Kulempar Kasar Kalender kecil itu ke kursi samping. Dan kulihat lagi note kecil yang ku ambil didekat tempat tidur Lia. Ada beberapa agenda bepergian tercatat.
Ah, kau licik sekali adikku. Kau biarkan kakak madumu ini mengurus sediri suami kita, dan kau sibuk liburan dengan banyak agenda. Jangan bermimpi....Aku buka satu demi satu agenda yang tertulis di note itu. Bahkan kutemukan nama mas Erlan. Lengkap dengan jadwalnya bepergian sejak dua tahun lalu. Dan tinta hitam melingkari foto suamiku itu. Yang jelas mengartikan bahwa lelakiku memanglah incaranmu Lia.Begini kamu bilang di jodohkan dengan terpaksa?Tertawa sudah aku dibuat kembali mengingat kalimat-kalimat manisnya dulu. Dua manusia yang menganggap dirinya pintar, ternyata hanyalah manusia-manusia bodoh...***Flash Back" Maafkan aku ya mbak." Kalimat itu keluar di sarapan pertama kami bersama."Maaf untuk apa sayang?" Mas Erlan begitu mesra membelai rambut madunya, menyelipkan rambut itu di belakang telinga Lia.Jangan tanyakan bagaimana rasanya hatiku yang memanas. Menikmati sarapan lengkap dengan telenovelanya. Menjijikan sekali. Namun semua rasa ini masih coba kutahan, karena aku masih memiliki tujuan lain."Maaf karena menikah denganmu mas. Maaf ya mbak, aku terpaksa menikah dengan mas Erlan." Ucapnya begitu manis.Aku diam, melihat senyum yang dibuatnya begitu memuakan. Namun tidak dengan mas Erlan. Dia justru tertawa renyah."Hahahaa. Untuk apa kamu meminta maaf dek?""Tak apa mas, Mbak Wita harus tau, jika aku ini bukan wanita perebut suami orang. Kita bertemu tanpa sengaja, dan ibu yang datang sendiri untuk melamarku" Dia menyibakkan rambutnya yang tergerai. Gelang marah mas Erlan terdengar gemerincing."Tak ada yang menyebutmu begitu dek. Memang ibu yang memilihmu untuk jadi ibu dari anak-anak mas. Biarkan saja kakak madumu itu, dia hanya belum bisa melunakkan sikapnya padamu." Dia mengusap pipi Lia."Tak apa mas, mbak Wita hanya butuh waktu untuk berbagi. Bukan begitu mbak?"Aku tersenyum, bagaimana bisa kunikmati sarapan pagi, bahkan potongan roti di mulut saja saat itu terasa sulit kutelan."Dengar Wita? Lia saja begitu tulus menerimamu. Bagaimana bisa kamu tak melihat itu?""Yaa.. yaa, aku bisa melihat tulusnya istri mudamu itu menikmati jadi nyonya baru di rumah ini. Bahkan membanting gelas subuh tadi, hanya karena bi Imah terlambat memberinya susu hangat." Sengaja kupertegas kalimat terakhir. Aku memang marah melihatnya memperlakukan bi Imah sesuka hati.Kalimat itu membuat wajah mas Erlan terdiam. "Bisa kau jaga sikapmu Wita? Lia masih baru dirumah ini, dan dia bilang gelas tadi tak sengaja terjatuh."Prang...Ku banting garpu keatas meja, lalu kuambil pisau roti dan menunjuk wajah dua manusia didepanku ini. "Bisakah juga kalian menjaga sikap di meja makan? Aku hanya ingin sarapan dengan tenang. Bukan melihat tangan dan kaki kalian saling meremas. Menjijikkan!" "Wita...!" Teriakan mas Erlan membuatku tersentak."Apa..! Jangan membentakku mas. Kau lupa apa janjimu padaku?" Dia melanggar ucapanya untuk tak berbuat kasar padaku. bahkan saat itu dia membentakku didepan wanita murahannya."Jika kalian masih ingin saling mengigit, meremas, bergulung bersama, jangan disini! Sana, lanjutkan kisah kalian lagi dikamar." Aku mengatur nafas berat. Muak rasanya melihat pemandangan mereka berdua.Aku berjalan mengambil bungkusan di lemari ruang tengah. "Ini obat kuat yang kau beli online kemarin Lia. Aku yang menerima paketan itu. Sudah kubayar lunas!" Aku lempar plastik itu di atas meja.Wajah Lia memerah karena malu, tangannya bergetar mengambil bungkusan itu dan memasukkannya kebawah meja. "Kufikir menjadi istri kedua, kau sudah bisa melayani suamimu dengan baik, ternyataa...." Ucapku remeh, lalu meninggalkan meja makan.Sempat kulihat wajah mereka memerah menahan malu. Tentu saja, aku mengatakan itu didepan beberapa pembantu yang tengah membersihkan rumah. Bersiaplah menjadi buah bibir di antara para pembantu satu kompleks.***Aku putuskan pulang kerumah. Mempersiapkan diri menjemput nyonya muda mas Erlan."Bi, siapkan koperku." Aku berjalan menuju lantai atas."Kamu mau pergi, ndok?""Iya, memberi pelajaran pada wanita siluman itu."Bi Imah mengikutiku kelantai dua. Wanita yang sejak kecil sudah mengasuhku itu terlihat penasaran. "Kemana ndok? Sendiri?" Suaranya terdengar khawatir.Setelah kepergian mama, memang Bi Imah lah yang selalu menjadi tempatku bersandar. Aku berhenti dan menatapnya. "Jangan khawatir bi, Wita bukanlah wanita yang lemah" aku mengusap tangannya yang mulai keriput."Lalu tuan Erlan dimana?""Pulang. Lebih tepatnya aku pulangkan kerumah ibunya. Minta Suci atau Watik menyiapkan barangku bi, aku buru-buru""Pergi jauh?""Iya... kali ini ke Bali. Wanita itu sedang di Bali. Di hotel berbintang lima disana. Bukankah sebagai kakak madu yang baik aku harus medidik bagaimana menjadi istri yang baik bi?"Bi Imah tersenyum. Aku tau dia khawatir akan keselamatanku. Tapi aku bukan wanita yang mudah jatuh dan terluka lagi. Sudah sangat cukup aku memilih suami yang salah, namun aku tak akan mau memilih jalan hidup yang menyulitkan hatiku.Aku masuk keruang baju pribadiku. Terdiam sebentar melihat deretan baju-baju dalam etalase. Kufikir aku harus memilih gaun terbaik. Bukankah acara yang ditulis Lia didalam Notesnya terdengar sangatSampai di bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Jeni asisten pribadiku sudah menyiapkan semuanya."Naik apa kita?" Aku berjalan keluar bandara. Suci ikut denganku. Membawa segala keperluan."Mobil jemputan Villa bu."Aku berhenti dan membuka sedikit kacamataku. "Villa?" Aku ulang lagi kalimatnya."Iya bu, Villa Sarika satu, di Sanur. Disana pemandangannya indah, dekat pantai, restoran seafood, Spa, area joging trek, Juga akses bepergian yang lebih mudah." Ucapnya menunjuklan bahwa dirinya sudah meng mastikan segala sesuatunya sebelum aku terbang."Jeni, aku sedang berburu mangsa. Bukan berlibur ala bule Eropa. Paham?""Maaf bu?" Sepertinya dia tak paham." Pesankan saja hotel yang ada pada wa ku Jeni!" Aku berjalan kearah mobil yang bertuliskan namaku disana."Sudah saya pesan bu. Hanya orang yang ibu cari sudah tak disana lagi"Aku berhenti dan melihat Jeni menunduk. Padahal aku tak pernah memarahinya, kenapa dia begitu takut. "Kemana dia? Ah sudah lah, akan aku cari tau sendiri. Kita ke
Pov Lia.Datang ke Club rahasia seperti ini tentu diimpikan banyak wanita kelas atas. Dan beruntungnya aku. Paul, tamuku dari inggris datang untuk mengikuti lelang itu. Dia punya jaringan yang kuat, terlebih usahanya dibidang berlian, membuatnya memang sangat sering datang ke lelang rahasia seperti ini." kamu cantik sekali sayang" Dia mendaratkan kecupan nakal di leherku."Terimakasih...." ucapku percaya diri. Dia menyebutku cantik. Tentu saja aku tau, memang tak banyak yang bisa menolak pesonaku.Paul sudah enam bulan di Bali. Bahasa indonesianya lumayan bagus. Meski begitu, dia masih membutuhkanku disini sebagai wanitanya, untuk mewakili melakukan lelang.Ya, begitulah peraturannya. Mereka yang ikut lelang dan berasal dari luar negeri, harus membawa penerjemah bahasa. Karena lelang ini tak pernah mau memakai bahasa asing. Jadilah Paul mengajakku menemaninya.Lelaki ini menurutku bisa jadi tempatku bergantung selama di Bali. Setelah lepas dari mas Erlan, aku tak memiliki lagi pend
Aku keluar dari pintu Lift Paradise dengan tenang, bayang wajah panik Lia membuat mood booster untuk hariku malam ini. Aku tersenyum melihat Jeni dan Suci masih menunggu di loby depan. Saat melihatku mereka berdiri dan saling melihat, aku tau siapa yang mereka cari."Dimana Nyonya sombong itu bu?" Suci bertanya tanpa basa-basi."Di dalam. Dia sedang beli berlian sembilan ratus juta" Bisikku membuat mata lugu Suci membelalak."Sem...sembilan ratus juta bu?" Dia mengulang kalimatku. Ekspresinya lucu sekali. "Kok kaya sekali itu orang bu. Jual ginjal mungkin ya..." Suci memang selalu berkata sesuka hatinya. Tapi justru itu yang membuatku selalu tertawa."Hahaha..." Tawaku meledak." Iya memang, Kaya raya sekali ya nyonya mudamu itu. Aku saja kalah saing" Ucapku lalu berjalan keluar Club."Idih nyonya mudaku. Amit-amit..." Katanya ikut berjalan mengikutiku dari belakang.Dibelakangku suara ramai terdengar. Mereka yang baru saja mengikuti lelang ternyata keluar juga dari pintu yang sama. B
Aku turun dari tangga darurat. Melihat mbak Wita duduk dengan santainya didalam mobil. Menyebalkan sekali. Mata kami sempat bertemu, tapi dia justru membuang wajahnya. Sial!"Hey....!"Panggilan itu membuatku berlari lebih cepat. Hah, kenapa sih mereka tak juga capek mengejar. Bahkan rasanya aku sudah tak kuat lagi berlari. Aku berbelok di gang kecil"Berhenti wanita penipu...! "Teriak mereka lagi.Penipu apanya? Aku yang sedang ditipu bodoh!Ingin sekali kalimat itu kuteriakkan pada mereka. Namun bagaimana bisa, aku sedang sibuk berlari. Mengatur nafas saja serasa kesulitan sekarang.Gang-gang kecil terus aku lewati. Lalu masuk ke pemukiman. Mungkin disini aku bisa mencari tempat untuk berlindung. aku masuk di antara gang sempit tapi mereka masih saja mengejar."Berhenti kau!" Teriak mereka lagi.Aku masuk kedalam gang yang lebih sempit, lalu menemukan jalan kecil. Aku bersembunyi di belakang rumah warga. Bau kemenyan menyeruak. Membuat jantungku berdebar hebat.Jangan sampai aku l
Aku berganti daster lagi, gagal sudah rencanaku untuk pergi arisan. Kuhubungi saja sahabatku untuk membayarkan arisanku dulu, Biarlah nanti aku transfer uangnya. Kini aku duduk diruang tengah bersama Erlan.Aku pandang Erlan yang duduk di atas kursi roda. Dia masih tampan, rapi, sedikit berisi, tapi air liurnya terus menetes. Seperti dia waktu bayi saat tumbuh gigi. Ya Tuhan, Anak lelakiku yang gagah dan tampan, kenapa jadi begini. Harusnya dia yang merawatku, bukan aku yang harus merawatnya lagi. Dua menantuku itu juga tak berguna, bukannya mengurus suaminya yang sakit. Mereka justeru pergi entah kemana. Wita terutama, jadi menantuku bertahun-tahun, tapi malah meninggalkan Erlan di rumah ini."Lan... Erlan mau apa, Wita sudah kasih makan Erlan belum?" Kutanya, dia diam tak ada jawaban. "Lan... Erlan marah sama ibu?" Dia masih terdiam.Kenapa juga aku harus bertanya pada orang yang tak bisa menjawab. Ya sudah, kudorong Erlan ke kamarnya. Baru beberapa langkah aku berjalan, serasa m
Setelah makan malam, aku kembali ke VillaSarika, sengajaku sewa satu Villa dengan beberapa kamar dan kolam renang pribadi.Sampai di kamar, aku berendam dalam bathup, menikmati sensasi relaks yang tercipta dari aroma terapi di ruangan ini, membuatku merasa lebih tenang dan damai.Setelahnya aku mengeringkan rambut dan teringat mas Erlanku di rumah ibunya. Apa kabar suamiku itu? Sejak kemarin puluhan panggilan dari ibu memang kuabaikan, sebagai menantu yang baik, aku kan juga ingin memberikan waktu bagi ibu mertua bersama anak lelakinya.Namun saat sekarang aku ingin menghubungi, Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, bukankah tak sopan rasanya menelpon hampir tengah malam begini. Mungkin saja suamiku sudah di ninabobokkan ibunyakan?Akhirnya kuputuskan tidur saja, aku juga butuh istirahat setelah lelah menertawakan adik maduku itu.Andai kau melihatnya mas, istri mu
Byuurrrr....Aku berenang di kolam, dinginnya air tak sebanding dengan dinginnya hatiku sekarang. Aku menyelam hingga kedasar. Duduk disana dan menghitung waktu.Satu... dua... tiga.......... dua pulih lima.Hahh.... aku kembali kepermukaan. Setiap kali menyelam, aku merasakan lagi rasa sakit yang sama. Sakit hati atas kejamnya perbuatan yang kalian semua lakukan.Yaa, aku adalah orang baik yang tersakiti. Aku tak berubah menjadi jahat, hanya menyesuaikan dengan cara kalian memperlakukanku...***(Flash Back )Hari itu, hari yang tak akan pernah aku lupa seumur hidupku. Hari dimana rasa benci yang kurasakan, tak hanya sekedar benci karena sebuah kata poligami. Namun juga karena kejahatan yang mereka lakukan. Bukan hanya pada diriku, tapi juga pada harapan dan mimpiku.Sudah berhari-hari aku kesakitan. Perutku kurasa sakit bercampur perih yang teramat."Bisa antar aku kedokter mas?"Kala itu aku meminta tolong. Bukan tanpa alasan. Aku yang sekalipun tak pernah mau tau lagi kehidupan me
Hari ini aku putuskan mengunjungi butikku di Kuta. Sambil menyelam minum air, aku bekerja dan juga menunggu laporan lain dari mereka yang bekerja untukku.Aku duduk memeriksa semua desain kiriman dari beberapa desainer rekananku. Memilih kain-kain yang akan kami pakai di musim depan dan memikirkan sentuhan apa yang menarik pasar baru."Ini laporan pemesanan kain broklat dari beberapa negara bu" Jeni memberiku buku tebal berisi laporan pengiriman dan contoh kainnya.Aku periksa semua dengan teliti dan mengakhirinya setelah kurasa tak ada masalah didalamnya. Aku putuskan menikmati pantai yang damai pagi ini. Duduk di belakang butik, menikmati pantai yang indah."Ibu ingin minum apa?" Jeni bertanya padaku."Kopi saja""Kopi bu? Kopi panas di cuaca Panas begini?" Suci kembali berkomentar."Kamu mau apa?" Jani bertanya."Gak usah mbak. Nanti saja, Suci beli sendiri"