“Bahkan Mbak Rara yang sudah bekerja pun sering minta uang ke aku.”
Andini melanjutkan, suaranya lebih rendah, tapi nadanya penuh ketegasan. Kedua tangannya terlipat di depan dada, pandangannya menusuk ke arah Niko yang duduk di ujung ranjang, menunduk seolah mencoba menghindari tatapan mata sang istri. “Awalnya aku kasih karena katanya untuk kebutuhan Michel. Tapi makin kesini, dia malah minta buat beli kebutuhannya sendiri.”“Nyalon lah, meni pedi lah, inilah itulah. Adaa aja alasannya,” sambung Andini.Niko mendongak, menatap istrinya dengan dahi berkerut. Ia mencoba mencari alasan untuk membela kakaknya, tapi bibirnya terasa kaku. Ia tahu apa yang dikatakan Andini ada benarnya, tapi ego membuatnya enggan mengakui itu.Andini menggeleng pelan, menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. “Kalau seperti ini terus, kapan mereka mandiri, Mas? Mereka terus bergantung sama aku. Lalu kapan mereka belajar berusaha den“Kamu yakin?”“Sangat yakin, Mbak!” jawab Nino tegas, nadanya lebih berat dari biasanya. Ada ketegangan yang tidak biasa dalam intonasi suaranya.Andini menatap tajam wajah adik iparnya. Alisnya berkerut, keraguan berpendar di sorot matanya yang teduh. “Kenapa kamu milih ngomongin ini ke aku?” tanyanya dengan pelan, namun dalam. Matanya sedikit menyipit, seolah berusaha membaca niat yang tersembunyi di balik jawaban Nino.Nino menunduk sepersekian detik, lalu melirik sekilas ke arah dua wanita yang sejak tadi duduk di sisi lain ruangan. Mereka tampak santai, tapi sorot mata mereka menyiratkan ketertarikan penuh pada pembicaraan ini. Seolah percakapan itu lebih seru dari tayangan sinetron di malam hari.Melihat lirikan itu, Andini segera paham. Ia menarik napas, menoleh pada Nino, lalu berujar dengan nada datar, “Jangan takut sama mereka. Mereka sudah jinak, bahkan sudah disuntik rabies.”Pluk!Sebuah botol air mineral kosong terb
“Jadi aku diusir?” tanya Nino perlahan.“Bukan diusir,” sahut Niko cepat. “Tapi dikasih pilihan. Kamu pilih realita, atau kamu tinggal dalam mimpi dan tanggung sendiri resikonya.”“Kalau itu syaratnya… baiklah aku akan pergi.”Suara Nino gemetar, meski ia berusaha menegakkan bahunya.“Ya Tuhan, No…” Rara menggeleng. “Entah sihir apa yang dipakai cewek itu sampai kamu sebodoh ini?”“Namanya Alisa, Mbak. Dan dia nggak nyihir aku. Aku sangat sadar.” Nino kembali membantah kakak sulungnya. Entah kenapa, sejak kecil, Rara dan Nino memang tak pernah bisa disatukan. “Kamu sadar atau terbius?” suara Rere, adik Niko, yang dari tadi diam, akhirnya muncul dari sisi ruangan. Ia bersandar di ambang pintu dapur, wajahnya dingin seperti batu. “Pacaran belum ada setahun, sudah ngomong nikah. Kamu pikir Ibu nggak punya beban lain selain ngurus urusan gila kamu ini?”“Aku nggak minta bantuan siapa-siapa. Aku cuma minta kalian percaya dan mere
“Kamu bilang apa barusan?!”Nada suara Niko membentak dan cukup menyakitkan seperti pecahan kaca yang terlempar langsung ke arah sang adik. Tegas, kasar, dan tanpa aba-aba. Tubuhnya yang besar langsung tegak dari posisi duduk, tangan laki-laki itu mengepal di sisi tubuh. Rara yang duduk di sebelahnya spontan menoleh, menatap adiknya yang duduk di kursi rotan tua di sudut ruangan.Nino mengangkat wajah. Tatapannya tidak gentar meski sorot mata Niko menyala penuh amarah. Ia menelan ludah, menahan gugup yang mulai naik ke tenggorokan.“Aku bilang, aku ingin melamar pacarku.” Suaranya pelan, tapi tidak gemetar. Kedua tangannya mengepal di atas lutut, berusaha tidak memperlihatkan bahwa jantungnya berdebar kencang seperti genderang perang.Reaksi itu datang lebih cepat dari yang ia perkirakan.“Gila kamu!” Rara memekik. Ia berdiri dan menunjuk ke wajah Nino, matanya melebar seolah tak percaya apa yang wanita itu dengar. “Kamu itu bahkan belum lulus SMA! Baru juga bisa nyetir motor sendiri
“Mas… Bu… aku mau ngomong sesuatu.”Langkah Nino terhenti sejenak di ambang pintu ruang makan ketika melihat pemandangan di depannya. Niko, kakak laki-lakinya, sedang duduk di meja makan bersama Rukmini, ibu mereka, serta dua kakak perempuannya, Rara dan Rere. Aroma gulai kambing yang masih mengepul dari panci di tengah meja tercium kuat, bercampur dengan aroma sambal terasi yang pedas menggigit.Niko menoleh sekilas ke arah Nino, alisnya sedikit terangkat. “Kamu dari mana? Pulang-pulang mukanya kusut begitu?” tanyanya, suaranya datar namun ada nada curiga di sana.Rukmini ikut menatap Nino, mata tuanya menyipit seolah berusaha membaca pikiran putra bungsunya itu. “Duduk dulu, makan. Nanti baru ngomong,” titahnya sambil menggeser piring kosong ke arah Nino.Tanpa banyak bicara, Nino melangkah mendekat, lalu menarik kursi di seberang Niko. Ia duduk dengan tubuh sedikit membungkuk, pandangannya tertuju ke meja makan, menghindari tatapan la
Sementara di tempat lain… “Mbak… plis, tolongin aku sekaliii lagi.”Nino berdiri dengan canggung di depan Andini, kedua tangannya terkatup seolah memohon. Matanya menatap penuh harap pada kakak iparnya yang duduk di sofa, tangan wanita itu sibuk membolak-balik halaman majalah fashion yang sejak tadi ada di pangkuannya.Andini menghela nafas pelan, lalu menutup majalahnya dengan satu gerakan cepat. Ia menatap Nino dengan sorot mata datar, ekspresinya menunjukkan kejengkelan yang sudah sulit disembunyikan. “Dari kemarin juga, perasaan sekali sekali mulu.”Nino langsung menegakkan punggungnya, mengusap tengkuknya yang mendadak terasa panas. “Mbak, aku janji ini yang terakhir,” ucapnya dengan suara lirih, mencoba meyakinkan. “Aku benar-benar butuh bantuan Mbak kali ini.”“Kamu sendiri yang janji, katanya mau ngomong sama Ibu dan Mas Niko,” tukas Andini tanpa basa-basi. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, matanya menatap lurus
“Masam banget itu muka!” tegur Rukmini yang melihat ekspresi putranya. “Lisa hamil, Bu.” Niko akhirnya membuka mulut, memecah keheningan yang sejak tadi menggantung di ruang tamu rumah Rukmini. Ia duduk di ujung sofa dengan wajah ditekuk, kedua siku bertumpu pada lutut, sementara kedua telapak tangannya saling menggenggam erat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski angin dari kipas angin di sudut ruangan terus berputar dengan suara berdecit pelan. Rukmini, yang sedang sibuk membuka toples, seketika menghentikan gerakannya. Kedua alisnya terangkat, bibirnya terkatup rapat sejenak sebelum akhirnya mengulas senyum tipis. “Benarkah?” tanyanya dengan mata berbinar. “Bagus kalau begitu! Akhirnya Ibu bisa punya cucu dari kamu!” Niko menatap ibunya dengan sorot mata bingung, tidak menyangka reaksi wanita paruh baya itu akan seperti ini. Di satu sisi, ia merasa lega karena ibunya tidak langsung marah. Namun di sisi lain, ada rasa khawatir yang terus menggerogoti pikiranny
“Akhirnya datang juga!”Rukmini segera bangkit dari kursi rotan di teras rumahnya begitu mendengar suara gerbang yang berderit pelan, diikuti deru mesin mobil yang perlahan masuk ke halaman. Matanya langsung tertuju pada mobil hitam yang berhenti di depan rumah, namun bukan mobil baru berwarna putih milik menantunya, Andini. Mobil yang sejak tadi mereka tunggu. Ia menyipitkan mata, mengerutkan kening, merasa ada yang aneh.“Niko!” sapanya begitu melihat anak laki-lakinya turun dari mobil.Rere yang duduk di sampingnya ikut berdiri, rambut panjang gadis itu tergerai, lalu bergoyang terkena angin malam. Gadis itu melangkah ke depan, menatap mobil yang baru saja parkir di halaman rumah mereka.“Mas, kenapa nggak bawa mobil baru Mbak Andini?” tanya Rere, melipat kedua tangannya di depan dada dengan alis terangkat. “Bukannya Mas janji mau bawa mobil Mbak Andini kalau ke sini?”Niko menutup pintu mobilnya dengan sedikit tenaga, seolah mencoba melampiaskan kekesalannya. Laki-laki itu kemud
“Maksud aku, berikan saja uang gajimu ke mereka, Mas. Bukan dengan uangku.” Andini yang tadi sempat memotong ucapan Niko akhirnya menjelaskan, suaranya terdengar tegas, tanpa celah untuk ditentang. Niko tertegun, kedua alisnya terangkat, menatap istrinya dengan tatapan tak percaya. Ia tidak menyangka Andini akan berkata seperti itu. Tangannya yang semula menggenggam lututnya kini mengepal, seolah ingin meredam gejolak di dadanya. “Ta-tapi, Sayang—” Niko mencoba mengelak, suaranya terdengar sedikit bergetar. Ia menatap Andini, berharap menemukan setitik pengertian di wajah istrinya, tapi hanya menemukan ekspresi dingin dan keteguhan yang sulit digoyahkan. Andini hanya diam, matanya menatap tajam ke arah Niko, menunggu suaminya melanjutkan. Ia tidak berniat sedikitpun menyela, tapi tatapannya sudah cukup untuk membuat Niko merasa terpojok. “Kamu kan tau se
“Bahkan Mbak Rara yang sudah bekerja pun sering minta uang ke aku.”Andini melanjutkan, suaranya lebih rendah, tapi nadanya penuh ketegasan. Kedua tangannya terlipat di depan dada, pandangannya menusuk ke arah Niko yang duduk di ujung ranjang, menunduk seolah mencoba menghindari tatapan mata sang istri. “Awalnya aku kasih karena katanya untuk kebutuhan Michel. Tapi makin kesini, dia malah minta buat beli kebutuhannya sendiri.”“Nyalon lah, meni pedi lah, inilah itulah. Adaa aja alasannya,” sambung Andini. Niko mendongak, menatap istrinya dengan dahi berkerut. Ia mencoba mencari alasan untuk membela kakaknya, tapi bibirnya terasa kaku. Ia tahu apa yang dikatakan Andini ada benarnya, tapi ego membuatnya enggan mengakui itu.Andini menggeleng pelan, menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. “Kalau seperti ini terus, kapan mereka mandiri, Mas? Mereka terus bergantung sama aku. Lalu kapan mereka belajar berusaha den