar semua warisan jatuh ke tangannya," Ibu langsung menghampiriku dengan banyak pertanyaan.
PoV Hanin
Sudah kuduga Ibu mertuaku selalu membela anaknya dan menyalahkanku, tidaka masalah, aku tidak takut.
Yang di dalam pikiran mereka hanya warisan, warisan dan warisan.
"Ibu biar 'kan Arga duduk di sini," perintah Ayah mertua dengan tegas, membuat Ibu si mulut cabe itu langsung bungkam.
Setelah Mas Arga duduk, Ayah mertuaku langsung menarik nafas dalam-dalam, lalu melihatku.
"Apa yang Arga lakuin Nak, sampe kamu minta cerai seperti ini?" tanya Ayah mertua padaku, ku beranikan mulutku untuk menjelaskannya semuanya.
"Pertama, Mas Arga selingkuh, awalnya aku masih diam karena memikirkan anak-anak dan juga Ayah, kedua aku sering menangkap basah mereka sedang bersama dan yang membuat aku bingung Mas Arga selalu membentakku jika ia sedang bersama pelakor it-" ucapanku terpotong oleh Ibu mertua.
"Alah itu paling cuma alasanmu aja, kau menginginkan warisannya bilang aja," ejek Ibu mertuaku, membuatku langsung menghembuskan nafas kasar.
"Ibu!" bentak Ayah membuatku langsung terkejut, begitu juga Ibu dan Mas Arga, Ayah mertua memang sangat jarang marah.
"Biarkan Hanin menjelaskannya terlebih dahulu, baru kita beralih ke Arga, jangan mengompor-ngompori suasana," ucap Ayah mertua penuh penekanan. Mampus kau! Dasar Ibu mertua di mulut jahannam.
Kusodorkan ponsel ke depan Ayah mertua, kulihat ia tampak bingung. Aku langsung manarik nafas dalam-dalam.
"Itu bukti hubungan haram mereka yang aku rekam tadi malam, Ayah," terangku, Ayah langsung mengangguk dan mulai memutar video.
"Hanin!" panggil Mas Arga nadanya sedikit tinggi membuat Ayah mertua langsung menunda pemutaran video lalu berlalih melihat anaknya.
"Iya Mas, tadi malam aku menyaksikan itu samua, tapi untuk otakku nggak buntu saat melihat itu, karena aku yakin jika tidak ada bukti maka aku akan terus di salah 'kan, di bilang ingin mengincar warisan. Kamu tidak pikun 'kan Mas, tadi malam jelas ku katakan, aku tidak butuh warisanmu!" suaraku mulai meninggi di sertai sindiran untuk Ibu mertua.
Kulihat Ayah mertua diam menyaksikan kemarahanku.
Ayah kembali fokus ke ponselku, aku yang mendengar suara desahan itu aja sudah jijik, gimana dengan Ayah yang menyaksikan perbuatan haram anaknya sendiri.
Belum lama video berputar, Ayah langsung memegangi dadanya dan bibirnya terus beristighfar, kenapa Mas Arga tidak sebaik Ayahnya.
Aku langsung pindah ke samping Ayah, takut penyakit jantungnya kambuh, ku pegangi tangan Ayah yang sedang memegang dadanya.
"Tidak apa Nak, Ayah tidak apa-apa," ucapnya sambil melihatku, kemudian tatapan Ayah beralih ke Mas Arga.
"Sekarang Ayah tanya kamu mau cerai sama, Hanin?" tanyanya pada Mas Arga, kulihat Mas Arga menggeleng, drama apa yang sedang kau mainkan, Mas.
"Lalu kenapa kau lakukan hubungan haram ini!" bentak Ayah, aku langsung kaget yang awalnya Ayah biasa saja sekarang malah seperti singa mengamuk.
Mar Arga terdiam seribu bahasa melihat amukan Ayahnya sendiri, aku hanya diam menyaksikan Ibu dan anak itu di seberang kami.
"Warisan akan Ayah serahkan semuanya ke Hanin dan cucuku," lanjut Ayah membuat keduanya langsung kaget.
"Nggak bisa gitu dong, Yah. Mungkin karena dia yang nggak guna jadi istri makanya Arga mencari yang lain," tolak Ibu mertuaku mentah-mentah.
"Diam Ibu, jangan ikut campur, Ayah lebih tahu siapa yang berhak dan yang nggak!" bentaknya lagi, kulihat Mas Arga langsung menunduk, halah palingan cuma akting.
"Ayah, Hanin tidak butuh itu semua, aku cuma minta anak-anak nggak lebih Ayah, Hana dan Dani lebih dari segalanya buatku, Ayah," bujukku, kulihat Ayah mengangguk.
"Ayah setujui perceraian ini," ujar Ayah seperti membuka pintu surga untukku, tapi tidak Mas Arga, ia tidak berani mengucapkan satu kata pun dari bibirnya, pengecut!
"Tapi sebelumnya, Ayah harus jujur kepada kita semua di sini, siapa Hanin sebenarnya dan apa hubungan Ayah dengan Ayah Hanin," lanjut Ayah membuatku langsung penasaran, kerana selama ini aku tidak pernah tahu bagaimana keluargaku, karena mulai dari kecil aku sudah di panti asuhan.
"Pak Imran atau Ayah Hanin adalah sahabat setia Ayah sampai ia meninggal. Dulu saat Ayah di PHK dari kantor karena tuduhan korupsi, Ayah Hanin 'lah yang mencari kebenaran tentang korupsi tersebut dan pada akhirnya Ayah divonis tidak bersalah, tidak berapa lama setelah kejadian itu Ayah dan Ibu Hanin meninggal karena tabrakan, semua orang mengatakan itu tabrakan tunggal, tapi Ayah sampai sekarang belum yakin itu tabrakan tunggal, pasti di sengaja oleh orang yang tidak suka pada Pak Imran.
Kedua orang tuanya dilarikan ke rumah sakit, Ibunya sudah meninggal dunia, tapi Ayah Hanin masih masih sadar sebentar. Disitu 'lah beliau menitip 'kan Hanin pada Ayah, awalnya Ayah ingin membawa Hanin ke sini, tapi karena Ibu mertuamu tidak pernah suka dengan orang baru, makanya Ayah lebih memilih menitipkanmu di panti asuhan, demi keamananmu dan demi keselamatanmu.
Ayah selalu memberi uang pada pengasuhmu di panti Asuhan dari awal masuk hingga kamu memutuskan untuk keluar dari panti asuhan. Semua harta kedua orangtuamu sudah Ayah kelola, bahkan rumah orang tuamu masih ada sampai sekarang, Ayah menggaji orang untuk selalu membersihkannya," Ayah menggantung ucapannya matanya memerah, mungkin ia teringat dengan Ayah dan Ibuku.
"Makanya Ayah selalu mengatakan jika Arga macam-macam, maka semua warisan jatuh ke tanganmu, karena pada dasarnya semua harta Ayah ini diawali dengan harta Ayahmu yang Ayah kelola," lanjut Ayah membuatku mangut-mangut, aku mengerti sekarang kenapa Ayah selalu membelaku dan membantuku sampai saat ini. Entah kenapa aku tidak tega melihat Ayah yang sedang menghapus air matanya.
Aku turun ke bawah dan duduk di dekat kaki Ayah, rasanya sekarang aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Ayah padaku.
"Ayah, aku tidak menuntut semua warisan itu, aku bisa tinggal di rumah Sinta dan aku bisa ngajar untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk membalas semua jasa Ayah padaku, mulai aku di panti asuhan hingga sekarang," lirihku membuat air mata Ayah ikut jatuh, ia mengusap kepalaku yang dibalut hijab.
Apa yang terjadi padaku, aku sangat kasihan melihat Ayah sekarang ini, tapi tidak dengan Mas Arga, aku tidak peduli dengannya sediki pun.
"Baiklah, Nak. Jika kamu tidak mau menerima warisan itu, Ayah minta tolong dengan sangat ambil kembali rumah orang tuamu, di sana juga masih ada mobil dan beberapa motor," ucap Ayah memohon kepadaku, aku tidak tega pada Ayah langsung saja ku anggukan kepala pertanda menyetujui permintaannya lalu ia menarik tanganku untuk duduk di sampingnya.
"Dan kamu Arga," nada bicara Ayah kembali naik saat melihat Mas Arga.
"I--ibu," ucap Hanin bingung, Ibu mendekati Hanin lalu memeluknya membuat Hanin kaget. "Maafin Ibu Nak, selama ini Ibu jahat sama kamu, selalu remehin kamu, fitnah kamu," ucap Ibu menyesali perbuatannya sedangkan Hanin yang mendengar itu langsung tersenyum. "Tidak Bu, Ibu nggak sepenuhnya salah, aku juga banyak salah sama Ibu," jawab Hanin. "Pokoknya besok kalian harus jadi pengantin lagi, Ibu nggak mau tahu gimanapun caranya Ibu akan usahain semuanya malam ini," lanjut Ibu, Hanin hanya tersenyum lalu mengangguk. Malam itu juga semua di persiapkan untuk tambahan, seperti pelaminan, baju pengantin dan yang lain-lainnya. Sedangkan Hanin masih tidak percaya apa yang terjadi malam ini, rasanya itu hal yang tidak mungkin. *** Keesokan harinya, Dimas dan Arga sudah siap, tapi Hanin dan Puspita masih di kamar. "Bunda cantik banget," puji Hana saat melihat Hanin baru saja selesai di rias. Hanin langsung menoleh lalu tersenyum kemudian ia mengangkat Hana ke pangkuannya. "Putri Bunda ini
"turut mengundang teman-teman, sahabat dan keluarga menyaksikan pengesahan kisah cinta kami yang begitu indah dalam resepsi pernikahan kamu Dimas angg dengan Puspita Hanin Damayanti-" Arga menghentikan bacaannya lalu ia menatap Hanin bingung "Puspita hanin? kamu ganti nama? setau aku nama kamu Hanindira Anggraini," tanya Arga bingung, sedangkan Hanin malah terkekeh lalu menutup mulutnya dengan tangann "itu bukan Hanin aku lah, Mas," jawab hanin membuat Arga mematung mulutnya juga ikut menganga tidak percaya "ja--jadi yang nikah sama Dimas-" ucapan Arga terpotong kala hanin mengangguk "Orang lain mas yang namanya juga Hanin," lanjut Hanin, seketika air mata Arga lolos begitu saja bibirnya juga mulai melengkung "Ka--kamu nggak nikah?" tanya Arga lagi, hanin hanya menggeleng sambil tersenyum membuat Arga langsung mengusap wajahnya sambil mengucap hamdalah flashback Setelah menemani Arga ruqyah, Dimas pamit pulang, ia bukan pulang ke rumahnya melainkan ke rumah Hanin. Disisi lai
Arga membaca undangan tersebut, ia melihat nama Dimas dan Hanin terpampang di depan. Hatinya terasa seperti di iris sekarang melihat nama Hanin dan Dimas, Arga menelan salivanya dengan susah payah lalu detik kemudian ia tersenyum."Selamat ya, insyaallah aku akan datang menghadiri undangannya," ucapnya dengan berat hati pada Hanin, sedangkan Hanin hanya mengangguk sekilas."Aku juga punya sesuatu untuk kalian, tunggu sebentar," ujar Arga lalu ia tergesa-gesa mengambil sesuatu ke kamar.Beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar, dengan beberapa kertas di tangannya."Ini," ucap Arga sambil menyodorkan semua kertas itu pada Hanin."Apa ini?" tanya Hanin bingung."Bacalah," jawab Arga, tanpa membuang waktu Hanin langsung membaca satu persatu lembaran tersebut, matanya langsung membola."M--mas, i--ini apa? Kenapa semua warisan atas namaku dan anak-anak?" tanya Hanin bingung, Arga hanya tersenyum."Cuma kalian yang berhak mendapatkannya bahkan akupun nggak layak untuk mewarisi itu, aku
PoV authorTiga hari setelah Arga berobat, ia merasa sudah sangat sehat sekarang di tambah lagi Dimas selalu menemaninya.Sekarang mereka dalam perjalanan menuju kantor Ayahnya untuk memberi tahu semuanya. Begitu sampai Arga langsung masuk, tapi Arga kaget melihatku Ibunya ada di dalam juga."Arga, kamu dari mana aja sih? Kasian Mita sudah hampir seminggu kamu tinggal," omel Ibu membuat Arga langsung menggaruk alisnya sekilas."Ibu kasihan sama anak orang, tapi Ibu nggak kasihan sama Arga yang setengah mati melawan penyakit," gumam Arga yang terdengar jelas oleh Ibunya."Penyakit? Penyakit apa?" tanya Ibunya lagi, tapi Arga malah berjalan mendekati Ayahnya."Yah, Arga mau ngomong sesuatu sama Ayah, penting," ucap Arga tanpa basa-basi membuat Ayah langsung mengangguk."Ngomonglah atau mau di luar," tawar Ayah."Di luar aja, Yah," ajak Arga lalu mereka berdua keluar.Sedangkan Dimas tetap di dalam menemani Ibu Arga supaya tidak menguping."Ada apa dengan Arga? Kasih tau saya," tanya Ibu
"Mita menginginkan Arga, Om. Dia tetat kekeh supaya Arga menikahinya," jawab Dimas membuat Ayah Arga mangut-mangut."Benar, apa yang kamu bilang. Tapi, walau gimanapun Om nggak setuju punya menantu kayak dia," lanjut Ayah Arga.PoV hanin.Hari ini adalah hari pertamaku ngajar setelah sakit selama tiga hari, pagi-pagi sekali aku berangkat karena masih harus mengantar Hana ke sekolah dan mengantar Dani ke rumah Sinta, aku takut jika Dani di rumah sama Mbok Sumi, Ibu mertuaku bakal datang mengambilnya."Hana nanti kalo ada yang jemput Hana ke sekolah jangan mau ya Nak, tunggu Bunda sampai datang. Kalo kamu di paksa, lari aja ke kantor ngadu sama guru di situ ya," nasehatku pada Hana di dalam mobil."Iya Bunda. Tapi kalo Ayah yang jemput?" tanyanya membuatku langsung bingung."Izin dulu sama wali kelasmu, bilang di jemput Ayah biar Bunda nggak kecarian," lanjutku, Hana langsung mengangguk.Setelah mengantarkan mereka berdua, aku langsung bergegas menuju sekolah. Hampir setengah jam aku me
*PoV Author*Tiga hari kemudian, Mita sudah di perbolehkan pulang dari rumah sakit. Dimas dan Arga mengantarkan Mita ke rumah orang tua Arga.Selama perjalanan hanya ada keheningan, Arga dan Dimas di depan sedangkan Mita dan bayinya di kursi belakang."Mas, kamu bakal nginap di rumah Ibu, 'kan," tebak Mita, Arga melihat Mita sekilas dari spion."Nggak, aku punya rumah," jawab Arga datar membuat Mita langsung mendengus kesal."Kamu ngapain sih Mas, sendirian tau di rumahmu itu atau nggak aku sama baby Aydan ikut kesana," tawar Mita, Dimas yang mendengar itu hanya bisa menggaruk alisnya sekilas."Mita kamu masih masih waras apa gimana sih? Apa kata orang kita satu rumah yang belum menikah, aku udah bilang kita tunggu hasil tes DNA, titik. Nggak ada perdebatan," tegas Arga tanpa melihat Mita membuat Mita langsung menatap tajam ke arah Arga.Sampai di rumah orangtuanya, Arga langsung menurunkan semua barang Mita. Ibunya dengan semangat menyambut Mita dan bayi itu. "Menantu sama cucu Ibu