Share

Kukembalikan anakmu, bu!
Kukembalikan anakmu, bu!
Author: Pramesti GC

Memulangkan suamiku

"Ibu...,bu.." Aku memanggil wanita yang telah lima tahun menjadi mertuaku itu.

"Wita..?" Ibu nampak terkejut melihatku sepagi ini sudah bertandang ke rumahnya.

"Ibu mau pergi?" Kulihat wanita separuh baya itu sudah berdandan begitu cantik. Bahkan menenteng tas yang bisa dibilang tidak murah.

"Iya. Kenapa?" Dia begitu ketus menjawabku, bahkan masih sibuk merapikan penampilannya yang begitu meriah.

"Tidak apa-apa, aku kemari juga hanya sebentar." Aku lihat ibu masih sibuk merapikan jilbabnya, segera saja aku keluar dan membawa masuk tujuanku datang kemari.

Aku mendorong kursi roda itu masuk, seketika wajah ibu berubah terkejut. "Erlan? Kenapa kamu bawa Erlan kemari Wita! Mana Lia?" Kali ini ibu menatapku tak suka, ibu juga terlihat mencari sosok lain di belakang kami.

"Memangnya mau aku bawa kemana lagi suamiku ini bu, adik maduku itu sudah tak mau lagi bersama anak ibu yang sangat mempesona ini." Kuusap liur yang menetes di ujung bibir mas Erlan. Ia kini nampak seperti bayi.

"Jangan bercanda kamu wita, Lia tak mungkin menelantarkan Erlan begitu saja." Ibu mengambil ponsel dan menghubungi sebuah nomor,  namun hingga beberapa kali panggilan di buat, sepertinya tak ada jawaban. 

"Kenapa tak bisa dihubungi?" Ibu berdecak kesal.

"Mana aku tau, bukankah dia menantu kesayangan ibu?" Aku menatap mas Erlan yang berkaca-kaca, kubuang wajahku agar tak melihatnya lagi.

"Ya sudah bawa pulang saja suamimu itu, urus baik-baik, bukanya kamu juga istrinya?" Ibu kini melemparkan semua tanggung jawab padaku.

Aku tersenyum memutari kursi roda suamiku dan duduk di sofa, kutatap remeh wajah cemas mertuaku. "Bagaimana jika aku ingin mas Erlan tinggal di sini?"

Mata bulatnya yang berkerut nampak membelalak, sebegitu takutnya ia dengan sepenggal kalimatku Itu. "Jangan bercanda kamu Wita!" Kali ini nada suaranya meninggi, membuatku tersenyum kecil mengetahui ke gelisahannya kini.

"Aku tidak bercanda bu. Ibu tau, lima tahun aku jadi istrinya. Aku urus semua yang dia butuhkan, makan, pakaian, kesehatannya. Tak pernah aku mendapat pengakuan istimewa sebagai istri mas Erlan. Tapi sekarang, kenapa ibu bilang aku juga istrinya?"

Ibu terlihat salah tingkah, namun berusaha tetap terlihat tenang. "Ya memang kamu istrinya kan wit? Kalau Lia tak mau mengurusnya, ya berarti kamu saja yang mengurus Erlan, bukankah kewajiban istri itu berbakti pada suaminya?"

Ingin sekali aku tertawa. "Tergantung bu, suami seperti apa yang harus aku baktikan diriku."

Ibu meremas jarinya sendiri, wajahnya merah menahan amarah karena aku sudah berani membantah setiap ucapan dan perintahnya. "Tugas istri itu tetaplah berbakti pada suminya Wit, itu sudah fitrahmu!"

"Jika Lia saja tak mau menerima mas Erlan, kenapa aku harus menerimanya bu, kenapa hanya aku yang menjalani fitrahku?"

"Kenapa kamu selalu membantah ucapan ibu Wita! Kamu mau durhaka pada suamimu Wita?" Ibu meninggikan suaranya, kali ini ia melihatku dengan tajam.

"Kenapa hanya ada istri durhaka bu, namun tak ada suami durhaka, apa lagi mertua durjana. Ibu bicara soal berbakti pada suami, seolah mas Erlan adalah suami yang layak untuk aku baktikan hidupku."

Aku berdiri merapikan bajuku dan memastikan semua barang yang kubawa sudah ada di dalam rumah ibu mertuaku. "Hari ini aku kembalikan mas Erlan pada ibu. Jika aku mengurusnya, aku tak akan ada waktu untuk mengurus hal lain. Jika ibu begitu banyak waktu untuk pergi arisan, berkumpul, shopping, bahkan berdandan di depan kaca, tentu tak terlalu berat hanya menjaga anak lelaki mempesonamu ini bu."

Ibu mengikutiku berdiri. "Jangan bercanda Wita. Ibu sudah tua, tak akan sanggup mengurus Erlan sendirian." Kali ini nada suaranya melemah.

"Jika begitu ibu bisa sewa perawat." Aku melipat tangan di depan dada, menunggu reaksinya yang lain.

"Ibu mana ada uang Wita!" Kali ini dia terlihat geram. Ibu menghentakkan kakinya ke lantai, seolah semua masalah dan Amara bertumpu di sana. 

"Bawa Erlan Wita, Ibu nggak ada uang untuk merawatnya!"

Aku tersenyum, baru saja ia begitu angkuh menceramahiku soal istri berbakti, kini ibu terlihat pias menerima keputusanku membawa mas Erlan kerumah madunya.

Kutunjuk satu persatu barang yang dipakai Ibu mertuaku tersanyang. " Perhiasan ibu terlalu banyak, semua itu juga, tak akan juga di bawa mati. Gunakan sedikit untuk membayar perawat. Bukankah aku juga yang memberikannya?" Aku berjalan keluar rumah.

"Tapi Wit..." Ibu mencegahku pergi, ia mencengkeram tanganku dengan kuat.

"Lepaskan bu!" Kuhempas tangannya menjauh, ibu sempat terpental mundur ke belakang.

"Kau lihat mas, bahkan ibumu sendiri tak suka kamu datang kemari, ibumu sendiri menolakmu di rumahnya, Lalu menurutmu mas, harus ke mana lagi aku akan membawamu?" Aku menatap wajah sedih mas Erlan, mungkin ia tak bisa berdiri dan berjalan, namun matanya masih bisa melihat bagaimana ibu kandungnya memperlakukan.

"Bukan begitu Erlan, ibu bukan tidak mau lan, tapi ibu... Wita, bawa Erlan wit." Ibu kembali memgejarku masuk ke dalam mobil. Wanita itu mengedor-gedor pintu mobilku yang tertutup.

"Wita! Jangan bercanda kamu wit! Dasara mantu Gila, egois!" Ibu mengumpat tiada henti.

Aku yang sudah tak perduli lagi memilih berjalan pergi,  meninggalkan ibu yang masih berteriak memanggil namaku.

***

"Legowo saja. Lia itu wanita baik Wit, dia akan jadi madumu yang baik"

Ingatanku kembali pada masa di mana ibu dan mas Erlan membuat luka dalam hatiku yang menbara. Dengan jelas terdengar bagaimana kabar pernikahan itu datang saat baru saja aku selesai operasi Kista. Rasa perih jahitan yang masib basah bahkan tak sebanding dengan badai yang saat itu kudengar dari mulut suamiku sendiri.

"Lagipula, bagaimana kamu akan memberikan keturunan, jika sekarang saja rahimmu sudah bermasalah!" Ibu terlihat mencari pembelaan dan kekurangan ku.

Kalimat memojokkan itu mungkin sudah sering aku dengar, namun saat itu terasa lebih menyayat. 

"Lia itu wanita baik dan berpendidikan wit, dia akan memberimu anak yang pintar, cantik dan tampan. Kamu juga akan jadi ibu Wit, Bukankah jika Lia hamil anak Erlan, kamu juga akan bisa jadi ibu?" Ibu masih terus berusaha terdengar bijaksana, padahal apa yabg fia lakukan membuatku tak hanya kecewa namun juga amat membencinya.

"Bagaimanapun ini sudah terjadi wit. Kamu harus menerimanya!"

Kala itu kutatap wajah mas Erlan, mengapa dia tak menolak pernikahan ini, harusnya jika dia menolak, dia bisa bilang tidak pada ibunya dsn oernikahan ini tidak akan terjadi, namun ini?

"Apa kamu yang menginginkannya mas, pernikahan ini apakah kamu juga yang menginginkannya?" Aku beranikan diri bertanya, mencari jawaban dari suamiku.

"Aku hanya ingin punya anak Wita. Jika saja kamu bisa memberikannya, mungkin aku tak akan menerima ini, aku hanya tidak punya lagi pilihan."

Jawaban mas Erlan bagai ujung pedang menggoyak hatiku. Dokter bahkan tak memberikanku Vonis mandul, namun kala itu mereka sudah membuat rencana tanpa sepengetahaunku.

Aku tinggalkan rumah ibu mas Erlan. Masih ada urusan yang lebih penting. Akan aku cari kau adik maduku. Kau boleh pergi dari hidup suamiku, tapi tidak semudah ini. Kau yang datang menawarkan diri menjadi duri, dan saat daging tempatmu bersembunyi membusuk, kau ingin pergi? Tak semudah itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status