“Dasar mulut comberan! Bisa-bisanya dia bilang begitu. Yang bayarin juga si Andini, bukan dia! Kenapa malah dia yang ribet?”
Rukmini melangkah cepat di trotoar kecil, tumit sandalnya menghentak-hentak aspal dengan ritme kesal.Mulutnya tak berhenti bergerak, bergumam marah dengan suara cukup nyaring untuk menarik pandangan pejalan kaki yang berpapasan dengannya.Wajahnya merah padam, gincu merah menyala di bibirnya terlihat semakin mencolok saat bibir itu mengerucut dalam gerakan penuh emosi.“Si Andini aja santai, nggak keberatan, malah senang bisa bantu. Kenapa si Mirna yang nyolot? Saudara bukan, orang tua juga bukan. Dasar manusia aneh!”Tangannya melambai di udara, seolah mencoba menepis hawa panas kemarahan yang membungkus tubuhnya. Napasnya memburu, dada naik turun seiring amarah yang terus membuncah.“Orang kalau punya penyakit hati ya begitu itu,” gerutunya lagi. “Orang lain senang sedikit“Tolong kasih tahu kalau kamu tahu dimana Nino, Ndin.” Suara Niko terdengar pelan namun terdesak. Ada kecemasan samar di balik nada bicara laki-laki itu, tapi Andini tak menggubrisnya. Ia menyandarkan punggung ke tembok dengan santai. Alis kirinya terangkat. “Kenapa tanya aku? Aku kan cuma kakak iparnya,” jawab Andini datar. Bibirnya menyeringai kecil dan kembali melanjutkan. “Coba tanya mantan pacar, alias mantan calon istrinya, yang sekarang jadi ... kakak iparnya juga. Kali aja dia tahu.” Kata-kata Andini tak hanya tajam, tapi juga menusuk tepat ke titik malu seseorang yang masih punya harga diri. Sayangnya, wanita yang ia tuding hanya berdiri tegak, tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tak ada gerakan menunduk, apalagi rasa bersalah. Andini mendesis pelan. Matanya menatap tajam ke arah Lisa, menilai gerak-gerik yang tak berubah. ‘Benar-benar tak punya malu rupanya, cih!’ batinnya menggeram. Ia memiringkan kepala sedikit, seolah memperjelas arah serangannya berikutnya. “Lagia
“Lha kok tanya saya? Kan anak situ, bukan anak saya.”Suara Andini terdengar tenang, namun tajam. Ucapannya seperti pisau yang menusuk ke dasar harga diri sang mertua.“Jangan kurang ajar kamu, Andini!” bentak Rukmini lantang, nadanya melengking menusuk gendang telinga.Andini memejamkan mata sejenak, mengatur napas. Perlahan ia membuka kelopak mata dan melangkah maju, tubuhnya tegak. Suasana mendadak menegang. Tiap ketukan hak sandalnya di lantai membuat jantung Rukmini berdegup lebih cepat.Ia kini berdiri tak sampai dua langkah dari sang mertua.“Coba ulangi kata-kata Ibu,” ucap Andini, pelan namun penuh tekanan. “Aku nggak terlalu denger tadi.”Rukmini spontan menelan ludah. Glek! Tangan tuanya gemetar kecil, dan sorot matanya berusaha menghindar dari tatapan menantunya yang tajam. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.“Ma—mau apa kamu, Andini?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar, patah-patah, bahkan nyaris tertelan rasa gugupnya sendiri.Andini menaikkan satu alis, l
“Tolong jangan bertele-tele, Andin.”Nada suara Niko terdengar mulai kehilangan kesabaran. Ia berdiri tegak, dengan dada membusung, namun wajahnya menyimpan gelisah yang tak bisa ditutupi. Di sampingnya, Lisa berdiri kaku. Tangannya saling menggenggam erat di depan perut yang masih belum terlihat membuncit, mencoba terlihat tenang meski jelas matanya menyapu seisi ruangan dengan angkuh.Andini mengangkat wajah, menatap lurus ke arah sang suami. Tatapannya menusuk, tanpa senyum, tanpa basa-basi.“Siapa yang sebenarnya bertele-tele, Mas?” balas Andini dengan suara datar namun tegas.Ia melangkah pelan, dan mendekat. Pandangannya berpindah dari Niko ke Lisa. Tatapan tajamnya membuat Lisa menunduk tanpa sadar, seolah tengah diperiksa oleh seorang hakim.Tak ada keramahan di wajah Andini. Tak ada raut lembut yang dulu sempat menghiasi setiap interaksi mereka. Yang terlihat hanya ketegasan dan dingin yang mencekam.“Aku bawa Lisa kemari untuk tinggal bersama kita,” ucap Niko pada akhirnya
“Sayang … ini Lisa. Aku sama Lisa udah nikah tadi pagi.” Suara Niko terdengar tenang, bahkan sedikit santai, seolah yang ia ucapkan bukanlah sebuah pengkhianatan besar terhadap pernikahannya sendiri. Sementara Andini duduk di kurai teras, mengenakan daster bermotif bunga dan menyilangkan kakinya dengan santai. Di pangkuannya, sebuah ponsel menyala dengan suara film romcom dari negeri seberang yang ia tonton sambil menyeruput teh hijau. Aroma pandan dan jahe dari kue yang baru saja ia makan amat menenangkan, kontras dengan situasi yang baru saja dilemparkan ke wajahnya. Sekilas, Andini melirik ke arah dua sosok yang berdiri di sisi kirinya. Tak ada keraguan di mata Niko, dan Lisa tampak berdiri dengan percaya diri tepat di samping suami barunya, bahkan keduanya sama sekali tidak menunjukkan sedikitpun rasa bersalah. Andini hanya menatap mereka sepersekian detik sebelum akhirnya kembali memfokuskan perhatian
“Jelaskan apa? Ada apa sebenarnya ini?”Nada suara Niko tajam, namun diliputi kebingungan yang terlihat jelas. Sementara Nino masih terdiam, tapi pandangan matanya lurus dan menusuk ke arah kakaknya yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. Tubuhnya tegak, dagunya terangkat, berusaha menahan gemetar yang naik turun dari dadanya yang panas oleh amarah.Nino maju selangkah, ekspresinya berubah drastis. Sorot matanya menyiratkan peringatan yang serius.“Wanita yang Mas pilih untuk menjadi madu dari Mbak Andini ini … dia adalah pacarku yang pernah aku ceritakan sama kalian.”Seisi ruangan seolah membeku.Tak ada yang bergerak. Tak ada suara. Hanya detik jarum jam yang terasa menggema dalam hening yang mencekam.Duar!Bak suara halilintar yang menyambar tanpa aba-aba, kenyataan itu membuyarkan semua. Wajah beberapa orang di ruangan itu langsung berubah. Bahkan Lisa sendiri menunduk, sambil menggigit bibir bawahnya.Plak!Sebuah tamparan keras mendarat telak di pipi kiri Nino. Tubu
“Nino?”“Ngapain kamu ke sini?”“Kalian ada di sini juga?”Tiga suara bersahutan dari arah ruang tamu begitu Nino melangkah masuk melewati ambang pintu. Empat wajah yang sangat ia kenal menatapnya dari balik keramaian: Rukmini, ibunya. Rara, kakak sulungnya. Rere, kakaknya yang ketiga. Dan Niko, kakak keduanya.Ketiga perempuan itu tampak mengenakan dres modern, lengkap dengan dandanan formal seperti hendak menghadiri acara penting. Sedangkan Niko tampak gagah mengenakan setelan jas. Nino membeku. Nafasnya tercekat. Dia masih berdiri tegak di depan pintu, belum bisa mencerna sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Pandangannya langsung menyapu seluruh ruang. Lalu, matanya terpaku.Di sisi ruangan, Lisa duduk anggun mengenakan gaun panjang biru muda. Wajahnya ditata cantik, rambutnya disanggul rapi. Di sebelahnya, duduk dua orang—sepasang suami istri, kemungkinan besar adalah orang tua wanita itu.“Lisa?” suara Nino lirih. Tubuhnya sedikit maju, napasnya memburu. “Jadi benar ini rumahmu?