Share

Bab 8

Prang! 

Vas bunga tersebut jatuh ke lantai menggema di seluruh ruangan, hancur berkeping-keping, tidak ada ubahnya seperti hatiku yang sekarang.

Pov Arga

Aku keget mendengar ada yang jatuh di dekat pintu, langsung kuhentikan aksiku dan memakai celana dan bajuku secepat kilat. Lalu kaki jenjangku melangkah keluar kamar, memeriksa apa yang pecah.

Mataku langsung terbelalak melihat Hanin berdiri dengan melipat kedua tangannya memasang muka yang sangat marah, tapi terlihat jelas olehku matanya merah dan masih membendung sedikit air mata.

"Hanin," panggilku.

"What!" bentaknya membuatku langsung kaget, seumur-umur Hanin tidak pernah membentak, tapi kali ini suaranya sangat tinggi.

"Aku bisa jelasin," lanjutku mencoba menenangkannya, bukannya menjawab malah mempertajam tatapannya.

"Tidak ada yang perlu kau jelasin Arga Wijaya!" Hanin kembali membentakku, tapi kali ini ia mengucapkan nama lengkapku dengan lantang.

"Sayang," panggil Mita, tiba-tiba sudah bergelayut manja di tanganku, kulihat mata Hanin beralih ke Mita.

"Halo, sampah selangkangan," panggil Hanin pada Mita membuatku kaget, sejak kapan ia menjadi kasar seperti ini, bisanya Hanin selalu adem dan penyabar.

"Sayang, liat deh istri kamu jahat banget," rengeknya pada Mas Arga, aku kembali kaget saat Hanin meludah di depan kami berdua.

"Hanin, kamu!" bentakku karena merasa Hanin tidak sopan meludah di depanku.

"Apa? Apa yang kau mau sekarang suami murahan? Jangan kau ingat karena selalu diam dengan sikapmu berarti aku bodoh, kau salah besar! Kita lihat besok apa yang terjadi," ancam Hanin dengan nada tinggi, ia seperti orang kesurupan sekarang.

"Kamu mau ngapain?" tanyaku hati-hati melihat Hanin yang berapi-api.

"Cerai!" lanjutnya membuatku langsung kaget lalu dengan cepat menggeleng.

"Nggak, aku nggak akan ceraiin kamu," sanggahku, sekarang nada bicaraku mulai menurun.

"Kenapa? Warisan 'kah? Aku tidak peduli warisan, harga diriku jauh lebih mahal di banding semua warisanmu itu, ambil semuanya, tapi tidak dengan anak-anak, kau paham!" teriak Hanin membuatku langsung bungkam, aku tidak mengerti bagaimana cara menenangkan Hanin sekarang.

"Selama ini aku diam karena menghargai Ayahmu yang sudah sangat baik padaku, tapi ternyata anaknya tidak sebaik Ayahnya," kali ini nada bicara Hanin mulai menurun.

"Ceraiin aja sih sayang, toh warisan juga udah sama kamu," bujuk Mita membuatku langsung bingung.

"Dasar murahan, otaknya cuma ada duit dan nafsu, kalian nggak ada ubahnya seperti binatang, tidak ada malu sedikit pun. Bahkan perbuatan kalian tadi seperti sebuah prestasi yang luar biasa untuk kalian, amazing!" ejek Hanin sambil bertepuk tangan, ada apa dengannya?

"Penyesalan selalu datang di akhir Mas, kau cam 'kan itu!" bentaknya sambil menunjuk wajahku lalu ia pergi keluar rumah, dan membanting pintu sekuat tenaganya.

'Apa besok kami akan bercerai,' batinku tidak tenang.

"Sayang, aku antar kamu pulang ya," bujukku pada Mita, kulihat ia langsung mendengus kesal.

"Kok pulang sih, nanggung lagi nanti aja pulangnya," tolaknya, tapi aku takut besok tiba-tiba Ayah dan Ibu datang ke rumah ini.

"Please sayang, sekarang ya, besok pasti akan ada masalah besar," lanjutku membuat Mita mau tidak mau harus pulang sekarang juga.

***

Disisi lain, selama perjalanan aku merasa hatiku sedang di campuri setan, ingin rasanya aku terus mengamuk  dan memaki-maki Mas Arga dan pelakor itu.

Mulutku kupaksa untuk terus ber istighfar supaya di jauhi setan, besok aku dan anak-anak akan pergi ke rumah Ayah mertua.

Sampai di rumah Sinta, aku langsung masuk, kulihat Dani masih belum tidur juga, amarahku langsung turun melihat anakku tersebut, kudekati ia dan langsung ku kasih dot yang di tanganku sambil ku usap-usap kepalanya lembut.

"Kamu kenapa, Nin?" tanya Sinta tiba-tiba, entah sejak kapan ia sudah di sampingku.

"Aku akan gugat cerai Mas Arga besok," jawabku, kulihat ia sedikit menyergit alisnya.

"Udah dapat bukti yang kuat?" tanyanya, Sinta memang selalu mendukungku, aku hanya mengangguk lalu memberikan ponselku padanya.

Awalnya kulihat Sinta biasa aja menontonnya, sekita 10 detik video berputar, ia langsung menutup mulutnya tidak percaya.

"I--ini mereka di rumahmu?" tanyanya tidak percaya, aku hanya mengangguk.

"Iya dan di kamar kami berdua, mereka melakukan itu," jawabku membuatnya geleng-geleng, mungkin dia tidak habis fikir dengan suamiku itu.

"Sin, besok kami ke rumah Ayah mertuaku dulu, aku ingin semua masalah ini langsung selesai tidak ada yang di sembunyikan," lanjutku membuatnya mangut-mangut.

"Iya-iya aku paham, jadi gini aja, besok setelah kamu resmi di talak sama dia, kamu pindah ke sini aja, rumahku ini terbuka kapan pun untukmu," tawarnya, bersyukurlah aku punya teman sebaik Sinta, aku langsung mengangguk.

"Makasih ya," ucapku, ia langsung menepuk-nepuk pundakku pelan.

"Santai, anggap rumah sendiri," lanjutnya.

***

Keesokan harinya; pagi-pagi sekali kami sudah berangkat ke rumah orang tua Mas Arga, Sinta tidak membolehkan kami pergi naik kendaraan umum, ia memaksa untuk membawa mobilnya, sedangkan ia ke sekolah naik motor.

Sambil menyetir ku ambil ponselku dan ku kirim voice note ke Mas Arga, awas aja kalo sampe dia nggak datang ke rumah orang tuanya juga.

***

Disisi lain Aku yang baru saja bangun dari tidurnya langsung mengecek ponsel, kulihat ada pesan suara dari Hanin, tanpa membuang waktu langsung ku putar pesan tersebut.

[Kutunggu kau di rumah orang tuamu, kalo sampe kau nggak datang, maka jangan harap warisan jatuh ke tanganmu] 

Aku langsung bangkit dari ranjang, Hanin benar-benar ingin menggugat cerai sekarang juga, tanpa membuang waktu lagi, aku langsung membersihkan diriku lalu berangkat ke rumah orang tuaku.

Ada rasa cemas dan deg-degan di hatiku, Ayah adalah orang yang tegas dan ia juga sangat menyayangi Hanin.

Hampir 4 jam aku menempuh perjalanan, akhirnya aku sampai juga, kulihat mobil warna merah sudah terparkir di halaman rumah, mungkin itu mobil Sinta temannya Hanin.

Ku beranikan diri membuka pintu mobil lalu melangkahkan kakiku masuk ke dalam, di teras kulihat Hana dan Dani sedang bermain sambil memakan cemilan di tangan mereka.

Begitu aku sampai di pintu, kulihat Ayah sedang mengobrol dengan Hanin.

"Assalamualaikum," ucapku sopan membuat keduanya langsung menoleh ke arahku, jantungku terasa ingin berhenti saat melihat tatapan Ayah yang begitu tajam ke arahku.

"Walaikumsalam, kamu melakukan apa sih, Nak? Sampe si Hanin mau cerai sama kamu atau ini cuma alasannya aja biar semua warisan jatuh ke tangannya," Ibu langsung menghampiriku dengan banyak pertanyaan.

PoV Hanin

Sudah kuduga Ibu mertuaku selalu membela anaknya dan menyalahkanku, tidaka masalah, aku tidak takut.

Yang di dalam pikiran mereka hanya warisan, warisan dan warisan.

"Ibu biar 'kan Arga duduk di sini," perintah Ayah mertua dengan tegas, membuat Ibu si mulut cabe itu langsung bungkam.

Setelah Mas Arga duduk, Ayah mertuaku langsung menarik nafas dalam-dalam, lalu melihatku.

"Apa yang Arga lakuin Nak, sampe kamu minta cerai seperti ini?" tanya Ayah mertua padaku, ku beranikan mulutku untuk menjelaskannya semuanya.

"Pertama, Mas Arga selingkuh, awalnya aku masih diam karena memikirkan anak-anak dan juga Ayah, kedua aku sering menangkap basah mereka sedang bersama dan yang membuat aku bingung Mas Arga selalu membentakku jika ia sedang bersama pelakor it-" ucapanku terpotong oleh Ibu mertua.

"Alah itu paling cuma alasanmu aja, kau menginginkan warisannya bilang aja," ejek Ibu mertuaku, membuatku langsung menghembuskan nafas kasar.

"Ibu!" bentak Ayah membuatku langsung terkejut, begitu juga Ibu dan Mas Arga, Ayah mertua memang sangat jarang marah.

"Biarkan Hanin menjelaskannya terlebih dahulu, baru kita beralih ke Arga, jangan mengompor-ngompori suasana," ucap Ayah mertua penuh penekanan. Mampus kau! Dasar Ibu mertua di mulut jahannam.

Kusodorkan ponsel ke depan Ayah mertua, kulihat ia tampak bingung. Aku langsung manarik nafas dalam-dalam.

"Itu bukti hubungan haram mereka yang aku rekam tadi malam, Ayah," terangku, Ayah langsung mengangguk dan mulai memutar video.

"Hanin!" panggil Mas Arga nadanya sedikit tinggi membuat Ayah mertua langsung menunda pemutaran video lalu berlalih melihat anaknya.

"Iya Mas, tadi malam aku menyaksikan itu samua, tapi untuk otakku nggak buntu saat melihat itu, karena aku yakin jika tidak ada bukti maka aku akan terus di salah 'kan, di bilang ingin mengincar warisan. Kamu tidak pikun 'kan Mas, tadi malam jelas ku katakan, aku tidak butuh warisanmu!" suaraku mulai meninggi di sertai sindiran untuk Ibu mertua.

Kulihat Ayah mertua diam menyaksikan kemarahanku.

Ayah kembali fokus ke ponselku, aku yang mendengar suara desahan itu aja sudah jijik, gimana dengan Ayah yang menyaksikan perbuatan haram anaknya sendiri.

Belum lama video berputar, Ayah langsung memegangi dadanya dan bibirnya terus beristighfar, kenapa Mas Arga tidak sebaik Ayahnya.

Aku langsung pindah ke samping Ayah, takut penyakit jantungnya kambuh, ku pegangi tangan Ayah yang sedang memegang dadanya.

"Tidak apa Nak, Ayah tidak apa-apa," ucapnya sambil melihatku, kemudian tatapan Ayah beralih ke Mas Arga.

"Sekarang Ayah tanya kamu mau cerai sama, Hanin?" tanyanya pada Mas Arga, kulihat Mas Arga menggeleng, drama apa yang sedang kau mainkan, Mas.

"Lalu kenapa kau lakukan hubungan haram ini!" bentak Ayah, aku langsung kaget yang awalnya Ayah biasa saja sekarang malah seperti singa mengamuk.

Mar Arga terdiam seribu bahasa melihat amukan Ayahnya sendiri, aku hanya diam menyaksikan Ibu dan anak itu di seberang kami.

"Warisan akan Ayah serahkan semuanya ke Hanin dan cucuku," lanjut Ayah membuat keduanya langsung kaget.

"Nggak bisa gitu dong, Yah. Mungkin karena dia yang nggak guna jadi istri makanya Arga mencari yang lain," tolak Ibu mertuaku mentah-mentah.

"Diam Ibu, jangan ikut campur, Ayah lebih tahu siapa yang berhak dan yang nggak!" bentaknya lagi, kulihat Mas Arga langsung menunduk, halah palingan cuma akting.

"Ayah, Hanin tidak butuh itu semua, aku cuma minta anak-anak nggak lebih Ayah, Hana dan Dani lebih dari segalanya buatku, Ayah," bujukku, kulihat Ayah mengangguk.

"Ayah setujui perceraian ini," ujar Ayah seperti membuka pintu surga untukku, tapi tidak Mas Arga, ia tidak berani mengucapkan satu kata pun dari bibirnya, pengecut!

"Tapi sebelumnya, Ayah harus jujur kepada kita semua di sini, siapa Hanin sebenarnya dan apa hubungan Ayah dengan Ayah Hanin," lanjut Ayah membuatku langsung penasaran, kerana selama ini aku tidak pernah tahu bagaimana keluargaku, karena mulai dari kecil aku sudah di panti asuhan.

"Pak Imran atau Ayah Hanin adalah sahabat setia Ayah sampai ia meninggal. Dulu saat Ayah di PHK dari kantor karena tuduhan korupsi, Ayah Hanin 'lah yang mencari kebenaran tentang korupsi tersebut dan pada akhirnya Ayah divonis tidak bersalah, tidak berapa lama setelah kejadian itu Ayah dan Ibu Hanin meninggal karena tabrakan, semua orang mengatakan itu tabrakan tunggal, tapi Ayah sampai sekarang belum yakin itu tabrakan tunggal, pasti di sengaja oleh orang yang tidak suka pada Pak Imran.

Kedua orang tuanya dilarikan ke rumah sakit, Ibunya sudah meninggal dunia, tapi Ayah Hanin masih masih sadar sebentar. Disitu 'lah beliau menitip 'kan Hanin pada Ayah, awalnya Ayah ingin membawa Hanin ke sini, tapi karena Ibu mertuamu tidak pernah suka dengan orang baru, makanya Ayah lebih memilih menitipkanmu di panti asuhan, demi keamananmu dan demi keselamatanmu.

Ayah selalu memberi uang pada pengasuhmu di panti Asuhan dari awal masuk hingga kamu memutuskan untuk keluar dari panti asuhan. Semua harta kedua orangtuamu sudah Ayah kelola, bahkan rumah orang tuamu masih ada sampai sekarang, Ayah menggaji orang untuk selalu membersihkannya," Ayah menggantung ucapannya matanya memerah, mungkin ia teringat dengan Ayah dan Ibuku.

"Makanya Ayah selalu mengatakan jika Arga macam-macam, maka semua warisan jatuh ke tanganmu, karena pada dasarnya semua harta Ayah ini diawali dengan harta Ayahmu yang Ayah kelola," lanjut Ayah membuatku mangut-mangut, aku mengerti sekarang kenapa Ayah selalu membelaku dan membantuku sampai saat ini. Entah kenapa aku tidak tega melihat Ayah yang sedang menghapus air matanya.

Aku turun ke bawah dan duduk di dekat kaki Ayah, rasanya sekarang aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Ayah padaku.

"Ayah, aku tidak menuntut semua warisan itu, aku bisa tinggal di rumah Sinta dan aku bisa ngajar untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk membalas semua jasa Ayah padaku, mulai aku di panti asuhan hingga sekarang," lirihku membuat air mata Ayah ikut jatuh, ia mengusap kepalaku yang dibalut hijab.

Apa yang terjadi padaku, aku sangat kasihan melihat Ayah sekarang ini, tapi tidak dengan Mas Arga, aku tidak peduli dengannya sediki pun.

"Baiklah, Nak. Jika kamu tidak mau menerima warisan itu, Ayah minta tolong dengan sangat ambil kembali rumah orang tuamu, di sana juga masih ada mobil dan beberapa motor," ucap Ayah memohon kepadaku, aku tidak tega pada Ayah langsung saja ku anggukan kepala pertanda menyetujui permintaannya lalu ia menarik tanganku untuk duduk di sampingnya.

"Dan kamu Arga," nada bicara Ayah kembali naik saat melihat Mas Arga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status