"Ibu...,bu.." Aku memanggil wanita yang telah lima tahun menjadi mertuaku itu.
"Wita..?" Ibu nampak terkejut melihatku sepagi ini sudah bertandang ke rumahnya."Ibu mau pergi?" Kulihat wanita separuh baya itu sudah berdandan begitu cantik. Bahkan menenteng tas yang bisa dibilang tidak murah."Iya. Kenapa?" Dia begitu ketus menjawabku, bahkan masih sibuk merapikan penampilannya yang begitu meriah."Tidak apa-apa, aku kemari juga hanya sebentar." Aku lihat ibu masih sibuk merapikan jilbabnya, segera saja aku keluar dan membawa masuk tujuanku datang kemari.Aku mendorong kursi roda itu masuk, seketika wajah ibu berubah terkejut. "Erlan? Kenapa kamu bawa Erlan kemari Wita! Mana Lia?" Kali ini ibu menatapku tak suka, ibu juga terlihat mencari sosok lain di belakang kami."Memangnya mau aku bawa kemana lagi suamiku ini bu, adik maduku itu sudah tak mau lagi bersama anak ibu yang sangat mempesona ini." Kuusap liur yang menetes di ujung bibir mas Erlan. Ia kini nampak seperti bayi."Jangan bercanda kamu wita, Lia tak mungkin menelantarkan Erlan begitu saja." Ibu mengambil ponsel dan menghubungi sebuah nomor, namun hingga beberapa kali panggilan di buat, sepertinya tak ada jawaban. "Kenapa tak bisa dihubungi?" Ibu berdecak kesal."Mana aku tau, bukankah dia menantu kesayangan ibu?" Aku menatap mas Erlan yang berkaca-kaca, kubuang wajahku agar tak melihatnya lagi."Ya sudah bawa pulang saja suamimu itu, urus baik-baik, bukanya kamu juga istrinya?" Ibu kini melemparkan semua tanggung jawab padaku.Aku tersenyum memutari kursi roda suamiku dan duduk di sofa, kutatap remeh wajah cemas mertuaku. "Bagaimana jika aku ingin mas Erlan tinggal di sini?"Mata bulatnya yang berkerut nampak membelalak, sebegitu takutnya ia dengan sepenggal kalimatku Itu. "Jangan bercanda kamu Wita!" Kali ini nada suaranya meninggi, membuatku tersenyum kecil mengetahui ke gelisahannya kini."Aku tidak bercanda bu. Ibu tau, lima tahun aku jadi istrinya. Aku urus semua yang dia butuhkan, makan, pakaian, kesehatannya. Tak pernah aku mendapat pengakuan istimewa sebagai istri mas Erlan. Tapi sekarang, kenapa ibu bilang aku juga istrinya?"Ibu terlihat salah tingkah, namun berusaha tetap terlihat tenang. "Ya memang kamu istrinya kan wit? Kalau Lia tak mau mengurusnya, ya berarti kamu saja yang mengurus Erlan, bukankah kewajiban istri itu berbakti pada suaminya?"Ingin sekali aku tertawa. "Tergantung bu, suami seperti apa yang harus aku baktikan diriku."Ibu meremas jarinya sendiri, wajahnya merah menahan amarah karena aku sudah berani membantah setiap ucapan dan perintahnya. "Tugas istri itu tetaplah berbakti pada suminya Wit, itu sudah fitrahmu!""Jika Lia saja tak mau menerima mas Erlan, kenapa aku harus menerimanya bu, kenapa hanya aku yang menjalani fitrahku?""Kenapa kamu selalu membantah ucapan ibu Wita! Kamu mau durhaka pada suamimu Wita?" Ibu meninggikan suaranya, kali ini ia melihatku dengan tajam."Kenapa hanya ada istri durhaka bu, namun tak ada suami durhaka, apa lagi mertua durjana. Ibu bicara soal berbakti pada suami, seolah mas Erlan adalah suami yang layak untuk aku baktikan hidupku."Aku berdiri merapikan bajuku dan memastikan semua barang yang kubawa sudah ada di dalam rumah ibu mertuaku. "Hari ini aku kembalikan mas Erlan pada ibu. Jika aku mengurusnya, aku tak akan ada waktu untuk mengurus hal lain. Jika ibu begitu banyak waktu untuk pergi arisan, berkumpul, shopping, bahkan berdandan di depan kaca, tentu tak terlalu berat hanya menjaga anak lelaki mempesonamu ini bu."Ibu mengikutiku berdiri. "Jangan bercanda Wita. Ibu sudah tua, tak akan sanggup mengurus Erlan sendirian." Kali ini nada suaranya melemah."Jika begitu ibu bisa sewa perawat." Aku melipat tangan di depan dada, menunggu reaksinya yang lain."Ibu mana ada uang Wita!" Kali ini dia terlihat geram. Ibu menghentakkan kakinya ke lantai, seolah semua masalah dan Amara bertumpu di sana. "Bawa Erlan Wita, Ibu nggak ada uang untuk merawatnya!"Aku tersenyum, baru saja ia begitu angkuh menceramahiku soal istri berbakti, kini ibu terlihat pias menerima keputusanku membawa mas Erlan kerumah madunya.Kutunjuk satu persatu barang yang dipakai Ibu mertuaku tersanyang. " Perhiasan ibu terlalu banyak, semua itu juga, tak akan juga di bawa mati. Gunakan sedikit untuk membayar perawat. Bukankah aku juga yang memberikannya?" Aku berjalan keluar rumah."Tapi Wit..." Ibu mencegahku pergi, ia mencengkeram tanganku dengan kuat."Lepaskan bu!" Kuhempas tangannya menjauh, ibu sempat terpental mundur ke belakang."Kau lihat mas, bahkan ibumu sendiri tak suka kamu datang kemari, ibumu sendiri menolakmu di rumahnya, Lalu menurutmu mas, harus ke mana lagi aku akan membawamu?" Aku menatap wajah sedih mas Erlan, mungkin ia tak bisa berdiri dan berjalan, namun matanya masih bisa melihat bagaimana ibu kandungnya memperlakukan."Bukan begitu Erlan, ibu bukan tidak mau lan, tapi ibu... Wita, bawa Erlan wit." Ibu kembali memgejarku masuk ke dalam mobil. Wanita itu mengedor-gedor pintu mobilku yang tertutup."Wita! Jangan bercanda kamu wit! Dasara mantu Gila, egois!" Ibu mengumpat tiada henti.Aku yang sudah tak perduli lagi memilih berjalan pergi, meninggalkan ibu yang masih berteriak memanggil namaku.***"Legowo saja. Lia itu wanita baik Wit, dia akan jadi madumu yang baik"Ingatanku kembali pada masa di mana ibu dan mas Erlan membuat luka dalam hatiku yang menbara. Dengan jelas terdengar bagaimana kabar pernikahan itu datang saat baru saja aku selesai operasi Kista. Rasa perih jahitan yang masib basah bahkan tak sebanding dengan badai yang saat itu kudengar dari mulut suamiku sendiri."Lagipula, bagaimana kamu akan memberikan keturunan, jika sekarang saja rahimmu sudah bermasalah!" Ibu terlihat mencari pembelaan dan kekurangan ku.Kalimat memojokkan itu mungkin sudah sering aku dengar, namun saat itu terasa lebih menyayat. "Lia itu wanita baik dan berpendidikan wit, dia akan memberimu anak yang pintar, cantik dan tampan. Kamu juga akan jadi ibu Wit, Bukankah jika Lia hamil anak Erlan, kamu juga akan bisa jadi ibu?" Ibu masih terus berusaha terdengar bijaksana, padahal apa yabg fia lakukan membuatku tak hanya kecewa namun juga amat membencinya."Bagaimanapun ini sudah terjadi wit. Kamu harus menerimanya!"Kala itu kutatap wajah mas Erlan, mengapa dia tak menolak pernikahan ini, harusnya jika dia menolak, dia bisa bilang tidak pada ibunya dsn oernikahan ini tidak akan terjadi, namun ini?"Apa kamu yang menginginkannya mas, pernikahan ini apakah kamu juga yang menginginkannya?" Aku beranikan diri bertanya, mencari jawaban dari suamiku."Aku hanya ingin punya anak Wita. Jika saja kamu bisa memberikannya, mungkin aku tak akan menerima ini, aku hanya tidak punya lagi pilihan."Jawaban mas Erlan bagai ujung pedang menggoyak hatiku. Dokter bahkan tak memberikanku Vonis mandul, namun kala itu mereka sudah membuat rencana tanpa sepengetahaunku.Aku tinggalkan rumah ibu mas Erlan. Masih ada urusan yang lebih penting. Akan aku cari kau adik maduku. Kau boleh pergi dari hidup suamiku, tapi tidak semudah ini. Kau yang datang menawarkan diri menjadi duri, dan saat daging tempatmu bersembunyi membusuk, kau ingin pergi? Tak semudah itu.Kususul Lia di alamat yang kudapat dari mas Erlan. Mas Erlan masih bisa menulis. Kerusakan syaraf memang membuat tubuhnya lumpuh total. Namun meski badan dan kakinya tak bisa bergerak leluasa. Jarinya masih bisa bergerak.Hah suamiku itu, andai saja dia tak begitu keterlaluan memperlakukanku, merawatnya bukanlah hal yang berat. Pasti akan dengan senang hati kulakukan.Teringat bagaimana untuk pertama kalinya dia membawa racun itu pulang kedalam rumahku...***"Wita... ini Lia, Adik madumu. Dia akan tinggal disini bersama kita mulai sekarang"Dengan tanpa rasa bersalah, Ibu membawa duri itu masuk kedalam istana tempatku tinggal. Bahkan untuk berjalan saja aku masih tertatih, namun dia sudah menyiram garam pada lukaku yang lain.Aku menatap mas Erlan penuh tanya. Baru semalam kutegaskan tak akan rela berbagi tempat tinggal dengan istri mudanya, namun sekarang dia sudah datang bersama koper besarnya."Maaf Wit, ibu memaksa agar kalian tinggal bersama. Akan lebih mudah bagiku mengawasi ka
Kulempar Kasar Kalender kecil itu ke kursi samping. Dan kulihat lagi note kecil yang ku ambil didekat tempat tidur Lia. Ada beberapa agenda bepergian tercatat. Ah, kau licik sekali adikku. Kau biarkan kakak madumu ini mengurus sediri suami kita, dan kau sibuk liburan dengan banyak agenda. Jangan bermimpi....Aku buka satu demi satu agenda yang tertulis di note itu. Bahkan kutemukan nama mas Erlan. Lengkap dengan jadwalnya bepergian sejak dua tahun lalu. Dan tinta hitam melingkari foto suamiku itu. Yang jelas mengartikan bahwa lelakiku memanglah incaranmu Lia.Begini kamu bilang di jodohkan dengan terpaksa?Tertawa sudah aku dibuat kembali mengingat kalimat-kalimat manisnya dulu. Dua manusia yang menganggap dirinya pintar, ternyata hanyalah manusia-manusia bodoh...***Flash Back" Maafkan aku ya mbak." Kalimat itu keluar di sarapan pertama kami bersama."Maaf untuk apa sayang?" Mas Erlan begitu mesra membelai rambut madunya, menyelipkan rambut itu di belakang telinga Lia.Jangan tan
Sampai di bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Jeni asisten pribadiku sudah menyiapkan semuanya."Naik apa kita?" Aku berjalan keluar bandara. Suci ikut denganku. Membawa segala keperluan."Mobil jemputan Villa bu."Aku berhenti dan membuka sedikit kacamataku. "Villa?" Aku ulang lagi kalimatnya."Iya bu, Villa Sarika satu, di Sanur. Disana pemandangannya indah, dekat pantai, restoran seafood, Spa, area joging trek, Juga akses bepergian yang lebih mudah." Ucapnya menunjuklan bahwa dirinya sudah meng mastikan segala sesuatunya sebelum aku terbang."Jeni, aku sedang berburu mangsa. Bukan berlibur ala bule Eropa. Paham?""Maaf bu?" Sepertinya dia tak paham." Pesankan saja hotel yang ada pada wa ku Jeni!" Aku berjalan kearah mobil yang bertuliskan namaku disana."Sudah saya pesan bu. Hanya orang yang ibu cari sudah tak disana lagi"Aku berhenti dan melihat Jeni menunduk. Padahal aku tak pernah memarahinya, kenapa dia begitu takut. "Kemana dia? Ah sudah lah, akan aku cari tau sendiri. Kita ke
Pov Lia.Datang ke Club rahasia seperti ini tentu diimpikan banyak wanita kelas atas. Dan beruntungnya aku. Paul, tamuku dari inggris datang untuk mengikuti lelang itu. Dia punya jaringan yang kuat, terlebih usahanya dibidang berlian, membuatnya memang sangat sering datang ke lelang rahasia seperti ini." kamu cantik sekali sayang" Dia mendaratkan kecupan nakal di leherku."Terimakasih...." ucapku percaya diri. Dia menyebutku cantik. Tentu saja aku tau, memang tak banyak yang bisa menolak pesonaku.Paul sudah enam bulan di Bali. Bahasa indonesianya lumayan bagus. Meski begitu, dia masih membutuhkanku disini sebagai wanitanya, untuk mewakili melakukan lelang.Ya, begitulah peraturannya. Mereka yang ikut lelang dan berasal dari luar negeri, harus membawa penerjemah bahasa. Karena lelang ini tak pernah mau memakai bahasa asing. Jadilah Paul mengajakku menemaninya.Lelaki ini menurutku bisa jadi tempatku bergantung selama di Bali. Setelah lepas dari mas Erlan, aku tak memiliki lagi pend
Aku keluar dari pintu Lift Paradise dengan tenang, bayang wajah panik Lia membuat mood booster untuk hariku malam ini. Aku tersenyum melihat Jeni dan Suci masih menunggu di loby depan. Saat melihatku mereka berdiri dan saling melihat, aku tau siapa yang mereka cari."Dimana Nyonya sombong itu bu?" Suci bertanya tanpa basa-basi."Di dalam. Dia sedang beli berlian sembilan ratus juta" Bisikku membuat mata lugu Suci membelalak."Sem...sembilan ratus juta bu?" Dia mengulang kalimatku. Ekspresinya lucu sekali. "Kok kaya sekali itu orang bu. Jual ginjal mungkin ya..." Suci memang selalu berkata sesuka hatinya. Tapi justru itu yang membuatku selalu tertawa."Hahaha..." Tawaku meledak." Iya memang, Kaya raya sekali ya nyonya mudamu itu. Aku saja kalah saing" Ucapku lalu berjalan keluar Club."Idih nyonya mudaku. Amit-amit..." Katanya ikut berjalan mengikutiku dari belakang.Dibelakangku suara ramai terdengar. Mereka yang baru saja mengikuti lelang ternyata keluar juga dari pintu yang sama. B
Aku turun dari tangga darurat. Melihat mbak Wita duduk dengan santainya didalam mobil. Menyebalkan sekali. Mata kami sempat bertemu, tapi dia justru membuang wajahnya. Sial!"Hey....!"Panggilan itu membuatku berlari lebih cepat. Hah, kenapa sih mereka tak juga capek mengejar. Bahkan rasanya aku sudah tak kuat lagi berlari. Aku berbelok di gang kecil"Berhenti wanita penipu...! "Teriak mereka lagi.Penipu apanya? Aku yang sedang ditipu bodoh!Ingin sekali kalimat itu kuteriakkan pada mereka. Namun bagaimana bisa, aku sedang sibuk berlari. Mengatur nafas saja serasa kesulitan sekarang.Gang-gang kecil terus aku lewati. Lalu masuk ke pemukiman. Mungkin disini aku bisa mencari tempat untuk berlindung. aku masuk di antara gang sempit tapi mereka masih saja mengejar."Berhenti kau!" Teriak mereka lagi.Aku masuk kedalam gang yang lebih sempit, lalu menemukan jalan kecil. Aku bersembunyi di belakang rumah warga. Bau kemenyan menyeruak. Membuat jantungku berdebar hebat.Jangan sampai aku l
Aku berganti daster lagi, gagal sudah rencanaku untuk pergi arisan. Kuhubungi saja sahabatku untuk membayarkan arisanku dulu, Biarlah nanti aku transfer uangnya. Kini aku duduk diruang tengah bersama Erlan.Aku pandang Erlan yang duduk di atas kursi roda. Dia masih tampan, rapi, sedikit berisi, tapi air liurnya terus menetes. Seperti dia waktu bayi saat tumbuh gigi. Ya Tuhan, Anak lelakiku yang gagah dan tampan, kenapa jadi begini. Harusnya dia yang merawatku, bukan aku yang harus merawatnya lagi. Dua menantuku itu juga tak berguna, bukannya mengurus suaminya yang sakit. Mereka justeru pergi entah kemana. Wita terutama, jadi menantuku bertahun-tahun, tapi malah meninggalkan Erlan di rumah ini."Lan... Erlan mau apa, Wita sudah kasih makan Erlan belum?" Kutanya, dia diam tak ada jawaban. "Lan... Erlan marah sama ibu?" Dia masih terdiam.Kenapa juga aku harus bertanya pada orang yang tak bisa menjawab. Ya sudah, kudorong Erlan ke kamarnya. Baru beberapa langkah aku berjalan, serasa m
Setelah makan malam, aku kembali ke VillaSarika, sengajaku sewa satu Villa dengan beberapa kamar dan kolam renang pribadi.Sampai di kamar, aku berendam dalam bathup, menikmati sensasi relaks yang tercipta dari aroma terapi di ruangan ini, membuatku merasa lebih tenang dan damai.Setelahnya aku mengeringkan rambut dan teringat mas Erlanku di rumah ibunya. Apa kabar suamiku itu? Sejak kemarin puluhan panggilan dari ibu memang kuabaikan, sebagai menantu yang baik, aku kan juga ingin memberikan waktu bagi ibu mertua bersama anak lelakinya.Namun saat sekarang aku ingin menghubungi, Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, bukankah tak sopan rasanya menelpon hampir tengah malam begini. Mungkin saja suamiku sudah di ninabobokkan ibunyakan?Akhirnya kuputuskan tidur saja, aku juga butuh istirahat setelah lelah menertawakan adik maduku itu.Andai kau melihatnya mas, istri mu