Sampai di bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Jeni asisten pribadiku sudah menyiapkan semuanya.
"Naik apa kita?" Aku berjalan keluar bandara. Suci ikut denganku. Membawa segala keperluan."Mobil jemputan Villa bu."Aku berhenti dan membuka sedikit kacamataku. "Villa?" Aku ulang lagi kalimatnya."Iya bu, Villa Sarika satu, di Sanur. Disana pemandangannya indah, dekat pantai, restoran seafood, Spa, area joging trek, Juga akses bepergian yang lebih mudah." Ucapnya menunjuklan bahwa dirinya sudah meng mastikan segala sesuatunya sebelum aku terbang."Jeni, aku sedang berburu mangsa. Bukan berlibur ala bule Eropa. Paham?""Maaf bu?" Sepertinya dia tak paham." Pesankan saja hotel yang ada pada wa ku Jeni!" Aku berjalan kearah mobil yang bertuliskan namaku disana."Sudah saya pesan bu. Hanya orang yang ibu cari sudah tak disana lagi"Aku berhenti dan melihat Jeni menunduk. Padahal aku tak pernah memarahinya, kenapa dia begitu takut. "Kemana dia? Ah sudah lah, akan aku cari tau sendiri. Kita ke Villa tadi saja" Aku masuk kedalam mobil. Ternyata mencari Lia tak semudah yang kufikir. Baru beberapa jam lalu aku memastikan keberadaannya, kini dia sudah berubah tempat. Kupejamkan mataku dengan berat."Kita langsung ke Villa bu?""Kita kesalon" Ucapku santai. Jika tak dapat kutemukan dimana kamu bermalam Lia, kita akan bertemu di manapun kamu akan berpesta malam ini....***Aku berdiri didepan kaca. Memakai gaun satin velvet berwarna abu muda. Berlengan panjang, dengan batu kristal menawan di pinggang hingga ke bawh. Kalungg diamond swarovski kupilih agar tak terlalu berkesan mewah."Ayo kita bertemu Lia sayang..."Aku berjalan kedalam mobil lalu menuju ke pParadise Club. Salah satu Club rahasia di Bali. Hanya orang kelas atas yang dapat masuk kesana. Dan siapa sangka, Lia punya akses juga untuk bergabung.Aku masuk dengan sangat mudah. Kuminta saja teman bisnisku menunjukkan kuasanya disini. Dan dengan cepat kartu member eksklusif ini ada di tanganku juga.Aku masuk. Suara musik sudah membuat telingaku berdengung. Aku memang tak terlalu suka suasana bising. Beberapa pasangan berdansa di lantai bawah, meski musik terdengar mengalun lembut, aku tetap tetep tak suka. Lalu aku berjalan masuk ke sebuah pintu. Sebab tujuanku kemari bukanlah berpesta.Seorang lelaki ber taksedo menyambutku di pintu. Dan membukakanku akses menuju ke lantai atas. Ya.. disinilah aku sekarang. Duduk melihat sebuah lelang rahasia terbatas. Terbatas karena tak lebih dari lima puluh orang diruangan ini.Aku menatap panggung yang masih kosong. Hingga lampu penonton tiba-tiba meredup. Menyisakan panggung sederhana dengan deretan wanita berpakaian minim keluar.Bukan... bukan mereka yang dijual, melainkan perhiasan yangg mereka pakai. Aku melihat kesekitar, dan menemukan adik maduku itu sedang menemani seorang lelaki.Tawaran di mulai. Berlian Ruby kecil dengan emas putih berkilau. Batu merah itu nampak bercahaya di bawah sinar lampu. Sayangnya aku tau kuwalitas itu tak terlalu bagus."Red Ruby, Dengan bentuk oval yang cantik. Dan emas murni tujuh gram. Harga buka tiga puluh juta"Ramai tawaran saling bersahutan, dan kulihat Lia masih terdiam. Maka tandanya aku juga harus diam. Kulihat gadis itu membiarkan tubuhnya diraba. Bahkan mereka saling memberi ciuman di tempat seramai ini. Membuatku merasa jijik sendiri.Darimana ibu mertuaku mendapat wanita yang katanya terhormat ini? Wanita seperti diakah yang mereka bandingkan denganku?Kuputar mata malas. Melihat mereka terus bercumbu. Ya Tuhan, ingin segera ku seret dia membersihkan celana suaminya dirumah. Aku masih terdiam hingga barang terakhir di tawarkan. Berlian biru yang cantik. Aku juga jatuh hati." Blue Diamond. Kami membuka harga seratus dua puluh lima."Lia mengangkat tangah. Ah... ini yang mereka incar. " seratus dua puluh jutuh"Seorang lain mengangkat tangan. "Seratus tiga puluh""Seratus tiga puluh lima""Seratus lima puluh"Para penerjemah itu terus mengangkat tangan, mewakili tamu yang mereka bawa. Dan penawaran semakin melambung tinggi."Dua ratus dua puluh" Lia kembali mengangkat tangan. Penawaran tertinggi. "Dua ratus dua puluh juta. Ada lagi? Masih ada yang berani lebih tinggi?"Hening, suasana menjadi sepi. Kulihat Lia berdiri dengan senyum mengembang. Merasa sudah memenangkan lelang. Hingga hitungan terakhir aku berdiri. " Dua ratus tiga puluh juta..."Lampu menyirot ke arahku. Aku tersenyum, melihat kearah Lia. Bahkan kulambaikan tanganku dengan lentiknya. "Hay...." Ucapku tanpa suara. Dia tak akan dengar juga. Jarak kami teramat jauh. Ekspresiku saja sudah cukup, bisa kulihat senyum kemenangan tadi hilang.Menyenangkan, wajah dengan riasan tebal itu terkejut, bahkan sempat ambruk kekursi duduknya. Ah, drama sekali dirimu.Apa kabar adik maduku? Kakak madumu ini rindu.Aku melipat tangan di dada. Melihat wanita murahan itu. Kini dia juga menatapku, kufikir dia sudah mengendalikan amarahnya. Dia berdiri.Baiklah, sejauh apa kau berani bermain denganku rubah kecil."Dua ratus lima puluh juta" Ucapnya melirikku seolah menantang." Dua ratus lima puluh dua setengah" tantangku."Dua ratus tujuh puluh juta..." Dia tersenyum sinis padaku.Aku terus mengimbanginya. Kini permainan hanya ada di tangan kami." Empat ratus juta." Ucapnya lantang. Mematahkan tawaranku sebelumnya.Kulihat lelaki asing itu sudah menarik tangan Lia untuk duduk. Namun gadis itu masih menatapku dengan mata menantang. Aku tersenyum kecut.Baiklah, nyalimu boleh juga..." Tujuh ratus juta..." Ucapku lalu melipat tangan. Tersenyum merendahkannya.Suara riuh kudengar, bau kemenangan semakin mendekatiku."Bagaimana. Tujuh ratus juta. Apa ini penawaram terakhir?" Kulihat tak ada yang berdiri. Namun Lia masih sibuk bicara.Kulihat wajahnya marah, tak terima, dia kembali mengangkat tangan. Lelaki disebelahnya menolak, meminta Lia menurunkan tangannya. Namun bukan Lia namanya jika membiarkan dirinya kalah."Sembilan ratus...!" Ucapnya membuat suara dalam ruangan kembali riuh.Kini aku yang tertawa. "Kena kau wanita murahan..." Puas sudah, aku berdiri meninggalkan ruangan itu. Blue diamond kecil, dengan kuwalitas biasa itu terjual hampir satu milyar. Luar biasa.Bodohnya dirimu Lia. Memang ini tujuanku. Lima ratus juta saja aku masih berfikir dua kali. Dan dia terpancing hingga di angka sembilan ratus juta. Nikmatilah harga dari kesombonganmuKami masih berdiri di keramaian. Lelaki itu berusaha tersenyum. Namun ekor matanya tak berhenti mencuri pandang kerah Ibu."Ibu, bisa jelaskan sesuatu?" Wita meminta. Sejujurnya ia merasa canggung. Berdiri lebih lama dengan lelaki yang begitu mirip mendiang suaminya.Winda hanya diam. Tak berhenti memandang wajah lelaki itu. "Kamu Lando nak?" Winda mencoba menyentuh wajah lelaki itu. Namun ditepisnya dengan raut tak ramah." je suis désolé ( Saya Permisi )" Lelaki itu tiba-tiba memilih pergi. Meinggalkan kami yang masih terpaku."Lando! Kamu Erlando kan?" Ibu berteriak, hampir saja mengejarnya, namun lelaki itu dengan cepat keluar gedung dan masuk kedalam sebuah taksi."Ibu mengenalnya?" Wita masih mencari tau. "Bu, katakan sesuatu. Ibu mengenalnya?" Wita menatap ibu Winda, namun wanita itu masih dengan lekat memandang taksi itu pergi."Bu, kenapa diam? Ibu kenal dia? Ibu! Dia begitu mirip dengan mas Erlan." Wita mengguncang tubuh ibunya. Air matanya turun tanpa dia tau mengapa. Nama
"Bagaimana rasanya menjadi berbeda Lia? Seperti terbang diatas duniamu sendiri. Apakah menyenangkan?" Wita memandangi Amelia dari sisi ruangan berbeda. Wanita itu tak henti berteriak dan menjambak dirinya sendiri. Bahkan terkadang dia menjerit lalu meringkuk ketakutan. Apa yang di lakukan Wita dan Jeni semalam, membuat wanita itu depresi sekarang."Ayo kita pergi Jeni. Biarkan dia menikmati hidupnya sekarang, aku sudah melakukan apa yang seharusnya dia terima."Saswita berjalan memasuki mobil. Memakai kacamata hitamnya dengan anggun. Lalu mobil itu berjalan meninggalkan tempat Lia di tahan. "Ke Bandara Internasional pak!" Jeni memberi perintah." Kau sudah urus semuanya Jen?""Sudah bu. Nyonya Winda sudah menunggu disana. Ibu yakin dengan keputusan itu?""Aku yakin Jen. Tak ada lagi alasan aku tetap disini. Lagi pula aku punya mimpi yang harus aku wujudkan. Dan aku harus melindungi milik berhargaku yang lain." Ucapnya mengusap perutnya yang masih rata.Pagi tadi dia mengetahui jika
Amelia tak mati, sebuah tembakan melukai sisi perutnya, tembakan dari aparat yang sejak awal sudah mengikuti Amelia. Mereka tau aku di ancam masuk kedalam mobil dari taman dan mengikuti kami hingga kecelakaan itu terjadi.Beruntungnya nyawa wanita itu selamat. Dia masih ada dirumah sakit menjalani perawatan. Luar biasa bukan, seperti kucing dia bahkan punya nyawa berlapis.Hah...Aku mendesah kesal. Penjara saja tak akan cukup membuatnya jera. Bagaimana aku bisa memberinya pelajaran?"Ibu kenapa?" Jeni bertanya. Mungkin dia membaca kegundahan hatiku sejak tadi."Jika aku membalas wanita siluman itu, menurutmu apakah itu sebuah kesalagan Jen?"Dia terdiam, nampak berfikir sebentar."Aku merasa sangat marah atas apa yang dia lakukan padaku. Dan membawanya ke penjara, itu hukuman yang terlalu ringan bukan?" Kembali aku bicara, kali ini Jeni mendekat dan duduk di depanku."Bagaimana jika sedikit membuatnya syok bu?"Aku tertarik, kudekatkan wajahku pada Jeni. "Caranya?"Jeni hanya terseny
Pulanglah dalam damai mas, kebaikan yang kau tanam, akan harum sebagai saksi untukmu kelak di hari penghakiman. Tersenyumlah dalam keabadian, akan kulanjutkan apa yang sudah kau usahakan. Akan kujaga ibu juga sebagai baktiku padamu. Terimakasih sudah menjadi indahku, disaat-saat terakhir kita bersama.Pemakaman baru saja selesai. Sudah aku janjikan aku kuat. Sebisa mungkin kutahan bulir yang ingin terlepas dari netra. Meski terkadang lolos juga.Kami pulang kerumah, rumahku sendiri, ibu juga kubawa kemari. Beliau sedang istirahat dikamarnya sekarang. Sejak dulu memang kami sediakan kamar untuk ibu bermalam, meski hampir tak pernah ditempati, namun mas Erlan tetap memberikan kamar itu hanya untuk ibu.Kolega dan rekan bisnis kami datang silih berganti. Rumahku kini sibuk menerima tamu tang tak pernah habis sejak kabar duka itu tersebar. Ucapan demi ucapan aku terima. Hingga hampir senja, mobil Polisi masuk kedalam pelataran. Tiga Polisi laki-laki dan satu Polisi perempuan kini duduk di
Aku bersimpuh di mushola rumah sakit. Menengadah, meminta Allah tak mengambil lagi miliknya yang pernah hilang dari hati. "Ya Allah, ampunilah diri yang terlalu kufur. Hingga lupa nikmat yang kau berikan diantara ujian. Maafkanlah kebodohan ini, beraninya membenci takdir yang ada karena kehendakmu.Ya Allah, pemberi ampun dengan segala karuniamu, yang maha kaya dengan segala kemurahanmu. Izinkanlah aku mengucap taubat.Dalam hati kecilku yang tamak, aku ingin mas Erlan tetap disisiku, menemaniku lagi seperti dulu, mengulang lagi masa indah yang pernah Engkau beri. Namun segalanya kini aku letakkan dalam kehendakmu. Engkau yang lebih berhak memutuskan, karena dia memang milikmu. Engkau pula yang lebih berhak menyembuhkannya, karena dia memang milikmu. Seperti aku yang bersamanya karena takdirmu, maka aku juga menerima takdirmu bila harus melepasnya pulang. Aku ikhlaskan segelanya dalam ridhomu, aku terima apa yang menjadi kehe
Beberapa malam telah aku lalui di lembah nan hijau ini. Tak ada kebisingan selain suara air terjun yang jatuh, kicau burung yang bersahutan berbeda dan hembusan angin yang menyentuh pucuk pepohonan. Aku benar-benar jatuh cinta dengan suasana disini.Namun sebuah kabar dari kota membuat kami semua terdiam dalam tanya. Pagi ini, setelah berjalan-jalan dengan Mega, Jeni pulang membawa kabar mengejutkan. Andi, mantan asisten mas Erlan terbunuh dirumahnya sendiri. Polisi masih mendalami motif pembuhunan dan mencari informasi lebih lanjut.Ternyata setiap pagi, Jeni selalu ke atas bukit. Mencari tau berita terbaru, mencatatnya, memberikan kabar padaku juga mas Erlan tentang apa yang kami tinggalkan di kota. Butikku yang kini aku minta Suci mengontrolnya dan perusahaan mas Erlan, yang dia percayakan pada pak Lilik, kawannya dulu di proyek."Mungkinkah Lia pelakunya?" Mas Erlan bertanya padaku saat kami duduk bersama diteras rumah." M