Share

Bab 3

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2022-06-28 03:03:40

"Kamu akan terlihat cantik dengan gaun ini, Husna," ujar beliau, kala itu. Sebuah gaun berwarna putih dipilih, kemudian meminta aku mencobanya. 

"Saya minta maaf, Bulek, keputusan saya sudah bulat. Saya juga sudah bicara dengan Mas Fikri, dan ia tak keberatan," ujarku setenang mungkin. 

Kulihat Mas Fikri yang tak bersuara sejak tadi. Dia terlihat tak acuh dengan semua perdebatan yang bergaung di dinding dan plafon ruang tamu ini.

Selama ini aku berusaha menerima perjodohan ini, demi menghormati kedua orang tua dari dua belah pihak. Aku berdamai dengan perasaanku sendiri, mencoba menerima kekurangan Mas Fikri yang sedikit demi sedikit terlihat saat hari pernikahan kami mulai dekat. Namun, hatiku tak bisa menerima saat ada permintaan tak masuk akal dari calon suamiku. 

"Baiklah, tak apa Husna. Bulek menghormati keputusan kamu. Anggap saja kalian belum berjodoh. Tapi seperti yang Bulek katakan tadi, Bulek akan tetap sayang dan menganggap kamu sebagai anak, meski kamu tak menjadi menantu di rumah ini."

Tak terasa menetes air mataku saat mendengar tutur kata dari Bulek Lastri. Apa yang disampaikan oleh Bulek Lastri, seperti hembusan angin segar di ruang tamu yang terasa panas ini. Perempuan hebat, bisa berbesar hati menerima keputusanku. Keputusan yang bagi sebagian orang menyakitkan, karena membatalkan pernikahan secara sepihak.

"Masya Allah, terima kasih, Bulek. Sekali lagi, Husna minta maaf, karena tak bisa melanjutkan rencana pernikahan yang tinggal dua Minggu lagi."

"Tidak apa-apa, Bulek mengerti."

"Mestinya lebih bagus kalau Husna jadi menantu di rumah ini, Bu. Akan ada yang membantu ibu belanja dapur," tiba-tiba saja Mas Fikri menyela pembicaraan kami. Aku mencoba mencerna kalimat terakhirnya. 

"Fikri! Jaga ucapanmu!"

"Pikirkan lagi, Dek Husna! Daripada kamu harus mengembalikan dua kali lipat bawaan kami dulu, lebih baik, kita lanjutkan pernikahan kita.

Lihat, ibuku sangat sayang padamu bukan? Di luar sana, banyak lho, menantu yang tak akur dengan mertua."

Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. Benar memang, Lek Lastri sangat sayang padaku. Namun sayang, calon suamiku lebih sayang uangku. Tunggu saja, Mas, aku masih punya kejutan buat kamu.

Aku pamit ke luar hendak membantu ayah. Mas Fikri mengikuti langkahku di belakang, kemudian mensejajarkan langkah.

"Mas nggak bisa bayangkan bagaimana hidup tanpa kamu, Dek Husna."

"Halah, gombal!"

Aku sudah sampai di belakang mobil yang terbuka di bagian belakang. Bersama Pak Ajmi, tetangga Ayah, aku membawa dua nampan berisi wajik dan gemblong. Tak lama kemudian, ruang tamu Lek Sapto telah penuh dengan pisang raja, jajanan dari ketan, beberapa kotak buah-buahan, serta satu kardus berisi barang lain pemberian Mas Fikri.

"Oke, Sapto. Ini ya, semua sudah kami kembalikan. Cincin juga sudah diserahkan pada Fikri oleh Hanum tadi malam. Saya rasa semua sudah cukup."

"Benar-benar sudah kau siapkan rupanya. Baiklah, kali ini aku akui aku kalah. Ini jauh lebih banyak dari yang pernah kami bawa," ujar Lek Sapto dengan menggelengkan kepala. Lek Sapto menolak uang ganti rugi untuk pemesanan tenda dan catering.

Ia seperti tak percaya melihat apa yang kami bawa.

"Biar kita lebihkan, jangan sampai kurang," jawab Ayah saat aku protes karena seingatku bawaan mereka tak sebanyak itu. Menurut ayah, beginilah adat di sini, jika pihak perempuan yang membatalkan pertunangan. 

"Saya rasa semua sudah menerima keputusan ini dengan baik. Saya harap, hubungan kekeluargaan kita tetap terjalin. Sekali lagi, saya selaku orang tua dan wali dari anak saya, Husna, minta maaf yang sebesar-besarnya pada keluarga Dek Sapto dan Dek Lastri," ujar ayah, kemudian kami semua bersalaman, saling memaafkan satu sama lain. 

"Oke, semua lunas, ya? Kami pamit dulu ya, Dek," ujar ayah saat melihat Bulek Lastri melepas pelukan hangat padaku.

"Tunggu, Ayah. Husna ada yang belum selesai dengan Mas Fikri."

Semua mata tertuju padaku. Kukeluarkan lembaran kwitansi bermaterai enam ribu, kuserahkan pada Mas Fikri.

"Kamu belum lupa kan, Mas, kalau pernah menggunakan uangku untuk keperluan kamu?" 

Wajah mas Fikri berubah pucat. Sementara Lek Sapto membelalakkan mata saat berhasil merebut kertas dari tangan Mas Fikri.

.

"Anak kurang aj*r! Bikin malu saja!"

Mas Fikri bergeming, ia hanya menunduk saat ayahnya memaki di depan semua yang hadir.

"Untuk apa kau beli barang tak berguna hingga puluhan juta? Jawab!"

"Untuk investasi, Yah."

"Investasi gundulmu! Investasi itu uangmu sendiri, bukan uang Husna kau pakai, dud*l! Sana, bayar hutangmu!"

Lek Sapto menoyor kepala Mas Fikri. Lek Lastri menarik tangan Mas Fikri ke dalam rumah, mungkin takut ada adegan yang tak enak dilihat terjadi di depan para tamu.

.

Kira-kira, Fikri pinjam uang Husna buat apa, ya? Apa jumlahnya banyak hingga harus pakai materai segala?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Syukurlah Husna pinter tidak begitu saja meminjam kan uang kepada Fikri
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 4

    Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 3

    Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 2

    Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 1

    POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 166 (Ending)

    Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 165

    Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status