Kususul Lia di alamat yang kudapat dari mas Erlan. Mas Erlan masih bisa menulis. Kerusakan syaraf memang membuat tubuhnya lumpuh total. Namun meski badan dan kakinya tak bisa bergerak leluasa. Jarinya masih bisa bergerak.
Hah suamiku itu, andai saja dia tak begitu keterlaluan memperlakukanku, merawatnya bukanlah hal yang berat. Pasti akan dengan senang hati kulakukan.Teringat bagaimana untuk pertama kalinya dia membawa racun itu pulang kedalam rumahku...***"Wita... ini Lia, Adik madumu. Dia akan tinggal disini bersama kita mulai sekarang"Dengan tanpa rasa bersalah, Ibu membawa duri itu masuk kedalam istana tempatku tinggal. Bahkan untuk berjalan saja aku masih tertatih, namun dia sudah menyiram garam pada lukaku yang lain.Aku menatap mas Erlan penuh tanya. Baru semalam kutegaskan tak akan rela berbagi tempat tinggal dengan istri mudanya, namun sekarang dia sudah datang bersama koper besarnya."Maaf Wit, ibu memaksa agar kalian tinggal bersama. Akan lebih mudah bagiku mengawasi kalian berdua juga" Mas Erlan berucap. Membuat aku merasa marah."Bukankah kamu sudah janji mas?" Aku menatapnya tajam. Kutarik tangannya agar medekat.Namun justru penolakan kudapat. Dia lalu berlalu mengikuti ibu dan istri keduanya masuk kedalam.Aku berjalan sendiri, meraba tembok menahan sakitnya bekas jahitan. Kulihat ibu sudah duduk diruang tengah. Wanita itu tersenyum ramah pada ibu, bahkan mereka berbincang akrab sekarang. Sementara aku, mereka bilang akulah kakak madunya. Namun aku hanya mematung di ujung ruangan."Kenapa hanya berdiri disitu. Ini sambut adik madumu. Lia ini wanita baik, jangan memandangnya begitu" Ibu membentakku tak suka.Wanita baik ibu bilang? Wanita baik tak akan pernah merebut suami orang. Ucapku dalam hati."Kemarilah mbak. Duduk disini. Jangan melihatku seperti itu. Apa aku terlihat jahat dimatamu?"Hah, manis sekali. Mulutnya begitu lihai menjilat hati suami dan mertuaku.***Tin...! Tin...!Suara klakson membuyarkan lamunanku. Klebatan kenangan tak menyenangkan itu berputar cepat dalam ingatan. Meski begitu sakit, namun mereka mengajarkanku untuk berjuang.Aku masuk dalam perumahan yang tertulis begitu jeleknya di kertas. Mencari nomor yang sama juga. Aku berdiri didepan rumah besar dengan nuansa putih.Pagar tinggi itu tertutup. Aku mencoba membukanya berkali kali. Dan akhirnya seorang wanita keluar setengah berlari."Caru siapa bu?""Lia. Ada?""Nyonya pergi bu." "Kemana?""Saya kurang tau. Maaf, ibu ini siapa?"Aku diam. Pembantu ini rupanya sudah di minta tutup mulut. "Boleh pinjam kamar mandi?" Kucari alasan agar bisa masuk.Dia diam. Seperti berfikir keras menimbang untuk memberi izin atau tidak."Sebentar saja. Saya sudah tak tahan" Aku meyakinkan. Sedikit kusilangkang kakiku agar terlihat lebih natural."Yasudah, mari ikut saya" Dia mengajakku masuk. Sebentar kemudian aku sudah ada di dalam rumah. Wanita itu mengantarku kearah kamar mandi. Aku masuk dan menutup pintu. Kufikirkan cara mencari tau dimana maduku itu berada. Saat kupastikan pembantu itu tak lagi didepan pintu, aku kekuar dan berjalan kekamar utama.Tak sulit. Aku sudah masuk dan mengunci pintu kamar ini dari dalam. Kuperhatikan setiap detail ruangan. Sebelum melangkah, bahkan mataku sudah tertuju pada meja disudut ruang. Bukan pada meja aku tertarik, namun pada kalender yang ada disana. Sepanjang inggatanku, wanita itu selalu melingkari kalender untuk hal-hal tak biasa.Kuperiksa sebentar, begitu banyak bulatan merah disana. Tak akan mungkin cukup waktu melihatnya. Kumasukkan kalender itu kedalam tas. Sebelum keluar, kuperiksa juga semua laci dan membawa notes biru kecil di meja dekat pintu."Sudah bu?" Hampir saja aku melompat. Pembantu ini sudsh berdiru di depan pintu kamar mandi. Tepat saat aku sudah memegang handel. Pintunya "Sudah. Sudah selesai. Kalau begitu saya permisi. Terimakasih." Aku berjalan pergi meninggalkan rumah bergaya Eropa itu.***Didalam mobil kulihat kalender itu penuh warna. Dan ada Tulisan nama sebuahh hotek pada agenda liburan yang terlingkar di tanggal ini.Banyak sekali agenda perginya. Apa yang dia lakukan di hotel dalam waktu yang lama?Disinikah kamu berada maduku? Jika kamu memilih menghindariku, maka aku yang akan mencarimu......Kami masih berdiri di keramaian. Lelaki itu berusaha tersenyum. Namun ekor matanya tak berhenti mencuri pandang kerah Ibu."Ibu, bisa jelaskan sesuatu?" Wita meminta. Sejujurnya ia merasa canggung. Berdiri lebih lama dengan lelaki yang begitu mirip mendiang suaminya.Winda hanya diam. Tak berhenti memandang wajah lelaki itu. "Kamu Lando nak?" Winda mencoba menyentuh wajah lelaki itu. Namun ditepisnya dengan raut tak ramah." je suis désolé ( Saya Permisi )" Lelaki itu tiba-tiba memilih pergi. Meinggalkan kami yang masih terpaku."Lando! Kamu Erlando kan?" Ibu berteriak, hampir saja mengejarnya, namun lelaki itu dengan cepat keluar gedung dan masuk kedalam sebuah taksi."Ibu mengenalnya?" Wita masih mencari tau. "Bu, katakan sesuatu. Ibu mengenalnya?" Wita menatap ibu Winda, namun wanita itu masih dengan lekat memandang taksi itu pergi."Bu, kenapa diam? Ibu kenal dia? Ibu! Dia begitu mirip dengan mas Erlan." Wita mengguncang tubuh ibunya. Air matanya turun tanpa dia tau mengapa. Nama
"Bagaimana rasanya menjadi berbeda Lia? Seperti terbang diatas duniamu sendiri. Apakah menyenangkan?" Wita memandangi Amelia dari sisi ruangan berbeda. Wanita itu tak henti berteriak dan menjambak dirinya sendiri. Bahkan terkadang dia menjerit lalu meringkuk ketakutan. Apa yang di lakukan Wita dan Jeni semalam, membuat wanita itu depresi sekarang."Ayo kita pergi Jeni. Biarkan dia menikmati hidupnya sekarang, aku sudah melakukan apa yang seharusnya dia terima."Saswita berjalan memasuki mobil. Memakai kacamata hitamnya dengan anggun. Lalu mobil itu berjalan meninggalkan tempat Lia di tahan. "Ke Bandara Internasional pak!" Jeni memberi perintah." Kau sudah urus semuanya Jen?""Sudah bu. Nyonya Winda sudah menunggu disana. Ibu yakin dengan keputusan itu?""Aku yakin Jen. Tak ada lagi alasan aku tetap disini. Lagi pula aku punya mimpi yang harus aku wujudkan. Dan aku harus melindungi milik berhargaku yang lain." Ucapnya mengusap perutnya yang masih rata.Pagi tadi dia mengetahui jika
Amelia tak mati, sebuah tembakan melukai sisi perutnya, tembakan dari aparat yang sejak awal sudah mengikuti Amelia. Mereka tau aku di ancam masuk kedalam mobil dari taman dan mengikuti kami hingga kecelakaan itu terjadi.Beruntungnya nyawa wanita itu selamat. Dia masih ada dirumah sakit menjalani perawatan. Luar biasa bukan, seperti kucing dia bahkan punya nyawa berlapis.Hah...Aku mendesah kesal. Penjara saja tak akan cukup membuatnya jera. Bagaimana aku bisa memberinya pelajaran?"Ibu kenapa?" Jeni bertanya. Mungkin dia membaca kegundahan hatiku sejak tadi."Jika aku membalas wanita siluman itu, menurutmu apakah itu sebuah kesalagan Jen?"Dia terdiam, nampak berfikir sebentar."Aku merasa sangat marah atas apa yang dia lakukan padaku. Dan membawanya ke penjara, itu hukuman yang terlalu ringan bukan?" Kembali aku bicara, kali ini Jeni mendekat dan duduk di depanku."Bagaimana jika sedikit membuatnya syok bu?"Aku tertarik, kudekatkan wajahku pada Jeni. "Caranya?"Jeni hanya terseny
Pulanglah dalam damai mas, kebaikan yang kau tanam, akan harum sebagai saksi untukmu kelak di hari penghakiman. Tersenyumlah dalam keabadian, akan kulanjutkan apa yang sudah kau usahakan. Akan kujaga ibu juga sebagai baktiku padamu. Terimakasih sudah menjadi indahku, disaat-saat terakhir kita bersama.Pemakaman baru saja selesai. Sudah aku janjikan aku kuat. Sebisa mungkin kutahan bulir yang ingin terlepas dari netra. Meski terkadang lolos juga.Kami pulang kerumah, rumahku sendiri, ibu juga kubawa kemari. Beliau sedang istirahat dikamarnya sekarang. Sejak dulu memang kami sediakan kamar untuk ibu bermalam, meski hampir tak pernah ditempati, namun mas Erlan tetap memberikan kamar itu hanya untuk ibu.Kolega dan rekan bisnis kami datang silih berganti. Rumahku kini sibuk menerima tamu tang tak pernah habis sejak kabar duka itu tersebar. Ucapan demi ucapan aku terima. Hingga hampir senja, mobil Polisi masuk kedalam pelataran. Tiga Polisi laki-laki dan satu Polisi perempuan kini duduk di
Aku bersimpuh di mushola rumah sakit. Menengadah, meminta Allah tak mengambil lagi miliknya yang pernah hilang dari hati. "Ya Allah, ampunilah diri yang terlalu kufur. Hingga lupa nikmat yang kau berikan diantara ujian. Maafkanlah kebodohan ini, beraninya membenci takdir yang ada karena kehendakmu.Ya Allah, pemberi ampun dengan segala karuniamu, yang maha kaya dengan segala kemurahanmu. Izinkanlah aku mengucap taubat.Dalam hati kecilku yang tamak, aku ingin mas Erlan tetap disisiku, menemaniku lagi seperti dulu, mengulang lagi masa indah yang pernah Engkau beri. Namun segalanya kini aku letakkan dalam kehendakmu. Engkau yang lebih berhak memutuskan, karena dia memang milikmu. Engkau pula yang lebih berhak menyembuhkannya, karena dia memang milikmu. Seperti aku yang bersamanya karena takdirmu, maka aku juga menerima takdirmu bila harus melepasnya pulang. Aku ikhlaskan segelanya dalam ridhomu, aku terima apa yang menjadi kehe
Beberapa malam telah aku lalui di lembah nan hijau ini. Tak ada kebisingan selain suara air terjun yang jatuh, kicau burung yang bersahutan berbeda dan hembusan angin yang menyentuh pucuk pepohonan. Aku benar-benar jatuh cinta dengan suasana disini.Namun sebuah kabar dari kota membuat kami semua terdiam dalam tanya. Pagi ini, setelah berjalan-jalan dengan Mega, Jeni pulang membawa kabar mengejutkan. Andi, mantan asisten mas Erlan terbunuh dirumahnya sendiri. Polisi masih mendalami motif pembuhunan dan mencari informasi lebih lanjut.Ternyata setiap pagi, Jeni selalu ke atas bukit. Mencari tau berita terbaru, mencatatnya, memberikan kabar padaku juga mas Erlan tentang apa yang kami tinggalkan di kota. Butikku yang kini aku minta Suci mengontrolnya dan perusahaan mas Erlan, yang dia percayakan pada pak Lilik, kawannya dulu di proyek."Mungkinkah Lia pelakunya?" Mas Erlan bertanya padaku saat kami duduk bersama diteras rumah." M